Showing posts with label Mukti Ali. Show all posts
Showing posts with label Mukti Ali. Show all posts

Sunday, May 26, 2013

Mukti Ali, Santri yang pluralis

Seorang Santri dari Cepu
Mukti Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23 Agustus 1923 ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Timur. Balun Sudagaran merupakan desa para saudagar. Salah satu kawasan “elit” yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo. Itu berarti Boedjono memang berasal dari sebuah keluarga yang cukup mapan. Ayah Boedjono, yaitu H. Abu Ali adalah seorang pedagang yang terpandang di wilayah tersebut, bukan hanya karena kesuksesan usaha dagangnya, namun juga karena sikap hidupnya yang berbeda dengan kebanyakan orang di desa tersebut. H. Abu Ali selain dikenal ulet, rajin dan disiplin, juga dikenal sebagai orang yang bersahaja, bersikap sederhana, dan tidak suka berfoya-foya seperti kebanyakan orang di desanya. H. Abu Ali juga selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjadi manusia yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Sikap ayahnya inilah yang di kemudian hari menjadi inspirasi utama bagi Boedjono dalam membawa diri. Terbukti bahwa kegigihan dan keluhuran budi sang ayah telah mengantarkan Boedjono ke gerbang kesuksesan, tak terkecuali juga saudaranya yang lain seperti Soepeni (setelah menunaikan ibadah haji berganti nama Zainab), Iskan (berganti nama Iskandar), Ishadi (Dimyati), Umi Hafifah, Zainuri, dan Sri Monah.
 
Boedjono kecil sudah akrab dengan pendidikan agama. Ia banyak mengaji pada paman, kakek, dan sanak saudara yang juga dikenal sebagai tokoh agama atau kyai di daerahnya. Kegiatan mengaji ini ia lakukan pada sore hari karena pada pagi hari ia harus mengikuti pelajaran di HIS, sekolah Belanda untuk penduduk pribumi. Sejak kecil, Boedjono sudah dikenal sebagai anak yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka kemudian H. Abu Ali memasukkan Boedjono di pesantren yang diasuh oleh Kyai Usman Cepu, anak dari Kyai Hasyim Jalakan atau guru dari Kyai Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Setelah Boedjono lulus dari HIS, H. Abu Ali memindahkan Boedjono ke Pondok Pesantren yang dianggap lebih maju karena telah menerapkan sistem madrasi sejak tahun 1932, yaitu PP. Termas di Pacitan, kira-kira 170 km di selatan Cepu. Di Pesantren yang juga tempat nyantri K.H. Ali Ma’shum (pengasuh PP. Krapyak dan Rois Aam PB NU) inilah Boedjono mulai bersentuhan dengan karya-karya yang menggugah nalarnya. Dia banyak membaca buku-buku yang diimpor dari Mesir, dia juga berkenalan dengan ilmu mantiq (logika), serta membaca beberapa buku tentang tasawuf dan filsafat.
 
Boedjono juga sempat menimba ilmu dari dua orang kyai yang ia sebut sebagai Hamidain atau dua orang Hamid. Hamid yang pertama adalah Kyai Hamid Pasuruan dan yang satunya adalah Kyai Hamid Dimyati. Satu hal penting dari bertemunya Boedjono dengan Kyai Hamid Pasuruan adalah diubahnya nama Boedjono menjadi Abdul Mukti. Nama kecil Kyai Hamid Pasuruan adalah Abdul Mukti, sang kyai menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan nama kecil sang kyai. Boedjono menerimanya dengan rasa bangga sekaligus merasa tertantang untuk menjaga kehormatan nama kecil gurunya tersebut. Sejak itu Boedjono berganti nama menjadi Abdul Mukti. Namun Abdul Mukti merasakan ada yang kurang dengan namanya. Abdul Mukti tidak hanya ingin menghormati gurunya namun juga ingin sekali menghormati ayahnya. Maka nama Ali yang merupakan nama belakang ayahnya (H. Abu Ali) ia tambahkan pula. Sehingga Boedjono telah berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali.
 
Tangga Pendidikan dan Karier Mukti Ali
Setelah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren, Mukti Ali melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri di Yogyakarta. Mukti Ali masuk di Fakultas Agama pada sekolah tinggi yang kini telah berganti nama Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.
 
Kesempatan pendidikan ke jenjang berikutnya ia peroleh setelah melaksanakan ibadah haji tahun 1950. Seusai melaksanakan ibadah haji, Mukti Ali berencana menetap sejenak di Mekah untuk menuntut ilmu. Namun ia bertemu dengan H. Imron Rosyadi (Kuasa Usaha untuk RI di Jeddah) yang menganjurkan agar Mukti Ali melanjutkan studinya di Jurusan Sejarah Islam, Universitas Karachi, Pakistan. Mukti Ali meraih gelar doktor pada tahun 1955.
 
Sebelum sempat mengabdikan ilmunya ke tanah kelahiran, Mukti Ali sudah terlebih dahulu diminta untuk terbang lebih jauh lagi dari tanah air. Anwar Haryono, pimpinan DDII pasca M. Natsir, sekaligus tokoh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang juga aktif di Masyumi, memberikan kabar kepada Mukti Ali bahwa ia menerima beasiswa studi ke Kanada. Di universitas yang dikenal dengan nama McGill ini, Mukti Ali diterima di Institut of Islamic Studies, bidang baru yang mulai dibuka pada tahun 1952 atas kerja keras Wilfred Cantwell Smith. W.C. Smith juga merupakan dosen favorit Mukti Ali yang memberikan banyak “pencerahan”, terutama berkaitan dengan metodologi yang nantinya sangat berpengaruh dalam ide-ide pembaruan Mukti Ali di Tanah Air. Setelah dua tahun Mukti Ali menimba ilmu di Kanada, kini ia bisa pulang ke tanah air dengan menggondol gelar M.A. (Master of Arts).
Setelah menikah dengan Siti Asmadah (puteri H. Masduki) pada tahun 1959, Mukti Ali siap mengabdikan ilmunya di tanah air. Mukti Ali mengajar di IAIN Yogyakarta dan Jakarta yang juga baru saja berdiri tahun 1960. IAIN Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah) waktu itu hanya memiliki dua fakultas yaitu Tarbiyah dan Adab, sementara IAIN Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) mengelola fakultas Syari’ah dan Ushuluddin. Di Fakultas Ushuluddin inilah Mukti Ali mendirikan disiplin ilmu baru di Indonesia yaitu Ilmu Perbandingan Agama. Maka Jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Yogyakarta yang memulai kuliahnya pada tahun 1961 tersebut, merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dewasa ini.
 
Disela-sela kesibukannya mengajar, Mukti Ali masih menyempatkan diri untuk berkarya besar bagi anak negeri, yaitu bergabung dengan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqi, Prof. Muchtar Yahya, Prof. Bustami A. Ghani, K.H. Ali Maksum, dan beberapa tokoh lain dalam Dewan Penerjemah untuk menyusun “Al-Qur’an dan Terjemahannya” versi Depatemen Agama. Sebuah kitab terjemahan yang kini banyak terdapat hampir di setiap rumah kaum muslimin dan masjid-masjid di tanah air.
 
Pada tanggal 11 bulan 11 tahun 1971, peluang Mukti Ali untuk berkarya besar bagi bangsa mulai terbuka. Karena sejak hari itu Mukti Ali mulai mengemban amanat sebagai Menteri Agama RI menggantikan KH. M Dachlan yang belum habis masa jabatannya, dan Mukti Ali meneruskan jabatan tersebut dalam masa berikutnya yaitu Kabinet Pembangunan II. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mukti Ali, yaitu dengan gebrakan baru yang akan dipaparkan pada sub-bab berikutnya dalam tulisan ini.
 
Pada tahun 1978, setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Mukti Ali masih dipercaya oleh pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1978-1983. Setelah itu Mukti Ali lebih memilih menyibukkan diri di Yogyakarta, karena ia merasa bahwa di kota inilah hasrat akademisnya lebih mudah tersalurkan. Karir terakhirnya di dunia politik adalah kebersediaannya untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1993-1998.
 
Kiprah lainnya adalah keterlibatannya sebagai anggota Komite Kebudayaan Islam di UNESCO yang berpusat di Paris, Perancis. Ia juga menjadi anggota Dewan Parlemen Agama-agama Sedunia di New York, anggota Dewan Riset Nasional, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta anggota Dewan Penyantun Universitas; antara lain Universitas Gajah Mada (UGM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan beberapa perguruan tinggi lain. Mukti Ali juga pernah menjadi anggota Pengurus Angkatan ’45.
 
Pemikiran Mukti Ali
Menyimak paradigma Integrasi-interkoneksi yang dicetuskan Prof. Amin Abdullah, mengingatkan penulis pada kritik Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia yang terkesan terkotak-kotak. Pak Mukti menekankan perlunya keterpaduan pengetahuan keislaman. Pendidikan Islam di Indonesia dalam pandangan Mukti Ali bisa menimbulkan ketimpangan jika tidak dibenahi, karena pendidikan Islam waktu itu pengajarannya masih terpisah-pisah. Hal ini dapat dilihat misalnya orang-orang yang mempelajari tasawuf biasanya menganggap fikih sebagai ranah yang tidak begitu perlu. Demikian pula sebaliknya. Maka Mukti Ali menginginkan agar pendidikan Islam dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup segala aspek kajian dalam Islam baik tauhid, fikih, akhlaq, tasawuf, tafsir, hadist, tarikh dan sebagainya. Dengan cara itulah pendidikan Islam akan mengenai sasaran karena menjadi kemasan yang efisien untuk memahami Islam secara kaffah. Dari sinilah Mukti Ali memulai gagasan pembaruannya. Memang semangat pembaruan Mukti Ali sudah tampak sejak ia belajar di Montreal, Kanada. Disana ia sudah sering memperbandingkan pemikiran dua tokoh pembaharu yang menarik minatnya, yaitu Muhammad Abduh dan Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
 
Dengan semangat pembaruan yang ia miliki serta keprihatinnya terhadap dunia pendidikan di tanah air, maka ia mengajukan beberapa poin yang perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan di Indonesia. Mukti Ali menyoroti kurangnya bahan bacaan, kurangnya kegiatan penelitian ilmiah, kurangnya diskusi akademis, dan masih rendahnya penguasaan bahasa asing. Empat hal inilah yang menurutnya menjadi kendala anak negeri untuk berkembang. Diakui atau tidak, empat permasalahan itu pula yang sebenarnya masih tetap ada hingga saat ini.
 
Kegelisahan Mukti Ali tidak berhenti sampai disini, namun lebih luas lagi, bahkan diluar kajian keislaman. Disinilah tampak pemikiran modern Mukti Ali. Ia menginginkan dibudayakannya sikap ilmiah dalam berbagai bidang kajian, tentunya termasuk dalam kajian keislaman. Pendidikan Islam yang melulu didasarkan pada doktrin keagamaan tidak akan cukup untuk mengejar ketertinggalan dunia Islam terhadap perkembangan global. Maka Mukti Ali mengusung paradigma “scientific cum doctriner” sebagai pendekatan yang holistik dan diharapkan dapat memberi jawaban terhadap kebutuhan umat Islam Indonesia di era modern. Gagasan Mukti Ali ini juga tidak bisa dilepaskan dari iklim yang berkembang di Barat berkaitan dengan studi agama. Sejak paruh kedua abad ke-19, di Barat telah berkembang paradigma untuk melakukan studi agama dengan empat corak yaitu scientific, critical, historical, dan comparatif. Hal ini pula yang dilakukan Mukti Ali di tanah air. Mukti selalu mendorong kajian ilmiah terhadap agama-agama, apalagi melihat realitas keragaman agama dan budaya di Indonesia yang harus dikella dengan baik.
 
Pemahaman yang mendalam terhadap pentingnya membina kerukunan antar umat beragama ini mendorong Mukti Ali untuk mencanangkan sebuah konsep pemikiran yang sangat dikenal dan menjadi icon bagi seorang Mukti Ali. Yaitu Konsep “agree in disagreement” setuju dalam ketidaksetujuan, atau sepakat dalam perbedaan. Hal ini disampaikan pertama kali oleh Mukti Ali dalam sebuah simposium di Goethe Institut Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat sebagai Menteri Agama. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam Islam, dan tentunya juga semangat pembaruan yang telah dimilikinya sejak menimba ilmu di negeri orang. Berawal dari konsep agree in disagreement inilah Mukti Ali menjabarkan lebih lanjut dalam model kerukunan antar umat beragama.
 
Pertama, Mukti Ali menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama. Umat satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan, misalnya dalam Islam setidaknya ada empat mazhab besar, Islam di Indonesia juga terdiri dari Muhammadiyah, NU, Masyumi, DDII, dan sebagainya. Begitu pula umat agama non Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan dalam satu agama ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin potensi tersebut berubah menjadi konflik. Seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dalam tubuh umat Islam, bahkan intern ormas Islam-pun bisa terjadi bentrok antar kubu.
 
Kedua, ditekankan pula pentingnya menjaga kerukunan antar umat berbeda agama. Dalam sejarah, konflik agama di belahan bumi manapun pernah terjadi, tak terkecuali di negeri kita yang beberapa dasawarsa lalu sempat mengundang decak kagum dunia karena keberhasilannya mengelola kebhinekaan dalam semangat persatuan. Namun belakangan, konflik Ambon dan Poso adalah contoh nyata dari gagalnya pemerintah dan umat beragama mewujudkan poin kedua ini. Ketiga, pentingnya membina hubungan umat beragama dengan pemerintah, agar kehidupan beragama dapat dilaksanakan dengan perasaan damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali juga menyatakan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula sekuler.
 
Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri agama, model kerukunan yang dimulai oleh Mukti Ali tersebut diteruskan oleh penggantinya yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara, dan dikemas menjadi Trilogi Kerukunan Antar Umat Beragama. Selanjutnya konsep ini diajarkan dengan baik di sekolah-sekolah dari tingkat SD bahkan hingga Perguruan Tinggi. Sehingga pendidikan akan pentingnya menghargai pluralitas dan menjaga kerukunan dapat ditanamkan pada anak bangsa.
 
Selain beberapa hal diatas, selama menjabat sebagai menteri agama, Mukti Ali juga meluluskan beberapa kebijakan penting. Diantaranya adalah upaya rasionalisasi Departemen Agama sebagai lembaga yang bertugas membangun manusia Indonesia seutuhnya. Mukti Ali pula yang mempopulerkan konsep manusia Indonesia seutuhnya yaitu kriteria pembangunan jasmani dan rohani manusia yang tentunya mensyaratkan adanya unsur iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga memasukkan pembangunan di bidang agama dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
 
Mukti Ali juga menegaskan bahwa IAIN memiliki tugas yang sama dengan perguruan tinggi lainnya, yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi meliputi pengajaran dan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat. Mukti Ali juga mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang fungsi utamanya adalah memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
 
Satu hal lagi yang menarik dari guru Besar Perbandingan Agama sekaligus mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga ini adalah sikapnya yang sangat toleran terhadap umat agama lain. Sikap ini menempatkan Mukti Ali dalam jajaran tokoh-tokoh pengusung liberalisme dalam Islam, atau setidaknya bisa disebut sebagai tokoh moderat dan inklusif. Sikap diamnya terhadap sepak terjang Harun Nasution dianggap oleh sebagian orang sebagai keberpihakan Mukti Ali terhadap pemikiran liberal dalam Islam. Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang cukup geram dengan aroma mistis dalam masyarakat Islam di Indonesia, Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang mencoba meruntuhkan angkuhnya dinding normatifisme dalam nalar Islam. Oleh karenanya, professor dan Guru Besar UIN Jakarta ini sempat dituding sebagai penganut Paham Mu’tazilah. Namun Mukti Ali dengan cerdik berada di tengah-tengah dengan memilih bersikap moderat. Mukti Ali menyadari bahwa perkembangan pemikiran Islam modern memang diperlukan bagi kemajuan umat Islam di Indonesia, namun dia juga sadar bahwa menjaga hubungan baik dengan umat yang sebagian besar masih berparadigma normatif tetaplah penting.
 
Hal inilah yang membedakan Mukti Ali dengan para pengusung modernisasi Islam yang lain seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Jika kedua tokoh tersebut terkesan frontal dan berapi-api dalam melontarkan gagasannya, Mukti Ali justru memilih cara-cara yang kalem dan persuasif. Mukti Ali berupaya agar gagasannya tidak menimbulkan kontra. Apalagi Mukti Ali juga mengakui bahwa kebijakannya tersebut juga dilandasi dengan prinsip keadilan yang ia temukan dalam Islam yaitu : kebebasan hati nurani, kemanusiaan yang egaliter, dan solidaritas sosial yang kokoh.
 
Kelebihan Mukti Ali antara lain juga tercermin dalam kemampuannya menampilkan diri sebagai sosok yang netral, bukan NU dan Bukan Muhammadiyah, bukan dari ormas atau parpol tertentu. Meskipun dia hasil didikan Barat namun keberpihakannya pada nasib bangsa Timur tak pernah diragukan.
 
Singkatnya, banyak hal positif dapat diambil dari diri Mukti Ali, sikap tawadu’ disiplin, toleran, kegigihannya dapat diteladani. Langkah-langkah yang telah dimulainya adalah batu pijakan yang harus diteruskan karena memang sedang sangat dibutuhkan bangsa ini, buah pikirannya juga merupakan kontribusi penting yang selalu bisa dirujuk oleh generasi saat ini. Ibarat di padang gersang, Mukti Ali adalah oase tempat gembala, penduduk, dan kafilah melepas dahaga.
 
http://pondoktremas.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=175:mukti-ali-santri-yang-pluralis&catid=58:profil-alumni&Itemid=126

Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Intelektual yang tangguh, sederhana dan Mengabdi

Written By Syafrein Effendiuz on 17 July 2004 | Saturday, July 17, 2004

Amanah Online
Bismillahirrahmanirrahim

Laporan: M. Fuad Nasar / ANR


[Laporan Khusus]
Bangsa Indonesia kehilangan tokoh panutan. Mantan Menteri Agama RI Prof. Dr. H.A. Mukti Ali telah berpulang ke Rahmatullah, Rabu petang, 5 Mei 2004 di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dalam usia 81 tahun. Meninggalkan seorang istri (Ibu As�adah) dan tiga putra-putri, jenazahnya dimakamkan hari Kamis di pemakaman IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923. meraih gelar Master of Arts (MA) dari McGill University, Kanada (1957). Meneruskan kuliah di Universitas Aligarch, India, hingga memperoleh gelar Doktor sejarah Islam. Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai staf Kedubes RI di Karachi.

Sepanjang hayatnya Mukti Ali dikenal sebagai intelektual Muslim yang tangguh, berwatak dan berpandangan luas, memiliki reputasi nasional dan internasional. Dia anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), anggota dewan riset internasional dan perintis organisasi Parlemen Agama Sedunia di New York. Dia orang pertama yang membuka jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Perbandingan Agama, barangkali satu-satunya di Indonesia. Dia memperkenalkan pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai �bapak ilmu Perbandingan Agama di Indonesia�.

Tokoh yang bersih, jujur dan sederhana ini dilantik menjadi menteri agama pada 11 september 1971 menggantikan KHM Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan meklanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Ia satu diantara sedikit intelektual yang mampu menjaga integritas dan kredibilitas pada saat berada di dunia birokrat.

Keistimewaan Mukti Ali, ia bisa menampilkan diri murni sebagai tokoh representatif umat Islam yang netral dari kepentingan kelompok. Dia bukan berasal dari organisasi NU, bukan pengurus Muhammadiyah, atau lainnya, dan bukan pula kader partaipolitik. Di samping itu, meski berpendidikan Barat, kharisma seorang mentri agama panutan umat tercermin pada sosok Mukti Ali.

Dia memiliki sikap hidup qanaah, konsisten, tidak berubah karena kedudukan dan jabatan yang disandangnya. Kesederhanaan terlihat dalam kehidupan pribadi dan keluarganya, baik ketika menjadi menteri maupun setelah kembali ke dunia akademis. Setelah meneyelesaikan tugas sebagai Menteri Agama, lalu diangkat menjadi anggota DPA, tapi ia memutuskan tinggal di Yogyakarta agar kegiatan mengajar bias kembali dilakukannya.

Dr. Taufik Abdullah (1995) melukiskan keistimewaan Mukti Ali bahwa Ia dating ke Yogyakarta ke Jakarta dengan membawa hanya sebuah koper berisikan beberapa lembar pakaian, dan saat meninggalkan Jakarta pun ia pulang dengan membawa koper yang sama.

Sedikitnya ada lima hal penting dari kebijakan Mukti Asewaktu menjadi Menteri Agama. Pertama, rasionalisasi Depag menjadi departemen yang mempunyai tugas utama membangun manusia seutuhnya. Dialah yang mempopulerkan istilah �membangun manusia Indonesia seutuhnya�

Kedua, intelektualisasi lembaga pendidikan tinggi IAIN. Dia menegaskan tugas IAIN sama dengan perguruan tinggi lainnya, ialah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pengajaran dan pendidikan, penelitian (riset) serta pengabdian masyarakat. Ketiga, memantapkan posisi agama dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. Pembangunan bidang agama masuk dalam GBHN. Namun dalam hal ini, ia dengan gambling menegaskan, Indonesia bukanlah negara terokraris, dan juga bukan negara sekuler.

Keempat, menggalang kerukunan hidup antar umat beragama, baik intern satu agama maupun antar agama. Dalam intern agama (Islam), ia meluruskan imej yang salah kaparah mempertentangkan faham ortodoks sebagai faham �kaum tua� dengan faham modern sebagai faham �kaum muda�, Orthodoxy (orthos + doxa) adalah faham yang didasarkan pada ajaran yang benar, yang asli. Lawan kata ortodoks bukan modern, melainkan heterodoks, yakni faham yang telah bercampurbaur. Jadi, ortodoks bias ada pada �kaum tua� dan �kaum muda�.

6yang lebih menonjol adalah konsepnya tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih klanjut menjadi konsep �Kerukunan Hidup Antarumat Beragama� di Indonesia.

Kelima, ia mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang diantara fungsi utamanya memberikanpertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaaaan dan kemasyarakatan.

Buku-buku karyanya antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Billali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, Ta�limul Muta�allimin versi Iman Zarkasyi, Motode Memahami Agama Islam, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern. Pada tahun 1962-1965 ia bertugas sebagai anggota Lembaga Penerjemah Al Quran yang digagas olehDepartemen Agama periode Menteri Agama Prof. KH. Sarifuddin Zuhri.

Mukti Ali telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kita semua menjadi saksi bahwa ia telah banyak berpikir dan bekerja untuk umat, bangsa dan negara. Semoga amal salihnya itu diterima oleh Allah, dan semoga pula Allah memberi kita petunjuk untuk dapat meneladaninya, Selamat Jalan Pak Mukti Ali.

M. Fuad Nasar / ANR

http://sekilas.blogspot.com/2004/07/prof-dr-ha-mukti-ali-intelektual-yang.html

Monday, February 4, 2013

Telaah Pemikiran A. Mukti Ali, Singgih Basuki Raih Doktor

Jumat, 19 Oktober 2012 17:58 WIB




Drs. A. Singgih Basuki, MA., (56 tahun) mengatakan,  A. Mukti Ali adalah seorang pemikir Islam Indonesia (1923-2004) yang berkarakter kuat,  berpikiran modern ,  dan konsisten . Sosoknya sangat fenomenal di kalangan akademisi  Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam sampai saat ini. Prestasi Akademiknya, berhasil mengembangkan Ilmu Perbandingan Agama dengan membuka Jurusan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga).  Di Jurusan inilah  semua agama dipelajari dan diperbandingkan agar umat manusia dapat saling menghargai perbedaan agama secara wajar. Usaha Mukti Ali mengembangakn Perbandingan Agama sebagai salah satu kajian utama di IAIN, telah memberikan dampak yang signifikan bagi berkembangnya wacana dialog antar agama di Indonesia.
                Bagaimana sesungguhnya pemikiran keagamaan Mukti Ali, Singgih Basuki mengungkapnya kembali melalui studi riset, yang kemudian diangkatnya menjadi karya disertasi untuk meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Karya disertasi Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini, dipertahankan dihadapan tim penguji antara lain Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA., Prof.Dr. H.M. Bahri Ghozali. MA.,  dan Prof. Dr. H. Machasin, MA.,  Prof. Dr. Banawiratma ,  Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA., (Promotor merangkap penguji) serta Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA.,  (Promotor merangkap penguji), bertempat di Gedung Convension Hall kampus setempat, Jum’at,  19 Oktober 2012.
                Dalam karya riset disertasi yang mengangkat judul “Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali”, Putra kelahiran Ngawi ini antara lain memaparkan bahwa, ide dasar pemikiran Mukti Ali diantaranya: agama (Khususnya Islam) mengandung nilai kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan lahir batin untuk seluruh umat manusia yang kekal dan universal, sehingga relevan sepanjang Zaman. Ajaraan Islam ini di turunkan kepada seluruh umat manusia dalam konteks ruang dan waktu apapun. Oleh karenanya, sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berhenti berfirman setelah Al- Qur’an. Allah SWT terus-menerus menyatakan kehendak-Nya sepanjang zaman. Untuk memahami kehendak Allah SWT sampai akhir zaman ini, agama harus senantiasa diaktualisasikan agar dapat member inisiatif dan pandangan yang dinamis serta kreatif pada pergaulan hidup seluruh umat manusia.
                      Sementara itu mengacu pada tiga konsep orientasi agama Allport dan Ross, yang memandang agama sebagai tujuan akhir, agama sebagai alat dan agama sebagai pencarian, maka orientasi pemikiran Mukti Ali, memposisikan agama sebagai proses pencarian kreatif dalam kehidupan untuk menemukan tujuan hidup yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT, tertanam dalam qolbu manusia, yang harus terus diasah dan diperjuangkan oleh semua umat manusia. Maka Menurut Mukti Ali melalui agama, khususnya Islam, setiap manusia akan bersikap kritis dan sensitif terhadap agama. Setiap manusia akan belajar dan berfikir untuk menemukan hakekat terdalam dari pesan-pesan agama.
                Bentuk pemikiran keagamaan Mukti Ali terbangun atas tiga etos: Keilmuan, Kemanusiaan dan Kebangsaan. Etos keilmuannya bertumpu pada poros metodologi tiga arus yang disebut scientific-cum-doctrinaire. Etos kemanusiaan Mukti Ali memposisikan peran agama dalam mendorong pembangunan bangsa dan Negara. Sedangkan etos kerukunan dan dialog Mukti Ali bernafaskan konsep agree in disegeement yang dikembangkan di Indonesia sampai sekarang. Etos keilmuan Mukti Ali scientific-cum-doctrinaire memperkenalkan pemahaman agama secara multidimensi sehingga pemahaman terhadap agama menjadi utuh,  bersesuaian dengan tradisi yang hidup di masyarakat, universal. Dan dalam batas-batas tertentu pesan-pesan agama akan mengalami perubahan karena menyesuaikan lingkungan yang terus berubah. Demikian juga pendekatan agama juga akan mengalami persesuaian agar tercipta sikap yang terbuka,  saling menghormati dan toleransi yang tinggi baik antarsesama agama yang sama maupun antarumat beda agama.
                Konsep Mukti Ali tentang pembangunan manusia seutuhnya menjadi tumpuan yang mengawal proses pembangunan di Indonesia sejak masa Orde Baru. Melalui konsep Mukti Ali inilah nilai-nilai agama mampu menjadi motivator dalam berbagai program pembangunan di Indonesia. Pemikirannya tentang kerukunan hidup antarumat beragama dan dialog juga sampai saat ini terus digelorakan di seluruh wilayah Indonesia, lebih-lebih dengan semakin banyaknya konflik antarumat beragama di negeri ini, demikian jelas Singgih Basuki (Weni Hidayati-Humas UIN Sunan Kalijaga).
 
Retrieved from: http://www.uin-suka.ac.id/berita/dberita/652

Sunday, February 3, 2013

Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru

Ali Munhanif, "Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru", dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, Balitbang dan PPIM, 1998), 271-319.

Download the article

Saturday, February 2, 2013

Jejak : Mukti Ali, Penabur Bibit Toleransi

Mukti Ali. TEMPO/ Ahmad Solikhan
Terlahir dari keluarga saudagar membuat Boedjono bebas bergelilya mencari ilmu. Selepas dari HIS di Cepu, oleh sang ayah, H. Abu Ali, ia mondok di Pesantren Termas, Pacitan, 170 kilometer di selatan Cepu. Di sinilah Boedjono, yang lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, 23 Agustus 1923, mulai bersentuhan dengan buku-buku yang diimpor dari Mesir, seperti buku tentang mantiq (logika), tasawuf dan filsafat.

Di kemudian hari, Boedjono sempat menimba ilmu Kyai Hamid Pasuruan dan Kyai Hamid Dimyati. Oleh Kyai Hamid Pasuruan, Boedjono diminta mengganti namanya menjadi Abdul Mukti, yang tak lain nama kecil sang kyai. Boedjono tentu amat tersanjung, ia pun memadukannya dengan nama sang ayah, menjadi Abdul Mukti Ali.

Dari Cepu dan Pacitan, Mukti Ali melakukan lompatan-lompatan yang jauh ; belajar ilmu perbandingan agama (sampai tingkat doctoral) di Universitas Karachi, Pakistan, kemudian melanjutkan pendidikan di Faculty of Divinity & Islamic Studies di McGill University, Kanada. Ia banyak belajar, menyerap dan menularkan ilmunya. Mukti kerap menganjurkan oksidentalisme –gerakan untuk mempelajari Islam dari sudut pandang Barat-.

Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama pada November 1971, ia sempat melontarkan konsep “agree in disagreement” –atau sepakat dalam perbedaan- , dalam symposium di Goethe Institut Jakarta. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam Islam.

Pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama, kata Mukti, disadari oleh kenyataan satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan. Di Islam setidaknya ada empat madhab besar. Islam di Indonesia juga terdiri atas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Masyumi, dan Dewan Dakwah. Begitu pula umat agama non-Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan ini tak dikelola dengan baik, sangat berpotensi menjadi konflik.

Mukti Ali pula yang menawarkan pemahaman agama secara kontekstual atau bersifat sosio-historis. Suatu metode pemahaman terhadap kepercayaan, ajaran, atau keyakinan yang muncul dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan tempat kepercayaan, ajaran, atau keyakinan itu muncul.

Sebagai menteri, Mukti Ali tak dikategorikan sebagai ulama sebagaimana pendahulunya, KH. M. Dahlan, tapi sebagai “teknokrat” sejajar dengan Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Sebagai menteri, ia memperkenalkan program “pengembangan pesantren” dengan pendekatan community development. Juga mengusulkan pendidikan keterampilan dan kewiraswastaan di lingkungan pesantren. Melalui Departemen Agama, Mukti Ali juga mendukung program Keluarga Berencana.
Wartawan senior Syu’bah Asa (alm) menilai sepak terjang Mukti Ali sebagai menteri berhasil mengubah citra Departemen Agama menjadi lembaga yang lebih “bersahabat”. Maklum, sebelumnya Departemen yang dipimpin KH. M. Dahlan ini laksana orang tua yang gemar menghukum anak-anaknya.
Sebagai akademisi, Mukti Ali, yang wafat pada 5 Mei 2004, menulis beberapa karya monumental, seperti Al-qur’an dan Terjemahannya (anggota dewan penerjemah), Al-qur’an dan Tafsirnya (anggota dewan penafsir), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, serta Beberepa Persoalan Agama Dewasa Ini. ***  (Ref. :  Koran Tempo, C2).  

SUDRAJAT

Retrieved from: http://www.tempo.co/read/news/2011/08/05/186350162/Mukti-Ali--Penabur-Bibit-Toleransi

http://iqbal1.wordpress.com/2011/08/05/jejak-mukti-ali-penabur-bibit-toleransi/

Friday, February 1, 2013

Tokoh Ilmu Perbandingan Agama dan Pemikirannya

A. Pendahuluan
Agama mengajarkan ketenangan, keharmonisan, kedamaian dan tentunya menimbulkan sinergi positif dalam kehidupan beragama. Namun, tak jarang di temui ada konflik, perselisihan, bahkan kekerasan yang muncul karena agama atau mengatasnamakan agama. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, adakalanya konflik terjadi antar sesama agama yang memiliki sekte berbeda.
Terjadinya perbedaan pendapat mengenai aliran teologi dalam umat telah disampaikan oleh Nabi SAW dalam hadisNya, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tetapi hanya satu golongan yang akan selamat, golongan yang lain akan binasa”. Tentu timbul pertanyaan golongan manakah yang selamat itu? Rasulullah tidak memberikan jawaban dengan menunjuk golongan tertentu tetapi dengan memberikan kriteria golongan yang selamat tersebut. “(yaitu) orang-orang yang mengikuti sunnah dan al-jama’ah”.
Riwayat hadis diatas memberikan gambaran umum apa yang selalu terjadi di dalam umat Islam. Klaim kebenaran dan hak pemegang kebenaran sejati muncul dari setiap golongan dan seringkali diikuti dengan pertumpahan darah. Perenungan yang mendalam mengenai teks hadis dan fenomena yang terjadi seharusnya memberikan jalan keluar dari konflik yang berlarut-larut hingga kini. Secara faktual hadis diatas tidak tunjuk hidung dengan menunjuk golongan mana yang terselamatkan itu?. Hadis di atas memberikan penjelasan bahwa (1) adanya perpecahan dalam umat, (2) kriteria gologan yang selamat (3) keharusan untuk mengikuti al-sunnah dan al-jam’ah dan (4) al-sunnah dan al-jama’ah adalah apa yang Nabi dan para sahabat jalankan.
Selain faktor eksternal yang menjadi pokok penyebabnya, ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya. Padahal dalam setiap agama terdapat ajaran tentang kerukunan antar sesama. Untuk itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman antar umat beragama perlu kiranya sebuah disiplin ilmu tentang agama-agama yang ada di dunia ini, dalam hal ini kita kenal dengan ilmu perbandingan agama. Dalam tulisan saya kali ini saya tidak membahas tentang disiplin ilmu tersebut, melainkan saya hanya ingin mengemukakan beberapa tokoh yang ahli dalam ilmu perbandingan agama dan pemikirannya. Diantara tokoh-tokoh ilmu perbandingan agama tersebut antara lain adalah Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Ibnu Hazm dan As-Syahrastani.

B. Prof. Dr. H.A. Mukti Dan Pemikirannya
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali lahir di Cepu, 23 Agustus 1923. Semasa beliau masih kecil Sejak berumur delapan tahun, beliau mengenyam pendidikan Belanda di HIS. Baru setelah usianya menginjak 17 tahun beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Dengan kemampuannya dalam berbahasa inggris beliau melanjutkan studi Islam ke Universitas Aligarch, India setelah perang dunia ke dua hingga mendapat gelar doktor sejarah Islam sekitar tahun 1952 dan kemudian beliau melanjutkan studi ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar Master of Arts (MA). Beliau juga pernah menjabat sebagai staf Kedubes RI di Karachi. Sejak itulah gagasan pembaruan Mukti Ali sebenarnya telah terlihat jelas. Beliau kerap kali menulis soal-soal gagasan pembaruan keislaman Muhamamd Abduh dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Meskipun saat itu, beliau masih pada taraf membandingkan gagasan pembaruan kedua tokoh tersebut, namun benih-benih pembaruannya itu menjadi entry point penting kelak dalam perkembangannya. Mukti Ali cukup lihai dan cenderung mengintrodusir gagasan liberal Islam sedemikian rupa sehingga relatif tidak menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tidak sepaham dengannya.
Mantan rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, dinilai sebagian kalangan telah memberi perlindungan kepada Ahmad Wahib atau Harun Nasution yang dianggap sebagai pemikir liberal. Baginya, membiarkan pemikiran liberal tumbuh akan lebih menguntungkan dan kondusif bagi perkembangan Islam modern. Karena itulah dapat dipahami bila tokoh ini tidak mengkritisi liberalisme Islam yang dikembangkan para intelektual. Sebagai sekretaris M. Natsir, ketua umum Masyumi waktu itu juga membina dan mencoba merujukkan hubungan baik antara NU dan Muhammadiyah, serta mempelopori gerakan kerukunan antar-agama.
Tokoh yang bersih, jujur dan sederhana ini dilantik menjadi menteri agama pada 11 September 1971 menggantikan KH. M. Dachlan (Kabinet Pembangunan I) dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Saat itulah beliau menggagas model kerukunan antar-umat beragama untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional. Terapi yang digagas Mukti Ali dan diimplementasikan melalui Departemen Agama tersebut, secara mendasar dilandasi oleh prinsip keadilan Islam yang mempercayai tiga hal penting, yakni; kebebasan hati nurani secara mutlak, persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang kokoh. Setelah meneyelesaikan tugas sebagai Menteri Agama, lalu diangkat menjadi anggota DPA, tapi ia memutuskan tinggal di Yogyakarta agar kegiatan mengajar bisa kembali dilakukannya.
Gagasan dan pemikirannya ini tetap diteruskan oleh penggantinya, kala itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Bahkan kemudian dikembangkan menjadi konsep “Trilogi Kerukunan” yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Yang lebih menonjol adalah konsepnya tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut menjadi konsep ‘Kerukunan Hidup Antar umat Beragama’ di Indonesia.
Sepanjang hayatnya beliau dikenal sebagai intelektual Muslim yang tangguh, berwatak dan berpandangan luas, memiliki reputasi nasional dan internasional. Dia anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), anggota dewan riset internasional dan perintis organisasi Parlemen Agama Sedunia di New York. Dia orang pertama yang membuka jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Perbandingan Agama, barangkali satu-satunya di Indonesia. Dia memperkenalkan pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai ‘bapak ilmu Perbandingan Agama di Indonesia’.
Dalam memahami ilmu perbandingan agama ada kesulitan yang disebut “epoche”, yaitu ‘meninggalkan untuk sementara credo yang diyakininya dan masuk ke dalam credo agama lain yang ingin dipahaminya”, Mukti ali memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ini, yaitu dengan “pengalaman bergaul” atau “ mentransfer” pengalaman kita sendiri dalam meyakini dan menghayati agama yang kita peluk, ke dalam pemeluk agama lain dengan pengalamannya beragama.
Ilmu perbandingan agama seringkali disamaartikan dengan sejarah agama-agama, fenomenologi agama, ilmu agam-agama. Menurut mukti ali asal muasal ilmu perbandingan agama adalah ilmu agama-agama (science of religions atau religionswissenchaft). Dan dalam perkembangannya yang awalnya merupakan salah satu metode dari ilmu agama, akhirnya menjadi ilmu tersendiri.
Keistimewaan Mukti Ali, ia bisa menampilkan diri murni sebagai tokoh representatif umat Islam yang netral dari kepentingan kelompok. Dia bukan berasal dari organisasi NU, bukan pengurus Muhammadiyah, atau lainnya, dan bukan pula kader partai politik. Di samping itu, meski berpendidikan Barat, kharisma seorang mentri agama panutan umat tercermin pada sosok Mukti Ali. Bahkan beliau mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang diantara fungsi utamanya memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaaaan dan kemasyarakatan.
Hingga masa senjanya, beliau telah menulis puluhan buku, antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini; Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika; Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal; Ta’limul Muta’alim versi Imam Zarkasyi; Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam; Asal Usul Agama; dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.

C. Ibnu Hazm dan Pemikirannya
Selain Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, juga ada 2 tokoh pemikir Muslim yang meletakkan dasar-dasar Ilmu perbandingan agama, yaitu Ibn Hazm dan As-Syahrastani. Ibn Hazm adalah seorang Islam spanyol yang kakeknya adalah seorang Islam yang tadinya Kristen. Keadaan Spanyol yang terpecah-pecah menyebabkan Islam lebih mudah menguasai spanyol kembali. Pada tahun-tahun berikutnya pusat-pusat pemerintahan Islam jatuh di tangan Spanyol, misalnya: Toledo (1085), Cordoba (1236), Sevila (1248), dan akhirnya Granada (1492). Pada saat itulah beliau menulis bukunya yang berjudul Al-Fasl fil Milal wal Ahwa’ wal Nihal.
Buku tersebut terdiri atas empat jilid, dan merupakan serangan terhadap integritas Al-Kitab (Bibel) serta bantahan atasnya. Ia mengenal dan mengerti perjanjian lama dan perjanjian baru dalam beberapa terjemahan. Kutipan-kutipannya banyak banyak mengambil dari terjemahan bahasa Arab yang ditulis oleh Sa’id b. Ya’qub al-Fayyumi (nama arab dari sa’adiyah Gaon, 882-942). Ia juga mempunyai hubungan erat dengan seorang sarjana Yahudi yang bernama Samuel Halevy ben joseph b. Naqdala (meninggal di Granada 1055).
Dalam bukunya, Al-Fasl tersebut di atas, selalu ditunjukkan ketidakbenaran kitab orang Yahudi dan Kristen. Ia menyebutkan bahwa buku-buku yang diwariskan dan diterima oleh orang Yahudi itu sudah mengalami tahrif dan tabdil (penkorupsian teks dan perubahan isi), ia mengatakan bahwa kisah yang ada dalam kitab kejadian (Genesis) sudah dipalsukan, ia juga berpendapat bahwa kitab keluaran sudah dipalsukan. Masalah-masalah kronologis juga menarik perhatiannya karena tidak sesuai dengan realitas berdasarkan argument historisnya. Bahkan ia juga mengungkapkan keberatan-keberatan secara teologis dan menunjukkan bahwa Perjanjian lama itu bukan berasal dari Tuhan, begitu juga dengan perjanjian baru khususnya kitab injil bukan berasal dari Tuhan.

D. Asy-Syahrastani dan Pemikirannya
Sedangkan Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.
Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.
Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya. Asy-Syahrastani mempunyai beberapa buah kerya tulis diantaranya adalah: Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.
Jika dipandang dari segi pikiran dan kepercayaan, menurut Asy-Syahrastani manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.
Asy-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.
Dalam Bukunya Al-Milal wa Al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.
 
Retrieved from: http://ramadhan-el-fitherfiker.blogspot.com/2012/03/tokoh-ilmu-perbandingan-agama-dan.html

Thursday, January 31, 2013

Paving the way for interreligios dialogue, tolerance, and harmony: Following Mukti Ali’s path

Al-Jamiah Vol 50 No 1 2012 

Faisal Ismail
Sunan Kalijaga State Islamic University, Yogyakarta, Indonesia

Abstract
A known Indonesian Muslim scholar Mukti Ali (1923-2004) was very much concerned with dialogue, tolerance, and harmony among the people of different traditions, cultures, and religions. In his many academic works, he stressesed the importance of promoting, strengthening, and maintaining intercultural and interreligious dialogue, tolerance, and harmony. Not only did he produce various academic works, but also made efforts in putting his intercultural and interreligious ideas into practice. Both as a scholar and expert in the comparative study of religions and as Minister of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (1971-1978), Mukti Ali endlessly promoted intercultural and interreligiuos diologue, tolerance, and harmony. Realizing that Indonesia is a pluralistic society, Mukti Ali adopted an approach called ‘agree in disagreement’ in the effort of creating and supporting tolerance, harmony, and security among people of different religious traditions. This paper will highlight the principles and values which Mukti Ali struggled for during his long administrative and academic careers.

[Mukti Ali (1923-2004) adalah salah seorang intelektual Muslim ternama di Indonesia. Dia dedikasikan hidupnya untuk menyemai dialog, toleransi dan kehidupan harmonis antar tradisi, budaya dan agama yang beragam. Dalam berbagai karya akademiknya, Mukti Ali selalu menekankan pentingnya kehidupan harmonis dan toleransi antar pemeluk agama dan budaya. Lebih dari itu, dia melampaui hanya sekedar batas pemikiran dengan mengimplementasikan gagasan-gagasannya tersebut. Sebagai seorang ilmuwan dengan keahlian perbandingan agama dan sebagai Menteri Agama RI (19711978), Mukti Ali dengan kukuh memperjuangkan dialog, toleransi dan kehidupan harmonis antar agama dan budaya. Mukti Ali sadar, Indonesia adalah negara yang plural, karena itu dia menawarkan pendekatan “agree in disagreement” untuk menciptakan harmoni dan toleransi tersebut. Tulisan ini mengulas prinsip dan nilai yang diperjuangkan Mukti Ali selama karir akademiknya dan sebagai Menteri Agama.]

Wednesday, January 30, 2013

Prof.Dr.H.A. Mukti Ali tentang Ilmu Perbandingan Agama

A.     Biografi Mukti Ali

Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu perbandingan agama di indonesia. Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun persoalan sosio kultural.

Riwayat Hidup Mukti Ali

Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif.
Di kota itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923. dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang dialaminya waktu ia masih kecil.
Boedjono memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun 1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya.
Ditengah tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide politik.
Karir politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study, McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai mentri agama.
Pergumulannya didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia adalah disen di Fakultas  Ushuluddin, IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun 1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

B.     Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali

Meskipun Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas, semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947.
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra  Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi.
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama.

C.     Corak berpikir Mukti Ali

Di Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak wanita dan dialog antar umat beragama.
Hal terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith, yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama, dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia.  Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia. Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu, Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air.

D.    Karya-karya Mukti Ali

Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri.
Mukti Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
-         Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
-         “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
-         “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
-         “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung.

E.     Pengertian Ilmu Perbandingan Agama

Istilah Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam mengamati realitas agama.
 kata “Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama, sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain.
Dalam tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan  yang dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti. Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori evolusi Darwin Spencer.
Begitu pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh masyarakat modern. 
Displin Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama, hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
-         Ilmu Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
….. ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya, berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus difahami  sebagai alat yang berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan, tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan metode yang imateril.
Adapun objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen). Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun, bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai. Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode “sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer, sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz. Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti. Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip keterpaduan metode”.
Dalam hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan. Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.

1.      Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis) adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog: “agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis” disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif, melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan. Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis, sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif, menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2.      Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method) merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan “rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya. Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut  dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan  dalam aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan  perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan  warnanya yang  universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama  dan keberagamaan (religiousity). Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari dan dilukiskan secara sistematis.

3.      Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan.
Kedua, secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak jarang cukup patal.
Oleh sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi. Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia. Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness) perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan komplementer.
Maka kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama, maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”. Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama? Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar, seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen. Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth, yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan agama.
Maka metode religio-scientific merupakan pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog, dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya.
Maka sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen). Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Retrieved from: http://husnie85.blogspot.com/2011/01/prof.html