Sunday, May 15, 2011

Buya, fatwa dan kerukunan beragama


SURAT itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI). Menteri Agama membacakan isi surat itu Sabtu lalu di Bina Graha seusai menemui Presiden. Sebelumnya, yang pagi itu tidak mengenakan kopiah, membacakan naskah dua lembar tulisan tangannya pada para wartawan. Isinya tanggapan Pemerintah mengenai persyaratan mundur Hamka tersebut. Pemerintah berpendapat pengunduran diri Buya Hamka adalah hak seorang dalam negara demokrasi yang memang diakui dan dihargai.

"Maksud Buya mundur dari jabatan Ketua Umum MUI bukan untuk merusak MUI, apalagi merusak kesatuan dan persatuan. Sebab dalam pernyataan beliau, masih tetap bersedia membantu pemerintah," kata Alamsyah. Presiden percaya, lanjut Alamsyah, sebagai ulama besar Hamka akan tetap menyampaikan saran atau pertimbangan apabila perlu pada Presiden atau pemerintah.

Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka "jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri."

Mengapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. "Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar," katanya. Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981). Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI.

Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya "bocor"nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. "Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya," kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.

Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta izin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, "Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh." Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. "Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut .... Jadi sayalah yang mesti berhenti," kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya "kesalahpahaman" antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. "Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?" kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu "tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh."

HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional -- termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar. Fatwa dikeluarkan sebagai tanggungjawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian Aqidah Islamiyah, tanpa mengabaikan kerukunan hidup beragama. Di sinilah tampaknya letak perbedaan pandangan mulai muncul. Menteri Alamsyah pada pertemuannya dengan Komisi IX DPR 20 Mei lalu tentang fatwa MUI ini menegaskan, "Fatwa tersebut berisikan beberapa ayat Al Quran dan Hadis yang hanya dilihat dari segi aqidah saja, tidak melihat soal-soal lainnya. " Alamsyah mengingatkan, bahwa bangsa Indonesia terdiri dari pemeluk banyak agama. "Karenanya menghadiri perayaan agama lain dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain adalah layak, dan wajar, dan akan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta kerukunan hidup antar umat beragama," ujar Menteri di DPR pekan lalu itu. Namun, ditambahkannya, dalam perayaan yang bersifat ibadat, tidak perlu pemeluk agama lain hadir. Tapi Alamsyah mengakui, "Batasan mana yang ibadat dan mana yang cuma perayaan hingga bisa dihadiri umat agama lain memang belum ada," katanya pada TEMPO pekan lalu.

Departemen Agama, menurut dia, kini sedang mengumpulkan bahan dari ahli masing-masing agama tentang pembatasan tersebut. Setelah bahan itu terkumpul, barulah Departemen Agama akan mengeluarkan semacam pedoman. "Sasarannya toh tidak banyak, cuma pegawai negeri, karyawan dan anak sekolah," lanjutnya. Batasan ini memang penting, sebab yang diatur sebenarya adalah toleransi dan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Dalam situasi di mana masalah agama bisa menjadi sangat peka, dan bisa eksplosif, bisa dimengerti bila semua pihak -- termasuk pemerintah -- sangat berhati-hati menanganinya.

PERSOALANNYA rupanya bermula dari perayaan Natal bersama di beberapa daerah. Yang menjadi sumber keresahan kabarnya perayaan Natal di beberapa sekolah, yang mengharuskan siswa yang beragama Islam hadir, bahkan juga dipungut iuran. "Inilah yang sekarang sedang diurus. Artinya supaya cara-cara seperti itu tidak terulang kembali," kata Alamsyah. Sebab, menurut dia, yang dimaksud kerukunan bukanlah campur aduk yang serupa itu. Pedoman semacam itu sebetulnya sudah lama ada. Misalnya "fatwa" Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada sekolah umum negeri, Departemen Agama tanggal 11 Februari 1981 yang menegaskan siswa yang beragama Islam wajib menghadiri perayaan hari besar Islam atau upacara keagamaan. Siswa yang beragama Islam juga tidak diperkenankan ikut serta melakukan upacara keagamaan lain.

TNI-AD rupanya juga sudah mendahului. November 1980, Kepala Dinas Pembinaan Mental TNI-AD telah mengeluarkan instruksi tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Besar Keagamaan. Pertimbangan dikeluarkannya instruksi tersebut antara lain guna menghilangkan hambatan "masalah yang kelihatannya kecil tetapi mendasar dari segi keimanan masingmasing penganut agama." Menurut instruksi itu, penyelenggara an peringatan hari besar keagamaan suatu agama yang dihadiri juga oleh penganut agama lain, hendaknya diusahakan sedemikian rupa, hingga tidak menimbulkan masalah yang merepotkan kerukunan hidup antar umat beragama. Caranya menurut instruksi di kalangan Angkatan Darat itu pihak penyelenggara tidak mempersilakan penganut agama lain, meskipun sebagai kehormatan, melaksanakan kegiatan yang termasuk ibadat.

Pihak penyelenggara juga diwajibkan memberitahu saat akan diselenggarakan kegiatan ibadat tersebut, agar yang penganut agama lain diundang mengetahuinya. Instruksi ersebut dilampiri daftar kegiatan yang termasuk dan tidak termasuk ibadat Pada peringatan hari besar keagamaan Islam seperti Maulid Nabi atau Isra Mi'raj, yang dianggap termasuk ibadat adalah salam, pembacaan kitab suci Al Quran, salawat nabi dan doa. Sedang yang tidak termasuk ibadat antara lain pembukaan, ceramah, sambutan hiburan, penutup, serta "sikap berdiri pasif": tidak mengikuti acara ibadat .

Buat agama Kristen Protestan, yang termasuk ibadat adalah: tahbisan dan salam, penyalaan lilin, pujian atau nyanyian dan paduan suara, doa, pembacaan Al Kitab, khotbah dan renungan serta berkat. Sedang yang tidak termasuk ibadat, antara lain sambutan, hiburan, ramah tamah dan juga, "sikap berdiri pasif". Buat agama Katolik instruksi tersebut menjelaskan, semua acara yang bersifat ibadat dilaksanakan dalam acara khusus.

Pegangan di kalangan Angkatan Darat itu agaknya cukup praktis, jelas -- dan tak akan menimbulkan kerepotan. Tapi toh tampaknya belum ada pemahaman yang cukup tentang pembedaan ini. Di samping itu, rupanya masih adanya perbedaan pendapat. Misalnya yang tercermin dalam pendapat KH Misbach, Ketua MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal. "Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti kita sudah ikut bernatal," katanya. M nurut pendapatnya, "Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual. Di sini hadis, "Innamal a'malu binniat (Segala perbuatan itu dinilai dari motifnya) tampaknya tidak bisa diterapkan," ujarnya.

Kalangan Kristen sendiri mengakui, "Bagi golongan Protestan, antara ritual dengan yang seremonial tak bisa dipisahkan: keduanya merupakan satu keutuhan," ujar Dr. SAE Nababan, Sekjen Dewan Gereja Indonesia (DGI). Menurut dia, Natal merupakan perayaan yang mempunyai makna yang sesuai dengan apa yang dipercayai. "Tak ada pembedaan antara ritus dengan seremoni. Bahkan istilah itu tak dipakai. Yang dipakai adalah perayaan dan ibadat. Dalam perayaan ada ibadat ," kata Nababan.

Tapi dari kalangan Katolik nampaknya ada perbedaan. Dr. J. Riberu, Kepala Bagian Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), misalnya mengatakan: "Bagi kami orang Katolik, baru disebut ibadat atau kultus, jika diadakan dalam rangka ekaristi suci, jika ada Imam yang mempersembahkan kurban misa. Dan ini diwujudkan dengan seremoni tertentu," kata Riberu. Di luar itu, biarpun pakai lilin - yang hanya untuk menyemarakkan saja -- adalah "nonkultus". Ini biasanya diadakan sesudah yang benar-benar ibadat dijalankan dan sekedar merupakan perayaan keluarga atau kewargaan. Melihat berbagai pandangan tadi, yang cukup berbeda, pedoman tentang mana yang batasan ibadat dan yang tidak memang tampaknya perlu.

Tak ada yang ingin melihat retaknya kerukunan antar umat beragama hanya karena persoalan ini. Dan untuk kerukunan itu, betapa pun terbatasnya peran MUI, ia tetap diperlukan sebagai jembatan (lihat: MUI, Kisah Sebuah Jembatan). Lalu, apa yang terjadi setelah pengunduran diri Hamka "MUI akan jalan terus," tegas EZ Muttaqien. Sampai terpilihnya ketua umum baru, pimpinan MUI akan dipegang secara bergiliran antara ke enam ketua MUI. Giliran pertama dipegang oleh KH Hasan Basri. Rapal pengurus paripurna untuk memilih ketua umum itu diharapkan berlangsung sebelum bulan Ramadhan. Ketua MUI yang lain, H. Soedirman, mengharapkan agar dengan berhentinya Buya Hamka, MUI bisa mawas diri dan melahirkan semangat baru. "Sebab selama ini MUI hanya lebih dikenal Buya Hamkanya," katanya. "Saya pribadi menghendaki agar MUI bisa berbuat lebih banyak."

Thursday, May 5, 2011

Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif

Membangun Paradigma Keilmuan Interkonektif

Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif
03/10/2006

Penulis: Prof. Dr. Amin Abdullah, Cetakan: I, Februari 2006, Tebal: XX+434 Halaman, Peresensi: M. Yunus Bs.*

Diakui atau tidak, hingga saat ini hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan masih ibarat dua jalur yang antara satu sama lain belum menemukan titik perjumpaan. Keterpisahan antara dua disiplin itu lalu menciptakan suatu justifikasi yang sesat bagi masyarakat, bahwa keduanya memang tidak pernah dan tidak akan bertemu sampai kapanpun. Dari kesimpulan itu, mereka lalu membangun frame konseptual untuk memperkokoh keterpisahan agama dan ilmu pengetahuan, yang kemudian dikerucutkan pada pembagian fungsi, peranan dan wilayah kerja masing-masing. Semisal, agama itu hanya meliputi konsep-konsep eskatologi, ketuhanan, kenabian, akidah, fiqh, tafsir, hadist dan sebagainya.

Disiplin-disiplin itu dinilai sebagai representasi agama karena menyangkut hal-hal yang sangat “fundamental” pada diri manusia relasinya dengan Tuhan, nabi dan kitab suci. Lepas dari tiga relasi itu berarti tidak termasuk dalam kategori agama. Makanya, ilmu pengetahuan kemudian dijadikan sebagai sebuah bangunan “disiplin yang umum” untuk mewadahi disiplin-disiplin yang tereliminasi dari disiplin agama, seperti ilmu-ilmu humaniora, biologi, psikologi, fisika, sejarah, filsafat, ekonomi dan seterusnya.

Begitu parahnya pendikotomian tersebut, sampai-sampai dipertajam lagi melalui pendekatan struktural-politis, yaitu dengan mendirikan Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) dan Departemen Agama (DEPAG) di awal kemerdekaan negara ini. Berdirinya dua departemen ini secara otomatis semakin mempertebal kesalahan epistemologis dalam bentuk dikotomi pendidikan di atas. Terutama pada kurun tahun 1990-1997, keterpisahan atau diskontinuitas antara agama dan ilmu pengetahuan tampak begitu gamblang.

Jangankan dua disiplin tersebut, bahkan dua sisi keberagamaan, yakni sisi normativitas dan historisitas sekalupun juga mengalami ketegangan yang begitu parah. Hal itu disebabkan besarnya pengaruh yang ditimbulkan kesalahan epistemologis di atas dalam memandang hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Anehnya lagi, ketegangan itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan tingkat bawah, seperti Sekolah Dasar (SD), SMP, dan SMU, akan tetapi pun terjadi di tengah-tengah masyarakat akademik atau perguruan tinggi terutama yang berlabel Islam. Aneh tapi nyata, itulah kesan yang tampak pada masyarakat akademik yang seharusnya lebih berpotensi untuk menyadarkan masyarakat lainnya, namun ternyata juga mengindap penyakit yang sama.

Atas dasar keresahan itulah, Prof. Dr. Amien Abdullah melalui buku “Islamic Studies; Pendekatan Integratif-Interkonektif” ini melakukan upaya dekonstruksi atau merombak ulang untuk kemudian ditata kembali konstruk berpikir masyarakat dalam melihat agama relasinya dengan ilmu pengetahuan. Melalui buku ini, Amin hendak menawarkan satu konsep yang isebut dengan the Spiderweb of Interconnectivity Between Islamic Studies, Humanities and Social Sciencies. Asumsi dasar yang diusung konsep ini adalah, bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama Islam dan agama-agama lainnya), keilmuan sosial, humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain. Sebab, ketika bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi, maka cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness alias pola pikir yang amat sempit dan menyempitkan bagi yang lain (hlm. 102).

Katakanlah dalam menyikapi persoalan sosial, ketika bangunan keilmuan yang digunakan adalah bangunan keilmuan agama (Islam) ansich, maka yang akan tejadi adalah disparitas analisis yang secara otomatis juga akan berimbas pada cara pemecahannya. Sebagai misal, kasus Lia Aminudin yang belum lama ini kembali menggemparkan seantero Indonesia. Jika menggunakan kaca mata agama (Islam), Lia jelas murtad alias keluar dari ajaran agama Islam, untuk itu halal bagi setiap umat Islam lainnya untuk membunuhnya. Tapi bagaimana dengan tanggapan orang lain ketika mereka menggunakan kaca mata yang berbeda, semisal kaca mata psikologi?

Perbedaan-perbedaan cara pandang semacam inilah yang kemudian coba dirangkum oleh Amien dalam konsep atau paradigma integratif-interkonektif di atas. Lebih jelasnya, secara aksiologis paradigma integratif-interkonektif hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, lebih terbuka, dialogis dan transparan. Untuk itu, ada tiga entitas yang harus dibangun di bawah payung paradigma interkonektif di atas, yaitu hadarah an-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks-bayani), hadarah al-‘ilm (b

Retrieved from: http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=8304

Sunday, May 1, 2011

Passing Over Melintasi Batas Agama

Judul : Passing Over Melintasi Batas Agama

Kategori : Buku

Jenis : Agama dan Kepercayaan

Penulis : Nurkholish Madjid dkk

Editor : Komarudin Hidayat

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun : 1998

Isi : 464 Halaman

Akhir-akhir ini wacana mengenai hubungan antar agama begitu hangat dibicarakan. Apalagi ketika masa pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur) telah memperjelas isu ini dan bukan hanya sekedar isu belaka melainkan beliau menjadi lakon yang nyata atas wacana itu. Meskipun dalam faktanya beliau seringkali digugat oleh sebagian orang dan sekaligus sebagai tokoh yang kontroversi dikalangan umat Islam. Tidak hanya Gus Dur, beberapa tokoh pluralisme lain misalnya Cak Nur, M. Quraish Shihab, Komarudin Hidayat, Barbara Brown, Liang Wenfung dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang memperbincangkan diskursus ini. Bagaimana mereka mengajukan gagasan-gagasan dengan mencari titik temu diantara agama-agama melalui pendekatan dialog antaragama.

Sangat amat naif jika ada seseorang yang hanya memandang satu agama dari beberapa agama sebagai klaim bahwa agamanya-lah yang paling benar bahkan pada tingkatan yang paling ekstrim menganggap bahwa selain agamanya-lah akan masuk Neraka. Kecenderungan ini tentunya menggunakan tolak ukur yang dipakai adalah tidak seimbang dengan takaran semestinya. Hal ini terjadi karena doktrin agama yang dipahami seseorang terkadang tidak melihat (bahkan menutup diri) dengan kondisi masyarakat yang kompleks apalagi ketika dihubungkan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara yang multi-etnis, kultur dan agama. Tetapi jika kita melihat Negara lain, saya kira Indonesia belum-lah dikatakan sebagai Negara yang Multikultur, karena Masyarakat Indonesia masih belum bisa mengaplikasikan konsep multikultur, bisa kita lihat ketika ada suatu konflik masyarakat yang disebabkan hanya karena masalah suku bahkan membawa nama agama sebagai dalih untuk berbuat sesukanya.

Sebuah buku yang berjudul Passing Over; Melintasi Batas Agama telah memberikan gambaran yang utuh mengenai hubungan antar agama-agama. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa artikel yang ditulis oleh tokoh-tokoh pluralisme seperti yang telah di sebutkan diatas. Disana telah dijelaskan beberapa tema dimulai dari dialog Agama, masalah Agama, kebebasan Agama, Agama-Agama dunia dan terakhir hubungan antar-Agama.

Dalam tema yang pertama, buku ini menjelaskan tentang isu-isu seputar dialog antar-Agama. Pada bagian ini Cak Nur (Nurkholish Madjid) menyatakan bahwa inti dari semua Agama adalah sama yakni ketundukan kepada Tuhan yang maha Esa. Beliau memandang bahwa suatu keharusan (terutama bagi umat Islam) untuk mengadakan dialog antar-Agama. Pandangan seperti itu diperkuat dalam tulisan Gus Dur (Abdurahman Wahid) bahwa umat Islam masih belum bisa melakukan pendekatan ini, karena dari segi internal dialog antar-Agama hanyalah menjadi isu guyon belaka. Terbukti ketika pertentangan dikalangan umat Islam sendiri mengenai pemahaman sebuah teks Agama yang selalu diperdebatkan dan tak pernah ada habisnya.

Memasuki tema yang kedua membicarakan tentang kebebasan beragama yang ditinjau dari beberapa sudut pandang seperti Djohan Effendi memulai tulisannya dengan menghubungkannya jaminan konstitusional bagi kabebasan beragama. Menurutnya masalah kebebasan Agama tidak hanya berkaitan dengan “penghormatan” belaka, tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai keberagaman itu sendiri. Lebih menarik lagi ketika Suwoto Mulyosudarmo melihat kebebasan beragama dengan menggunakan konsep Hak Asasi Manusia dan mempermasalahkan tentang Organisasi Negara yang dianggap sebagai masalah dasar dalam kebebasan Agama. Kemudian diteruskan oleh Cak Nur dan Quraish Shihab yang mendukung penuh gagasan pluralisme dan kekebasan beragama dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta mengkontekskannya ke dalam kondisi masyarakat Indonesia.

Dalam tema yang ketiga disinggung beberapa gagasan mengenai kesatuan Agama, perbandingan Agama, dan pengalaman Agama yang merupakan pengembangan dan perluasan dari tema-tema sebelumnya. Editor (Komarudin Hidayat) dan Syamsudin memulainya dengan pembahasan mengenai interelasi dan interaksi Agama-Agama di Dunia. Mereka berdua bersepakat bahwa dengan adanya interaksi antar-Agama akan membawa Dunia menuju Konvergensi.

Masih dalam tema ketiga Kautsar Azhari menjelaskan tentang perbbandingan Agama. Ia memandang bahwa perlu mencari keparalelan dari gejala-gejala dan bentuk-bentuk keagamaan sampai pada penutupan, Kautsar membawa pembaca mengenalkan lebih dekat tentang Agama-Agama melalui sebuah cerita yang pernah ia alami. Kemudian diperkuat dengan cerita Darius Dubut yang melakukan “Ziarah Religius” (Passing Over) dengan berharap akan memperkaya pengalaman keagamaan.

Pada tema yang keempat (bagian terakhir) merupakan penjelasan dan pelengkap dari tema-tema sebelumnya. Dalam hal ini akan dibahas mengenai hubungan antar-Agama dengan memberikan sebuah kasus mengenai hubungan Islam dan Kristen serta Islam dan Yahudi. Alwi Sihab secara mendetail menerangkan hubungan Islam dan Kristen, bagaimana kedua Agama tersebut diungkap melalui masalah-masalah yang terjadi sekaligus memberikan solusi atas masalah tersebut berupa perlunya “Etika Dialog” atau “Aturan Main”. Sedangkan dalam masalah Islam dan Yahudi dijelaskan oleh Hamid B dengan pendekan kesejarahan. Ia menjelaskan bahwa hubungan kkedua Agama tersebut menjadi rusak disebabkan karena masalah politik.

Buku ini penting untuk dibaca karena kontennya sangat berisi dan berbobot malah harus bagi Islam fundamentalis. Tidak penting gagasan seperti apa yang akan dituangkan oleh penulis, setidaknya ada upaya memperkaya “pengalaman keagamaan” (istilah yang digunakan Darius Dubut). Tidak penting untuk mendalami tulisan penulis tetapi sebagai bahan introspeksi dir mungkin akan sangat berpengaruh dan berguna.

peresensi: Taufiq Hidayatillah

http://immanyogyakarta.wordpress.com/2011/03/05/passing-over-melintasi-batas-agama-resensi/