Wednesday, July 13, 2011

Hubungan antar agama: Kemajemukan Minus Toleransi


Oleh: Achmad Munjid

Penggerudukan terhadap Lembah Karmel di Cianjur, Jawa Barat, oleh sejumlah kelompok umat Islam beberapa hari lalu (Tempo Interaktif, 20 Juli) telah memaksa Komunitas Tritunggal Mahakudus mengurungkan konferensi internasional bertajuk "Kobarkan Api Kristus", yang hendak mereka gelar pada 24-29 Juli 2007. Bagi saya, peristiwa ini adalah alamat buruk tentang kian pudarnya toleransi di tengah masyarakat kita. Sekaligus, ini adalah ancaman serius terhadap pluralitas kehidupan sosial kita yang mendesak untuk diatasi.

Betapapun, peristiwa Lembah Karmel tersebut adalah cermin dari watak pasang-surut hubungan antarkomunitas agama, terutama muslim-Kristen, di Tanah Air yang dipengaruhi macam-macam faktor. Karenanya, faktor-faktor itu, berikut kaitannya satu sama lain, perlu dikenali dengan cermat jika antagonisme antarpemeluk agama hendak dihindari. Dalam kasus Lembah Karmel, sekurangnya empat faktor berikut perlu diperhatikan.

Pertama, corak keberagamaan. Kita tahu, bersama Banten, Garut, Tasikmalaya dan beberapa wilayah lain, Cianjur adalah daerah yang memberlakukan peraturan daerah syariah. Penelitian International Center for Islam and Pluralism atas 20 pesantren di 10 kabupaten pada 2005 lalu mengungkapkan bahwa umat Islam di sejumlah wilayah Jawa Barat, termasuk Cianjur, memang memiliki corak keberagamaan yang cenderung normatif atau formal. Ini sekaligus sedikit menjelaskan mengapa dulu gerakan Darul Islam berhasil membangun kantong-kantong kekuatan di sana.

Perlu ditegaskan, kenormatifan atau formalisme keberagamaan ini bukanlah kesimpulan yang bisa digeneralisasi untuk menilai sebagian besar muslim Jawa Barat, bahkan Cianjur. Ia juga bukanlah merupakan watak kultural yang secara historis diandaikan tidak berubah. Poin saya: laku kerasnya perda syariah di banyak wilayah Jawa Barat tentu mengucapkan adanya kebenaran tentang kuatnya kecenderungan formalisme agama di sana. Ini perlu disadari jika pergaulan sosial yang menyangkut aspek agama hendak dikembangkan secara konstruktif.

Kedua, faktor permainan politik. Yang lebih peka menangkap kecenderungan tersebut biasanya justru kaum politikus. Sebab, formalisasi agama memang empuk sebagai komoditas politik. Tapi jelas pula, di tengah kemajemukan masyarakat kita, ia sungguh amat rentan memicu konflik. Di Cianjur, komitmen pada perda syariah yang kemudian dirumuskan sebagai Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah (Gerbang Marhamah) telah mengangkat sekaligus menyingkirkan Wasidi Swastomo sebagai bupati (periode 2001-2006).

Alih-alih meraup dukungan dari semua golongan, akibat mengeluarkan izin perluasan Lembah Karmel pada semester terakhir masa jabatannya, oleh kalangan muslim pendukungnya ia justru dianggap telah mengkhianati komitmennya pada proyek Gerbang Marhamah. Akibatnya, ia tak hanya gagal meraih kursi bupati periode berikutnya, hubungan muslim-Kristen di Cianjur pun memburuk. Penggerudukan terhadap lokasi wisata ziarah keagamaan itulah buktinya.

Ketiga, kekurangpekaan para pemimpin agama. Dalam kasus Lembah Karmel, bisa jadi sejumlah unsur berikut ini telah membentuk kombinasi khas yang bersifat kebetulan: kegersangan batin kalangan menengah-atas (segmen utama pengunjung Lembah Karmel), tawaran penyembuhan dan pesona kehidupan rohani komunitas Katolik beraliran Karismatik itu, latar etnis pendiri utama komunitas Tritunggal Mahakudus, serta lingkungan asri berhawa sejuk pegunungan. Semua itu mendukung terbentuknya Lembah Karmel sebagai oasis spiritual orang-orang kaya dan "istana pertapaan" yang hampir ideal.

Namun, bukankah di tengah dusun-dusun berpenduduk mayoritas muslim yang rata-rata miskin, arsitektur khas Kristen yang berdiri megah di area puluhan hektare dan hilir-mudik kendaraan mewah para pengunjungnya sangat potensial menyulut kecemburuan? Tentu masyarakat sekitar bukan tidak diuntungkan secara ekonomi. Tapi, jika faktor kecemburuan ini dibiarkan, ia menjadi bara dalam sekam yang dengan mudah terus membesar.

Hal yang sama juga terjadi ketika dilakukan entah oleh pihak muslim ataupun kelompok lain. Islamic Center di Manokwari, yang menyulut pengibaran bendera Kota Injil beberapa waktu lalu, adalah contohnya. Lagi pula, di tengah kubangan kemiskinan sebagian besar umat, mengapa kita harus begitu mementingkan pembangunan "istana peribadatan" yang kelewat megah? Bukankah Yesus Kristus dan Nabi Muhammad justru hidup dan mati dalam keadaan miskin?

Dalam kehidupan sosial yang serba sulit seperti sekarang ini, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin agama yang memiliki kepekaan sosial, baik dalam kaitannya dengan kenyataan internal umat sendiri maupun dalam hubungan dengan komunitas lain.

Keempat, kurangnya komunikasi terbuka antarkomunitas. Kejadian Lembah Karmel sekaligus memperlihatkan betapa komunikasi antarkomunitas yang berlangsung selama ini bersifat amat terbatas, sebatas permukaan, semu, dan karenanya sama sekali tidak memadai. Akibatnya, kecurigaanlah yang lebih menjadi mekanisme relasi antarkelompok. Dalam situasi demikian, informasi tentang pihak lain sering kali beredar secara sepotong-sepotong, manipulatif, salah, dan menyesatkan. Pihak-pihak yang berbeda saling berbicara baru ketika timbul soal untuk dipercekcokkan.

Saya hampir yakin, ratusan orang yang menggeruduk Lembah Karmel itu digerakkan terutama oleh informasi yang menyesatkan atau kabar yang sengaja digemparkan buat menyulut bara ketegangan yang sudah lama tersimpan. Lebih celaka lagi, akibat deraan krisis yang berkepanjangan, kini bermunculan kelompok-kelompok agama yang sibuk mencari dalil demi mengumbar kemarahan dan menebar kebencian atas siapa saja yang bisa ditaklukkan.

Toleransi dan dialog

Mari kita akui sekarang bahwa bahkan syarat minimal terpeliharanya masyarakat yang plural pun ternyata kini tidak kita punyai: toleransi. Toleransi yang dimaksud di sini adalah apa yang disebut John Rawls (1987: 12) sebagai "metode pengelakan" (method of avoidance) bersisi ganda. Yakni, mengelak dari pemaksaan keyakinan sendiri atas orang lain dan tidak menolak orang lain memeluk dan mempraktekkan keyakinan mereka.

Padahal toleransi ini saja tidak cukup untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat plural yang demokratis. Agar toleransi tidak berubah menjadi sarana alienasi, ia harus disertai pergumulan kritis (critical engagement) setiap pihak dalam rangka membentuk dunia bersama yang terbaik. Untuk itu, kita butuh dialog terbuka yang bertumpu pada solidaritas intelektual dan sosial sekaligus (David Hollenbach, 1998: 13-5).

Solidaritas intelektual adalah kehendak yang sungguh-sungguh dan adil dalam memperlakukan kehadiran pihak lain, termasuk dalam berdebat. Sedangkan solidaritas sosial adalah kehendak tulus untuk menerima pihak lain sebagai sesama warga berikut hak-hak dan kewajiban yang harus dipelihara.

Dalam kaitan inilah sesungguhnya kita amat membutuhkan komunikasi dan dialog antaragama, baik di kalangan para pemimpin maupun kaum awam. Bagi bangsa yang tengah terseok akibat lilitan rupa-rupa persoalan, dialog agama yang kita perlukan bukan terutama percaturan, apalagi perbantahan, teologis dan filosofis, melainkan dialog yang dalam istilah Paul F. Knitter (1995:17) bersifat soteriocentric. Yakni dialog, baik verbal maupun sosial, yang terutama bertujuan mengatasi pelbagai persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab bersama setiap komunitas agama, seperti kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, kesenjangan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan sosial dan gender, kerusakan lingkungan, serta perdagangan manusia dan lain-lain.

Dengan bersama-sama menggarap isu nyata bersama itulah kita akan mampu menerjemahkan hakikat nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial. Kehadiran dan perjumpaan dengan pihak lain bukan saja tidak menjadi ancaman, tapi menjadi anugerah yang wajib disyukuri sepenuh hati dalam proses indah mendendangkan lagu kebenaran.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/07/30/Opini/krn,20070730,52.id.html

Achmad Munjid
Kandidat Doktor Bidang Religious Studies, Temple University, Philadelphia, USA

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Tempo
Tanggal: 30 Jul 07
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8472&coid=1&caid=34
Copyright © 2007 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Relasi Islam-Vatikan


Oleh: Ahmad Munjin

Masih segar dalam ingatan kita ketika di sejumlah negara muslim, termasuk Indonesia, terjadi protes yang cukup masif sebagai reaksi terhadap kartun Nabi Muhammad SAW yang diidentikkan dengan teroris dalam sebuah majalah di Denmark. Protes masif itu kini terjadi lagi, menyusul pernyataan Paus Benediktus XVI mengenai Islam yang disamakan dengan kekerasan dalam pidatonya di Universitas Regensburg, Jerman.

Sementara itu, sejumlah aksi demo terus terjadi di sejumlah tempat. Di Basrah, Irak, massa membakar boneka Paus dan mendesak adanya permintaan maaf dari Paus. Di Kashmir, India, warga melakukan mogok kerja sehari sebagai protes terhadap pernyataan Paus.

Aksi demo itu dilengkapi dengan kritik yang dilontarkan media massa Timur Tengah. Harian Al-Yom di Arab Saudi dan harian Ash-Sharq di Qatar mensinyalir bahwa pernyataan Paus itu menguatkan genderang perang yang ditabuh kubu ultrakanan Amerika Serikat. Lebih jauh, pidato itu juga dianggap menambah rangkaian tuduhan fasis, teroris, dan ekstremis yang dialamatkan kepada umat muslim serta publikasi serangkaian kartun yang menghujat Nabi Muhammad SAW.

Terlepas dari apakah Paus lupa atau sengaja, pernyataan itu telah membangkitkan ketegangan antarumat manusia dan agama yang tak terhindarkan lagi.

Sebenarnya, kalau yang membuat pernyataan itu orang biasa, yang tidak memiliki posisi penting dalam struktur agama, ruang, dan simbol tertentu, mungkin pernyataan itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Yang menjadi masalah adalah pernyataan itu dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI sebagai simbol pemimpin tertinggi dalam struktur agama Kristen Katolik.

Kekerasan tanpa belas

Memang perlu diakui dengan penuh kejujuran bahwa dalam Islam, dan juga agama lain, secara normatif dan positif (sosiologis) ada potensi kekerasan. Tapi, jangan lupa, Islam juga memiliki embrio-embrio perdamaian sejati. Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Agama (2003), agama memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan supertisi; menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri rohani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Kendati agama memiliki dua dimensi yang bertentangan, tidak lantas dapat diinterpretasikan secara tekstual dengan melepaskan konteksnya. Saya kira kearifan ini harus dimiliki oleh pemuka-pemuka agama, termasuk Paus Benediktus XVI, kecuali kalau pemuka-pemuka agama itu memang secara terbuka menginginkan peperangan. Agama adalah satu-satunya faktor yang sangat sensitif untuk dijadikan bahan bakar konflik.

Faktor ini terbukti ketika permintaan maaf Paus Benediktus XVI, 17 September lalu, ternyata belum meredakan kemarahan sejumlah kelompok muslim. Di Yordania, Nasser Jawdeh, juru bicara pemerintah, mengharapkan lebih dari itu (minta maaf). Sementara itu, di Somalia, suster asal Italia, Leonella, 66 tahun, tewas ditembak di Mogadishu, 17 September. Di Palestina, tujuh gereja diserang. Di Malaysia, Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar meminta Paus lebih dari sekadar minta maaf. Begitu juga di Mesir, yang diwakili Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi Mesir.

Di Iran, Ali Khomeini, pemimpin spiritual Syiah Iran, menuduh Paus sebagai "mata rantai" konspirasi Amerika Serikat dan Israel, yang bertujuan menciptakan konflik antaragama. Yang lebih berbahaya lagi, di Irak, jaringan Al-Qaidah bakal mengobarkan jihad sampai Barat dikalahkan. Tentara Mujahidin dan Liga Jihad Irak mengancam akan membalas pernyataan Paus.

Undangan dialog

Namun, di atas semua itu, sebelum kerugian yang lebih besar terjadi, sebagai implikasi dari pernyataan Paus itu, kaum muslimin di Indonesia pertama-tama harus mengedepankan sikap yang lebih rasional ketimbang emosional. Semua protes harus dilakukan secara prosedural. Hal ini paralel dengan apa yang diharapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya di Havana, Kuba. Meski menyesalkan pernyataan Paus itu, Yudhoyono mengajak rakyat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, menahan diri, sabar, serta menjaga persatuan dan kerukunan beragama agar betul-betul bisa dibangun situasi yang lebih harmonis.

Kedua, para tokoh agama Islam bersama-sama dengan agama lain mesti segera melakukan dialog secara terbuka, penuh kejujuran, dan saling menghargai agar bisa meredam perasaan emosi umat Islam yang sedang tersinggung.

Jadi permintaan maaf Paus sekaligus penyesalannya atas pernyataan itu sudah tepat dan harus disikapi dengan penuh empati oleh kaum muslimin. Soalnya, Paus sendiri telah menjelaskan dengan sebenarnya bahwa pidatonya itu merupakan sebuah kutipan dari sebuah teks abad pertengahan yang tidak mencerminkan pendapat pribadinya. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa keseluruhan pidatonya merupakan sebuah undangan untuk dialog yang terus terang dan tulus, dengan saling menghormati.

Ketiga, apabila yang dilakukan kaum muslimin adalah sifat emosional dan reaksioner, justru inilah yang akan lebih menegaskan dan mengafirmasi bahwa Islam memang agama kekerasan. Dengan pernyataan Paus ini, Barat justru akan mengetahui peta radikalisme Islam dengan niscaya. Peta ini tentunya satu paket dengan perang Amerika Serikat terhadap terorisme. Pada hemat penulis, inilah keadaan paling buruk jika umat Islam tidak bersikap dewasa dalam merespons setiap polemik yang terjadi antara Islam dan Vatikan.

Ke depan, pemuka-pemuka agama harus bisa mengedepankan sisi-sisi perdamaian dari agama ketimbang memperuncing aspek kekerasan dalam agama. Agama-agama harus sepenuhnya menghargai berbagai bentuk perbedaan normatif ataupun sosiologis sebagai ekspresi keyakinan beragama dengan semangat saling menghargai, terbuka, dan menjunjung tinggi kebebasan semua pemeluk agama. Namun, semua itu harus dilakukan dengan tetap bertumpu pada agama masing-masing sebagai agama yang paling benar dalam kewajarannya sebagai umat beragama.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2006/09/22/Opini/krn,20060922,70.id.html

Ahmad Munjin
Peneliti Muda Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Tempo
Tanggal: 21 Sep 06
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=6799&coid=1&caid=34
Copyright © 2006 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Integrasi China dan Muslim


Oleh: Azyumardi Azra

Masyarakat China Indonesia baru saja merayakan Tahun Baru Imlek 2558, bertepatan dengan Minggu,18 Februari 2007 M atau 30 Muharam 1428 H. Sebagian mereka memeluk agama Islam.

Sebagian dari mereka telah merayakan Tahun Baru Masehi 2007 dan sebagian lainnya memperingati Tahun Baru Hijriah (Sabtu 20 Januari 2007).Jadi,masyarakat China Indonesia memperingati tiga tahun baru sekaligus; Tahun Baru Imlek,Tahun Baru Masehi, dan Tahun Baru Hijriyah.

Bagi masyarakat China, baik di mainland maupun di perantauan (overseas) khususnya di Kawasan Nanyang (Nan- Hai), laut selatan atau Nusantara, dan lebih khusus di Indonesia, Islam sebenarnya secara historis bukanlah sesuatu yang baru. Di mainland, Islam bahkan dipercayai telah berkembang sejak abad pertama hijriyah atau abad ketujuh, dibawa pertama kali oleh sahabat Nabi SAW, Sa'ad ibn Lubayd, yang sering diidentikkan dengan Sa'ad ibn Abi Waqqas.

Lebih dari itu, identitas Sa'ad ibn Lubayd al- Habsyi sendiri tidak diketahui pasti. Terlepas dari kesulitan identifikasi tentang Sa'ad ini, kontak antara Dunia Islam khususnya Arabia,dengan China berjalan cukup intens. Selama 90 tahun masa Dinasti Umaiyyah, tak kurang dari 17 duta muslim muncul di istana China.

Mereka diikuti sekitar 18 duta yang dikirim penguasa Dinasti Abbasiyyah dalam periode 750–798.Kunjungan-kunjungan ini mendorong perkembangan Islam sehingga terbentuklah koloni Ta Shih di Kanfu (Kanton). Selain itu, terdapat koloni muslim yang cukup besar sejak pertengahan abad ke-8 di Pulau Hainan dan Kota Yang Chou.

Jejak Historis

Hubungan antara Nusantara dengan mainland China sudah terjalin sejak masa pra-Islam sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting.Sumbersumber China, bahkan memberi informasi- informasi cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Riwayat perjalanan pendeta-pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuza (Sriwijaya) pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia di sana.

Riwayat pengembara Chau Ju-Kua juga memberitakan adanya "koloni Arab" di pesisir barat Sumatera, paling mungkin di Barus. Sumber-sumber China ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang dikenal dalam sejarah Nusantara. Berkaitan dengan intensitas hubungan antar-Samudera antara Arabia- Nusantara dan "koloni muslim" di China, tidak heran kalau kemudian ada teori tentang asal-muasal Islam di Nusantara yang "turun dari wilayah China",seperti dikemukakan Slamet Mulyana.

Mengingat teori saya tentang sumber dan asal Islam di Nusantara seperti "mata air dari sebuah sungai", maka boleh jadi juga terjadi trickle down Islam ke Nusantara dari beberapa koloni muslim yang ada di China. Dan, ini misalnya terlihat dari riwayat mengenai Laksamana Cheng Ho (Zheng Ho, disebut pula sebagai Haji Sam Bo Po) yang mengadakan pelayaran pada sekitar 1405–1433.

Zheng Ho yang bahkan diklaim sebagai keturunan ke-37 Nabi Muhammad Saw itu meninggalkan warisan masjid yang lebih dikenal sebagai klenteng Sam Po Kong di Semarang, Jawa Tengah. Selain Zheng Ho, masih terdapat sejumlah pengembara, pelaut, dan pemukim China muslim yang sayangnya riwayat mereka sangat sulit diverifikasi secara akurat.

Mereka mencakup, misalnya Haji Mah Hwang dan Haji Feh Tsin, anggota angkatan laut China yang dikatakan sering salat di masjid Semarang, Haji Boh Tak Keng asal Champa, Haji Gan Eng Cu di Tuban,Jin Bun yang dikatakan adalah Raden Patah (Demak), Tung Ka Lo yang diklaim sebagai Sultan Trenggana,dan sebagainya. Pada masa prakolonial, orang-orang atau komunitas China beserta unsur budayanya lambat laun melebur dengan unsur-unsur lokal.

Sampai abad ke-15,seperti disimpulkan Denys Lombard, kebanyakan orang China yang menetap di pesisir pulau-pulau Nusantara menganut Islam. Bahkan, istilah "babah" yang sampai sekarang masih digunakan untuk menyebut laki-laki China bukan sekadar gelar kehormatan yang sangat dikenal di dunia muslim, khususnya di Turki untuk menyebut seorang tokoh, seorang syeikh penyebar Islam.

Konflik dan "Cultural Gap"

Integrasi orang-orang China perantauan ke dalam masyarakat muslim Nusantara mulai terganggu dengan kedatangan kolonialisme Belanda yang kemudian menjadikan orang-orang China sebagai middlemen atau brokers dalam perdagangan mereka dengan masyarakat pribumi.

Disrupsi dan kehancuran ekonomi masyarakat muslim pribumi akibat praktik monopoli pasca-Belanda yang dibantu oleh orang-orang China hanya menumbuhkan sikap antipati dari kalangan pribumi terhadap masyarakat China keturunan. Terputusnya hubungan antara Nusantara dengan China mainland pada 1740- an sempat menimbulkan kebingungan di kalangan China muslim keturunan sehingga muncullah kembali kecenderungan mereka untuk menganut Islam dalam rangka asimilasi dengan masyarakat pribumi.

Komunitas muslim keturunan kembali membangun masjid mereka sendiri, dan mengubur anggota komunitas mereka yang meninggal pada kuburan muslim. Pada saat yang sama, terjadi asimilasi kultural; keluarga-keluarga terkemuka China menerima dan mengadopsi aspek-aspek tertentu budaya Jawa. Asimilasi dan upaya dakwah Islam terhadap warga keturunan kembali terganggu dengan terjadinya radikalisasi masyarakat muslim pribumi terhadap Belanda.

Di sini, warga keturunan kadang-kadang menjadi salah satu penyebab konflik dan perang, seperti terlihat dalam Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro (1825–1830) yang marah karena orang-orang China diberikan privilese untuk memungut pajak dan biaya toll jalan raya. Konflik yang sering berujung dengan kerusuhan anti- China terus berlanjut selama masa kolonialis Belanda, khususnya lagi ketika nasionalisme Indonesia,seperti diwakili Sarekat Islam (SI) mengalami kebangkitan pada awal abad ke-20.

Alienasi warga keturunan dari masyarakat pribumi mencapai puncaknya pada 1854 dengan penetapan status warga keturunan (China) sebagai bangsa kelas dunia bersama golongan Timur Asing (India dan Arab).Sedangkan masyarakat pribumi ditempatkan sebagai kelas tiga. Penggolongan warga Netherlands East- Indies berdasarkan kategori etnis ini hanya tambah memperkuat cultural gap di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi.

Sebaliknya, asosiasi kultural dan keagamaan dengan Belanda dan sekaligus agama Kristen semakin meningkat di kalangan masyarakat keturunan. Dalam semua proses ini, terjadilah pembentukan prasangka-prasangka timbal balik di antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi. Di antara prasangka dan bias kultural itu juga mencakup agama yang dipeluk masing-masing komunitas tersebut.

Perkembangan sosiokultural dan politik pasca G 30 S/PKI 1965 semakin kurang menguntungkan hubungan antara masyarakat pribumi muslim dengan warga keturunan.Ketakutan warga China keturunan terhadap "pembersihan" yang dilakukan masyarakat muslim pribumi terhadap antek-antek komunis yang tentu saja terkait dengan pemerintahan komunis China mainland membuat gapdi antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi semakin lebar.

Sama seperti banyak orang komunis lain yang secara massal masuk Kristen karena takut dituduh "ateis" dan karena itu sekaligus komunis terjadi gelombang besar warga keturunan masuk agama Kristen. Gelombang ini diperbesar dengan kebijakan Orde Baru yang mengharamkan setiap ekspresi sosiokultural warga keturunan. Socio-cultural gap antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi bertambah lagi dengan disparitas ekonomi yang semakin tajam pada masa Orde Baru antara konglomerasi warga keturunan dengan penguasa pribumi muslim.

Karena pemerintah Soeharto mengharamkan setiap pembicaraan tentang hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi dengan alasan bahwa hal itu termasuk masalah SARA, terjadilah pengendapan social resentment dengan potensi konflik dan kekerasan yang cukup besar terhadap warga keturunan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya violence outburst dari waktu ke waktu dari masyarakat pribumi terhadap warga keturunan. Puncaknya adalah kerusuhan anti-China dalam skala yang sangat besar berikut diikuti kejatuhan Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998.

Kini, pasca-Soeharto, ketika masyarakat China memperingati Tahun Baru (Imlek, Hijriyah, dan Masehi), seharusnya hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi tidak terganggu lagi. Integrasi kedua komunitas itu seharusnya semakin kuat di masa kini dan mendatang.

Mereka dan komunitas lain mampu menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi prasangka- prasangka sosial-kultural yang tidak menguntungkan kedua belah pihak. Sebab itu, dalam momentum tahun baru ini, kedua belah pihak mesti meningkatkan dan memperluas kegiatankegiatan berkaitan dengan upaya mempererat tali solidaritas dengan menggunakan berbagai sarana yang tersedia. Wallahu a`lam bish shawab.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/integrasi-china-dan-musli

AZYUMARDI AZRA
Guru Besar dan Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 20 Feb 07
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7634&coid=1&caid=34
Copyright © 2007 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Dialog Emansipatoris untuk Kerukunan Umat Beragama


Oleh: Azyumardi Azra

Ketiadaan dialog antaragama, pada satu segi, boleh jadi karena kurangnya prakarsa majelis-majelis keagamaan berkaitan dengan pengalaman tidak menyenangkan pada masa Orde Baru.

Ketika itu mereka hanya menjadi alat untuk mendukung kebijakan-kebijakan represif dengan selubung SARA. Dengan alasan SARA, pemerintah Orde Baru menyembunyikan masalah-masalah dan ganjalan ganjalan yang terdapat dalam intra maupun antaragama.Karena itu sulit diharapkan terjadi dan berlang sungnya dialog-dialog yang genuine di antara umat beragama.

Masih berlangsungnya kebekuan atau kurangnya sikap proaktif majelismajelis keagamaan pada masa pasca- Orde Baru jelas tidak menguntungkan, di tengah kecenderungan masih bertahannya friksi dan konflik yang bernuansa keagamaan.Sudah waktunya majelis-majelis keagamaan tersebut mengambil langkah-langkah lebih proaktif untuk terjadinya rejuvenasi dialog-dialog intra dan antaragama yang berani,jujur,dan ikhlas.

Secara etimologis, kata ”dialog” berasal dari bahasa Yunani, ”dialogos”, yakni bicara di antara dua pihak. Secara terminologi, kata ini berarti pembicaraan atau percakapan di antara dua orang/pihak atau lebih berkenaan dengan subjek atau tema tertentu guna terjadinya saling pengertian dan kesepahaman yang pada gilirannya dapat meningkatkan kerja sama dan toleransi di antara mereka.

Prof Mukti Ali, guru besar perbandingan agama dan menteri agama pada awal 1970-an—salah seorang pemrakarsa terpenting dialog antaragama— menyatakan bahwa ”dialog” lebih tepat diartikan sebagai komunikasi di antara orang-orang beriman untuk mencapai kebenaran tertentu dan kerja sama dalam masalah- masalah yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan bersama (Mukti Ali,1992: 208).

Senada dengan itu, Swidler merumuskan, ”dialog” (intra dan antaragama) adalah perbincangan atau percakapan di antara dua orang atau lebih yang memiliki pandanganpandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah untuk saling belajar sehingga para peserta dialog dapat mengubah pandangannya dan meningkatkan pengalaman keagamaannya (Swidler,1990: 3).

Dengan beberapa pengertian dialog seperti itu, ”dialog emansipatoris” dapat diartikan sebagai pembicaraan atau percakapan di antara dua pihak atau lebih yang ”membebaskan”, karena terjadinya pertukaran dan pemahaman timbal balik yang lebih baik di antara mereka.

Kondisi terakhir ini dapat ”membebaskan” pihak-pihak yang terlibat dalam dialog dari prasangka, bias, persepsi tidak akurat, kecurigaan, bahkan sikap bermusuhan dan saling membenci, yang potensial menciptakan konflik yang dapat berujung pada kekerasan.

Seperti pernah saya kemukakan (Azra, 1999: 62-64; cf Kimbal, 1995: 204),terdapat setidaknya lima macam dialog antaragama. Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialog) yang disponsori World’s Parliament of Religions, World Conference of Religions and Peace (WCRP),World Congress of Faiths (WCF) dan lain-lain.

Dialog ini memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerja sama lebih baik di antara para pemeluk agama yang berbeda. Kedua, dialog kelembagaan (institutional dialog), yakni di antara wakil-wakil institusi atau majelismajelis agama, lazimnya untuk membicarakan masalah-masalah mendesak dan mengembangkan komunikasi dan saling pemahaman antarumat beragama.

Ketiga, dialog teologi (theological dialog) untuk membahas tema-tema teologis dan filosofis menyangkut Tuhan,wahyu Ilahi, dan sebagainya. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialog in community) dan dialog kehidupan (dialog of life) yang bertujuan untuk penyelesaian masalahmasalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,seperti hubungan yang lebih pas antara agama dan negara, hak-hak kaum minoritas keagamaan, kemiskinan, perkawinan antaragama, dan sebagainya.

Kelima, dialog keruhanian (spiritual dialog) yang bertujuan memperdalam pengalaman keruhanian atau spiritualitas keagamaan. Kelima bentuk dialog antaragama ini bisa menjadi dialog emansipatoris dalam berbagai aspeknya. Dialog antaragama bisa betulbetul emansipatoris—membebaskan— bila tiga syarat dipenuhi. Pertama, dialog dilakukan dengan penuh keterbukaan, keterusterangan, keberanian, dan kejujuran.

Dialog antaragama tidak akan emansipatoris jika para peserta tidak terbuka,menutupi hal-hal tertentu, sehingga dialog yang terjadi akhirnya hanya basa-basi. Kedua, dialog disertai kemauan dan iktikad baik untuk saling mendengar dan mengemukakan pendapat dengan penuh keseimbangan dan kesetaraan.

Ketiga, dialog disertai kesiapan untuk mengubah pandangan, persepsi, dan tindakan yang selama ini keliru, dan saling membuka diri untuk menerima kebenaran dari pihak-pihak yang terlibat dalam dialog. Jika dialog-dialog antaragama bisa dilakukan sesuai ketiga hal tersebut, maka bisa diharapkan terciptanya hubungan yang lebih harmonis, penuh toleransi di antara umat beragama yang berbeda.

Ini juga merupakan mekanisme internal umat beragama untuk prevensi dan resolusi konflik yang berwarna agama. Apalagi kemudian para ulama dan komunitas umat beragama lain mendengar dan melaksanakan seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan pada The 3rd International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta (30/7/8) tentang pesan perdamaian yang mesti terus diaktualisasikan umat beragama untuk menciptakan kehidupan sosial-keagamaan yang lebih harmonis dan damai. Hemat saya, pesan perdamaian ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antarumat beragama.Wallahu a’lam bishshawab.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/dialog-emansipatoris-untu



Azyumardi Azra
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 02 Agt 08
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=10480&coid=1&caid=34
Copyright © 2008 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Peluang Dialog Agama


Oleh: Geger Riyanto

Beberapa bulan yang lalu, 138 intelektual muslim memadukan suara dan mengirimkan surat kepada Paus Benediktus XVI serta sejumlah pemimpin Kristen lainnya, yang isinya mengimbau terciptanya dialog antara umat Islam dan Kristen. Dalam surat yang berjudul "A Common Word Between Us and You" tersebut, mereka menuturkan bahwa kedua umat perlu menangguhkan keberbedaan mereka dan memahami bahwa Tuhan mereka adalah sama dan pada dasarnya, Dia memerintahkan setiap manusia saling mengasihi.

Tapi Adrian Pabst, pengajar agama dan politik dari University of Nottingham, mengkritik habis pernyataan ini. Menurut dia, tidak mungkin benar-benar tercipta dialog di antara keduanya, karena sifat Tuhan masing-masing agama begitu berbeda. Tuhan dalam teologi Kristen memiliki tiga sifat, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus, dengan kedudukan yang sama, atau diistilahkan sebagai trinitas. Adapun dalam Islam, Tuhan bersifat tunggal, sebagaimana yang tecermin dari pernyataan "tiada allah selain Allah". Menurut Pabst, yang diperlukan saat ini bukanlah dialog, melainkan perdebatan mencari siapakah yang paling benar.

Pernyataan Pabst begitu provokatif, tapi terasa benarnya. Hal itu tecermin dari perayaan Idul Adha dan Natal yang jatuh berdekatan pada bulan ini. Dalam kitab Kejadian yang dipegang umat Kristen diceritakan bahwa anak kesayangan yang dikorbankan Abraham (Ibrahim) bukanlah Ismail, melainkan Iskak. Sementara itu, dari sudut pandang teologi Islam, Isa (Yesus) adalah nabi yang diutus oleh Allah dan tidak sepatutnya disembah atau diberhalakan sebagai Tuhan.

Pabst tampaknya berkeyakinan bahwa sekularisasi adalah sebuah keniscayaan, yakni agama yang tidak dapat mempertahankan relevansinya dengan keadaan modern akan tereliminasi karena tidak diminati lagi oleh manusia yang semakin rasional. Agama yang paling tinggi adalah yang paling rasional, yang tetap mampu menjawab persoalan dan kegundahan eksistensial yang dialami manusia, meskipun ilmu pengetahuan yang canggih telah hadir. Dari sinilah muncul anggapan bahwa perdebatan teologis dan historis antarkeyakinan akan mengakhiri konflik di antara agama-agama, karena mereka yang kalah seketika akan tersingkir.

Sebelumnya, sosiolog Max Weber berpandangan bahwa agama Yahudi adalah salah satu agama tertinggi karena mengajarkan bahwa Tuhan adalah entitas yang tunggal, tertinggi, absolut, sehingga tidak dapat diidentifikasi dengan segala yang berwujud di dunia ini. Dengan demikian, agama Yahudi dapat menepis segala pembuktian ilmu pengetahuan bahwa tidak ada entitas yang berwujud yang mengatur semesta ini.

Namun, pemikiran berhaluan sekularisasi telah kehilangan relevansinya, karena tak bisa dinafikan bahwa fundamentalisme tengah menjadi fenomena. Meski para penyelidik terus mengetengahkan bahwa Yesus adalah manusia dengan bukti temuan makamnya, akankah itu meruntuhkan keyakinan yang telah hidup selama nyaris dua milenium begitu saja? Persoalannya, dapatkah fakta ilmiah menawarkan keamanan dan kenyamanan hidup bagi mereka yang terbiasa di bawah lindungan payung sucinya?

Perdebatan belum tentu memecahkan persoalan ini, karena pencerahan yang ditemukan darinya hanya dapat dinikmati oleh kalangan elite intelektual, mereka yang memiliki gairah dalam praktek penghancuran kebenaran awam. Tapi, bagi yang tidak menikmatinya, mereka dapat dengan mudah memalingkan muka dari fakta-fakta ilmiah. Taruhlah kalangan Kristen Evangelistis. Sebagian dari mereka meyakini bahwa bukti-bukti ilmiah, seperti fosil dan artefak, yang menentang kebenaran versi Alkitab adalah obyek-obyek yang sengaja ditaruh Tuhan untuk menguji kadar keimanan mereka. Sederhananya, seperti yang diungkapkan Carl Gustav Jung, "Aku tetap percaya, meskipun segalanya di dunia ini menjadi bukti yang menyerang keyakinanku."

Menurut hemat saya, ketegangan antaragama tidak dapat dipecahkan dengan perdebatan atau konfrontasi langsung. Ketegangan antarumat mesti diselesaikan dengan menemukan kesamaan yang tak terdefinisikan, kesamaan yang menembus batas-batas teologis. Bila secara nalar mustahil mempertemukan agama-agama dengan perbedaan teologis yang begitu tajam, tapi mengapa seruan berdialog tak kunjung usang diembuskan?

Satu hal, karena pada setiap agama terkandung sifat kebaikan hakiki yang hanya dapat dirasakan secara afektif atau intuitif. Mungkin kita tidak dapat memberikan alasan kesamaan apa yang ada di antaranya, tapi kita merasakannya. Psikolog Michael Schulman menunjukkan bahwa seorang siswa taman kanak-kanak akan menurut bila dilarang gurunya makan di kelas, tapi apabila gurunya memperbolehkan mendorong siswa lain dari bangkunya, seorang anak akan mulai mempertanyakan otoritas gurunya itu.

Marc Hauser, profesor psikologi dari Harvard University, mengatakan bahwa setiap orang memiliki dorongan moral, hanya dorongan yang universal itu tidak terbakukan dalam peraturan dan dirasakan melalui intuisi. Hal yang membuat setiap agama memiliki jejak dalam sejarah manusia adalah ketidakmasukakalannya, pertentangan antara ajarannya dan logika mayoritas saat itu. Tapi entah bagaimana, kita dapat merasakan bahwa ajaran itu benar. Agama mengajari manusia untuk menjiwai kebaikan yang hakiki melalui revolusi moral terhadap ajaran-ajaran lama yang telah membeku oleh otoritas.

Teologi agama adalah upaya menancapkan kepastian terhadap apa yang dimaksud dengan kebaikan agar kebaikan yang sebelumnya dirasakan secara intuitif dapat dipahami oleh nalar manusia dan tersampaikan kepada yang lain melalui bahasa. Dari sini dapat dipahami bahwa teologi adalah tubuh bagi jiwa agama yang revolusioner sekaligus welas asih. Dan transendensi agama tidak terletak pada teksnya semata, tapi pada apa yang menyangga sehingga teks itu tetap terasa segar pada masa kini.

Dialog memungkinkan tiap-tiap agama berbagi konsepsinya yang "tak sama tapi serupa" tentang kebaikan. Dan perbedaan itu tak mengapa, karena siapa pun--bahkan dalam penelitian Schulman adalah anak TK--dapat membedakan yang benar dengan yang salah. Yang perlu disadari seseorang sebelum berbuat baik terhadap yang lain hanyalah mereka adalah sesama manusia, itu pun sudah cukup. Walau kita "tahu" bahwa kebenaran kita berbeda, kita cukup semudah "merasakannya" untuk sadar bahwa kita sama.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/12/21/Opini/krn,20071221,54.id.html

Geger Riyanto
PENEKUN SOSIOLOGI PENGETAHUAN UNIVERSITAS INDONESIA

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Tempo
Tanggal: 21 Des 07
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9154&coid=1&caid=34
Copyright © 2007 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Persaudaraan dan Pluralitas

Koran Sindo, 18 Jan 08

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Judul dari artikel ini adalah persaudaraan dan pluralitas kita, yaitu adanya persaudaraan dalam kemajemukan kita memandang kehidupan.

Habib Saggaf, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Bogor, yang bercerita bahwa ia pertama kali mengetahui tentang perlunya menghargai pluralitas dari penulis artikel ini.Kemudian itu terbukti pada waktu dia harus mendirikan usaha roti untuk makan ribuan santrinya yang kebanyakan yatim piatu.

Ketika mendirikan usaha tersebut, dia diberi bantuan oleh kawan- kawan nonmuslim. Di sinilah dia baru merasakan pentingnya menyayangi yang berbeda (pluralitas) dalam kehidupan. Jika memiliki sikap pluralistik seperti itu memang diperlukan, maka kita lalu bertanya,apakah pandangan itu bisa menjadi pendorong bagi dialog antara semangat kebangsaan/nasionalisme dan ajaran agama Islam untuk keutuhan bangsa ini?

Sampailah kita pada sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah, yaitu tentu ada kekuatan yang mendorong ketika kita “memulai”kebangkitan ajaran agama kita.Penulis menandai hal itu dengan kehadiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1912, KH M Hasyim Asy’ari diberi tahu bahwa perkumpulan baru bernama Muhammadiyah didirikan kalangan kaum muslimin di Yogyakarta.

Beliau bertanya: “Siapakah pendirinya?”Tiga hari kemudian beliau diberi tahu bahwa pendirinya adalah H Ahmad Dachlan dari Yogyakarta. Beliau bertanya lagi, apakah orang itu dahulunya sama-sama jadi santri dengan beliau di Pondok Pesantren Kyai Shaleh Darat, Semarang?

Ketika memperoleh jawaban bahwa sang pendiri itu benar teman beliau di Pondok Pesantren Shaleh Darat, beliau mengatakan bahwa tokoh tersebut adalah orang baik,walaupun ibadahnya “tidak sama”dengan kita.Beliau juga mengatakan bahwa pada waktu itu mereka berdua sekamar dengan orang ketiga, yaitu Sosrokartono, kakak kandung orang yang kemudian kita kenal dengan nama RA Kartini dari Rembang.

Di sinilah sejarah seolah memilih dan membentuk sejarah Indonesia modern. Persaudaraan itu bertambah lagi bahwa antara HOS Tjokroaminoto dari Surabaya dan KH Hasyim As’yari memang ada pertalian kekeluargaan, yaitu sama-sama keturunan Kyai Harun (Ki Ageng Basjariah) dari Sewulan, sepuluh kilometer sebelah selatan Kota Madiun.

Dialog antara nasionalisme/ kebangsaan dan ajaran agama Islam antara mereka berdua terus berlanjut, karena HOS Tjokroaminoto memiliki menantu bernama Soekarno (di belakang hari dikenal dengan nama Bung Karno). Juga karena ada keluarga lain di kalangan mereka, yaitu Djojosugito, dari keluarga yang sama, yang mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.

Dari kebutuhan dialog seperti inilah, lalu dirasakan kepentingan melembagakan/institusionalisasi kebutuhan tersebut. Karena itu,setelah Perang Dunia I, menjelang 1920-an mereka membangun kekuatan. Ternyata, gerakan Syarikat Islam (yang di belakang hari menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia/ PSII) diinfiltrasi komunis.

Lahirlah apa yang kelak dikenal sebagai SI Merah yang cukup lama memegang dominasi atas kehidupan politik bangsa kita.Lalu akibatnya bagi lingkungan NU, lahir orang-orang NU yang mementingkan Islam sebagai ideologi politik,bukannya sebagai gerakan kultural/budaya. Inilah yang kemudian menjadi “ideologi resmi” gerakan Islam di negeri kita kini.

Mereka antara lain mewujudkannya dalam Partai Arab Indonesia (PAI) dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian hari menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pandangan mereka itu sekarang diteruskan oleh berbagai gerakan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan seterusnya.Kenyataan sejarah seperti ini menjadi milik kita bersama.

Penulis artikel ini pernah ditanya seorang pemimpin HTI,Anda masih menginginkan dijalankannya syariat Islam? Penulis menjawab masih. Dia lalu menanyakan kepada penulis artikel ini, mengapa menolak kekhalifahan (konsep negara Islam)? Penulis menjawab,kita sama-sama menerima syariat Islam tetapi berbeda dalam gagasan negara Islam.

Bagi penulis artikel ini, gagasan itu bukanlah barang wajib.Antara negara dan syariah harus dibedakan.Tetapi kita berdua sama-sama percaya pada syariah dan ajaran agama Islam. Kita bahkan dianjurkan untuk tidak saling bermusuhan bahkan saling bersaudara. Ini juga penulis kemukakan dalam sebuah seminar tentang gerakan Islam fundamentalis dan radikal yang diselenggarakan pada musim panas 2006 di Akademi Angkatan Udara (Air Force Academy), Colorado, Amerika Serikat (AS).

Karena pada waktu itu penulis dilarang pergi ke AS oleh para dokter, tahun berikutnya Donald Rumsfeld, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS, meminta penulis membuat rekaman video berisikan pikiran-pikiran penulis artikel ini tentang hal itu. Dalam rekaman penulis menyatakan tidak pernah menganggap teman seagama sebagai keluar dari Islam, bahkan menganggap mereka sebagai saudara.

Karena itu,penulis artikel ini meminta para peserta seminar tersebut mencari titik-titik temu dengan mereka.Permintaan itu adalah sesuatu yang berat karena para peserta seminar itu adalah orang-orang yang selalu diganggu oleh kaum fundamentalis dan radikalis.

Menganggap kaum fundamentalis dan radikal bukan Islam lagi tidak dapat dilakukan penulisartikelinikarena mereka “berjuang” dengan cara mereka untuk kepentingan Islam.Kami tidak menentang mereka, me-lainkan menentang tindakan mereka. Tapi perbedaan cara berjuang itu tentu tidak mengharuskan sikap saling mengafirkan antara penulis artikel ini dan mereka. Ini juga sikap pluralistik dalam memandang kehidupan, bukan?(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/persaudaraan-dan-pluralit


Abdurrahman Wahid
Ketua Umum Dewan Syura PKB

Ucapan Selamat Natal dan Umat Islam Indonesia

Koran Sindo, 24 Des 09

Oleh: M Bambang Pranowo

Sejak 1980-an tiap hari raya Natal ada keganjilan di masyarakat Indonesia.Hampir setiap pejabat publik, presiden, gubernur, menteri, dan lain-lain yang agamanya Islam terlihat mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.

Bahkan tidak sedikit di antara para pejabat publik tersebut menghadiri perayaan Natal.Amien Rais yang sering dikelompokkan sebagai seorang tokoh muslim militan yang anti-Natal, misalnya, ketika menjabat ketua MPR sering terlihat menghadiri acara-acara Natal dan berbicara akrab dengan para pendeta dan pastor. Sikap Amien Rais ini semakin jelas ketika mencalonkan diri jadi presiden RI pada 2004.Amien Rais sering hadir dalam acara-acara yang diadakan umat Kristiani,baik itu di acara Natal,Paskah,maupun lainnya.Amien juga sering terlihat berada dalam lingkaran para pemimpin Kristiani.

Tidak demikian halnya dengan Hidayat Nur Wahid ketika menjadi ketua MPR.Hidayat,belum pernah terlihat muncul dalam acara Natal. Hidayat tampaknya konsisten terhadap ”larangan” mengucapkan Natal–apalagi menghadiri—acara perayaan Natal. Hidayat rupanya termasuk tokoh yang patuh terhadap fatwa MUI yang melarang umat Islam merayakan Natal. Bagi MUI,umat Islam yang ikut merayakan Natal, bahkan mengucapkan selamat Hari Raya Natal pun hukumnya haram karena merusak akidah.Merayakan dan mengucapkan selamat Natal,bagi MUI,sama artinya dengan mendukung keimanan umat Kristiani bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan.

Padahal bagi umat Islam, Isa Al-Masih seorang rasul Allah yang kedudukannya sama dengan rasul lain. Kenapa Amien dan Hidayat– untuk melihat dua ikontokoh Islam yang berasal dari ”rumah” yang sama, Muhammadiyah–mempunyai perbedaan sikap? Mungkin karena Amien adalah tokoh muslim yang meski dibesarkan oleh Muhammadiyah (yang awalnya berbau wahabisme),tapi mengenyam pendidikan sekuler di UGM Yogyakarta dan Chicago University, AS. Sedangkan Hidayat, yang juga orang Muhammadiyah, besar dengan pendidikan di IAIN Yogyakarta dan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.

Latar belakang inilah barangkali yang membedakan sikap Amien dan Hidayat dalam memandang Natal dan umat Kristen. Amien, meski dikenal seorang muslim militan–sama dengan Hidayat–tapi bisa menghayati makna pluralisme dalam kehidupan beragama dan bernegara. Jika pun Muhammadiyah disebut- sebut aliran yang mengadopsi wahabisme, tapi belakangan Muhammadiyah kelihatan makin condong ke ahlus-sunnah waljamaah.

Bahkan di kalangan muda Muhammadiyah–seperti ditunjukkan dalam aktivitas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pola-pola wahabisme (yang puritan dan anti-Natal) mulai dijauhi.Sikap Muhammadiyah ini– sebagaimana dikatakan AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional, dalam Terorisme: Fundamentalis Kristen,Yahudi, Islam (2009)–sangat positif bagi perkembangan kehidupan beragama di Indonesia.

Wahabisme dan Natal

Wahabisme adalah paham dan gerakan Islam yang didirikan Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke-18.Abdul Wahab disebut-sebut sebagai founding fathers Kerajaan Arab Saudi. Paham ini mengembangkan puritanisme, militanisme, dan ekstremisme.

Menurut wahabisme, umat Islam saat ini telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni, sehingga diperlukan gerakan untuk memurnikannya dengan jalan kembali kepada Alquran dan hadis. Pernyataan bahwa umat Islam harus kembali kepada Alquran dan hadis memang tidak ada yang salah, sebab keduanya merupakan sumber primer dalam Islam.Tapi slogan tersebut menjadi masalah karena dimodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritan absolut.Wahabisme menganggap hanya doktrinnyalah yang benar, yang lain salah dan kafir.

Wahabisme menolak tasawuf, tawassul, rasionalisme, dan pandangan lain yang dianggap tidak berasal dari Islam. Dalam melakukan misinya, wahabisme menggunakan istilah bidah, bagi perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang tidak ada padanannya dalam Alquran dan sunah Nabi Muhammad.Siapa pun yang melakukan, berbuat dan bersikap seperti itu, dia telah melakukan bidah,dan setiap bidah adalah sesat. Lebih jauh lagi, wahabisme tidak hanya menganggap bidah terhadap orang-orang non-Islam, tapi juga menganggap salah terhadap ulama-ulama lain yang pandangannya bertentangan dengannya.

Tidak hanya ajaran tasawuf yang dianggap bidah,ajaran-ajaran lain yang menyimpang dari doktrin wahabisme pun dianggap bidah (Misrawi,2009). Jika di Arab Saudi ada ulama terkenal, Imam Fakhruddin al-Razi, yang dianggap sesat; di Indonesia pun Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid serta orang-orang yang mempunyai pandangan keislaman yang sama dengan keduanya dianggap sesat. Kaum wahabi terkenal sangat anti terhadap orang-orang non- Islam (kafir). Salah satu fatwanya, jangan berteman dengan orangorang kafir dan mengikuti kebiasaan mereka.

Orang-orang Islam yang berteman dan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir sudah termasuk kafir, bahkan lebih buruk dari orang kafir itu sendiri. Dari poin seperti inilah,kemudian muncul fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.Merayakan Natal dan saling mengucapkan selamat Natal,menurut pandangan Wahabisme, adalah kebiasaan orang-orang kafir yang sesat. Pandangan ini jelas sangat mengganggu toleransi antarumat beragama dan meruntuhkan sendisendi pluralisme yang membentuk kehidupan modern.

Wahabisme menihilkan ayat Alquran surat Ali Imran ayat 113–114 ini, ”Di antara orang-orang ahli kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan.Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang saleh. Nabi Muhammad pernah bersabda, ”Orang Islam yang paling baik adalah yang menebar salam perdamaian dan memberikan makanan, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak.”

Alquran dan hadis tersebut jelas jauh dari paradigma wahabisme. Wahabisme melihat sesuatu dengan sikap hitam dan putih; kawan dan lawan.Pandangan inilah yang akhirnya memunculkan benihbenih terorisme.Hampir semua organisasi yang mengusung terorisme, ideologi dasarnya–meminjam tesis AM Hendropriyono–berasal dari wahabisme itu tadi. Ciri-ciri wahabisme,misalnya,bisa tercium dari ceramah dan buku-buku Imam Samudera dan Abu Bakar Ba’asyir. Setelah menyadari ”ancaman” terorisme yang muncul dari ideologi wahabisme ini, Pemerintah Arab Saudi, yang semula sangat mendukung perkembangan wahabisme, kini mulai ”berpikir lain”.

Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, misalnya, kini mulai bersikap terbuka dan mau berkunjung ke Vatikan.Anehnya pula, keamanan Arab Saudi pun kini sangat tergantung dari keberadaan tentara-tentara AS.Kekerasan dan ekstremisme wahabisme kini tampaknya mulai membahayakan ”tuannya” sendiri, sehingga perlu dijaga oleh tentara AS.Benarbenar sebuah dilema yang unik.Padahal semua itu adalah konsekuensi hukum alam belaka: siapa yang memelihara macan, jiwanya pun akan terancam terkaman macan itu sendiri.

Dari perspektif inilah, kita– kaum muslim Indonesia–hendaknya mulai mengkaji kembali fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal. Fatwa tersebut jelas tidak relevan dan mengganggu terwujudnya kerukunan beragama di negara yang penduduknya sangat plural seperti Indonesia. Para ulama Indonesia yang mengharamkan memberikan ucapan selamat Natal hendaknya melihat bagaimana ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka, tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Kristiani di negaranya, tapi juga biasa ikut merayakan Natal di gereja.

Sri Paus,misalnya,pernah mengakui bahwa orang pertama di dunia yang mengucapkan selamat Natal tiap tahun kepadanya adalah Ayatullah Ruhullah Khomeini.Ulama besar Mesir,Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang muslim turut merayakan Hari Raya Natal, tapi juga menghadiri undangan Natal umat Kristen (Koptik) di gereja-gereja di sana. Itulah Islam yang penuh toleransi dan rahmat. Selamat Natal, semoga Tuhan memberkahi kita semua!(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/292457/


M Bambang Pranowo
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta

Islam dan Pluralisme Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen

Kompas, 08 Sep 07

Oleh Mohamad Guntur Romli

Kepribadian dan pengetahuan Muhammad dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Salah satu lingkungannya adalah kaum cerdik pandai Kristen.

Jauh sebelum kenabian Muhammad telah ada anasir-anasir kenabian dan ketauhidan (monoteisme) yang merujuk pada peran dua komunitas teologis di Mekkah, yang warganya dikenal sebagai penyembah berhala. Yang pertama ialah pengikut al-hanîfiyah yang mendaku sebagai ahli waris ajaran Ibrahim. Abdul Muthalib yang adalah kakek Muhammad dan ketua Bani Hasyim merupakan tokoh terpenting dalam aliran ini. Tercatat pula nama Zaid bin Amru, paman Umar bin Khathab, yang memiliki syair-syair kepasrahan. Salah satu baitnya, aslamtu wajhi liman uslimat, lahu al-ardlu tahmilu shakhran tsiqâla, ’aku pasrahkan diriku pada Dia, seperti kepasrahan bumi yang membawa batu karang yang berat’.

Yang kedua adalah komunitas Ahli Kitab. Ini sebutan bagi pemeluk agama Yahudi dan Kristen. Orang Kristen di kalangan Islam disebut sebagai Nasrani yang dinisbatkan pada al-Nâshirah atau Nazaret, asal Isa al-Masih. Namun, bagi orang Kristen mayoritas, Nasrani di Jazirah Arab adalah sebuah sekte. Berbeda dengan bangsa Arab yang mandul dari kenabian, bangsa Yahudi subur dengan kenabian. Dua komunitas itu punya satu misi. Sama-sama memusuhi kaum pagan. Pada masa itu mereka tersebar luas di Jazirah Arab. Orang Yahudi bermukim di Yastrib (Madinah), orang Kristen menunjukkan pengaruhnya di Mekkah.

Menurut Al-Ya’qubî dalam Tarîkh: orang Quraisy yang memeluk Kristen dari Bani Asad antara lain adalah Utsman bin al-Huwairits dan Waraqah bin Naufal. Khadijah yang istri Muhammad berasal dari bani ini. Informasi yang lebih menarik datang dari Muhammad bin Abdillah al-Azraqi dalam Akhbâr Makkah (Kabar-kabar Mekkah), tentang gambar dan arca Isa (Yesus) bersama ibunya, Maryam (Maria), di Kabah. Ketika berhasil menaklukkan Mekkah dari pemeluk pagan, Muhammad membersihkan Kabah dari segala perupaan, kecuali Isa dan Maryam. Arca tersebut baru hancur bersama puing-puing Kabah akibat perang di era Yazid bin Muawiyah.

Mengakui

Alquran (al-Ma’idah: 82) menegaskan kedekatan orang Kristen dengan Muhammad yang berbeda dari orang Yahudi dan kaum pagan Mekkah yang bersikap memusuhi. Orang Kristen mencintai Muhammad dan pengikutnya "karena di antara mereka ada pendeta-pendeta (qissîsîn) dan rahib-rahib (ruhbân) dan mereka tidak menyombongkan diri". Maksudnya, mereka mengakui kenabian Muhammad, tetapi tidak mengikutinya.

Yang terkenal adalah Waraqah bin Naufal, kakak sepupu Khadijah. Dia memberi kesaksian terhadap wahyu pertama yang diterima Muhammad dan disebut dalam riwayat al-Bukhari hadis nomor tiga sebagai "seorang yang memeluk Kristen pada zaman Jahiliah, menulis kitab dalam Ibrani, dan mampu menyalin dari Injil Ibrani".

Kependetaan Waraqah ditegaskan Muhammad dalam Sîrah (biografi Muhammad) karya Ibn Ishaq (1999: 203): "Sungguh aku telah melihat Pendeta (Waraqah) berada di surga dengan memakai pakaian dari sutra." Dalam versi riwayat lain hadis tadi adalah respons ketika nasib Waraqah di akhirat dipertanyakan karena tetap setia memeluk Kristen sampai akhir hayatnya meski ia menyaksikan kenabian Muhammad.

Para penyair Kristen dan al-hanîfiyah melantunkan syair-syair keagamaan mereka di pasar-pasar Mekkah, khususnya di Ukadz. Alquran (al-Furqan: 7) menyebut kebiasaan Muhammad menjelajahi pasar-pasar bukan bertujuan berbelanja, melainkan menyimak dan mengamati seluruh kegiatan pasar yang berfungsi pula sebagai "festival kebudayaan".

Dua jilid karya Luis Syaikhu, Târîkh al-Nashrâniyah wa Adâbuhâ Bayna ’Arab al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra Arab Kristen di Era Arab Jahiliah) terbitan Dar al-Masyriq, Lebanon, tahun 1989, menjelaskan peran nyata kaum cerdik pandai Kristen terhadap kebudayaan Arab. Syaikhu menyebut peran Umayyah bin Abdillah bin Abi Shalat, penyair Kristen era Jahiliah yang memiliki syair-syair keagamaan. Syair-syair Umayyah telah mengenalkan nama-nama lain Allah yang disebut al-asmâ’ al-husnâ (nama-nama terbaik). Demikian juga nama malaikat Jibril, Izrail, dan Israfil; tingkatan surga dan neraka; tujuh lapis langit dan bumi; asal-usul penciptaan alam; kisah Adam-Hawa dan dua anaknya; air bah Nuh; Yunus (Yunan) yang ditelan dan bisa hidup di perut ikan; serta kisah-kisah para nabi lainnya hingga kisah Ashabul Kahfi yang masyhur di kalangan orang suci Kristen sebagai les Sept Dormants (Tujuh Orang yang Tertidur) yang merujuk pada masa pertengahan abad ke-3 Masehi.

Demikian pula dua kawasan yang menjadi tujuan utama kafilah niaga Kabilah Quraisy: Yaman dan Syam. Keduanya merupakan pusat kekristenan. Yaman dikuasai oleh dinasti Kristen Habsyah (Etiopia) yang mengikuti aliran monofisit-koptik, sedangkan Syam diperintah oleh dinasti Ghassan yang mengikuti aliran monofisit-yakobis. Muhammad telah mengunjungi dua kawasan itu ketika masih remaja bersama kafilah pamannya, dan saat jadi buruh niaga Khadijah. Pusat kekristenan lain di al-Hira diperintah oleh dinasti Kristen Lakhm yang mengikuti aliran monofisit-nestorian.

Khadijah

Khadijah menurut informasi sejarah adalah istri Muhammad yang berasal dari keluarga Kristen di Mekkah (Bani Asad). Sumber sejarah Islam tak ada yang secara tegas menyebut agama Khadijah sebelum Islam. Namun, ada fakta menarik mengenai keteguhan Muhammad tetap setia monogami dan tidak menikah lagi, kecuali setelah Khadijah wafat. Monogami dan perceraian atas dasar kematian adalah tradisi kekristenan kuno yang berbeda dari tradisi poligami bangsa Arab.

Khadijah berjuluk al-Thâhirah (Perempuan Suci). Ini simbol teologis. Perempuan terhormat biasanya cukup disebut al-Syarîfah atau al-Karîmah. Perempuan suci dalam Kristen disebut santa. Diakah Santa Khadijah? Julukannya yang lain Sayyidah Nisâ’ Quraisy (Puan dari Seluruh Perempuan Quraish) yang memperlihatkan Khadijah sebagai "perempuan suci dan pilihan".

Gelar dan pengakuan terhadap Khadijah ini bisa disamakan dengan pengakuan Alquran terhadap Santa Maria, Bunda Yesus, dalam Surat Ali Imran Ayat 42 yang menyatakannya sebagai "perempuan pilihan dan suci".

Khadijah bisa dibilang "ibu" Muhammad karena perbedaan umur mereka yang terpaut 25 tahun. Dalam Ansâb al-Asyrâf (Nasab-nasab Orang Mulia) karya al-Baradzari, Muhammad menikah pada usia hampir 21 tahun—merujuk pula pada kebiasaan pemuda Arab waktu itu yang menikah pada umur 20 tahun—sedangkan Khadijah berusia 46 tahun. Menurut Bint Syathi’, penulis buku Nisâ’ al-Nabî (Istri-istri Nabi), peran Khadijah sebagai istri sekaligus ibu bagi Muhammad tak hanya bersumber dari perbedaan usia, tetapi juga tersebab Muhammad anak yatim piatu yang kehilangan kasih sayang ibunya.

Bagi Khalil Abdul Karim, penulis Fatrah Takwîn fi Hayâti al-Shâdiq al-Amîn (Periode Kreatif dalam Kehidupan Muhammad) terbitan Dar Mishr al-Mahrusah, Cairo, tahun 2004, Khadijah adalah "arsitek" kenabian yang dibantu oleh "komunitas inteligensia Kristen". Mereka adalah Waraqah bin Naufal dan adiknya, Qatilah, seorang rahibah, serta saudara sepupu mereka, Ustman bin al-Huwairits, yang mengikuti aliran Kekristenan Bizantium (Melkitis) hingga diangkat menjadi kardinal. Khadijah memiliki dua budak Kristen: Nashih yang jauh- jauh hari meminta tuannya menikah dengan Muhammad, dan Maisarah yang bertugas mengamati Muhammad dalam perniagaan ke Syam. Selain dengan anggota keluarganya, Khadijah juga membangun korespondensi dengan beberapa pendeta: Adas di Taif, Buhaira di Bushra, Syam, dan Sirgius di Mekkah. Buku Khalil tadi merujuk pada sumber-sumber primer Sîrah Muhammad yang jarang disentuh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Ibn Sayyidi al-Nas, al-Halabiyah, al-Syamiyah, Târîkh al-Thabari, dan al-Ya’qubi.

Khadijah dan timnya telah mengamati Muhammad sejak lama. Dalam Sirah Ibn Katsir diriwayatkan Khadijah sudah dikabari oleh Nashih, budaknya, dan Pendeta Buhaira di Syam untuk menikah dengan Muhammad. Dikisahkan juga bahwa Qatilah telah menawarkan diri kepada Abdullah, ayah Muhammad, untuk dijadikan istri karena Abdullah memiliki "cahaya kenabian". Buhaira telah melihat Muhammad dua kali sebelum penetapan kenabian. Informasi ini menunjukkan bahwa komunitas itu mengamati keluarga Muhammad secara saksama.

Khadijah mengangkat Muhammad sebagai buruhnya saat berusia 18 tahun agar bisa mengamatinya dari dekat. Sebelum menikah, Muhammad telah melakukan dua perjalanan niaga Khadijah ke Habsyah dan ke Syam. Niaga ke Habsyah hampir tidak disebut dalam versi umum biografi Muhammad, tetapi kisah itu dituturkan oleh sejarawan klasik, seperti al-Thabari, al-Suhayli, dan al-Maqrizi.

Sementara dalam perniagaan ke Syam, Khadijah perlu menyertakan seorang hambanya bernama Maisarah yang kenal baik dengan Pendeta Buhaira untuk mengamati gerak-gerik Muhammad, khususnya pertemuannya dengan Buhaira.

Setelah yakin bahwa Muhammad adalah sosok tepat dari beberapa pertimbangan (keluarganya yang menjalankan prosedur kenabian, nasihat-nasihat anggota komunitasnya, serta pengamatannya secara langsung), barulah Khadijah melamar Muhammad tak hanya sebagai suami, tetapi lebih itu dari sebab—dalam kata-kata Khadijah sendiri—"aku sangat ingin agar kamu (Muhammad) menjadi nabi bagi umatmu."

Dalam proses pernikahan mereka, tampak kegembiraan Abu Thalib dan antusiasme Waraqah dari pembacaan khotbah nikah mewakili pihak keluarga Khadijah. Sedangkan wali Khadijah—bapaknya, al-Khuwailid atau pamannya, Amru—tidak terlalu antusias dengan pernikahan itu. Bagi mereka, Muhammad tetap dipandang sebagai anak yatim yang berasal dari keluarga miskin. Adapun Khadijah dan Waraqah memiliki tujuan lain dengan pernikahan itu.

Nubuat kenabian

Pernikahan Muhammad yang berasal dari keluarga al-hanîfiyah (Bani Hasyim) dengan Khadijah yang berasal dari keluarga Kristen (Bani Asad) adalah koalisi kelompok ketauhidan melawan kelompok pagan.

Dua komunitas tersebut telah membangun suasana-suasana kenabian. Nubuat kenabian dari jalur Abdul Muthalib telah dikabarkan jauh sebelum Muhammad lahir. Abdul Muthalib dengan sadar telah mempraktikkan kembali semacam prosedur-prosedur kenabian. Posisinya seperti Ibrahim yang memusuhi berhala dan menyembelih anaknya sebagai kurban bagi Allah. Abdul Muthalib telah menyerukan ajaran Ibrahim itu dan bernazar menyembelih putranya, Abdullah, ayah Muhammad.

Masa pernikahan hingga pewahyuan yang terentang kira-kira 20 tahun—Muhammad menerima wahyu berumur 40 tahun—adalah "tahun-tahun yang hilang" dari kehidupan Muhammad yang disebut oleh Khalil Abdul Karim sebagai fatrah al-takwîn (periode kreatif). Muhammad adalah seorang ummî (buta huruf), maka di masa-masa itulah Khadijah, Waraqah, dan kaum cerdik pandai Kristen memiliki andil dalam menyiapkan proses kenabian Muhammad. Di siang hari Muhammad menjelajahi pasar-pasar di Mekkah yang membuatnya mengetahui segala kisah dan perkembangan masyarakatnya. Di malam hari Muhammad akan menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan Khadijah.

Adalah hal biasa bila Waraqah sering berkunjung untuk menceritakan hal-hal yang ia ketahui dari kitab-kitab yang ia salin. Kita bisa membayangkan betapa marak aktivitas-aktivitas dalam rumah Khadijah yang dipenuhi kaum intelektual yang memiliki ambisi kenabian itu.

Khadijah bersama Waraqah telah membimbing Muhammad menelusuri tangga-tangga spiritualitas hingga mencapai puncak kenabian. Perkembangan Muhammad diamati secara saksama oleh Khadijah, baik dengan mengantarnya ke Gua Hira untuk menyendiri—tradisi yang telah dilaksanakan pengikut al-hanîfiyah termasuk kakeknya, Abdul Muthalib—maupun ketika Muhammad mulai didatangi "suara- suara" yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Khadijah-lah yang menguji kualitas "suara" itu apakah berasal dari malaikat atau setan. Menurut Sîrah al- Halabiyah, dalam menguji suara itu Khadijah di bawah bimbingan Waraqah, yang pakar masalah kenabian dan pewahyuan.

Tak hanya itu. Ketika Muhammad memperoleh wahyu pertama, Khadijah yang memiliki inisiatif mendatangi anggota kaum cerdik pandai itu satu per satu, dimulai dari Waraqah dan Sirgius di Mekkah, Adas di Thaif, hingga Buhaira di Syam. Tujuannya tak hanya meminta konfirmasi tentang kebenaran pewahyuan itu, tetapi juga mengumumkan bahwa seorang nabi telah datang.

Jadi, kita bisa melihat bahwa Muhammad bukanlah nabi yang datang dari dunia antah berantah. Kepribadian dan pengetahuannya telah dibentuk oleh lingkungannya. Leluhurnya dikenal menaati prosedur dan ajaran kenabian. Khadijah bersama komunitas memiliki pengaruh yang tak bisa disanggah. Kenabian dan pewahyuan itu adalah hasil dari eksperimentasi kolektif setelah melalui proses kreatif yang sangat panjang.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0709/01/Bentara/3800195.htm

MOHAMAD GUNTUR ROMLI Aktivis Jaringan Islam Liberal

Mendesain Kembali Format Dialog Agama

Kompas, 08 Sep 08

Oleh: Sumanto Al Qurtuby

Salah satu pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya selama ini adalah mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah memprakarsai pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan, dan kekerasan? Adakah yang salah dalam desain dialog agama selama ini?

Pertanyaan ini penting saya tekankan mengingat relasi antaragama dan kepercayaan di negeri Muslim terbesar di planet ini sedang dalam kondisi mengkhawatirkan yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi kekerasan berbasis agama pasca tumbangnya Orde Baru. Istilah kekerasan agama atau kekerasan berbasis agama (religious-based violence) ini tidak hanya mengacu pada pengertian apa yang oleh Johan Galtung disebut direct/physical violence seperti kerusuhan, penyerangan, perusakan, pembakaran, dan lain-lain terhadap pengikut dan properti komunitas agama tertentu saja, tetapi juga cultural violence atau symbolic violence (ini istilah Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, atau penyesatan terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.

Seperti ditunjukkan dari hasil riset The Wahid Institute (WI) yang dilakukan dari Juli 2007 sampai Juni 2008, yang kemudian diterbitkan dalam buletin bulanan Monthly Report on Religious Issues, sedikitnya telah terjadi 109 kasus keagamaan di Indonesia yang terbagi dalam enam kategori. Deputi Direktur WI Rumadi yang juga sebagai penanggung jawab riset ini mengelompokkan kasus-kasus kekerasan agama itu ke dalam enam kategori. Keenam kategori itu adalah (1) kasus-kasus terkait kekerasan berbasis agama 39 kasus, (2) kebebasan beragama dan berkeyakinan 28 kasus, (3) kebebasan menjalankan agama dan keyakinan 9 kasus, (4) isu hak sipil warga negara 8 kasus, (5) kebebasan berpikir dan berekspresi 11 kasus, dan (6) terkait isu-isu moralitas 14 kasus” (lihat www.wahidinstitute.org).

Menariknya, masih menurut Rumadi, dalam peristiwa kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan. MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok keagamaan yang terbelah justru menjadi ”polisi agama” yang ikut menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan ”oase spiritual” bagi umat manusia—apa pun agama dan keyakinan mereka seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—justru ikut menjadi pembakar amarah massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang antidialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang ”dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri.

Proses komunikasi

Sejumlah fakta di atas tentu saja sangat mengkhawatirkan masa depan hubungan agama-agama dan interfaith dialog di Indonesia padahal dialog agama, seperti dikatakan Richard Solomon, Presiden United States Institute of Peace (USIP), adalah salah satu basis utama bagi terciptanya pembangunan perdamaian abadi (enduring peacebuilding). Dialog agama yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja bukan face-to-face conversations dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik formal yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan, melainkan proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders).

Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik dalam konteks dialog antaragama atau dialog intra-agama) adalah simpel: setiap individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah sesimpel yang kita bayangkan karena syarat dari sebuah dialog agama—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antaragama dari Temple University—adalah setiap partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran di mana-mana.

Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan ”yang lain” bukan sukses argumen melawan yang lain seperti umumnya dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strengths yang bisa dijadikan sebagai pedoman bersama atau solusi bersama untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan tiap-tiap kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat.

Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus setiap individu/kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan ”kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Harap dicatat bahwa materi dalam dialog agama ini tidak hanya mengungkapkan persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) setiap kelompok keagamaan, baik menyangkut nilai, doktrin, tradisi, kultur, teks, simbol, wacana, sejarah, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap-tiap kelompok keagamaan. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh di dalam laci, diletakkan di bawah meja, dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik, kekerasan, dan pertikaian.

Banyak praktisi dialog agama yang menganggap perbedaan-perbedaan agama (religious differences) tadi sebagai sesuatu yang tabu dan haram untuk diungkap ke permukaan karena menganggap hal ini bisa menghambat proses relasi antaragama. Sebaliknya, mereka lebih mengapresiasi sisi persamaan-persamaan keagamaan (religious commonalities) karena beranggapan hal ini bisa menjadi perekat, dasar, dan fondasi untuk membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan peaceful. Menjadikan persamaan dan commonalities sebagai basis dialog agama adalah perlu tetapi membicarakan perbedaan, sekali lagi dengan sikap elegan, saling menghargai, dan komitmen yang tulus untuk mencari ”permahaman dari dalam”, juga sangat vital dalam desain dialog agama. Selama ini memang telah dilakukan upaya penyingkapan perbedaan-perbedaan keagamaan dan keberagamaan itu. Akan tetapi, hal itu dilakukan dalam format monolog atau, kalau tidak, ”debat kusir” yang diiringi sikap sinisme dan semangat penuh kebencian untuk menjatuhkan kelompok keagamaan lain di satu sisi dan meneguhkan kebenaran dan superioritas kelompok keagamaannya sendiri di pihak lain. Model dialog semacam ini tentu saja kontra produktif dengan spirit dialog agama itu sendiri.

Perlu juga diketahui bahwa definisi dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antarkelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian dan lain sebagainya. Model dialog agama ini oleh Mohamed Abu-Nimer, Direktur Salaam Institute of Peace di Washington DC, disebut sebagai humanity model sementara Leo Swidler seorang sarjana dan praktisi dialog agama menyebutnya sebagai practice model (selanjutnya lihat di David Smock, ed, Interfaith Dialogue and Peacebuilding).

Banyak dialog agama jenis ini yang mampu mentransformasi para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan kemudian menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dialog agama untuk kemanusiaan yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.

Monolog

Sejauh yang saya amati format dialog agama di Indonesia belum menunjukkan perubahan berarti. Memang lembaga-lembaga dialog agama menjamur di mana-mana, dari Jakarta sampai kota-kota kecil kabupaten. Namun, desain lembaga atau forum antaragama itu sebetulnya bersifat monolog karena lembaga/forum interfaith tadi hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman keagamaan seragam. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut dialog agama dalam pengertian yang sesungguhnya seperti yang saya paparkan di atas dengan melibatkan ”the others” atau ”out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interest, dan tujuan.

Akibatnya, tiap-tiap kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: ”moderat-progresif” vs ”militan-konservatif”. Dua gerbong kelompok keagamaan ini berjalan dalam rel mereka sendiri dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Setiap kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Ke depan, desain dialog agama harus diubah.

Tantangan utama kaum moderat-progresif di Indonesia adalah mendesain kerangka dialog agama yang konstruktif dan produktif dengan melibatkan kelompok militan-konservatif atau radikal-fundamentalis. ”One cannot build a bridge starting in the middle,” seru John Paul Lederach, intelektual dan praktisi perdamaian global, sebagai kritik atas model konvensional dialog dan pembangunan perdamaian berbasis agama (religious peacebuilding) yang hanya melibatkan faksi moderat. Antropolog Cynthia Mahmood yang pernah menulis buku tentang kaum militan Sikh, Fighting for Faith and Nation: Dialog with Sikh Militants, suatu saat mengatakan ”inviting the religious millitant groups in the peace process are fruitful and strategic, particularly when religious identities become main root causes for violent acts” (Science, vol 264: 1018-1019).

Di pihak lain, kelompok militan-konservatif juga harus mau membuka diri untuk terlibat dalam desain dialog agama ini serta menghentikan provokasi-provokasi menyesatkan yang bisa menyakitkan pihak lain dan memicu timbulnya kekerasan. MUI sebagai salah satu institusi keislaman penting di Tanah Air juga sudah saatnya mengubah model monolog yang selama ini diterapkan dalam setiap upaya penyelesaian masalah keagamaan untuk diganti dengan format dialog agama yang membangun dan produktif dalam bingkai keragaman dan semangat untuk mencari solusi konstruktif yang tidak merugikan pihak lain. Sebagai wadah perkumpulan para ulama, sementara ulama sendiri adalah ”waris para nabi” seperti dikatakan dalam sebuah hadis, MUI semestinya menjadikan perilaku Nabi Muhammad SAW yang terbuka, peaceful, toleran, dan pluralis sebagai tauladan, memberikan fatwa-fatwa yang menyejukkan dan menyatukan semua komponen keagamaan, dan bukannya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memicu perpecahan dan kekerasan.

Untuk bisa mewujudkan idealisme dialog agama ini memang tidak mudah. Mantan guru saya, seorang sarjana Muslim dan aktivis dialog agama yang juga profesor resolusi konflik dan peace studies di American University, Washington DC, Mohammed Abu-Nimer, jauh-jauh hari mengingatkan bahwa dialog agama adalah ”bisnis yang sangat berbahaya” (Abu-Nimer dalam Smocks, ed, 2002: 15). Akan tetapi, ia buru-buru mengingatkan bahwa dialog agama dalam kerangka (framework) seperti yang saya paparkan di atas adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama serta medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut ”satu dunia”, yakni sebuah persepsi tentang semua makhluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apa pun latar belakang etnis dan agamanya— mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep ”satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada ”stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements”.

Mampukah tiap-tiap kelompok keagamaan dan keislaman di Indonesia mewujudkan desain dialog agama seperti ini?

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01103538/mendesain.kembali.form

Sumanto Al Qurtuby Sekjen KNU AS-Kanada dan Mahasiswa PhD di Bidang Cultural Anthropology, Boston University, Massachusetts, United States