Saturday, February 2, 2013

Jejak : Mukti Ali, Penabur Bibit Toleransi

Mukti Ali. TEMPO/ Ahmad Solikhan
Terlahir dari keluarga saudagar membuat Boedjono bebas bergelilya mencari ilmu. Selepas dari HIS di Cepu, oleh sang ayah, H. Abu Ali, ia mondok di Pesantren Termas, Pacitan, 170 kilometer di selatan Cepu. Di sinilah Boedjono, yang lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, 23 Agustus 1923, mulai bersentuhan dengan buku-buku yang diimpor dari Mesir, seperti buku tentang mantiq (logika), tasawuf dan filsafat.

Di kemudian hari, Boedjono sempat menimba ilmu Kyai Hamid Pasuruan dan Kyai Hamid Dimyati. Oleh Kyai Hamid Pasuruan, Boedjono diminta mengganti namanya menjadi Abdul Mukti, yang tak lain nama kecil sang kyai. Boedjono tentu amat tersanjung, ia pun memadukannya dengan nama sang ayah, menjadi Abdul Mukti Ali.

Dari Cepu dan Pacitan, Mukti Ali melakukan lompatan-lompatan yang jauh ; belajar ilmu perbandingan agama (sampai tingkat doctoral) di Universitas Karachi, Pakistan, kemudian melanjutkan pendidikan di Faculty of Divinity & Islamic Studies di McGill University, Kanada. Ia banyak belajar, menyerap dan menularkan ilmunya. Mukti kerap menganjurkan oksidentalisme –gerakan untuk mempelajari Islam dari sudut pandang Barat-.

Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama pada November 1971, ia sempat melontarkan konsep “agree in disagreement” –atau sepakat dalam perbedaan- , dalam symposium di Goethe Institut Jakarta. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam Islam.

Pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama, kata Mukti, disadari oleh kenyataan satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan. Di Islam setidaknya ada empat madhab besar. Islam di Indonesia juga terdiri atas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Masyumi, dan Dewan Dakwah. Begitu pula umat agama non-Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan ini tak dikelola dengan baik, sangat berpotensi menjadi konflik.

Mukti Ali pula yang menawarkan pemahaman agama secara kontekstual atau bersifat sosio-historis. Suatu metode pemahaman terhadap kepercayaan, ajaran, atau keyakinan yang muncul dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan tempat kepercayaan, ajaran, atau keyakinan itu muncul.

Sebagai menteri, Mukti Ali tak dikategorikan sebagai ulama sebagaimana pendahulunya, KH. M. Dahlan, tapi sebagai “teknokrat” sejajar dengan Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Sebagai menteri, ia memperkenalkan program “pengembangan pesantren” dengan pendekatan community development. Juga mengusulkan pendidikan keterampilan dan kewiraswastaan di lingkungan pesantren. Melalui Departemen Agama, Mukti Ali juga mendukung program Keluarga Berencana.
Wartawan senior Syu’bah Asa (alm) menilai sepak terjang Mukti Ali sebagai menteri berhasil mengubah citra Departemen Agama menjadi lembaga yang lebih “bersahabat”. Maklum, sebelumnya Departemen yang dipimpin KH. M. Dahlan ini laksana orang tua yang gemar menghukum anak-anaknya.
Sebagai akademisi, Mukti Ali, yang wafat pada 5 Mei 2004, menulis beberapa karya monumental, seperti Al-qur’an dan Terjemahannya (anggota dewan penerjemah), Al-qur’an dan Tafsirnya (anggota dewan penafsir), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, serta Beberepa Persoalan Agama Dewasa Ini. ***  (Ref. :  Koran Tempo, C2).  

SUDRAJAT

Retrieved from: http://www.tempo.co/read/news/2011/08/05/186350162/Mukti-Ali--Penabur-Bibit-Toleransi

http://iqbal1.wordpress.com/2011/08/05/jejak-mukti-ali-penabur-bibit-toleransi/

No comments:

Post a Comment