Tuesday, December 10, 2013

Islamic Studies in the Higher Education in Indonesia and the USA: A Comparative Study

Presenter in the Interdisciplinary Colloquium in the Program Pasca Sarjana at STAIN Salatiga, December 10, 2013. My paper: "Islamic Studies in the Higher Education in Indonesia and the USA: A Comparative Study".


Program Pascasarjana STAIN Salatiga menyelenggarakan seminar Interdisciplinary Colloquium bertajuk “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Amerika Serikat dan Indonesia (Islamic Studies in The Higher Education in Indonesia and The USA: A Comparative Study) dengan narasumber Ahmad Najib Burhani, Ph.D. dari Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta.
Acara dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2013 di gedung PKM2 kampus I mulai pukul 13.00 – 15.30 WIB. Acara juga dipenuhi oleh mahasiswa Program Pascasarjana serta beberapa dosen.
Najib memaparkankan dalam materinya tentang bagaimana sistem pendidikan agama Islam di Perguruan-perguruan Tinggi Islam, dan sejauh mana kita melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Beliau juga menambahkan bahwa di Amerika Serikat terdapat perbedaan dalam pengajaran pendidikan Islam dibanding dengan di Indonesia. (irc)

http://stainsalatiga.ac.id/interdisciplinary-colloquium-program-pascasarjana/

Sunday, May 26, 2013

Mukti Ali, Santri yang pluralis

Seorang Santri dari Cepu
Mukti Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23 Agustus 1923 ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Timur. Balun Sudagaran merupakan desa para saudagar. Salah satu kawasan “elit” yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo. Itu berarti Boedjono memang berasal dari sebuah keluarga yang cukup mapan. Ayah Boedjono, yaitu H. Abu Ali adalah seorang pedagang yang terpandang di wilayah tersebut, bukan hanya karena kesuksesan usaha dagangnya, namun juga karena sikap hidupnya yang berbeda dengan kebanyakan orang di desa tersebut. H. Abu Ali selain dikenal ulet, rajin dan disiplin, juga dikenal sebagai orang yang bersahaja, bersikap sederhana, dan tidak suka berfoya-foya seperti kebanyakan orang di desanya. H. Abu Ali juga selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjadi manusia yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Sikap ayahnya inilah yang di kemudian hari menjadi inspirasi utama bagi Boedjono dalam membawa diri. Terbukti bahwa kegigihan dan keluhuran budi sang ayah telah mengantarkan Boedjono ke gerbang kesuksesan, tak terkecuali juga saudaranya yang lain seperti Soepeni (setelah menunaikan ibadah haji berganti nama Zainab), Iskan (berganti nama Iskandar), Ishadi (Dimyati), Umi Hafifah, Zainuri, dan Sri Monah.
 
Boedjono kecil sudah akrab dengan pendidikan agama. Ia banyak mengaji pada paman, kakek, dan sanak saudara yang juga dikenal sebagai tokoh agama atau kyai di daerahnya. Kegiatan mengaji ini ia lakukan pada sore hari karena pada pagi hari ia harus mengikuti pelajaran di HIS, sekolah Belanda untuk penduduk pribumi. Sejak kecil, Boedjono sudah dikenal sebagai anak yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka kemudian H. Abu Ali memasukkan Boedjono di pesantren yang diasuh oleh Kyai Usman Cepu, anak dari Kyai Hasyim Jalakan atau guru dari Kyai Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Setelah Boedjono lulus dari HIS, H. Abu Ali memindahkan Boedjono ke Pondok Pesantren yang dianggap lebih maju karena telah menerapkan sistem madrasi sejak tahun 1932, yaitu PP. Termas di Pacitan, kira-kira 170 km di selatan Cepu. Di Pesantren yang juga tempat nyantri K.H. Ali Ma’shum (pengasuh PP. Krapyak dan Rois Aam PB NU) inilah Boedjono mulai bersentuhan dengan karya-karya yang menggugah nalarnya. Dia banyak membaca buku-buku yang diimpor dari Mesir, dia juga berkenalan dengan ilmu mantiq (logika), serta membaca beberapa buku tentang tasawuf dan filsafat.
 
Boedjono juga sempat menimba ilmu dari dua orang kyai yang ia sebut sebagai Hamidain atau dua orang Hamid. Hamid yang pertama adalah Kyai Hamid Pasuruan dan yang satunya adalah Kyai Hamid Dimyati. Satu hal penting dari bertemunya Boedjono dengan Kyai Hamid Pasuruan adalah diubahnya nama Boedjono menjadi Abdul Mukti. Nama kecil Kyai Hamid Pasuruan adalah Abdul Mukti, sang kyai menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan nama kecil sang kyai. Boedjono menerimanya dengan rasa bangga sekaligus merasa tertantang untuk menjaga kehormatan nama kecil gurunya tersebut. Sejak itu Boedjono berganti nama menjadi Abdul Mukti. Namun Abdul Mukti merasakan ada yang kurang dengan namanya. Abdul Mukti tidak hanya ingin menghormati gurunya namun juga ingin sekali menghormati ayahnya. Maka nama Ali yang merupakan nama belakang ayahnya (H. Abu Ali) ia tambahkan pula. Sehingga Boedjono telah berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali.
 
Tangga Pendidikan dan Karier Mukti Ali
Setelah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren, Mukti Ali melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri di Yogyakarta. Mukti Ali masuk di Fakultas Agama pada sekolah tinggi yang kini telah berganti nama Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.
 
Kesempatan pendidikan ke jenjang berikutnya ia peroleh setelah melaksanakan ibadah haji tahun 1950. Seusai melaksanakan ibadah haji, Mukti Ali berencana menetap sejenak di Mekah untuk menuntut ilmu. Namun ia bertemu dengan H. Imron Rosyadi (Kuasa Usaha untuk RI di Jeddah) yang menganjurkan agar Mukti Ali melanjutkan studinya di Jurusan Sejarah Islam, Universitas Karachi, Pakistan. Mukti Ali meraih gelar doktor pada tahun 1955.
 
Sebelum sempat mengabdikan ilmunya ke tanah kelahiran, Mukti Ali sudah terlebih dahulu diminta untuk terbang lebih jauh lagi dari tanah air. Anwar Haryono, pimpinan DDII pasca M. Natsir, sekaligus tokoh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang juga aktif di Masyumi, memberikan kabar kepada Mukti Ali bahwa ia menerima beasiswa studi ke Kanada. Di universitas yang dikenal dengan nama McGill ini, Mukti Ali diterima di Institut of Islamic Studies, bidang baru yang mulai dibuka pada tahun 1952 atas kerja keras Wilfred Cantwell Smith. W.C. Smith juga merupakan dosen favorit Mukti Ali yang memberikan banyak “pencerahan”, terutama berkaitan dengan metodologi yang nantinya sangat berpengaruh dalam ide-ide pembaruan Mukti Ali di Tanah Air. Setelah dua tahun Mukti Ali menimba ilmu di Kanada, kini ia bisa pulang ke tanah air dengan menggondol gelar M.A. (Master of Arts).
Setelah menikah dengan Siti Asmadah (puteri H. Masduki) pada tahun 1959, Mukti Ali siap mengabdikan ilmunya di tanah air. Mukti Ali mengajar di IAIN Yogyakarta dan Jakarta yang juga baru saja berdiri tahun 1960. IAIN Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah) waktu itu hanya memiliki dua fakultas yaitu Tarbiyah dan Adab, sementara IAIN Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) mengelola fakultas Syari’ah dan Ushuluddin. Di Fakultas Ushuluddin inilah Mukti Ali mendirikan disiplin ilmu baru di Indonesia yaitu Ilmu Perbandingan Agama. Maka Jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Yogyakarta yang memulai kuliahnya pada tahun 1961 tersebut, merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dewasa ini.
 
Disela-sela kesibukannya mengajar, Mukti Ali masih menyempatkan diri untuk berkarya besar bagi anak negeri, yaitu bergabung dengan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqi, Prof. Muchtar Yahya, Prof. Bustami A. Ghani, K.H. Ali Maksum, dan beberapa tokoh lain dalam Dewan Penerjemah untuk menyusun “Al-Qur’an dan Terjemahannya” versi Depatemen Agama. Sebuah kitab terjemahan yang kini banyak terdapat hampir di setiap rumah kaum muslimin dan masjid-masjid di tanah air.
 
Pada tanggal 11 bulan 11 tahun 1971, peluang Mukti Ali untuk berkarya besar bagi bangsa mulai terbuka. Karena sejak hari itu Mukti Ali mulai mengemban amanat sebagai Menteri Agama RI menggantikan KH. M Dachlan yang belum habis masa jabatannya, dan Mukti Ali meneruskan jabatan tersebut dalam masa berikutnya yaitu Kabinet Pembangunan II. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mukti Ali, yaitu dengan gebrakan baru yang akan dipaparkan pada sub-bab berikutnya dalam tulisan ini.
 
Pada tahun 1978, setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Mukti Ali masih dipercaya oleh pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1978-1983. Setelah itu Mukti Ali lebih memilih menyibukkan diri di Yogyakarta, karena ia merasa bahwa di kota inilah hasrat akademisnya lebih mudah tersalurkan. Karir terakhirnya di dunia politik adalah kebersediaannya untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1993-1998.
 
Kiprah lainnya adalah keterlibatannya sebagai anggota Komite Kebudayaan Islam di UNESCO yang berpusat di Paris, Perancis. Ia juga menjadi anggota Dewan Parlemen Agama-agama Sedunia di New York, anggota Dewan Riset Nasional, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta anggota Dewan Penyantun Universitas; antara lain Universitas Gajah Mada (UGM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan beberapa perguruan tinggi lain. Mukti Ali juga pernah menjadi anggota Pengurus Angkatan ’45.
 
Pemikiran Mukti Ali
Menyimak paradigma Integrasi-interkoneksi yang dicetuskan Prof. Amin Abdullah, mengingatkan penulis pada kritik Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia yang terkesan terkotak-kotak. Pak Mukti menekankan perlunya keterpaduan pengetahuan keislaman. Pendidikan Islam di Indonesia dalam pandangan Mukti Ali bisa menimbulkan ketimpangan jika tidak dibenahi, karena pendidikan Islam waktu itu pengajarannya masih terpisah-pisah. Hal ini dapat dilihat misalnya orang-orang yang mempelajari tasawuf biasanya menganggap fikih sebagai ranah yang tidak begitu perlu. Demikian pula sebaliknya. Maka Mukti Ali menginginkan agar pendidikan Islam dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup segala aspek kajian dalam Islam baik tauhid, fikih, akhlaq, tasawuf, tafsir, hadist, tarikh dan sebagainya. Dengan cara itulah pendidikan Islam akan mengenai sasaran karena menjadi kemasan yang efisien untuk memahami Islam secara kaffah. Dari sinilah Mukti Ali memulai gagasan pembaruannya. Memang semangat pembaruan Mukti Ali sudah tampak sejak ia belajar di Montreal, Kanada. Disana ia sudah sering memperbandingkan pemikiran dua tokoh pembaharu yang menarik minatnya, yaitu Muhammad Abduh dan Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
 
Dengan semangat pembaruan yang ia miliki serta keprihatinnya terhadap dunia pendidikan di tanah air, maka ia mengajukan beberapa poin yang perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan di Indonesia. Mukti Ali menyoroti kurangnya bahan bacaan, kurangnya kegiatan penelitian ilmiah, kurangnya diskusi akademis, dan masih rendahnya penguasaan bahasa asing. Empat hal inilah yang menurutnya menjadi kendala anak negeri untuk berkembang. Diakui atau tidak, empat permasalahan itu pula yang sebenarnya masih tetap ada hingga saat ini.
 
Kegelisahan Mukti Ali tidak berhenti sampai disini, namun lebih luas lagi, bahkan diluar kajian keislaman. Disinilah tampak pemikiran modern Mukti Ali. Ia menginginkan dibudayakannya sikap ilmiah dalam berbagai bidang kajian, tentunya termasuk dalam kajian keislaman. Pendidikan Islam yang melulu didasarkan pada doktrin keagamaan tidak akan cukup untuk mengejar ketertinggalan dunia Islam terhadap perkembangan global. Maka Mukti Ali mengusung paradigma “scientific cum doctriner” sebagai pendekatan yang holistik dan diharapkan dapat memberi jawaban terhadap kebutuhan umat Islam Indonesia di era modern. Gagasan Mukti Ali ini juga tidak bisa dilepaskan dari iklim yang berkembang di Barat berkaitan dengan studi agama. Sejak paruh kedua abad ke-19, di Barat telah berkembang paradigma untuk melakukan studi agama dengan empat corak yaitu scientific, critical, historical, dan comparatif. Hal ini pula yang dilakukan Mukti Ali di tanah air. Mukti selalu mendorong kajian ilmiah terhadap agama-agama, apalagi melihat realitas keragaman agama dan budaya di Indonesia yang harus dikella dengan baik.
 
Pemahaman yang mendalam terhadap pentingnya membina kerukunan antar umat beragama ini mendorong Mukti Ali untuk mencanangkan sebuah konsep pemikiran yang sangat dikenal dan menjadi icon bagi seorang Mukti Ali. Yaitu Konsep “agree in disagreement” setuju dalam ketidaksetujuan, atau sepakat dalam perbedaan. Hal ini disampaikan pertama kali oleh Mukti Ali dalam sebuah simposium di Goethe Institut Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat sebagai Menteri Agama. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam Islam, dan tentunya juga semangat pembaruan yang telah dimilikinya sejak menimba ilmu di negeri orang. Berawal dari konsep agree in disagreement inilah Mukti Ali menjabarkan lebih lanjut dalam model kerukunan antar umat beragama.
 
Pertama, Mukti Ali menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama. Umat satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan, misalnya dalam Islam setidaknya ada empat mazhab besar, Islam di Indonesia juga terdiri dari Muhammadiyah, NU, Masyumi, DDII, dan sebagainya. Begitu pula umat agama non Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan dalam satu agama ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin potensi tersebut berubah menjadi konflik. Seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dalam tubuh umat Islam, bahkan intern ormas Islam-pun bisa terjadi bentrok antar kubu.
 
Kedua, ditekankan pula pentingnya menjaga kerukunan antar umat berbeda agama. Dalam sejarah, konflik agama di belahan bumi manapun pernah terjadi, tak terkecuali di negeri kita yang beberapa dasawarsa lalu sempat mengundang decak kagum dunia karena keberhasilannya mengelola kebhinekaan dalam semangat persatuan. Namun belakangan, konflik Ambon dan Poso adalah contoh nyata dari gagalnya pemerintah dan umat beragama mewujudkan poin kedua ini. Ketiga, pentingnya membina hubungan umat beragama dengan pemerintah, agar kehidupan beragama dapat dilaksanakan dengan perasaan damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali juga menyatakan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula sekuler.
 
Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri agama, model kerukunan yang dimulai oleh Mukti Ali tersebut diteruskan oleh penggantinya yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara, dan dikemas menjadi Trilogi Kerukunan Antar Umat Beragama. Selanjutnya konsep ini diajarkan dengan baik di sekolah-sekolah dari tingkat SD bahkan hingga Perguruan Tinggi. Sehingga pendidikan akan pentingnya menghargai pluralitas dan menjaga kerukunan dapat ditanamkan pada anak bangsa.
 
Selain beberapa hal diatas, selama menjabat sebagai menteri agama, Mukti Ali juga meluluskan beberapa kebijakan penting. Diantaranya adalah upaya rasionalisasi Departemen Agama sebagai lembaga yang bertugas membangun manusia Indonesia seutuhnya. Mukti Ali pula yang mempopulerkan konsep manusia Indonesia seutuhnya yaitu kriteria pembangunan jasmani dan rohani manusia yang tentunya mensyaratkan adanya unsur iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga memasukkan pembangunan di bidang agama dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
 
Mukti Ali juga menegaskan bahwa IAIN memiliki tugas yang sama dengan perguruan tinggi lainnya, yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi meliputi pengajaran dan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat. Mukti Ali juga mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang fungsi utamanya adalah memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
 
Satu hal lagi yang menarik dari guru Besar Perbandingan Agama sekaligus mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga ini adalah sikapnya yang sangat toleran terhadap umat agama lain. Sikap ini menempatkan Mukti Ali dalam jajaran tokoh-tokoh pengusung liberalisme dalam Islam, atau setidaknya bisa disebut sebagai tokoh moderat dan inklusif. Sikap diamnya terhadap sepak terjang Harun Nasution dianggap oleh sebagian orang sebagai keberpihakan Mukti Ali terhadap pemikiran liberal dalam Islam. Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang cukup geram dengan aroma mistis dalam masyarakat Islam di Indonesia, Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang mencoba meruntuhkan angkuhnya dinding normatifisme dalam nalar Islam. Oleh karenanya, professor dan Guru Besar UIN Jakarta ini sempat dituding sebagai penganut Paham Mu’tazilah. Namun Mukti Ali dengan cerdik berada di tengah-tengah dengan memilih bersikap moderat. Mukti Ali menyadari bahwa perkembangan pemikiran Islam modern memang diperlukan bagi kemajuan umat Islam di Indonesia, namun dia juga sadar bahwa menjaga hubungan baik dengan umat yang sebagian besar masih berparadigma normatif tetaplah penting.
 
Hal inilah yang membedakan Mukti Ali dengan para pengusung modernisasi Islam yang lain seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Jika kedua tokoh tersebut terkesan frontal dan berapi-api dalam melontarkan gagasannya, Mukti Ali justru memilih cara-cara yang kalem dan persuasif. Mukti Ali berupaya agar gagasannya tidak menimbulkan kontra. Apalagi Mukti Ali juga mengakui bahwa kebijakannya tersebut juga dilandasi dengan prinsip keadilan yang ia temukan dalam Islam yaitu : kebebasan hati nurani, kemanusiaan yang egaliter, dan solidaritas sosial yang kokoh.
 
Kelebihan Mukti Ali antara lain juga tercermin dalam kemampuannya menampilkan diri sebagai sosok yang netral, bukan NU dan Bukan Muhammadiyah, bukan dari ormas atau parpol tertentu. Meskipun dia hasil didikan Barat namun keberpihakannya pada nasib bangsa Timur tak pernah diragukan.
 
Singkatnya, banyak hal positif dapat diambil dari diri Mukti Ali, sikap tawadu’ disiplin, toleran, kegigihannya dapat diteladani. Langkah-langkah yang telah dimulainya adalah batu pijakan yang harus diteruskan karena memang sedang sangat dibutuhkan bangsa ini, buah pikirannya juga merupakan kontribusi penting yang selalu bisa dirujuk oleh generasi saat ini. Ibarat di padang gersang, Mukti Ali adalah oase tempat gembala, penduduk, dan kafilah melepas dahaga.
 
http://pondoktremas.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=175:mukti-ali-santri-yang-pluralis&catid=58:profil-alumni&Itemid=126

Djohan Effendi, Merayakan Perbedaan

Ikut merasa sakit dengan mereka yang tidak punya kebebasan, Djohan Effendi-1 Oktober 2009 genap 70 tahun- lebih dari 40 tahun menjadi penggiat dialog antar agama, "Agama itu bukan penjara," tegasnya.

Oleh ST SULARTO

BIODATA

Nama : Djohan Effendi
Lahir : Kandangan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939
Istri : Solichah (65)
Anak : Winda Artensia, Yorna Febrina, Rayvan Adigordha
Pendidikan :
- Tamat PGA di Banjarmasin
- Lulusan terbaik Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta (1962)
- Tugas belajar di PHIN Yogyakarta

Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan harian Ahmad Wahib, refleksi pembaruan kelompok diskusi
Djohan effendi tidak sedang bicara politik atau membangun citra. Dia bicara hal yang substansial tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak eksistensial manusia. Bukan basa-basi, melainkan aktif mempraktekan teologi toleransi dengan tujuan memperkuat fondasi dan wawasan kebangsaan. baginya, Indonesia dengan berbagai keragaman dan perbedaan merupakan berkah yang perlu disyukuri dan dikembangkan.

Terbentang panjang rekam jejaknya. Sejak tahun 1967, bersama Achmad Wahib dan Dawam Rahardjo, Djohan mengembangkan teologi toleransi dalam diskusi kelompok Limited Group di Yogyakarta. "Inisiatif kegiatan digagas Wahib. Nama Limited Group berasal dari Dawam," kata Djohan merendah.

Bersama Mukti Ali, dosen mereka di IAIN Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga), yogyakarta, awalnya kegiatan ini hanya melibatkan empat orang, lama-lama bergabung pula sejumlah tokoh agama lain, seperti Dick Hartoko SJ, JWM Bakker SJ, dan Purbowinoto. Buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, refleksi pembaruan kelompok diskusi mingguan itu, sempat menghebohkan. Kontroversi merebak menyangkut gugatan anak-anak muda terhadap berbagai hal yang tabu dalam Islam.

Kegiatan Limited Group ibarat, pembuka kunci pembaruan. "Padahal sebelumnya istilah pembaruan di kalangan Islam masih tabu," Otokritik yang mereka lakukan ibarat bola salju menggelindingkan pembaruan dalam Islam.

Memang, inklinasi merayakan perbedaan Djohan terbentuk semakin liat di Yogyakarta, semasa kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (1963-1970). Dia memperoleh lahan subur yang dipupuk oleh kehadiran Mukti Ali, yang waktu itu masih sebagai dosen.

Lingkungan intelektual yang terbiasa diskusi bebas membentuk intelektualitas Djohan yang dari sono-nya pluralis dan moderat. Limited Group menyemarakkan diskursus keislaman.

 Menurut Djohan, para pendiri negara ini sudah menaruh fondasi visi kebangsaan Indonesia. Pancasila merupakan warisan amat berharga, bekal mengembangkan visi kebangsaan. Mereka pun merumuskan teologi yang diterima semua kalangan. Kaum muslim rela menghapuskan tujuh kata dalam klausul Piagam Jakarta dan menghentikan hasrat mendirikan negara Islam. Kebebasan beragama merupakan pertaruhan kelestarian Indonesia yang dibangun atas kemajemukan. Indonesia merupakan melting pot yang menyatukan berbagai unsur agama.

Kedudukan sebagai pejabat Departemen Agama dan penulis pidato-pidato Soeharto yang berkaitan dengan masalah keagamaan, membuka ruang bagi kesempatan mewujudkan ide-ide kemajemukan dalam keputusan politis, termasuk meletakan dasar-dasar toleransi dan kehidupan umat beragama.
Ketika Mukti Ali sebagai Menteri Agama-Djohan begitu lulus IAIN tahun 1970 ditarik ke Departemen Agama dan kemudian staf pribadi menteri-hidup subur upaya dialog antar agama.
Pada masa itu berkembang berbagai bentuk terobosan, mulai dari dialog antaragama, dialog antarumat beragama, sampai dialog karya sebagai awal dari dialog iman.

Dalam pidato penganugerahan gelar ahli peneliti utama (profesor riset) tahun 1992, Djohan menyinggung keberadaan kelompok minoritas seperti Konghucu. Pernyataan ini diminta agar dicoret. "Saya tak mau. Dalam pidato, kalimat itu saya ucapkan,"

Bukan penjara

"
Pada setiap agama mengandung kebenaran ," kata Djohan Effendi di kantornya Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Cempaka Putih, Jakarta. Agama bukanlah penjara, tetapi sarana evolusi diri mencapai pencerahan tanpa batas. Adanya berbagai agama adalah anugerah. Itulah pencarian spiritual yang tulus. Sebuah penziarahan bersama. Djohan merasa sedih ketika terjadi pertikaian yang berlatar belakang agama di Indonesia. Agama tak bisa dilihat hitam putih. Semua dikembalikan kepada humanisme dengan kemanusiaan yang mempersatukan.

Mengutip pernyataan salah satu temannya, teolog Ktolik, Hans kung, Djohan berkata, mempelajari bermacam-macam agama berarti memperoleh perdamaian. Dalam setiap agama ditemukan perdamaian. Tak salah kalau dia kemudian terlibat dalam berbagai lembaga yang mempertemukan agama-agama, seperti di Majelis Budhayana Indonesia, DIAN/Interfidei, Madia, dan ICRP-lembaga yang dia bersama-sama ikut dirikan-kantor yang kini menjadi salah satu terminal kegiatan Djohan sehari-hari.

Begitu lulus sarjana tahun 1970, bersama Mukti Ali, ia lagi-lagi memperoleh lahan subur mengembangkan dialog agama. Setelah lima tahun sebagai staf pribadi Menteri Agama, Djohan dikaryakan di Sekretariat Negara. Karier sebagai penulis pidato Soeharto selesai ketika Djohan mendampingi KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, tahun 1984, kunjungan yang memperoleh banyak tentangan di Indonesia.

Ketika Malik Fadjar sebagai Menteri Agama, Djohan diangkat sebagai Kepala Litbang Departemen Agama. Dia berkantor selama 24 jam. "Rumah" nya berupa kamar istirahat, satu pintu masuk dengan ruang tamunya di Lantai II Kantor Balitbang Departemen Agama, Jalan MH Thamrin. Setiap tiga bulan sekali pergi ke Geelong, di Victoria, Australia, sebabselain istri dan ketiga anaknya tinggal disana, Djohan tengah menempuh kandidatdoktor di Universitas Deakin, Geelong. Dia memperoleh gelar doktor (2005) dengan disertasi tentang pemikiran progresif kalangan muda NU, kiai muda NU, dan wanita NU.

Tidak selantang Gus Dur atau Nurcholis Madjid (Cak Nur), inklusivitas Djohan Effendi termasuk liberal yang rajin mengkampanyekan dialog antaragama, membangun jaringan di antara mereka, serta punya perhatian besar kepada kelompok minoritas.

Dalam rangka perayaan 70 tahun usianya, terbit dua buku: Sang Pelintas Batas. Biografi Djohan Effendi yang ditulis Ahmad Gaus AF serta Merayakan Kebebasan Beragama-bunga rampai tulisan koleganya tentang persoalan yang selama ini digeluti Djohan Effendi. Peluncuran kedua buku itu akan dilaksanakan 6 Oktober.

Persisnya ulang tahun tanggal 1 Oktober, mengapa baru 5 Oktober (diskusi terbatas) dan 6 Oktober dirayakan? "Habis Lebaran. Teman-teman masih mudik, belum kumpul semua," sergah Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Pengurus Yayasan ICRP.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 OKTOBER 2009

 http://sutarko.blogspot.com/2010/12/djohan-effendi-merayakan-perbedaan.html

Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan Effendi


Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Intelektual yang tangguh, sederhana dan Mengabdi

Written By Syafrein Effendiuz on 17 July 2004 | Saturday, July 17, 2004

Amanah Online
Bismillahirrahmanirrahim

Laporan: M. Fuad Nasar / ANR


[Laporan Khusus]
Bangsa Indonesia kehilangan tokoh panutan. Mantan Menteri Agama RI Prof. Dr. H.A. Mukti Ali telah berpulang ke Rahmatullah, Rabu petang, 5 Mei 2004 di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dalam usia 81 tahun. Meninggalkan seorang istri (Ibu As�adah) dan tiga putra-putri, jenazahnya dimakamkan hari Kamis di pemakaman IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lahir di Cepu, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923. meraih gelar Master of Arts (MA) dari McGill University, Kanada (1957). Meneruskan kuliah di Universitas Aligarch, India, hingga memperoleh gelar Doktor sejarah Islam. Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai staf Kedubes RI di Karachi.

Sepanjang hayatnya Mukti Ali dikenal sebagai intelektual Muslim yang tangguh, berwatak dan berpandangan luas, memiliki reputasi nasional dan internasional. Dia anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), anggota dewan riset internasional dan perintis organisasi Parlemen Agama Sedunia di New York. Dia orang pertama yang membuka jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Perbandingan Agama, barangkali satu-satunya di Indonesia. Dia memperkenalkan pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai �bapak ilmu Perbandingan Agama di Indonesia�.

Tokoh yang bersih, jujur dan sederhana ini dilantik menjadi menteri agama pada 11 september 1971 menggantikan KHM Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan meklanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Ia satu diantara sedikit intelektual yang mampu menjaga integritas dan kredibilitas pada saat berada di dunia birokrat.

Keistimewaan Mukti Ali, ia bisa menampilkan diri murni sebagai tokoh representatif umat Islam yang netral dari kepentingan kelompok. Dia bukan berasal dari organisasi NU, bukan pengurus Muhammadiyah, atau lainnya, dan bukan pula kader partaipolitik. Di samping itu, meski berpendidikan Barat, kharisma seorang mentri agama panutan umat tercermin pada sosok Mukti Ali.

Dia memiliki sikap hidup qanaah, konsisten, tidak berubah karena kedudukan dan jabatan yang disandangnya. Kesederhanaan terlihat dalam kehidupan pribadi dan keluarganya, baik ketika menjadi menteri maupun setelah kembali ke dunia akademis. Setelah meneyelesaikan tugas sebagai Menteri Agama, lalu diangkat menjadi anggota DPA, tapi ia memutuskan tinggal di Yogyakarta agar kegiatan mengajar bias kembali dilakukannya.

Dr. Taufik Abdullah (1995) melukiskan keistimewaan Mukti Ali bahwa Ia dating ke Yogyakarta ke Jakarta dengan membawa hanya sebuah koper berisikan beberapa lembar pakaian, dan saat meninggalkan Jakarta pun ia pulang dengan membawa koper yang sama.

Sedikitnya ada lima hal penting dari kebijakan Mukti Asewaktu menjadi Menteri Agama. Pertama, rasionalisasi Depag menjadi departemen yang mempunyai tugas utama membangun manusia seutuhnya. Dialah yang mempopulerkan istilah �membangun manusia Indonesia seutuhnya�

Kedua, intelektualisasi lembaga pendidikan tinggi IAIN. Dia menegaskan tugas IAIN sama dengan perguruan tinggi lainnya, ialah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pengajaran dan pendidikan, penelitian (riset) serta pengabdian masyarakat. Ketiga, memantapkan posisi agama dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. Pembangunan bidang agama masuk dalam GBHN. Namun dalam hal ini, ia dengan gambling menegaskan, Indonesia bukanlah negara terokraris, dan juga bukan negara sekuler.

Keempat, menggalang kerukunan hidup antar umat beragama, baik intern satu agama maupun antar agama. Dalam intern agama (Islam), ia meluruskan imej yang salah kaparah mempertentangkan faham ortodoks sebagai faham �kaum tua� dengan faham modern sebagai faham �kaum muda�, Orthodoxy (orthos + doxa) adalah faham yang didasarkan pada ajaran yang benar, yang asli. Lawan kata ortodoks bukan modern, melainkan heterodoks, yakni faham yang telah bercampurbaur. Jadi, ortodoks bias ada pada �kaum tua� dan �kaum muda�.

6yang lebih menonjol adalah konsepnya tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih klanjut menjadi konsep �Kerukunan Hidup Antarumat Beragama� di Indonesia.

Kelima, ia mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang diantara fungsi utamanya memberikanpertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaaaan dan kemasyarakatan.

Buku-buku karyanya antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Billali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad Iqbal, Ta�limul Muta�allimin versi Iman Zarkasyi, Motode Memahami Agama Islam, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern. Pada tahun 1962-1965 ia bertugas sebagai anggota Lembaga Penerjemah Al Quran yang digagas olehDepartemen Agama periode Menteri Agama Prof. KH. Sarifuddin Zuhri.

Mukti Ali telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kita semua menjadi saksi bahwa ia telah banyak berpikir dan bekerja untuk umat, bangsa dan negara. Semoga amal salihnya itu diterima oleh Allah, dan semoga pula Allah memberi kita petunjuk untuk dapat meneladaninya, Selamat Jalan Pak Mukti Ali.

M. Fuad Nasar / ANR

http://sekilas.blogspot.com/2004/07/prof-dr-ha-mukti-ali-intelektual-yang.html

Saturday, May 25, 2013

Ilmu Perbandingan Agama dan Dialog Keberagamaan

Oleh
ILIM ABDUL HALIM
(DOSEN PERBANDINGAN AGAMA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)
Dalam memelihara kehidupan masyarakat, kontribusi nilai-nilai agama sangat diperlukan terutama dalam upaya membangun etika yang diperlukan masyarakat. Sebagaimana konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans Kung bahwa ada beberapa pola dalam membentuk tanggung jawab dunia. Pertama, dunia tidak akan bertahan tanpa adanya etika dunia (No survival without a world ethic); kedua, tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian keberagamaan (No world peace without religious peace); ketiga, tidak ada perdamaian keberagamaan tanpa dialog keberagamaan (No religious peace without religious dialogue), keempat, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).[1] Kehadiran peran agama dalam konteks Indonesia pun sangat diperlukan karena Indonesia sebagai salah satu Negara dan Bangsa dihuni oleh masyarkat yang memiliki nilai-nilai keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap sakral. Indonesia sebagai salah satu Negara dari belahan dunia yang berada di bagian timur bumi, ternyata memiliki keanekaragaman kekayaan, baik sumber daya alam maupun sumber daya masyarakat. Selain itu Indonesia dikenal sebagai kesatuan bangsa, faktanya terdapat berbagai suku bangsa atau etnik yang relatif banyak berada di dalamnya. Sebagaimana para ahli sosiologi dan antropologi mencatat sekitar 300 suku bangsa yang memiliki bahasa, tradisi dan agama (kepercayaan) yang berbeda-beda.
Menyadari hal tersebut, kajian dan kontribusi atau nilai pragmatis Ilmu Perbandingan Agama dan dialog kebergamaan dalam konteks Indonesia dianggap penting sebagai kerangka pemikiran dan kerja dalam memelihara integrasi bangsa. Tulisan ini didasarkan pada buku-buku Ilmu Perbandingan Agama dan beberapa pengamatan sekaligus pengalaman penulis dalam memahami Ilmu Perbandingan Agama dan realitas dialog keberagamaan. Secara ringkas dalam tulisan ini penulis akan menguraikan beberapa hal diantaranya; Pertama, Pengertian Ilmu Perbandingan Agama, dalam bahasan ini penulis akan menguraikan sejarah kelahiran Perbandingan Agama sebagai Ilmu yang dianggap sebagai wilayah kajian baru dalam tradisi ilmiah. Kedua, metode kajian Ilmu Perbandingan Agama, di sini dijelaskan bagaimana cara mempelajari Agama-Agama sebagai fenomena keberagamaan termasuk pendekatan-pendekatan keilmuan. Ketiga, dialog keberagamaan sebagai salah satu aplikasi Ilmu Perbandingan Agama.

Ilmu Perbandingan Agama
Sebenarnya Ilmuan Muslim telah menyusun metode-metode tentang aliran dan sekte-sekte keagamaan yang menjadi fondasi keilmuan Ilmu Perbandingan Agama yang dikenal comparative of religion di dunia Barat. Terbukti dengan karya-karyanya seperti; Ali Ibn Hazm (994-1064) menyusun karya Al-fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nihal, Muhammad Abd Al-Karim Al-Syarastani (1017-1143) membuat karya Al-Milal wa Al-Nihal.  Beberapa penulis Muslim lain telah menyusun sekte-sekte dalam Islam seperti: Al-Baghdadi (wafat 429 H) menyusun al-faruq bain al firaq, Abu Mudzaffar al Isfarayani (wafat 471 H). Para penulis Muslim tersebut dapat disebut sebagai peletak dasar Ilmu perbandingan Agama. Karena karya-karya penulis Muslim itu cenderung bersifat teologis-normatif, dimana unsur-unsur subyektif penulisnya mewarnai karya-karya itu, maka karya-karya mereka berbeda dengan tradisi keilmuan yang ada di Barat. Akibatnya karya-karya mereka tidak dikenal segaimana tradisi keilmuan di dunia Barat.
Ilmu Perbandingan Agama di dunia Eropa pada mulanya dipublikasikan oleh Friedrich Max Muller seorang ahli filologi berkebangsaan Jerman, ketika dia berbicara di Royal Institution – London tentang Ilmu Agama. Ucapan-ucapan dia tentang Ilmu Agama itu ditulis dalam suatu tulisan yang dimuat dalam bahasa Inggris berjudul, Introduction to the Science of Religion (1873).  Secara garis besar isi buku itu menceritakan bahwa ilmu Agama itu didasarkan pada perbandingan Agama-agama yang tidak berat sebelah dan benar-benar ilmiah. Selain itu dia menjelaskan sikap para peneliti dan pengkaji agama agar menghargai agama itu dalam bentuk apa pun agama itu mengekspresikan dirinya, sehingga pengkajian agama pada saat itu menjadi wilayah baru dalam tradisi keilmuan.
Kemudian para sarjana yang memiliki perhatian terhadap pemikiran Max Muller itu mengembangkannya di Paris, Jerman dengan menyusun bahan-bahan studi secara sistematis. Mereka menekankan adanya studi perbandingan atau metode perbandingan pada kajiannya, sehingga kajian agama-agama itu bernama Studi (ilmu) Perbandingan Agama (the comparative study of religion) atau secara sederhana dikenal dengan istilah “perbandingan agama” (comparative religion).
Pada akhir abad kesembilan belas, Ilmu perbandingan Agama ini semakin meluas pada wilayah kajiannya. Dengan kata lain Ilmu Perbandingan Agama mengalami perkembangan pada sisi epistimologi, ontologi dan aksiologi Ilmu Pengetahuan. Para Ilmu Perbandingan Agama menganggap perlu adanya kejelasan bagaimana Ilmu Perbandingan Agama dipahami? Louis H. Jordan pada tahun 1905 menulis buku berjudul Comparative Religions, its Genesis and Growth. Dia menganggap perlunya memberikan arti tentang Perbandingan Agama. Dia menjelaskan arti Ilmu Perbandingan Agama sebagaimana dikutip Mukti Ali[2];
Ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-peersamaan dan perbedaannya yang sebenarnya, sejauh mana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif apabila dianggap sebagai tipe-tipe.

            Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama tersebar ke berbagai Negara dengan istilah yang berbeda-beda. Istilah tersebut dikenal dalam berbagai bahasa di luar negeri diantaranya; The science of religion, comparative of religions, the comparative of religions (Bahasa Inggris), la science de religion (Prancis), religionswissenschaft (Bahasa Jerman), muqaranatul adyan (Bahasa Arab). 
Di Indonesia pada tahun 1950-an telah ada istilah “Sejarah Agama-agama” yang digunakan sebagai mata pelajaran di Madrasyah Aliyah dan Mata Kuliah di perguruan tinggi Islam. Istilah itu mirip dengan Ilmu Perbandingan Agama karena ia mengkaji Agama-agama lain selain Agama Islam dari aspek sejarah. Agama-agama yang dipelajari diantaranya, Agama Primitif, Yahudi, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Khonghucu. Zoroaster, dan Majusi. Namun istilah “Sejarah Agama-agama” itu mengalami perubahan secara akademik pada tahun 1960. Istilah “Ilmu Perbandingan Agama” dipopulerkan oleh Mukti Ali, ketika fakultas Ushuluddin dengan jurusan Perbandingan Agama sebagai salah satu jurusannya pada program Strata-1 dibuka di Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta pada tahun 1960. Mukti Ali menyusun kurikulum Jurusan perbandingan Agama pada waktu itu. Adapun kurikulum tersebut adalah Ilmu Perbandingan Agama, Sosiologi Agama, Filsafat Agama, Psikologi Agama, Kristologi, Dogmatika Kristen, Sejarah Gereja, Tafsir Injil, Orientalisme, Kebatinan, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ilmu kalam dan Aliran-aliran Modern dalam Islam. Berkat ketekunannya dalam kajian Agama-Agama Mukti Ali dikenal di luar dan dalam negeri sebagai Ilmuan Agama-Agama. Beliau pernah menduduki jabatan-jabatan yang berkaitan dengan bidang keagamaan diantaranya; beliau dikenal sebagai Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga- Yogyakarta, pernah menjabat Menteri Agama, sebagai anggota dewan komite Kebudayaan Islam UNESCO (Paris), dewan penasihat Pembentukan Parlemen Agama-Agama Sedunia dan masih banyak jabatan lainnya.
Kondisi pendidikan masyarakat Muslim pada waktu itu sedang memerlukan peningkatan secara kualitas. Sebagaimana menurut Mukti Ali bahwa terdapat sebab-sebab praktis dan fundamental perlunya peningkatan, diantaranya; kekurangan bacaan ilmiah, kurangnya kegiatan penelitian ilmiah, kurangnya diskusi akademis, rendahnya penguasaan bahasa asing di antara sebagian besar mahasiswa dan dosen, corak mistik mendominasi kehidupan agama di Indonesia, pemikiran fiqh dengan pendekatan normatif cenderung lebih ditekankan oleh para ulama, timbulnya semangat dakwah yang begitu antusias setelah terjadinya pemberontakan yang diduga dilakukan oleh Komunis pada tahun 1948 dan 1965, adanya kecurigaan dari masyarakat muslim –bahkan sampai sekarang, bahwa Ilmu Perbandingan Agama berasal dari Barat, dan para pengkaji Ilmu Agama atau Ilmu Perbandingan Agama waktu itu kurang menguasai ilmu-ilmu bantu seperti sosiologi, antropologi, arkeologi, filsafat dan sebagainya. Pembukaan Jurusan perbandingan Agama dilanjutkan di perguruan tinggi yang berada di berbagai daerah di Indonesia.  Kini, program perbandingan Agama tidak hanya di program Strata satu, tetapi juga ia diadakan di program Pascasarjana.
Apabila dilihat dari pengertiannya sejak kelahirannya sampai perkembangannya, maka Ilmu perbandingan Agama memiliki beberapa makna. Pertama, Ilmu perbandingan Agama memiliki makna sebagai salah satu Ilmu yang dikenal dengan Ilmu Agama. Pada dasarnya Ilmu Perbandingan Agama adalah Ilmu Agama-Agama (Religious Studies). Ilmu ini mengkaji fenomena keberagamaan atau ungkapan keberagamaan (religious expression), baik individu maupun kelompok masyarakat. Kedua Ilmu Perbandingan Agama sebagai metode untuk mengkaji agama-Agama, karena di dalamnya terdapat metode perbandingan. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan struktur-struktur diantara Agama-Agama mesti menggunakan metode perbandingan. Ketiga, ilmu perbandingan Agama bermakna sebagai nama program atau jurusan di Perguruan Tinggi Pendidikan. Beberapa perguruan tinggi seperti IAIN, UIN dan UGM membuka jurusan atau program Ilmu Perbandingan Agama atau Perbandingan Agama.[3]

Metode Ilmu Perbandingan Agama
            Untuk memahami Ilmu perbandingan secara akademis diperlukan cara dan prosedur dalam kajiannya. Cara dan prosedur tersebut dinamakan metode Ilmu Perbandingan Agama. Dalam metode tersebut terdapat objek kajian, pendekatan, cabang-cabang, dan paradigma atau sikap pengkaji.
            Objek kajian Ilmu Perbandingan Agama adalah agama itu sendiri sebagai penomena. Di sini Agama diartikan sebagai keberagamaan (religious bukan religion) yang memiliki berbagai aspek atau multi dimensi. Sebagaimana Ninian Smart ungkapkan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki multidimensi, seperti doktrin, mitologi, etika, ritual, institusi sosial dan pengalaman keagamaan.[4] Agama dipahami sebagai fenomena atau ekspresi individu atau kelompok dalam interaksinya dengan sesuatu yang dianggap sakral. Ekpresi keagamaan tersebut menurut Joachim Wach diwujudkan dalam tiga bentuk yang menjadi obyek kajian Ilmu Perbandingan Agama. Ketiga bentuk tersebut adalah teoritis, praktis dan sosial atau lembaga. Hal-hal yang berkaitan dengan teoritis seperti gagasan doktrin, teks suci, cerita-cerita mitos dan sistem keyakinan. Unsur agama yang berhubungan dengan praktis diantaranya ritual do’a, dan prilaku masyarakat beragama. Aspek agama yang berkaitan dengan sosial atau lembaga seperti; interaksi masyarakat beragama, baik konflik maupun integrasi sosial dalam kehidupannya, stratifikasi, kelompok masyarakat beragama dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam Ilmu Perbandingan Agama diantaranya; Bagaimana gagasan seseorang memahami Tuhannya? Bagaimana individu atau masayarakat menemukan sabda suci yang memberikan kerangka berpifkir dalam melakukan setiap aktifitasnya? Bagaimana dampaknya gagasan dan ritual keagamaan terhadap masyarakat? Bagaimana kehidupan masyarakat berdampak dalam kehidupan keberagamaan? Para pengkaji Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama tidak mengkaji hakikat kebenaran suatu Agama menurut keyakinan pengkajinya sehingga para peneliti Ilmu Perbandingan Agama tidak mengangkat pertanyaan-pertanyaan seperti; Apakah agama seseorang benar atau salah? Apakah Tuhan mereka Benar atau Salah? Persoalan Agama mana yang benar dan salah adalah persoalan teologi atau normatif seseorang dalam menilai suatu agama, sehingga Ilmu Perbandingan Agama yang dikembangkan oleh Max Muller cenderung menggunakan pendekatan keilmuan yang tidak normative-teologis dalam kajiannya, melainkan emfiris-fenomena.
            Perlu diketahui bahwa metode comparative atau perbandingan adalah salah satu jenis pendekatan yang mampu digunakan oleh pengkaji agama di dalam kajian dan penelitiannya. Metode lainnya adalah metode deskriptif analisis. Metode ini merupakan suatu metode untuk mendeskrifsikan ekspresi keagamaan dengan analisis fenomena atau kualitatif. Penelitian agama cenderung menggunakan analisis kualitatif, karena obyek kajiannya berupa fenomena dari ekspresi keagamaan. Terdapat beberapa pendekatan atau ilmu bantu untuk mengkaji agama dalam Ilmu Perbandingan Agama, diantaranya; sejarah, sosiologi, antropologi, filsafat,[5] psikologi, fenomenologi, dan filologi. Dengan pendekatan beberapa ilmu tersebut diharapkan para pengkaji agama dengan mudah atau terbantu dalam mengkaji agama secara ilmiah bukan apologis. Masing-masing pendekatan mempunyai metode-metode tersendiri.
Namun Mukti Ali menyarankan bahwa pengkajian Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya pendekatan sain atau scientific, tetapi juga diiringi dengan pendekatan cumdoctrinair, sehingga beliau memperkenalkan suatu istilah dalam metode pendekatannya yaitu pendekatan “religio-scientific”. Istilah lain untuk menyebut istilah tersebut beliau namakan dengan istilah “scientific-cumdoctrinair atau “ilmiah-agamais”. Di sini Agama diteliti atau dikaji tidak hanya dengan pendekatan Ilmiah, melainkan dipadukan dengan pendekatan sikap keberagamaan atau religious. Apabila agama dikaji dengan pendekatan ilmiah saja, ada suatu kekuatiran dengan penafsiran pengkaji atau peneliti agama yang tidak sesuai dengan phenomena di masyarakat. Contohnya, seorang ahli seni rupa meneliti masyarakat Hindu dan masyarakat Muslim. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitiannya adalah bahwa masyarakat Hindu menyembah patung yang terbuat dari batu, begitu pula masyarakat Muslim menyembah batu hitam. Padahal pada faktanya masyarakat Hindu mengakui tidak menyembah patung dan masyarakat Muslim tidak mengakui menyembah batu hitam, melainkan mereka mengakui menyembah Tuhannya. Dengan demikian seorang peneliti atau pengkaji agama sebaiknya mengerti atau merasakan tentang Tuhan. Dengan kata lain seorang peneliti atau pengkaji agama memahami arti beragama atau sebaiknya dia beragama. Akibatnya, Ilmu Perbandingan Agama atau Perbandingan Agama memiliki cabang-cabang ilmu dalam kajian keberagamaan sesuai dengan konteksnya. Cabang-cabang ilmu itu diantaranya, sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, fenomenologi agama, dan filsafat agama. Masing-masing cabang ilmu itu memiliki pendekatan-pendekatan dan metode-metode tertentu.
            Uraian metode tersebut diatas dapat menimbulkan suatu paradigama atau sikap yang mesti dipahami oleh peneliti atau pengkaji agama dalam lingkup Ilmu Perbandingan Agama. Beberapa paradigma atau sikap peneliti dalam Ilmu Perbandingan Agama itu diantaranya; Pertama, Agama dipahami sebagai fenomena faktual. Artinya sesuai dengan apa yang dipercayai dan diyakini oleh para pemeluk agama-agama masing-masing. Fakta tersebut menjadi bahan kajian para peneliti agama. Bukan agama yang seharusnya dipahami oleh peneliti atau bersifat ideal, melainkan agama yang dipahami oleh subyek penelitian yang menjadi phenomena obyektif. Di sini objektifitas dari peneliti dalam melihat gejala keberagamaan sangat diperlukan. Kedua, para peneliti agama sebaiknya bersikap tidak kontra-produktif, tidak polemik, tidak apologetik, dan tidak mengadili terhadap agama yang dikajinya. Peneliti agama sebaiknya mengerti dan memahami prinsif “Agree in Dis-Agreement”. Peneliti atau pengkaji agama tidak menilai benar atau salah suatu agama atau pemahaman penganut agama, melainkan mendeskripsikan dan menganalisisnya. Peneliti tidak menginterpensi kondisi gejala keagamaan yang  sedang diteliti, sehingga hasil kajiannya menjadi bahan pengetahuan. Ketiga, Dalam kajian masyarakat beragama terutama dengan pendekatan sosiologi dan antropologi, peneliti atau pengkaji agama mengerti dan merasakan keberagamaan masyarakat agar hasil analisisnya sesuai dengan fakta di lapangan. Keempat peneliti atau pengkaji agama memiliki kemampuan pengetahuan atau ilmu-ilmu alat bantu perbandingan Agama, seperti sosiologi, antropologi, arkeologi, fenomenologi, bahasa (terutama bahasa Inggris dan Arab) dan sebagainya dalam mengkaji agama-agama tertentu yang menjadi objek kajiannya. Kelima, Peneliti atau pengkaji agama menganggap bahwa kajiannya atau hasil penelitiannya tidak hanya untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk kepentingan pragmatis seperti dialog keberagamaan dan mengatasi problema masyarakat (soteriologi), seperti memelihara kerukunan atau menjaga integrasi sosial. Terutama bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan agama.

Dialog Keberagamaan
           
            Salah satu aplikasi dari Ilmu Perbandingan Agama dapat berupa dialog keberagamaan. Adanya dialog keberagamaan di masyarakat terutama di Indonesia didasarkan adanya keanekaragaman masyarakat Indonesia yang plural termasuk identitas agama sebagai salah satunya. Masyarakat beragama memiliki keinginan atau kepentingan yang berbeda-beda dalam interaksi sosialnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Karena Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman sosial dan budaya yang dinamis, maka potensi pertentangan akan selalu ada pada setiap aspek budayanya. Pluralitas masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan persoalan-persoalan aspek budaya terutama politik, ekonomi dan agama memiliki potensi yang dapat menimbulkan pertentangan (disosiatif). Beberapa peristiwa konflik telah dialami bangsa ini pada era setelah jatuhnya Soeharto. Peristiwa-peristiwa itu diantaranya, kasus gerakan separatisme  terjadi di Timor-Timur, Aceh, Papua Barat; Kerusuhan Muslim dan masyarakat Kristen di Maluku dan Sulawesi, Kekerasan antar etnik di Kalimantan, kekerasan anti Cina, perilaku kekerasan Muslim yang bersifat militeristik dan geng-geng pemuda.[6]  
Pertentangan hubungan antar penganut agama, terutama Islam dan Kristen telah terjadi di Indonesia sejak lama.  Persaingan kedua penganut agama ini menyangkut masalah bantuan asing, penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah. Salah satu persoalan sikap keberagamaan yang menyangkut sikap intoleransi banyak terjadi pula di Indonesia. Sebagaimana hasil temuan Wahid Institut bahwa  sepanjang tahun 2009  wilayah yang sering munculnya kasus-kasus intoleransi;  Jawa Barat 32 kasus (34 %), Jakarta 15 kasus (16 %), Jawa Timur 14 kasus (15 %), dan Jawa Tengah 13 kasus (14 %). Menurut lembaga ini bahwa di Jawa Barat, isu yang paling mengancam kehidupan beragama adalah isu yang termasuk dalam kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada agama tertentu seperti Yahudi, Kristen, atau kelompok/individu yang diduga sesat. Masalah-masalah seperti kemiskinan, kesejahteraan, pengangguran, hak azasi manusia, keadilan, bencana alam merupakan faktor yang menjadi pendorong diadakannya dialog.
Dalam mengkaji dialog keberagamaan terdapat beberapa hal yang dianggap penting, diantaranya; Institusi, landasan atau prinsip dan bentuk dialog keberagamaan. Apabila institusi dipahami sebagai sistem perilaku untuk mengatur kebutuhan manusia,[7] maka dalam dialog keberagamaan tidak hanya institusi agama yang diperlukan tetapi institusi lainnya juga diperlukan. Artinya dialog keberagamaan tidak hanya melibatkan pada persoalan agama termasuk doktrin, ritual dan penganut agama saja, tetapi institusi lainnya termasuk ekonomi, politik-pemerintah, budaya, dan sistem kemasyarakatan juga perlu terlibat dalam dialog keberagamaan. Institut atau organisasi yang terlibat itu bisa pemuka agama atau masyarakat beragama yang tergabung dalam organisasi keagamaan; bisa kalangan akademisi, LSM, Pemerintah, media massa dan lembaga-lembaga lainnya. Khusus para akademisi yang memiliki latar belakang Ilmu Perbandingan Agama dapat memilih posisi dan peran dalam dialog keberagamaan, seperti, ilmuan, agamawan, aktifis sosial keagamaan, pejabat pemerintah dan sebagainya. Sebagai ilmuan agama, seseorang dapat meneliti dan mengkaji hubungan antar agama di masyarakat. Apabila hasil penelitian dan pengkajian agama-agama seperti ini sudah banyak dipublikasikan dan bisa banyak dibaca oleh masyarakat yang rawan konflik agama, maka kemungkinan kesalah pahaman yang berkaitan dengan agama-agama lain, dapat dihindari atau minimal bisa dikurangi. Sehingga keharmonisan atau kerukunan bahkan kerjasama antar penganut agama dapat diwujudkan.
            Persoalan landasan atau prinsip dialog kebergamaan diperlukan sebagai norma atau kode etik. Dalam konteks dialog keberagamaan di Indonesia, norma ini disusun berdasarkan pada nilai-nilai teologi dari masing-masing agama yang bersifat tidak monopoli.  Nilai teologi ini disebut teologi kerukunan sebagaimana Djohan Effendi[8] jelaskan,
Dengan pendekatan dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakkan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan, katakanlah semacam Teologi kerukunan. Istilah ini mengandung dan mengundang kritik, namun apa yang dimaksudkan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagaman yang didasarkan atas kesaradan bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keberagamaan seseorang, pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.

Para pemuka atau penganut agama yang terlibat dalam dialog keberagamaan menyadari betul bahwa masing-masing agama mengajarkan keselamatan, perdamaian, kemanusiaan, rakhmat, loyalitas, kesederhanaan, keterbukaan dan keuniversalan. Nilai-nilai persamaan dari masing-masing agama ini dapat menjadi landasan atau kerangka kerja dalam dialog keberagamaan. Salah satu contoh doktrin ajaran Islam sebagai landasan berdialog diantaranya; adanya keyakinan atau iman kepada para nabi dan rasul.[9] Dalam penjelasannya bahwa adanya rasul atau orang yang diutus Allah merupakan tanda kebesaran Tuhan yang memerintahkan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada manusia. Selain itu beliau menambahkan bahwa dalam pandangan inklusif ummat Islam diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju pada prinsip nilai-nilai persamaan (kalimat-un sawa) yaitu ke ajaran tawhid –monoteisme.[10]Dengan demikian untuk dapat saling mengerti dan memahami diantara penganut agama, nilai-nilai keterbukaan menjadi syarat dalam dialog keberagamaan.
Namun bagi kelompok agamawan atau penganut agama nilai-nilai keterbukaan itu masih perlu ada batas-batas yang tetap dijaga oleh para penganut agama tersebut. Sebagaimana menurut Kleden[11] seorang sosiolog Kristen,
Suatu pembicaran mengenai dialog antar agama nampaknya hanya bisa dimulai dengan mengandaikan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Masalahnya mungkin baru timbul, bila kemudian mulai dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud dengan keterbukaan, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap agama lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan atau ditolerir, dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Dengan lain perkataan, perlu dirumuskan juga batas-batas kemungkinan keterbukaan tersebut.

Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud batas-batas dari dialog itu adalah keselamatan itu sendiri[12]. Keselamatan bagi para penganut agama itu yakni tidak adanya paksaan yang bertentangan dengan hak azasi manusia dan tidak menjadikan percampuran doktrin keagamaan yang mengurangi nilai kesakralan. Khusus berkaitan dengan perbedaan teologis, apabila tidak ditemukan titik persamaan diantara para pemuka agama, maka para pemuka agama dapat menggunakan prinsip “Agree in Dis-Agreement”. Sebagaimana pandangan ekslusif tentang agama, baik gagasan kayakinan Islam maupun Kristen. Dalam ajaran Islam dikenal ayat; Inna dinna indallaahil Islam (sesungguhnya agama yang di sisi Allah adalah Islam), dan dalam ajaran Kristen dikenal extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) atau ungkapan extra ecclesiam nullus propheta (di luar gereja tidak ada nabi).
Selain itu landasan yang berperan sebagai norma-norma itu seharusnya didasari azas kebangsaan dan kemanusiaan.  Dengan azas kebangsaan, masyarakat Indonesia yang dibedakan oleh identitas ras, etnik, agama atau kepercayaan dan jenis kelamin semestinya menyadari betul bahwa mereka adalah sebagai warga Negara dan bangsa Indonesia. Berbagai persoalan yang menjandi ancaman kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia seperti disintegrasi, sparatisme, demokratisasi, kemiskinan, pengangguran dan sebagainya adalah tanggung jawab segenap lapisan dan kelompok masyarakat Indonesia. Dengan demikian dialog keberagamaan dalam konteks Indonesia tidak hanya untuk kepentingan para penganut atau kelompok agama tetapi sebaiknya diarahkan pula untuk kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia. Begitu pula dengan azas Kemanusiaan, masyarakat dunia yang terdiri dari kelompok dan individu termasuk kelompok beragama memiliki persoalan dan tanggung jawab terhadap kelangsungan peradaban manusia. Persoalan hak azasi, domokrasi, perdamaian, kesejahteraan, kemiskinan, kebodohan, lingkungan dengan beberapa bencana alam merupakan bagian dari persolan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab seluruh manusia. Kehidupan masyarakat beragama tidak hanya untuk kepentingan kelompok atau komunitas masyarakat beragama tetapi juga dituntutut untuk kepentingan kemanusiaan secara umum. Para penganut agama dituntut untuk memberi kontribusi terhadap solusi masalah peradaban manusia yang tidak lagi dibatasi oleh letak geografis dan identitas budaya, karena kehidupan yang damai, harmonis merupakan cita-cita umat manusia.
Dialog keberagamaan atau dikenal kerukunan hidup beragama telah dilakukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu kasus yang terjadi di Indonesia secara historis bahwa gagasan kerukunan beragama yang menjadi salah satu program pemerintah diduga dilatarbelakangi oleh adanya hubungan yang kurang harmonis di kalangan hidup beragama, terutama isu Kristenisasi. Sebagaimana Djohan Effendi ungkapkan,
Kerukunan hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang agama. Gagasan ini muncul, terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa kejadian yang memperlihatkan gejala meruncingnya hubungan antar agama. Gejala ini terlihat kentara pada pertengahan akahir tahun enam puluhan. Hal ini terutama berhubungan dengan sangat santernya isyu kristenisasi pada saat itu. Barangkali karena itulah Menteri Agama pada waktu itu, Prof. Mukti Ali, pada tahun 1971 melontarkan gagasan dialog pemuka agama, sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu forum percakapan bebas dan terus terang dimana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama. Sejak itu kegiatan dialog diprogramkan dan merupakan kegiatan utama dari proyek kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama.[13]

Tentu saja, bukan hanya faktor persoalan agama yang menjadi latar belakang dialog keberagamaan, tetapi juga persoalan kebangsaan dan kemanusiaan menjadi latar belakang adanya dialong kerukunan hidup beragama.
            Beberapa bentuk dialog keberagamaan dapat dilakukan masyarakat baik individu atau kelompok. Beberapa tokoh masyarakat melakukan berbagai dialog keagamaan seperti pemuka agama atau kepercayaan, kalangan akademis, lembaga non-pemerintah dan masyarakat secara umum. Beberapa dialog telah dilakukan tokoh masyarakat di berbagai kota di Indonesia dalam bentuk seminar, dialog, lokakarya, penelitian dan sebagainya. Selain dalam bentuk kegiatan formal ada juga masyarakat yang melakukan kegiatan secara informal, baik berkaitan dengan lingkup keluarga dan bertetangga maupun berkaitan dengan waktu-waktu tertentu. Seperti kehidupan masyarakat sehari-hari di lingkungan keluarga atau bertetangga - peristiwa kawin campur, hubungan antar agama dalam kehidupan bertetangga kasus di Yogyakarta. peristiwa yang berkaitan dengan waktu-waktu tertentu seperti; buka puasa bersama, pengadaan pasar murah, warung reformasi – masih kasus di Yogyakarta. Upaya memelihara perdamaian di kalangan generasi muda melalui olah raga yang diorganisir kelompok Muslim dan no-Muslim. Seperti program “sepak bola untuk perdamaian” yang dilakukan di Jawa Barat. Beberapa upaya yang dilakuan oleh berbagai penganut agama dalam upaya memulihkan tragedi kemanusiaan seperti; gempa, banjir, longsor dan sebagainya. Hal yang lebih penting dari dialog keberagamaan itu yang telah dilakukan beberapa tokoh dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Tentu, penulis merasa sukar untuk menilai keberhasilan program dialog keberagamaan itu di Indonesia. Terbukti masih adanya beberapa konflik masyarakat yang dijadikan isyu persoalan agama terutama penganut agama. Tetapi penulis dapat melihat beberapa kemajuan dialog yang telah dilakukan baik oleh sebagian masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat. Seperti dialog yang bersifat normative teologis, birokratis, dan sosiologis humanis. Selain itu terdapat pula adanya pola pembinaan untuk saling mengerti dan memahami di antara pemuka agama termasuk generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu dialog keberagamaan tetap masih perlu dilanjutkan, baik formal maupun informal guna membina dan memelihara integrasi sosial.
Dari uaraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa Agama sebagai salah satu institusi sosial dapat berkaitan dengan institusi sosial lainnya yakni pendidikan akademik dan prilaku sosial. Dalam konsep pendidikan akademik, agama dapat berbentuk Ilmu Agama atau Ilmu Perbandingan Agama, sedang dalam prilaku sosial dapat berupa Dialog keberagamaan atau aksi sosial keagamaan. Terdapat kesatuan antara kajian agama sebagai pendidikan akademik melalui Ilmu Perbandingan Agama dan prilaku dialog keberagamaan sebagai aksi sosial. Kedua hal itu seharusnya saling melengkapi karena yang pertama bersifat akademik teoritis memberi kerangka pemikiran dan kerja, sedang yang kedua bersifat sosial praktis yang menjadi perwujudan atau aplikasi dari Ilmu Perbandingan Agama. Peran Ilmu Perbandingan Agama dan dialog keberagamaan tersebut sangat diperlukan dalam konteks masyarakat yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik secara diferensiasi maupun stratifikasi sosial. Perbedaan peran dan status dalam masyarakat itu akan menjadi rawan dan terancam terhadap kondisi masyarakat sebagai kesatuan bangsa apabila aktivitas manusia cenderung bersifat mementingkan diri dan tidak manusiawi.
Ilmu Perbandingan Agama dan dialog keberagamaan merupakan suatu kesatuan yang dapat dipahami secara akademik, sosiologis, budaya dan sebagainya. Kehadirannya telah memberikan kontribusi bagi kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan internasional. Di sini kontribusi atau nilai pragmatis Ilmu Perbandingan Agama yang diwujudkan dalam dialog keberagamaan dapat dilihat dengan jelas yakni memelihara atau menjaga integrasi sosial.
Terdapat dua tokoh di Indonesia yang dapat dijadikan simbol karena jasanya dalam bidang akademik dan pembangunan kehidupan beragama yang harmonis. Kedua tokoh tersebut adalah H.A Mukti Ali dan K.H. Abdurahman Wahid. Kedua tokoh ini tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tokoh pertama telah memberi kontribusi terutama dalam sosialisasi Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan memprakarsai program kerukunan hidup beragama. Tokoh yang pernah menjabat menteri Agama ini telah merumuskan dan mempublikasikan teori dan metode Ilmu Perbandingan Agama juga konsep dialog kebergamaan di Indonesia.Tokoh Kedua telah memberi kontribusi dalam aspek aplikasi Ilmu Perbandingan Agama dalam konteks kerukunan ummat beragama sebagai wujud dari etika kamanusiaan. Awalnya Gusdur –panggilan Akrab K.H. Abdurahman Wahid dikenal sebagai keturunan dan pemimpin salah satu organisasi besar Islam, namun beliau mampu menjalin hubungan integrasi dengan para penganut-penganut agama lain. Upaya Dialog tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbukti gagasan pemikiran dan perilaku beliau diterima sebagian besar bangsa Indonesia dari berbagai kelompok dan lapisan masyarakat. Beliau telah memberikan keteladanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah kehidupan yang pluralistic dan multikulturalistik. Kontribusi beliau dalam kehidupan berbangsa dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan keteladanannya dalam menjaga integrasi bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, ras, agama atau kepercayaan dan gender. Sehingga atas jasa-jasanya kedua tokoh tersebut baik secara akademik maupun aksi sosial keberagamaan layak sebagai tokoh pluralisme dan multikulturalisme Indonesia.
Tentu saja terdapat beberapa kritik yang muncul dalam menanggapi terhadap Ilmu Perbandingan Agama dan Dialog Keberagamaan. Dalam penggunaan istilah “ilmu” dalam Ilmu Perbandingan Agama cenderung bersifat mazazi atau metafora, artinya ilmu yang dipahami dalam ilmu Perbandingan Agama tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ada, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya, karena bercampur dengan prinsif norma. Di sini Ilmu cenderung dipahami sebagai “kajian” sehingga para pengkaji agama kini lebih banyak menggunakan kata “kajian” atau “studies” daripada kata “ilmu”. Untuk memasyarakatkan dan memfokuskan kajian Ilmu Agama, para pengkaji agama mengganti istilah “Ilmu Perbandingan Agama” dengan istilah Studi Agama-Agama atau “religious studies.
Ada pula sebagian ahli memberikan pendapat bahwa sebaikanya istilah yang digunakan adalah “resulusi konflik”. Istilah ini cenderung dipahami dalam konteks praktis dalam mengatasi problem sosial terutama konflik sosial. Dalam hal ini Mahasiswa diharapkan memahami dan mampu secara terlatih mengatasi persoalan konflik di masyarakat terutama yang disebabkan oleh faktor sosial-agama, apabila konflik sosial itu terjadi.
Begitu juga dialog yang telah banyak dilakukan cenderung bersifat ceremonial dan karikatur. Dialog keberagamaan semestinya tidak hanya sebagai kegiatan yang bersifat ceremonial yang hanya menjadi tontonan sesaat di waktu ada upacara, tetapi sebagai sikap mental yang dilandasi tanggung jawab masyarakat atau individu sebagai penganut agama, warga masyarakat, bangsa dan Negara, juga warga dunia. Karena di tengah arus globalisasi dan informasi nilai-nilai agama dituntut berperan dalam mengatasi persoalan bangsa dan dunia.
Akhirnya penulis dapat mengatakan dua hal yang dianggap penting dalam akhir tulisan ini. Pertama, Ilmu Perbandingan Agama atau religious studies dapat menghasilkan norma atau prinsip-prinsip dalam kehidupan beragama. Kedua, dialog keberagamaan akan memberikan kontribusi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan global internasional apabila dialog keberagamaan tidak didasarkan paksaan atau kepalsuan melainkan atas dasar tanggung jawab dan kejujuran.

Referensi

§  David Brown and Ian Wilson. Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum in Jakarta, Working Paper No.145 July 2007, Asia Research Center-Perth Western Australia.
§  George B. Grose dan Benyamin J. Hubbard (editor), Tiga Agama Satu Tuhan,Terjemahan Santi Indra Astuti, Bandung: Mizan, 1998,
§  H.A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993. Cetakan keempat,
§  Hans Kung, Global Responsibility in Search of a new World Ethic, New York; Crossroad. Translated John Bowden, 1991
§  Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, cetakan ke-2, Jakarta: Universitas, 1964,
§  Prisma No. 5 Juni 1978.
§  Walter H. Capps, Religious Studies The Making of a Discipline. USA: Fortress Press. 1995.

http://www.pauinsgd.ac.id/html/index.php?id=artikel&kode=12