Sunday, May 26, 2013

Mukti Ali, Santri yang pluralis

Seorang Santri dari Cepu
Mukti Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23 Agustus 1923 ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Timur. Balun Sudagaran merupakan desa para saudagar. Salah satu kawasan “elit” yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo. Itu berarti Boedjono memang berasal dari sebuah keluarga yang cukup mapan. Ayah Boedjono, yaitu H. Abu Ali adalah seorang pedagang yang terpandang di wilayah tersebut, bukan hanya karena kesuksesan usaha dagangnya, namun juga karena sikap hidupnya yang berbeda dengan kebanyakan orang di desa tersebut. H. Abu Ali selain dikenal ulet, rajin dan disiplin, juga dikenal sebagai orang yang bersahaja, bersikap sederhana, dan tidak suka berfoya-foya seperti kebanyakan orang di desanya. H. Abu Ali juga selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjadi manusia yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Sikap ayahnya inilah yang di kemudian hari menjadi inspirasi utama bagi Boedjono dalam membawa diri. Terbukti bahwa kegigihan dan keluhuran budi sang ayah telah mengantarkan Boedjono ke gerbang kesuksesan, tak terkecuali juga saudaranya yang lain seperti Soepeni (setelah menunaikan ibadah haji berganti nama Zainab), Iskan (berganti nama Iskandar), Ishadi (Dimyati), Umi Hafifah, Zainuri, dan Sri Monah.
 
Boedjono kecil sudah akrab dengan pendidikan agama. Ia banyak mengaji pada paman, kakek, dan sanak saudara yang juga dikenal sebagai tokoh agama atau kyai di daerahnya. Kegiatan mengaji ini ia lakukan pada sore hari karena pada pagi hari ia harus mengikuti pelajaran di HIS, sekolah Belanda untuk penduduk pribumi. Sejak kecil, Boedjono sudah dikenal sebagai anak yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka kemudian H. Abu Ali memasukkan Boedjono di pesantren yang diasuh oleh Kyai Usman Cepu, anak dari Kyai Hasyim Jalakan atau guru dari Kyai Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Setelah Boedjono lulus dari HIS, H. Abu Ali memindahkan Boedjono ke Pondok Pesantren yang dianggap lebih maju karena telah menerapkan sistem madrasi sejak tahun 1932, yaitu PP. Termas di Pacitan, kira-kira 170 km di selatan Cepu. Di Pesantren yang juga tempat nyantri K.H. Ali Ma’shum (pengasuh PP. Krapyak dan Rois Aam PB NU) inilah Boedjono mulai bersentuhan dengan karya-karya yang menggugah nalarnya. Dia banyak membaca buku-buku yang diimpor dari Mesir, dia juga berkenalan dengan ilmu mantiq (logika), serta membaca beberapa buku tentang tasawuf dan filsafat.
 
Boedjono juga sempat menimba ilmu dari dua orang kyai yang ia sebut sebagai Hamidain atau dua orang Hamid. Hamid yang pertama adalah Kyai Hamid Pasuruan dan yang satunya adalah Kyai Hamid Dimyati. Satu hal penting dari bertemunya Boedjono dengan Kyai Hamid Pasuruan adalah diubahnya nama Boedjono menjadi Abdul Mukti. Nama kecil Kyai Hamid Pasuruan adalah Abdul Mukti, sang kyai menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan nama kecil sang kyai. Boedjono menerimanya dengan rasa bangga sekaligus merasa tertantang untuk menjaga kehormatan nama kecil gurunya tersebut. Sejak itu Boedjono berganti nama menjadi Abdul Mukti. Namun Abdul Mukti merasakan ada yang kurang dengan namanya. Abdul Mukti tidak hanya ingin menghormati gurunya namun juga ingin sekali menghormati ayahnya. Maka nama Ali yang merupakan nama belakang ayahnya (H. Abu Ali) ia tambahkan pula. Sehingga Boedjono telah berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali.
 
Tangga Pendidikan dan Karier Mukti Ali
Setelah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren, Mukti Ali melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri di Yogyakarta. Mukti Ali masuk di Fakultas Agama pada sekolah tinggi yang kini telah berganti nama Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.
 
Kesempatan pendidikan ke jenjang berikutnya ia peroleh setelah melaksanakan ibadah haji tahun 1950. Seusai melaksanakan ibadah haji, Mukti Ali berencana menetap sejenak di Mekah untuk menuntut ilmu. Namun ia bertemu dengan H. Imron Rosyadi (Kuasa Usaha untuk RI di Jeddah) yang menganjurkan agar Mukti Ali melanjutkan studinya di Jurusan Sejarah Islam, Universitas Karachi, Pakistan. Mukti Ali meraih gelar doktor pada tahun 1955.
 
Sebelum sempat mengabdikan ilmunya ke tanah kelahiran, Mukti Ali sudah terlebih dahulu diminta untuk terbang lebih jauh lagi dari tanah air. Anwar Haryono, pimpinan DDII pasca M. Natsir, sekaligus tokoh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang juga aktif di Masyumi, memberikan kabar kepada Mukti Ali bahwa ia menerima beasiswa studi ke Kanada. Di universitas yang dikenal dengan nama McGill ini, Mukti Ali diterima di Institut of Islamic Studies, bidang baru yang mulai dibuka pada tahun 1952 atas kerja keras Wilfred Cantwell Smith. W.C. Smith juga merupakan dosen favorit Mukti Ali yang memberikan banyak “pencerahan”, terutama berkaitan dengan metodologi yang nantinya sangat berpengaruh dalam ide-ide pembaruan Mukti Ali di Tanah Air. Setelah dua tahun Mukti Ali menimba ilmu di Kanada, kini ia bisa pulang ke tanah air dengan menggondol gelar M.A. (Master of Arts).
Setelah menikah dengan Siti Asmadah (puteri H. Masduki) pada tahun 1959, Mukti Ali siap mengabdikan ilmunya di tanah air. Mukti Ali mengajar di IAIN Yogyakarta dan Jakarta yang juga baru saja berdiri tahun 1960. IAIN Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah) waktu itu hanya memiliki dua fakultas yaitu Tarbiyah dan Adab, sementara IAIN Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga) mengelola fakultas Syari’ah dan Ushuluddin. Di Fakultas Ushuluddin inilah Mukti Ali mendirikan disiplin ilmu baru di Indonesia yaitu Ilmu Perbandingan Agama. Maka Jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Yogyakarta yang memulai kuliahnya pada tahun 1961 tersebut, merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dewasa ini.
 
Disela-sela kesibukannya mengajar, Mukti Ali masih menyempatkan diri untuk berkarya besar bagi anak negeri, yaitu bergabung dengan Prof. Hasbi Ash-Shiddieqi, Prof. Muchtar Yahya, Prof. Bustami A. Ghani, K.H. Ali Maksum, dan beberapa tokoh lain dalam Dewan Penerjemah untuk menyusun “Al-Qur’an dan Terjemahannya” versi Depatemen Agama. Sebuah kitab terjemahan yang kini banyak terdapat hampir di setiap rumah kaum muslimin dan masjid-masjid di tanah air.
 
Pada tanggal 11 bulan 11 tahun 1971, peluang Mukti Ali untuk berkarya besar bagi bangsa mulai terbuka. Karena sejak hari itu Mukti Ali mulai mengemban amanat sebagai Menteri Agama RI menggantikan KH. M Dachlan yang belum habis masa jabatannya, dan Mukti Ali meneruskan jabatan tersebut dalam masa berikutnya yaitu Kabinet Pembangunan II. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mukti Ali, yaitu dengan gebrakan baru yang akan dipaparkan pada sub-bab berikutnya dalam tulisan ini.
 
Pada tahun 1978, setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Mukti Ali masih dipercaya oleh pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk periode 1978-1983. Setelah itu Mukti Ali lebih memilih menyibukkan diri di Yogyakarta, karena ia merasa bahwa di kota inilah hasrat akademisnya lebih mudah tersalurkan. Karir terakhirnya di dunia politik adalah kebersediaannya untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1993-1998.
 
Kiprah lainnya adalah keterlibatannya sebagai anggota Komite Kebudayaan Islam di UNESCO yang berpusat di Paris, Perancis. Ia juga menjadi anggota Dewan Parlemen Agama-agama Sedunia di New York, anggota Dewan Riset Nasional, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta anggota Dewan Penyantun Universitas; antara lain Universitas Gajah Mada (UGM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan beberapa perguruan tinggi lain. Mukti Ali juga pernah menjadi anggota Pengurus Angkatan ’45.
 
Pemikiran Mukti Ali
Menyimak paradigma Integrasi-interkoneksi yang dicetuskan Prof. Amin Abdullah, mengingatkan penulis pada kritik Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di Indonesia yang terkesan terkotak-kotak. Pak Mukti menekankan perlunya keterpaduan pengetahuan keislaman. Pendidikan Islam di Indonesia dalam pandangan Mukti Ali bisa menimbulkan ketimpangan jika tidak dibenahi, karena pendidikan Islam waktu itu pengajarannya masih terpisah-pisah. Hal ini dapat dilihat misalnya orang-orang yang mempelajari tasawuf biasanya menganggap fikih sebagai ranah yang tidak begitu perlu. Demikian pula sebaliknya. Maka Mukti Ali menginginkan agar pendidikan Islam dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup segala aspek kajian dalam Islam baik tauhid, fikih, akhlaq, tasawuf, tafsir, hadist, tarikh dan sebagainya. Dengan cara itulah pendidikan Islam akan mengenai sasaran karena menjadi kemasan yang efisien untuk memahami Islam secara kaffah. Dari sinilah Mukti Ali memulai gagasan pembaruannya. Memang semangat pembaruan Mukti Ali sudah tampak sejak ia belajar di Montreal, Kanada. Disana ia sudah sering memperbandingkan pemikiran dua tokoh pembaharu yang menarik minatnya, yaitu Muhammad Abduh dan Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
 
Dengan semangat pembaruan yang ia miliki serta keprihatinnya terhadap dunia pendidikan di tanah air, maka ia mengajukan beberapa poin yang perlu diperhatikan oleh dunia pendidikan di Indonesia. Mukti Ali menyoroti kurangnya bahan bacaan, kurangnya kegiatan penelitian ilmiah, kurangnya diskusi akademis, dan masih rendahnya penguasaan bahasa asing. Empat hal inilah yang menurutnya menjadi kendala anak negeri untuk berkembang. Diakui atau tidak, empat permasalahan itu pula yang sebenarnya masih tetap ada hingga saat ini.
 
Kegelisahan Mukti Ali tidak berhenti sampai disini, namun lebih luas lagi, bahkan diluar kajian keislaman. Disinilah tampak pemikiran modern Mukti Ali. Ia menginginkan dibudayakannya sikap ilmiah dalam berbagai bidang kajian, tentunya termasuk dalam kajian keislaman. Pendidikan Islam yang melulu didasarkan pada doktrin keagamaan tidak akan cukup untuk mengejar ketertinggalan dunia Islam terhadap perkembangan global. Maka Mukti Ali mengusung paradigma “scientific cum doctriner” sebagai pendekatan yang holistik dan diharapkan dapat memberi jawaban terhadap kebutuhan umat Islam Indonesia di era modern. Gagasan Mukti Ali ini juga tidak bisa dilepaskan dari iklim yang berkembang di Barat berkaitan dengan studi agama. Sejak paruh kedua abad ke-19, di Barat telah berkembang paradigma untuk melakukan studi agama dengan empat corak yaitu scientific, critical, historical, dan comparatif. Hal ini pula yang dilakukan Mukti Ali di tanah air. Mukti selalu mendorong kajian ilmiah terhadap agama-agama, apalagi melihat realitas keragaman agama dan budaya di Indonesia yang harus dikella dengan baik.
 
Pemahaman yang mendalam terhadap pentingnya membina kerukunan antar umat beragama ini mendorong Mukti Ali untuk mencanangkan sebuah konsep pemikiran yang sangat dikenal dan menjadi icon bagi seorang Mukti Ali. Yaitu Konsep “agree in disagreement” setuju dalam ketidaksetujuan, atau sepakat dalam perbedaan. Hal ini disampaikan pertama kali oleh Mukti Ali dalam sebuah simposium di Goethe Institut Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat sebagai Menteri Agama. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam Islam, dan tentunya juga semangat pembaruan yang telah dimilikinya sejak menimba ilmu di negeri orang. Berawal dari konsep agree in disagreement inilah Mukti Ali menjabarkan lebih lanjut dalam model kerukunan antar umat beragama.
 
Pertama, Mukti Ali menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama. Umat satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan, misalnya dalam Islam setidaknya ada empat mazhab besar, Islam di Indonesia juga terdiri dari Muhammadiyah, NU, Masyumi, DDII, dan sebagainya. Begitu pula umat agama non Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan dalam satu agama ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin potensi tersebut berubah menjadi konflik. Seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dalam tubuh umat Islam, bahkan intern ormas Islam-pun bisa terjadi bentrok antar kubu.
 
Kedua, ditekankan pula pentingnya menjaga kerukunan antar umat berbeda agama. Dalam sejarah, konflik agama di belahan bumi manapun pernah terjadi, tak terkecuali di negeri kita yang beberapa dasawarsa lalu sempat mengundang decak kagum dunia karena keberhasilannya mengelola kebhinekaan dalam semangat persatuan. Namun belakangan, konflik Ambon dan Poso adalah contoh nyata dari gagalnya pemerintah dan umat beragama mewujudkan poin kedua ini. Ketiga, pentingnya membina hubungan umat beragama dengan pemerintah, agar kehidupan beragama dapat dilaksanakan dengan perasaan damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali juga menyatakan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi dan bukan pula sekuler.
 
Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri agama, model kerukunan yang dimulai oleh Mukti Ali tersebut diteruskan oleh penggantinya yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara, dan dikemas menjadi Trilogi Kerukunan Antar Umat Beragama. Selanjutnya konsep ini diajarkan dengan baik di sekolah-sekolah dari tingkat SD bahkan hingga Perguruan Tinggi. Sehingga pendidikan akan pentingnya menghargai pluralitas dan menjaga kerukunan dapat ditanamkan pada anak bangsa.
 
Selain beberapa hal diatas, selama menjabat sebagai menteri agama, Mukti Ali juga meluluskan beberapa kebijakan penting. Diantaranya adalah upaya rasionalisasi Departemen Agama sebagai lembaga yang bertugas membangun manusia Indonesia seutuhnya. Mukti Ali pula yang mempopulerkan konsep manusia Indonesia seutuhnya yaitu kriteria pembangunan jasmani dan rohani manusia yang tentunya mensyaratkan adanya unsur iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga memasukkan pembangunan di bidang agama dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
 
Mukti Ali juga menegaskan bahwa IAIN memiliki tugas yang sama dengan perguruan tinggi lainnya, yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi meliputi pengajaran dan pendidikan, penelitian serta pengabdian masyarakat. Mukti Ali juga mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang fungsi utamanya adalah memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
 
Satu hal lagi yang menarik dari guru Besar Perbandingan Agama sekaligus mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga ini adalah sikapnya yang sangat toleran terhadap umat agama lain. Sikap ini menempatkan Mukti Ali dalam jajaran tokoh-tokoh pengusung liberalisme dalam Islam, atau setidaknya bisa disebut sebagai tokoh moderat dan inklusif. Sikap diamnya terhadap sepak terjang Harun Nasution dianggap oleh sebagian orang sebagai keberpihakan Mukti Ali terhadap pemikiran liberal dalam Islam. Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang cukup geram dengan aroma mistis dalam masyarakat Islam di Indonesia, Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang mencoba meruntuhkan angkuhnya dinding normatifisme dalam nalar Islam. Oleh karenanya, professor dan Guru Besar UIN Jakarta ini sempat dituding sebagai penganut Paham Mu’tazilah. Namun Mukti Ali dengan cerdik berada di tengah-tengah dengan memilih bersikap moderat. Mukti Ali menyadari bahwa perkembangan pemikiran Islam modern memang diperlukan bagi kemajuan umat Islam di Indonesia, namun dia juga sadar bahwa menjaga hubungan baik dengan umat yang sebagian besar masih berparadigma normatif tetaplah penting.
 
Hal inilah yang membedakan Mukti Ali dengan para pengusung modernisasi Islam yang lain seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Jika kedua tokoh tersebut terkesan frontal dan berapi-api dalam melontarkan gagasannya, Mukti Ali justru memilih cara-cara yang kalem dan persuasif. Mukti Ali berupaya agar gagasannya tidak menimbulkan kontra. Apalagi Mukti Ali juga mengakui bahwa kebijakannya tersebut juga dilandasi dengan prinsip keadilan yang ia temukan dalam Islam yaitu : kebebasan hati nurani, kemanusiaan yang egaliter, dan solidaritas sosial yang kokoh.
 
Kelebihan Mukti Ali antara lain juga tercermin dalam kemampuannya menampilkan diri sebagai sosok yang netral, bukan NU dan Bukan Muhammadiyah, bukan dari ormas atau parpol tertentu. Meskipun dia hasil didikan Barat namun keberpihakannya pada nasib bangsa Timur tak pernah diragukan.
 
Singkatnya, banyak hal positif dapat diambil dari diri Mukti Ali, sikap tawadu’ disiplin, toleran, kegigihannya dapat diteladani. Langkah-langkah yang telah dimulainya adalah batu pijakan yang harus diteruskan karena memang sedang sangat dibutuhkan bangsa ini, buah pikirannya juga merupakan kontribusi penting yang selalu bisa dirujuk oleh generasi saat ini. Ibarat di padang gersang, Mukti Ali adalah oase tempat gembala, penduduk, dan kafilah melepas dahaga.
 
http://pondoktremas.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=175:mukti-ali-santri-yang-pluralis&catid=58:profil-alumni&Itemid=126

No comments:

Post a Comment