Seorang Santri dari Cepu
Tangga Pendidikan dan Karier Mukti Ali
Pemikiran Mukti Ali
Mukti
Ali bukanlah nama asli, karena tokoh yang lahir pada 23 Agustus 1923
ini memiliki nama kecil Boedjono. Ia Lahir di Desa Balun Sudagaran,
Cepu, di daerah perbatasan antara Jawa tengah dan Jawa Timur. Balun
Sudagaran merupakan desa para saudagar. Salah satu kawasan “elit” yang
terletak tidak jauh dari Sungai Bengawan Solo. Itu berarti Boedjono
memang berasal dari sebuah keluarga yang cukup mapan. Ayah Boedjono,
yaitu H. Abu Ali adalah seorang pedagang yang terpandang di wilayah
tersebut, bukan hanya karena kesuksesan usaha dagangnya, namun juga
karena sikap hidupnya yang berbeda dengan kebanyakan orang di desa
tersebut. H. Abu Ali selain dikenal ulet, rajin dan disiplin, juga
dikenal sebagai orang yang bersahaja, bersikap sederhana, dan tidak suka
berfoya-foya seperti kebanyakan orang di desanya. H. Abu Ali juga
selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjadi manusia yang mandiri,
tidak bergantung pada orang lain. Sikap ayahnya inilah yang di kemudian
hari menjadi inspirasi utama bagi Boedjono dalam membawa diri. Terbukti
bahwa kegigihan dan keluhuran budi sang ayah telah mengantarkan Boedjono
ke gerbang kesuksesan, tak terkecuali juga saudaranya yang lain seperti
Soepeni (setelah menunaikan ibadah haji berganti nama Zainab), Iskan
(berganti nama Iskandar), Ishadi (Dimyati), Umi Hafifah, Zainuri, dan
Sri Monah.
Boedjono kecil sudah akrab dengan pendidikan agama. Ia banyak mengaji
pada paman, kakek, dan sanak saudara yang juga dikenal sebagai tokoh
agama atau kyai di daerahnya. Kegiatan mengaji ini ia lakukan pada sore
hari karena pada pagi hari ia harus mengikuti pelajaran di HIS, sekolah
Belanda untuk penduduk pribumi. Sejak kecil, Boedjono sudah dikenal
sebagai anak yang memiliki semangat belajar yang tinggi. Maka kemudian
H. Abu Ali memasukkan Boedjono di pesantren yang diasuh oleh Kyai Usman
Cepu, anak dari Kyai Hasyim Jalakan atau guru dari Kyai Hasyim Asy’ari
(pendiri NU). Setelah Boedjono lulus dari HIS, H. Abu Ali memindahkan
Boedjono ke Pondok Pesantren yang dianggap lebih maju karena telah
menerapkan sistem madrasi sejak tahun 1932, yaitu PP. Termas di Pacitan,
kira-kira 170 km di selatan Cepu. Di Pesantren yang juga tempat nyantri
K.H. Ali Ma’shum (pengasuh PP. Krapyak dan Rois Aam PB NU) inilah
Boedjono mulai bersentuhan dengan karya-karya yang menggugah nalarnya.
Dia banyak membaca buku-buku yang diimpor dari Mesir, dia juga
berkenalan dengan ilmu mantiq (logika), serta membaca beberapa buku
tentang tasawuf dan filsafat.
Boedjono
juga sempat menimba ilmu dari dua orang kyai yang ia sebut sebagai
Hamidain atau dua orang Hamid. Hamid yang pertama adalah Kyai Hamid
Pasuruan dan yang satunya adalah Kyai Hamid Dimyati. Satu hal penting
dari bertemunya Boedjono dengan Kyai Hamid Pasuruan adalah diubahnya
nama Boedjono menjadi Abdul Mukti. Nama kecil Kyai Hamid Pasuruan adalah
Abdul Mukti, sang kyai menyuruh Boedjono mengganti namanya dengan nama
kecil sang kyai. Boedjono menerimanya dengan rasa bangga sekaligus
merasa tertantang untuk menjaga kehormatan nama kecil gurunya tersebut.
Sejak itu Boedjono berganti nama menjadi Abdul Mukti. Namun Abdul Mukti
merasakan ada yang kurang dengan namanya. Abdul Mukti tidak hanya ingin
menghormati gurunya namun juga ingin sekali menghormati ayahnya. Maka
nama Ali yang merupakan nama belakang ayahnya (H. Abu Ali) ia tambahkan
pula. Sehingga Boedjono telah berganti nama menjadi Abdul Mukti Ali.
Setelah
menamatkan pendidikannya di pondok pesantren, Mukti Ali melanjutkan di
Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu baru saja berdiri di
Yogyakarta. Mukti Ali masuk di Fakultas Agama pada sekolah tinggi yang
kini telah berganti nama Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut.
Kesempatan
pendidikan ke jenjang berikutnya ia peroleh setelah melaksanakan ibadah
haji tahun 1950. Seusai melaksanakan ibadah haji, Mukti Ali berencana
menetap sejenak di Mekah untuk menuntut ilmu. Namun ia bertemu dengan H.
Imron Rosyadi (Kuasa Usaha untuk RI di Jeddah) yang menganjurkan agar
Mukti Ali melanjutkan studinya di Jurusan Sejarah Islam, Universitas
Karachi, Pakistan. Mukti Ali meraih gelar doktor pada tahun 1955.
Sebelum
sempat mengabdikan ilmunya ke tanah kelahiran, Mukti Ali sudah terlebih
dahulu diminta untuk terbang lebih jauh lagi dari tanah air. Anwar
Haryono, pimpinan DDII pasca M. Natsir, sekaligus tokoh Gerakan Pemuda
Islam Indonesia (GPII) yang juga aktif di Masyumi, memberikan kabar
kepada Mukti Ali bahwa ia menerima beasiswa studi ke Kanada. Di
universitas yang dikenal dengan nama McGill ini, Mukti Ali diterima di
Institut of Islamic Studies, bidang baru yang mulai dibuka pada tahun
1952 atas kerja keras Wilfred Cantwell Smith. W.C. Smith juga merupakan
dosen favorit Mukti Ali yang memberikan banyak “pencerahan”, terutama
berkaitan dengan metodologi yang nantinya sangat berpengaruh dalam
ide-ide pembaruan Mukti Ali di Tanah Air. Setelah dua tahun Mukti Ali
menimba ilmu di Kanada, kini ia bisa pulang ke tanah air dengan
menggondol gelar M.A. (Master of Arts).
Setelah
menikah dengan Siti Asmadah (puteri H. Masduki) pada tahun 1959, Mukti
Ali siap mengabdikan ilmunya di tanah air. Mukti Ali mengajar di IAIN
Yogyakarta dan Jakarta yang juga baru saja berdiri tahun 1960. IAIN
Jakarta (kini UIN Syarif Hidayatullah) waktu itu hanya memiliki dua
fakultas yaitu Tarbiyah dan Adab, sementara IAIN Yogyakarta (kini UIN
Sunan Kalijaga) mengelola fakultas Syari’ah dan Ushuluddin. Di Fakultas
Ushuluddin inilah Mukti Ali mendirikan disiplin ilmu baru di Indonesia
yaitu Ilmu Perbandingan Agama. Maka Jurusan Perbandingan Agama di
lingkungan IAIN Yogyakarta yang memulai kuliahnya pada tahun 1961
tersebut, merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan Ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia dewasa ini.
Disela-sela
kesibukannya mengajar, Mukti Ali masih menyempatkan diri untuk berkarya
besar bagi anak negeri, yaitu bergabung dengan Prof. Hasbi
Ash-Shiddieqi, Prof. Muchtar Yahya, Prof. Bustami A. Ghani, K.H. Ali
Maksum, dan beberapa tokoh lain dalam Dewan Penerjemah untuk menyusun
“Al-Qur’an dan Terjemahannya” versi Depatemen Agama. Sebuah kitab
terjemahan yang kini banyak terdapat hampir di setiap rumah kaum
muslimin dan masjid-masjid di tanah air.
Pada
tanggal 11 bulan 11 tahun 1971, peluang Mukti Ali untuk berkarya besar
bagi bangsa mulai terbuka. Karena sejak hari itu Mukti Ali mulai
mengemban amanat sebagai Menteri Agama RI menggantikan KH. M Dachlan
yang belum habis masa jabatannya, dan Mukti Ali meneruskan jabatan
tersebut dalam masa berikutnya yaitu Kabinet Pembangunan II. Kesempatan
ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mukti Ali, yaitu dengan gebrakan baru
yang akan dipaparkan pada sub-bab berikutnya dalam tulisan ini.
Pada
tahun 1978, setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri, Mukti Ali
masih dipercaya oleh pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) untuk periode 1978-1983. Setelah itu Mukti Ali lebih memilih
menyibukkan diri di Yogyakarta, karena ia merasa bahwa di kota inilah
hasrat akademisnya lebih mudah tersalurkan. Karir terakhirnya di dunia
politik adalah kebersediaannya untuk menjadi anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1993-1998.
Kiprah
lainnya adalah keterlibatannya sebagai anggota Komite Kebudayaan Islam
di UNESCO yang berpusat di Paris, Perancis. Ia juga menjadi anggota
Dewan Parlemen Agama-agama Sedunia di New York, anggota Dewan Riset
Nasional, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), serta
anggota Dewan Penyantun Universitas; antara lain Universitas Gajah Mada
(UGM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan beberapa perguruan
tinggi lain. Mukti Ali juga pernah menjadi anggota Pengurus Angkatan
’45.
Menyimak
paradigma Integrasi-interkoneksi yang dicetuskan Prof. Amin Abdullah,
mengingatkan penulis pada kritik Mukti Ali terhadap pendidikan Islam di
Indonesia yang terkesan terkotak-kotak. Pak Mukti menekankan perlunya
keterpaduan pengetahuan keislaman. Pendidikan Islam di Indonesia dalam
pandangan Mukti Ali bisa menimbulkan ketimpangan jika tidak dibenahi,
karena pendidikan Islam waktu itu pengajarannya masih terpisah-pisah.
Hal ini dapat dilihat misalnya orang-orang yang mempelajari tasawuf
biasanya menganggap fikih sebagai ranah yang tidak begitu perlu.
Demikian pula sebaliknya. Maka Mukti Ali menginginkan agar pendidikan
Islam dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup segala aspek kajian
dalam Islam baik tauhid, fikih, akhlaq, tasawuf, tafsir, hadist, tarikh
dan sebagainya. Dengan cara itulah pendidikan Islam akan mengenai
sasaran karena menjadi kemasan yang efisien untuk memahami Islam secara
kaffah. Dari sinilah Mukti Ali memulai gagasan pembaruannya. Memang
semangat pembaruan Mukti Ali sudah tampak sejak ia belajar di Montreal,
Kanada. Disana ia sudah sering memperbandingkan pemikiran dua tokoh
pembaharu yang menarik minatnya, yaitu Muhammad Abduh dan Kyai Ahmad
Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
Dengan
semangat pembaruan yang ia miliki serta keprihatinnya terhadap dunia
pendidikan di tanah air, maka ia mengajukan beberapa poin yang perlu
diperhatikan oleh dunia pendidikan di Indonesia. Mukti Ali menyoroti
kurangnya bahan bacaan, kurangnya kegiatan penelitian ilmiah, kurangnya
diskusi akademis, dan masih rendahnya penguasaan bahasa asing. Empat hal
inilah yang menurutnya menjadi kendala anak negeri untuk berkembang.
Diakui atau tidak, empat permasalahan itu pula yang sebenarnya masih
tetap ada hingga saat ini.
Kegelisahan
Mukti Ali tidak berhenti sampai disini, namun lebih luas lagi, bahkan
diluar kajian keislaman. Disinilah tampak pemikiran modern Mukti Ali. Ia
menginginkan dibudayakannya sikap ilmiah dalam berbagai bidang kajian,
tentunya termasuk dalam kajian keislaman. Pendidikan Islam yang melulu
didasarkan pada doktrin keagamaan tidak akan cukup untuk mengejar
ketertinggalan dunia Islam terhadap perkembangan global. Maka Mukti Ali
mengusung paradigma “scientific cum doctriner” sebagai pendekatan yang
holistik dan diharapkan dapat memberi jawaban terhadap kebutuhan umat
Islam Indonesia di era modern. Gagasan Mukti Ali ini juga tidak bisa
dilepaskan dari iklim yang berkembang di Barat berkaitan dengan studi
agama. Sejak paruh kedua abad ke-19, di Barat telah berkembang paradigma
untuk melakukan studi agama dengan empat corak yaitu scientific,
critical, historical, dan comparatif. Hal ini pula yang dilakukan Mukti
Ali di tanah air. Mukti selalu mendorong kajian ilmiah terhadap
agama-agama, apalagi melihat realitas keragaman agama dan budaya di
Indonesia yang harus dikella dengan baik.
Pemahaman
yang mendalam terhadap pentingnya membina kerukunan antar umat beragama
ini mendorong Mukti Ali untuk mencanangkan sebuah konsep pemikiran yang
sangat dikenal dan menjadi icon bagi seorang Mukti Ali. Yaitu Konsep
“agree in disagreement” setuju dalam ketidaksetujuan, atau sepakat dalam
perbedaan. Hal ini disampaikan pertama kali oleh Mukti Ali dalam sebuah
simposium di Goethe Institut Jakarta, beberapa bulan sebelum ia
diangkat sebagai Menteri Agama. Pandangannya ini berangkat dari
kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi
dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam
Islam, dan tentunya juga semangat pembaruan yang telah dimilikinya sejak
menimba ilmu di negeri orang. Berawal dari konsep agree in disagreement
inilah Mukti Ali menjabarkan lebih lanjut dalam model kerukunan antar
umat beragama.
Pertama,
Mukti Ali menjelaskan pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama.
Umat satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan,
misalnya dalam Islam setidaknya ada empat mazhab besar, Islam di
Indonesia juga terdiri dari Muhammadiyah, NU, Masyumi, DDII, dan
sebagainya. Begitu pula umat agama non Islam yang memiliki perbedaan
dalam satu tubuh. Jika perbedaan dalam satu agama ini tidak dikelola
dengan baik, bukan tidak mungkin potensi tersebut berubah menjadi
konflik. Seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini dalam tubuh
umat Islam, bahkan intern ormas Islam-pun bisa terjadi bentrok antar
kubu.
Kedua,
ditekankan pula pentingnya menjaga kerukunan antar umat berbeda agama.
Dalam sejarah, konflik agama di belahan bumi manapun pernah terjadi, tak
terkecuali di negeri kita yang beberapa dasawarsa lalu sempat
mengundang decak kagum dunia karena keberhasilannya mengelola
kebhinekaan dalam semangat persatuan. Namun belakangan, konflik Ambon
dan Poso adalah contoh nyata dari gagalnya pemerintah dan umat beragama
mewujudkan poin kedua ini. Ketiga, pentingnya membina hubungan umat
beragama dengan pemerintah, agar kehidupan beragama dapat dilaksanakan
dengan perasaan damai dan terjamin. Berkaitan dengan hal ini Mukti Ali
juga menyatakan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara teokrasi dan
bukan pula sekuler.
Setelah
tidak lagi menjabat sebagai menteri agama, model kerukunan yang dimulai
oleh Mukti Ali tersebut diteruskan oleh penggantinya yaitu Alamsyah
Ratu Prawiranegara, dan dikemas menjadi Trilogi Kerukunan Antar Umat
Beragama. Selanjutnya konsep ini diajarkan dengan baik di
sekolah-sekolah dari tingkat SD bahkan hingga Perguruan Tinggi. Sehingga
pendidikan akan pentingnya menghargai pluralitas dan menjaga kerukunan
dapat ditanamkan pada anak bangsa.
Selain
beberapa hal diatas, selama menjabat sebagai menteri agama, Mukti Ali
juga meluluskan beberapa kebijakan penting. Diantaranya adalah upaya
rasionalisasi Departemen Agama sebagai lembaga yang bertugas membangun
manusia Indonesia seutuhnya. Mukti Ali pula yang mempopulerkan konsep
manusia Indonesia seutuhnya yaitu kriteria pembangunan jasmani dan
rohani manusia yang tentunya mensyaratkan adanya unsur iman dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga memasukkan pembangunan di bidang
agama dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Mukti
Ali juga menegaskan bahwa IAIN memiliki tugas yang sama dengan
perguruan tinggi lainnya, yaitu melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi
meliputi pengajaran dan pendidikan, penelitian serta pengabdian
masyarakat. Mukti Ali juga mensponsori berdirinya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang fungsi utamanya adalah memberikan
pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaan
dan kemasyarakatan.
Satu
hal lagi yang menarik dari guru Besar Perbandingan Agama sekaligus
mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga ini adalah sikapnya yang sangat
toleran terhadap umat agama lain. Sikap ini menempatkan Mukti Ali dalam
jajaran tokoh-tokoh pengusung liberalisme dalam Islam, atau setidaknya
bisa disebut sebagai tokoh moderat dan inklusif. Sikap diamnya terhadap
sepak terjang Harun Nasution dianggap oleh sebagian orang sebagai
keberpihakan Mukti Ali terhadap pemikiran liberal dalam Islam. Harun
Nasution dikenal sebagai tokoh yang cukup geram dengan aroma mistis
dalam masyarakat Islam di Indonesia, Harun Nasution juga dikenal sebagai
tokoh yang mencoba meruntuhkan angkuhnya dinding normatifisme dalam
nalar Islam. Oleh karenanya, professor dan Guru Besar UIN Jakarta ini
sempat dituding sebagai penganut Paham Mu’tazilah. Namun Mukti Ali
dengan cerdik berada di tengah-tengah dengan memilih bersikap moderat.
Mukti Ali menyadari bahwa perkembangan pemikiran Islam modern memang
diperlukan bagi kemajuan umat Islam di Indonesia, namun dia juga sadar
bahwa menjaga hubungan baik dengan umat yang sebagian besar masih
berparadigma normatif tetaplah penting.
Hal
inilah yang membedakan Mukti Ali dengan para pengusung modernisasi
Islam yang lain seperti Harun Nasution dan Ahmad Wahib. Jika kedua tokoh
tersebut terkesan frontal dan berapi-api dalam melontarkan gagasannya,
Mukti Ali justru memilih cara-cara yang kalem dan persuasif. Mukti Ali
berupaya agar gagasannya tidak menimbulkan kontra. Apalagi Mukti Ali
juga mengakui bahwa kebijakannya tersebut juga dilandasi dengan prinsip
keadilan yang ia temukan dalam Islam yaitu : kebebasan hati nurani,
kemanusiaan yang egaliter, dan solidaritas sosial yang kokoh.
Kelebihan
Mukti Ali antara lain juga tercermin dalam kemampuannya menampilkan
diri sebagai sosok yang netral, bukan NU dan Bukan Muhammadiyah, bukan
dari ormas atau parpol tertentu. Meskipun dia hasil didikan Barat namun
keberpihakannya pada nasib bangsa Timur tak pernah diragukan.
Singkatnya,
banyak hal positif dapat diambil dari diri Mukti Ali, sikap tawadu’
disiplin, toleran, kegigihannya dapat diteladani. Langkah-langkah yang
telah dimulainya adalah batu pijakan yang harus diteruskan karena memang
sedang sangat dibutuhkan bangsa ini, buah pikirannya juga merupakan
kontribusi penting yang selalu bisa dirujuk oleh generasi saat ini.
Ibarat di padang gersang, Mukti Ali adalah oase tempat gembala,
penduduk, dan kafilah melepas dahaga.
http://pondoktremas.com/new/index.php?option=com_content&view=article&id=175:mukti-ali-santri-yang-pluralis&catid=58:profil-alumni&Itemid=126
No comments:
Post a Comment