Sunday, February 17, 2013

Inside: Berdarah Yahudi, Bernafas Indonesia

http://www.metrotvnews.com/videoprogram/detail/2013/02/14/16218/218/Berdarah-Yahudi-Bernafas-Indonesia/Inside/16218_1

http://www.metrotvnews.com/videoprogram/detail/2013/02/14/16218/218/Berdarah-Yahudi-Bernafas-Indonesia/Inside/16218_2

http://www.metrotvnews.com/videoprogram/detail/2013/02/14/16218/218/Berdarah-Yahudi-Bernafas-Indonesia/Inside/16218_3

Wednesday, February 6, 2013

The Development and Role of Religious Studies: Some Indonesian Reflectios

Bagir, Zainal Abidin and Irwan Abdullah. 2011. "The Development and Role of Religious Studies: Some Indonesian Reflectios." In Islamic Studies and Islamic Education in Contemporary Southeast Asia, eds. Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad and Patrick Jory, 57-74. Kuala Lumpur: Yayasan Ilmuwan.

This chapter presents some preliminary reflections about the challenges and opportunities in developing religious studies as an academic discipline in Indonesia, a religiously plural country which is at the same time the world’s largest Muslim country. It begins with a description of the history and recent developments in religious studies in Indonesia. The significance of the new developments is set in the context of the situation of religious education at the lower level, relations between different religious communities, as well as the main problems facing the nation today—all with an emphasis on post-1998 Reformasi developments. The remainder of the chapter argues for two roles for religious study in Indonesian religious life. It asserts that in this situation the “academic study of religion” cannot—and one may argue, should not—remain purely academic.

Retreived from: http://espace.uq.edu.au.ezproxy.lib.utexas.edu/eserv/UQ:238095/IslamicStudiesandIslamicEducation.pdf#page=87


Tuesday, February 5, 2013

Teaching Religion in Indonesia: A Report on Graduate Studies in Java

Lewis, Bret. 2012. "Teaching Religion in Indonesia: A Report on Graduate Studies in Java". Teaching Theology & Religion. 15 (3): 241-257.

Abstract. 
Established in 2000–2001, the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) is the only master’s level religious studies program at a non-religiously affiliated university in Indonesia. In many respects, the program is experimental, operating within the dynamic political and religious environment of the Muslim world’s youngest and largest democracy. Like other large democracies such as India or the United States, the Indonesian government and courts have their challenges and opportunities in navigating a multiplicity of religions. In Indonesia, this took on particular urgency in the context of religiously-charged conflict in the 1990’s and early 2000’s which helped lead to the establishment of the CRCS. This paper seeks to explore how students and key faculty relate to the program’s mission and approach to the study of religion while tracing the development of religious studies as a discipline in Indonesia. Special attention is paid to the political and, at times, controversial aspects of approaching religion with secular and pluralistic frameworks and language. It was informed by interviews and surveys conducted between January and May of 2010.
 

Monday, February 4, 2013

Telaah Pemikiran A. Mukti Ali, Singgih Basuki Raih Doktor

Jumat, 19 Oktober 2012 17:58 WIB




Drs. A. Singgih Basuki, MA., (56 tahun) mengatakan,  A. Mukti Ali adalah seorang pemikir Islam Indonesia (1923-2004) yang berkarakter kuat,  berpikiran modern ,  dan konsisten . Sosoknya sangat fenomenal di kalangan akademisi  Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam sampai saat ini. Prestasi Akademiknya, berhasil mengembangkan Ilmu Perbandingan Agama dengan membuka Jurusan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga).  Di Jurusan inilah  semua agama dipelajari dan diperbandingkan agar umat manusia dapat saling menghargai perbedaan agama secara wajar. Usaha Mukti Ali mengembangakn Perbandingan Agama sebagai salah satu kajian utama di IAIN, telah memberikan dampak yang signifikan bagi berkembangnya wacana dialog antar agama di Indonesia.
                Bagaimana sesungguhnya pemikiran keagamaan Mukti Ali, Singgih Basuki mengungkapnya kembali melalui studi riset, yang kemudian diangkatnya menjadi karya disertasi untuk meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Karya disertasi Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini, dipertahankan dihadapan tim penguji antara lain Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA., Prof.Dr. H.M. Bahri Ghozali. MA.,  dan Prof. Dr. H. Machasin, MA.,  Prof. Dr. Banawiratma ,  Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA., (Promotor merangkap penguji) serta Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA.,  (Promotor merangkap penguji), bertempat di Gedung Convension Hall kampus setempat, Jum’at,  19 Oktober 2012.
                Dalam karya riset disertasi yang mengangkat judul “Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali”, Putra kelahiran Ngawi ini antara lain memaparkan bahwa, ide dasar pemikiran Mukti Ali diantaranya: agama (Khususnya Islam) mengandung nilai kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan lahir batin untuk seluruh umat manusia yang kekal dan universal, sehingga relevan sepanjang Zaman. Ajaraan Islam ini di turunkan kepada seluruh umat manusia dalam konteks ruang dan waktu apapun. Oleh karenanya, sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berhenti berfirman setelah Al- Qur’an. Allah SWT terus-menerus menyatakan kehendak-Nya sepanjang zaman. Untuk memahami kehendak Allah SWT sampai akhir zaman ini, agama harus senantiasa diaktualisasikan agar dapat member inisiatif dan pandangan yang dinamis serta kreatif pada pergaulan hidup seluruh umat manusia.
                      Sementara itu mengacu pada tiga konsep orientasi agama Allport dan Ross, yang memandang agama sebagai tujuan akhir, agama sebagai alat dan agama sebagai pencarian, maka orientasi pemikiran Mukti Ali, memposisikan agama sebagai proses pencarian kreatif dalam kehidupan untuk menemukan tujuan hidup yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT, tertanam dalam qolbu manusia, yang harus terus diasah dan diperjuangkan oleh semua umat manusia. Maka Menurut Mukti Ali melalui agama, khususnya Islam, setiap manusia akan bersikap kritis dan sensitif terhadap agama. Setiap manusia akan belajar dan berfikir untuk menemukan hakekat terdalam dari pesan-pesan agama.
                Bentuk pemikiran keagamaan Mukti Ali terbangun atas tiga etos: Keilmuan, Kemanusiaan dan Kebangsaan. Etos keilmuannya bertumpu pada poros metodologi tiga arus yang disebut scientific-cum-doctrinaire. Etos kemanusiaan Mukti Ali memposisikan peran agama dalam mendorong pembangunan bangsa dan Negara. Sedangkan etos kerukunan dan dialog Mukti Ali bernafaskan konsep agree in disegeement yang dikembangkan di Indonesia sampai sekarang. Etos keilmuan Mukti Ali scientific-cum-doctrinaire memperkenalkan pemahaman agama secara multidimensi sehingga pemahaman terhadap agama menjadi utuh,  bersesuaian dengan tradisi yang hidup di masyarakat, universal. Dan dalam batas-batas tertentu pesan-pesan agama akan mengalami perubahan karena menyesuaikan lingkungan yang terus berubah. Demikian juga pendekatan agama juga akan mengalami persesuaian agar tercipta sikap yang terbuka,  saling menghormati dan toleransi yang tinggi baik antarsesama agama yang sama maupun antarumat beda agama.
                Konsep Mukti Ali tentang pembangunan manusia seutuhnya menjadi tumpuan yang mengawal proses pembangunan di Indonesia sejak masa Orde Baru. Melalui konsep Mukti Ali inilah nilai-nilai agama mampu menjadi motivator dalam berbagai program pembangunan di Indonesia. Pemikirannya tentang kerukunan hidup antarumat beragama dan dialog juga sampai saat ini terus digelorakan di seluruh wilayah Indonesia, lebih-lebih dengan semakin banyaknya konflik antarumat beragama di negeri ini, demikian jelas Singgih Basuki (Weni Hidayati-Humas UIN Sunan Kalijaga).
 
Retrieved from: http://www.uin-suka.ac.id/berita/dberita/652

Sunday, February 3, 2013

Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru

Ali Munhanif, "Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru", dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, Balitbang dan PPIM, 1998), 271-319.

Download the article

Saturday, February 2, 2013

Jejak : Mukti Ali, Penabur Bibit Toleransi

Mukti Ali. TEMPO/ Ahmad Solikhan
Terlahir dari keluarga saudagar membuat Boedjono bebas bergelilya mencari ilmu. Selepas dari HIS di Cepu, oleh sang ayah, H. Abu Ali, ia mondok di Pesantren Termas, Pacitan, 170 kilometer di selatan Cepu. Di sinilah Boedjono, yang lahir di Desa Balun Sudagaran, Cepu, 23 Agustus 1923, mulai bersentuhan dengan buku-buku yang diimpor dari Mesir, seperti buku tentang mantiq (logika), tasawuf dan filsafat.

Di kemudian hari, Boedjono sempat menimba ilmu Kyai Hamid Pasuruan dan Kyai Hamid Dimyati. Oleh Kyai Hamid Pasuruan, Boedjono diminta mengganti namanya menjadi Abdul Mukti, yang tak lain nama kecil sang kyai. Boedjono tentu amat tersanjung, ia pun memadukannya dengan nama sang ayah, menjadi Abdul Mukti Ali.

Dari Cepu dan Pacitan, Mukti Ali melakukan lompatan-lompatan yang jauh ; belajar ilmu perbandingan agama (sampai tingkat doctoral) di Universitas Karachi, Pakistan, kemudian melanjutkan pendidikan di Faculty of Divinity & Islamic Studies di McGill University, Kanada. Ia banyak belajar, menyerap dan menularkan ilmunya. Mukti kerap menganjurkan oksidentalisme –gerakan untuk mempelajari Islam dari sudut pandang Barat-.

Sebelum diangkat menjadi Menteri Agama pada November 1971, ia sempat melontarkan konsep “agree in disagreement” –atau sepakat dalam perbedaan- , dalam symposium di Goethe Institut Jakarta. Pandangannya ini berangkat dari kesadaran akan pluralitas agama dan budaya di Indonesia, dilandasi dengan pemahamannya yang mendalam terhadap teks-teks fundamental dalam Islam.

Pentingnya menjaga kerukunan antar umat seagama, kata Mukti, disadari oleh kenyataan satu agama memiliki berbagai kelompok yang memiliki perbedaan. Di Islam setidaknya ada empat madhab besar. Islam di Indonesia juga terdiri atas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Masyumi, dan Dewan Dakwah. Begitu pula umat agama non-Islam yang memiliki perbedaan dalam satu tubuh. Jika perbedaan ini tak dikelola dengan baik, sangat berpotensi menjadi konflik.

Mukti Ali pula yang menawarkan pemahaman agama secara kontekstual atau bersifat sosio-historis. Suatu metode pemahaman terhadap kepercayaan, ajaran, atau keyakinan yang muncul dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan tempat kepercayaan, ajaran, atau keyakinan itu muncul.

Sebagai menteri, Mukti Ali tak dikategorikan sebagai ulama sebagaimana pendahulunya, KH. M. Dahlan, tapi sebagai “teknokrat” sejajar dengan Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan. Sebagai menteri, ia memperkenalkan program “pengembangan pesantren” dengan pendekatan community development. Juga mengusulkan pendidikan keterampilan dan kewiraswastaan di lingkungan pesantren. Melalui Departemen Agama, Mukti Ali juga mendukung program Keluarga Berencana.
Wartawan senior Syu’bah Asa (alm) menilai sepak terjang Mukti Ali sebagai menteri berhasil mengubah citra Departemen Agama menjadi lembaga yang lebih “bersahabat”. Maklum, sebelumnya Departemen yang dipimpin KH. M. Dahlan ini laksana orang tua yang gemar menghukum anak-anaknya.
Sebagai akademisi, Mukti Ali, yang wafat pada 5 Mei 2004, menulis beberapa karya monumental, seperti Al-qur’an dan Terjemahannya (anggota dewan penerjemah), Al-qur’an dan Tafsirnya (anggota dewan penafsir), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, serta Beberepa Persoalan Agama Dewasa Ini. ***  (Ref. :  Koran Tempo, C2).  

SUDRAJAT

Retrieved from: http://www.tempo.co/read/news/2011/08/05/186350162/Mukti-Ali--Penabur-Bibit-Toleransi

http://iqbal1.wordpress.com/2011/08/05/jejak-mukti-ali-penabur-bibit-toleransi/

Friday, February 1, 2013

Tokoh Ilmu Perbandingan Agama dan Pemikirannya

A. Pendahuluan
Agama mengajarkan ketenangan, keharmonisan, kedamaian dan tentunya menimbulkan sinergi positif dalam kehidupan beragama. Namun, tak jarang di temui ada konflik, perselisihan, bahkan kekerasan yang muncul karena agama atau mengatasnamakan agama. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, adakalanya konflik terjadi antar sesama agama yang memiliki sekte berbeda.
Terjadinya perbedaan pendapat mengenai aliran teologi dalam umat telah disampaikan oleh Nabi SAW dalam hadisNya, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tetapi hanya satu golongan yang akan selamat, golongan yang lain akan binasa”. Tentu timbul pertanyaan golongan manakah yang selamat itu? Rasulullah tidak memberikan jawaban dengan menunjuk golongan tertentu tetapi dengan memberikan kriteria golongan yang selamat tersebut. “(yaitu) orang-orang yang mengikuti sunnah dan al-jama’ah”.
Riwayat hadis diatas memberikan gambaran umum apa yang selalu terjadi di dalam umat Islam. Klaim kebenaran dan hak pemegang kebenaran sejati muncul dari setiap golongan dan seringkali diikuti dengan pertumpahan darah. Perenungan yang mendalam mengenai teks hadis dan fenomena yang terjadi seharusnya memberikan jalan keluar dari konflik yang berlarut-larut hingga kini. Secara faktual hadis diatas tidak tunjuk hidung dengan menunjuk golongan mana yang terselamatkan itu?. Hadis di atas memberikan penjelasan bahwa (1) adanya perpecahan dalam umat, (2) kriteria gologan yang selamat (3) keharusan untuk mengikuti al-sunnah dan al-jam’ah dan (4) al-sunnah dan al-jama’ah adalah apa yang Nabi dan para sahabat jalankan.
Selain faktor eksternal yang menjadi pokok penyebabnya, ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya. Padahal dalam setiap agama terdapat ajaran tentang kerukunan antar sesama. Untuk itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman antar umat beragama perlu kiranya sebuah disiplin ilmu tentang agama-agama yang ada di dunia ini, dalam hal ini kita kenal dengan ilmu perbandingan agama. Dalam tulisan saya kali ini saya tidak membahas tentang disiplin ilmu tersebut, melainkan saya hanya ingin mengemukakan beberapa tokoh yang ahli dalam ilmu perbandingan agama dan pemikirannya. Diantara tokoh-tokoh ilmu perbandingan agama tersebut antara lain adalah Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Ibnu Hazm dan As-Syahrastani.

B. Prof. Dr. H.A. Mukti Dan Pemikirannya
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali lahir di Cepu, 23 Agustus 1923. Semasa beliau masih kecil Sejak berumur delapan tahun, beliau mengenyam pendidikan Belanda di HIS. Baru setelah usianya menginjak 17 tahun beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Dengan kemampuannya dalam berbahasa inggris beliau melanjutkan studi Islam ke Universitas Aligarch, India setelah perang dunia ke dua hingga mendapat gelar doktor sejarah Islam sekitar tahun 1952 dan kemudian beliau melanjutkan studi ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar Master of Arts (MA). Beliau juga pernah menjabat sebagai staf Kedubes RI di Karachi. Sejak itulah gagasan pembaruan Mukti Ali sebenarnya telah terlihat jelas. Beliau kerap kali menulis soal-soal gagasan pembaruan keislaman Muhamamd Abduh dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Meskipun saat itu, beliau masih pada taraf membandingkan gagasan pembaruan kedua tokoh tersebut, namun benih-benih pembaruannya itu menjadi entry point penting kelak dalam perkembangannya. Mukti Ali cukup lihai dan cenderung mengintrodusir gagasan liberal Islam sedemikian rupa sehingga relatif tidak menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tidak sepaham dengannya.
Mantan rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, dinilai sebagian kalangan telah memberi perlindungan kepada Ahmad Wahib atau Harun Nasution yang dianggap sebagai pemikir liberal. Baginya, membiarkan pemikiran liberal tumbuh akan lebih menguntungkan dan kondusif bagi perkembangan Islam modern. Karena itulah dapat dipahami bila tokoh ini tidak mengkritisi liberalisme Islam yang dikembangkan para intelektual. Sebagai sekretaris M. Natsir, ketua umum Masyumi waktu itu juga membina dan mencoba merujukkan hubungan baik antara NU dan Muhammadiyah, serta mempelopori gerakan kerukunan antar-agama.
Tokoh yang bersih, jujur dan sederhana ini dilantik menjadi menteri agama pada 11 September 1971 menggantikan KH. M. Dachlan (Kabinet Pembangunan I) dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Saat itulah beliau menggagas model kerukunan antar-umat beragama untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional. Terapi yang digagas Mukti Ali dan diimplementasikan melalui Departemen Agama tersebut, secara mendasar dilandasi oleh prinsip keadilan Islam yang mempercayai tiga hal penting, yakni; kebebasan hati nurani secara mutlak, persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang kokoh. Setelah meneyelesaikan tugas sebagai Menteri Agama, lalu diangkat menjadi anggota DPA, tapi ia memutuskan tinggal di Yogyakarta agar kegiatan mengajar bisa kembali dilakukannya.
Gagasan dan pemikirannya ini tetap diteruskan oleh penggantinya, kala itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Bahkan kemudian dikembangkan menjadi konsep “Trilogi Kerukunan” yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Yang lebih menonjol adalah konsepnya tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut menjadi konsep ‘Kerukunan Hidup Antar umat Beragama’ di Indonesia.
Sepanjang hayatnya beliau dikenal sebagai intelektual Muslim yang tangguh, berwatak dan berpandangan luas, memiliki reputasi nasional dan internasional. Dia anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), anggota dewan riset internasional dan perintis organisasi Parlemen Agama Sedunia di New York. Dia orang pertama yang membuka jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Perbandingan Agama, barangkali satu-satunya di Indonesia. Dia memperkenalkan pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai ‘bapak ilmu Perbandingan Agama di Indonesia’.
Dalam memahami ilmu perbandingan agama ada kesulitan yang disebut “epoche”, yaitu ‘meninggalkan untuk sementara credo yang diyakininya dan masuk ke dalam credo agama lain yang ingin dipahaminya”, Mukti ali memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ini, yaitu dengan “pengalaman bergaul” atau “ mentransfer” pengalaman kita sendiri dalam meyakini dan menghayati agama yang kita peluk, ke dalam pemeluk agama lain dengan pengalamannya beragama.
Ilmu perbandingan agama seringkali disamaartikan dengan sejarah agama-agama, fenomenologi agama, ilmu agam-agama. Menurut mukti ali asal muasal ilmu perbandingan agama adalah ilmu agama-agama (science of religions atau religionswissenchaft). Dan dalam perkembangannya yang awalnya merupakan salah satu metode dari ilmu agama, akhirnya menjadi ilmu tersendiri.
Keistimewaan Mukti Ali, ia bisa menampilkan diri murni sebagai tokoh representatif umat Islam yang netral dari kepentingan kelompok. Dia bukan berasal dari organisasi NU, bukan pengurus Muhammadiyah, atau lainnya, dan bukan pula kader partai politik. Di samping itu, meski berpendidikan Barat, kharisma seorang mentri agama panutan umat tercermin pada sosok Mukti Ali. Bahkan beliau mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang diantara fungsi utamanya memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaaaan dan kemasyarakatan.
Hingga masa senjanya, beliau telah menulis puluhan buku, antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini; Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika; Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal; Ta’limul Muta’alim versi Imam Zarkasyi; Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam; Asal Usul Agama; dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.

C. Ibnu Hazm dan Pemikirannya
Selain Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, juga ada 2 tokoh pemikir Muslim yang meletakkan dasar-dasar Ilmu perbandingan agama, yaitu Ibn Hazm dan As-Syahrastani. Ibn Hazm adalah seorang Islam spanyol yang kakeknya adalah seorang Islam yang tadinya Kristen. Keadaan Spanyol yang terpecah-pecah menyebabkan Islam lebih mudah menguasai spanyol kembali. Pada tahun-tahun berikutnya pusat-pusat pemerintahan Islam jatuh di tangan Spanyol, misalnya: Toledo (1085), Cordoba (1236), Sevila (1248), dan akhirnya Granada (1492). Pada saat itulah beliau menulis bukunya yang berjudul Al-Fasl fil Milal wal Ahwa’ wal Nihal.
Buku tersebut terdiri atas empat jilid, dan merupakan serangan terhadap integritas Al-Kitab (Bibel) serta bantahan atasnya. Ia mengenal dan mengerti perjanjian lama dan perjanjian baru dalam beberapa terjemahan. Kutipan-kutipannya banyak banyak mengambil dari terjemahan bahasa Arab yang ditulis oleh Sa’id b. Ya’qub al-Fayyumi (nama arab dari sa’adiyah Gaon, 882-942). Ia juga mempunyai hubungan erat dengan seorang sarjana Yahudi yang bernama Samuel Halevy ben joseph b. Naqdala (meninggal di Granada 1055).
Dalam bukunya, Al-Fasl tersebut di atas, selalu ditunjukkan ketidakbenaran kitab orang Yahudi dan Kristen. Ia menyebutkan bahwa buku-buku yang diwariskan dan diterima oleh orang Yahudi itu sudah mengalami tahrif dan tabdil (penkorupsian teks dan perubahan isi), ia mengatakan bahwa kisah yang ada dalam kitab kejadian (Genesis) sudah dipalsukan, ia juga berpendapat bahwa kitab keluaran sudah dipalsukan. Masalah-masalah kronologis juga menarik perhatiannya karena tidak sesuai dengan realitas berdasarkan argument historisnya. Bahkan ia juga mengungkapkan keberatan-keberatan secara teologis dan menunjukkan bahwa Perjanjian lama itu bukan berasal dari Tuhan, begitu juga dengan perjanjian baru khususnya kitab injil bukan berasal dari Tuhan.

D. Asy-Syahrastani dan Pemikirannya
Sedangkan Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.
Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.
Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya. Asy-Syahrastani mempunyai beberapa buah kerya tulis diantaranya adalah: Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.
Jika dipandang dari segi pikiran dan kepercayaan, menurut Asy-Syahrastani manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.
Asy-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.
Dalam Bukunya Al-Milal wa Al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.
 
Retrieved from: http://ramadhan-el-fitherfiker.blogspot.com/2012/03/tokoh-ilmu-perbandingan-agama-dan.html