Thursday, December 17, 2015

H. MOHAMMAD RASJIDI Jejaknya di Tiga Dunia

(Serial Media Dakwah Nomor 183, Muharram 1410/September 1989, halaman 43-47)



H. MOHAMMAD RASJIDI
Jejaknya di Tiga Dunia
(Serial Media Dakwah Nomor 183, Muharram 1410/September 1989, halaman 43-47)
        SELASA, 15 Agustus (1989 –ed) lalu, lima putera Indonesia memperoleh anugerah Bintang Mahaputera atas jasa-jasa mereka kepada bangsa dan negara. Prof. Dr. Haji Mohammad Rasjidi (mantan Menteri Agama, mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Mesir, Saudi Arabia, Iran, Afghanistan, dan Pakistan), Oetojo Oesman, S.H. (Kepala BP-7, badan di tingkat pusat yang mengelola penyelenggaraan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila –ed), dan H. KRMH. Soerjo Wirjohadipoetro (mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung RI), masing-masing memperoleh Bintang Mahaputera Utama; sedangkan Prof. Dr. Padmo Wahjono, S.H. (Wakil Kepala BP-7) memperoleh Bintang Mahaputera Pratama, dan Tedjo Sumarto, S.H. (Manggala BP-7 Pusat) memperoleh Bintang Mahaputera Nararya.
            Terpilihnya Prof. Dr. H.M. Rasjidi sebagai salah seorang yang dianugerahi Bintang Mahaputera oleh Presiden Soeharto, tidak syak lagi telah menyebabkan banyak pihak menoleh lagi kepadanya.Mengapa Rasjidi?
            Bukan! Bukan karena Prof. Rasjidi tidak dikenal orang, melainkan karena Rasjidi selama ini dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang tulisan-tulisannya amat tajam. Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, H. Djarnawi Hadikusumo menyebut Rasjidi sebagai “pengeritik tajam”. Sedangkan M. Dawam Rahardjo dan Nucholish Madjid menjuluki Prof. Rasjidi sebagai “The Guardian (penjaga) dunia pemikiran Islam Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual.”
            Citra “keras” melekat pada diri Prof. Rasjidi. Dan seorang tokoh dengan citra “keras, tidak mengenal kompromi di dalam membela Islam” dianugerahi Bintang Mahaputera Utama, niscayalah berita menarik –jika tidak boleh disebut sebagai berita besar.
            “Saya sendiri heran. Bintang Mahaputera itu kan kecil saja, tapi telepon di rumah saya terus menerus berdering-dering menanyakan soal itu. Belum lagi kawat (telegram –ed), dan permohonan wawancara dari berbagai media massa yang datang bertubi-tubi,” ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) dan Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang lebih akrab dipanggil Pak Rasjidi itu kepada Mohammad Syah Agusdin dan Lukman Hakiem dari Serial Media Dakwah yang datang bersilaturrahmi di rumahnya, Jalan Pangeran Diponegoro 42, Jakata Pusat, pada suatu senja yang cerah, satu hari menjelang peringatan hari ulang tahun ke-44 kemerdekaan Republik Indonesia.
            Berikut ini petikan percakapan dengan Pak Rasjidi yang berlangsung dalam suasana akrab dan santai.     
Dapatkah Pak Rasjidi menceritakan kembali masa kecil Bapak?
            Saya kira yang Saudara tanyakan itu sudah termuat lengkap di dalam buku ini.
***
Pak Rasjidi menunjukkan buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang disunting oleh Endang Basri Ananda, diterbitkan oleh Harian Umum Pelita, Jakarta, Cetakan Pertama, Juni 1985.
Dalam buku itu antara lain diuraikan bahwa Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis Pahing, 20 Mei 1915, bertepatan dengan 4 Rajab 1333.
Rasjidi adalah anak kedua dari lima bersaudara putera dan puteri keluarga Atmosudigdo. Saudara-saudaranya yang lain ialah, kakak laki-lakinya bernama Sapardi –kemudian menjadi Drs. Sapardi. Adik-adiknya berturut-turut: Sadjiman (kemudian menjadi ahli bedah), Sakidjan (kemudian menjadi Sarjana Ekonomi), dan Sadjinah (kemudian menjadi istri dr. Yazid, ahli bedah di Cirebon, Jawa Barat).
Keluarga Atmosudigdo adalah keluarga pedagang yang meskipun Muslim tetapi kurang melaksanakan syari’at Islam sebagaimana mestinya.
Rasjidi sendiri sesungguhnya terlahir dengan nama Saridi. Ia memulai riwayat pendidikannya di Sekolah Ongko Loro, setingkat Sekolah Dasar dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Ketika Muhammadiyah mendirikan Sekolah Rendah di Kotagede, Saridi tertarik dan pindah ke sekolah Muhammadiyah itu. Setamat dari Sekolah Rendah Muhammadiyah, Saridi masuk sekolah Guru Muhammadiyah, Kweekschool Muhammadiyah di Yogyakarta. Di masa inilah Saridi terserang penyakit typus yang memaksanya menghentikan pendidikannya sampai kelas tiga, walaupun hasrat belajarnya tidak pernah padam.
Di masa menganggur itu, suatu hari Saridi membaca berita tentang Syaikh Ahmad Soorkati –salah seorang tokoh reformasi Islam di awal abad XX—yang membuka perguruan Al-Irsyad di Lawang, Malang, Jawa Timur. Saridi menyurati Soorkati dan menyatakan hasratnya untuk belajar di Al-Irsyad. Soorkati menjawab surat Saridi dan mempersilahkannya datang ke Lawang.
Prestasi belajar Saridi di Al-Irsyad Lawang yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar itu ternyata amat baik. Dalam waktu singkat ia telah menguasai kitab standar gramatika bahasa Arab, Alfiyah. Juga hafal buku logika Aristoteles, Matan al Sulam. Lantaran itu, Soorkati amat menyayangi Saridi.
Betapapun Soorkati sangat menyayangi Saridi, tetap saja Soorkati kesulitan melafalkan nama Saridi. Soorkati selalu keliru menyebut Saridi menjadi Rasidi. Berulang kali dikoreksi, berulang kali pula terucap Rasidi. Saridi sendiri rupanya merasa lebih sreg dengan “nama barunya” itu. Beberapa tahun kemudian, sepulang dari menunaikan ibadah haji di Makkah, Saridi mengukuhkan namanya menjadi Mohammad Rasjidi.
Setamat dari Al-Irsyad Lawang, Rasjidi melanjutkan pendidikanya ke Kairo, Mesir. Ia masuk Darul ‘Ulum dan mengikuti ujian persamaan (equivalent) Sekolah Menengah Umum. Kedua kegiatan itu diselesaikannya pada 1934. Empat tahun kemudian (1938), Rasjidi menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra jurusan Filsafat di Universitas Kairo.
***
Riwayat di pemerintahan?
Saya ini masuk pemerintahan dari tiga jurusan. Di Departemen (sekarang Kementerian –ed) Agama saya adalah Menteri Agama pertama, kemudian menjadi Sekretaris Jenderal di bawah Menteri Agama Faturrachman.
Di Departemen Luar Negeri, saya pernah menjadi Sekretaris Delegasi Diplomatik Indonesia ke negara-negara Arab, kemudian menjadi Ketua Delegasi setelah Ketua delegasi H. Agus Salim berangkat ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memperkuat delegasi Indonesia di sana. Pada 1950-1952 saya menjadi Duta –waktu itu belum ada istilah Duta Besar—di Mesir merangkap Saudi Arabia. Pada 1952-1953 saya menjadi Duta di Iran merangkap Afghanistan. Pada 1953-1955, saya menjadi Kepala Direktorat Penerangan Departemen Luar Negeri, dan pada 1956-1958 saya Duta Besar di Pakistan.
Sejak 1965 hingga dipensiunkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef pada 1980, saya Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Bisa pindah-pindah begitu?
Pertama sekali saya menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sutan Sjahrir I. Saya sendiri tidak tahu menahu tentang penunjukan itu. Suatu hari saya suruh pembantu saya membeli surat kabar Merdeka. Saya lihat ada pengumuman pembentukan Kabinet Sjahrir. Saya lihat juga ada nama H. Rasjidi. Saya mengira itu nama orang lain yang kebetulan sama dengan nama saya, apalagi karena saya sendiri merasa tidak pernah dihubungi oleh siapa pun untuk duduk di Kabinet.
Rupanya orang-orang di kampung saya membaca juga pengumuman itu. Di kampung saya, di Kotagede, saya ini lebih dikenal dengan nama Haji Rasjidi. Mereka mengirim kawat menanyakan apakah Haji Rasjidi yang dibaca di koran dan diangkat sebagai menteri itu, saya? Saya tidak jawab kawat itu, karena memang saya sendiri tidak tahu. Seminggu sesudah itu juga tidak ada perkembangan baru mengenai nama H. Rasjidi di koran itu. Saya tambah tidak memikirkannya lagi. Baru sesudah beberapa lama kemudian datang utusan Kabinet ke rumah saya di Kebon Kacang untuk menjemput saya menghadiri sidang Kabinet di Jalan Jawa, rumah Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Ketika terjadi perombakan Kabinet, saya ditunjuk menjadi Menteri Agama. Jabatan itu saya pegang selama tujuh bulan kurang sepuluh hari. Bersamaan dengan jatuhnya Kabinet, saya berhenti jadi menteri. Nah, saya pun pulang ke Kotagede.
O ya, bersamaan dengan pengangkatan saya sebagai Menteri Agama pada 3 Januari 1946, ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Baru seminggu saya melepaskan jabatan sebagai Menteri Agama, datang utusan Presiden Sukarno membawa surat pengangkatan saya sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama. 
Sesudah itu pindah ke Departemen Luar Negeri?
Begini, pada tanggal 13 Maret 1947, tiba-tiba di lapangan terbang Maguwo (sekarang bandar udara Adi Sucipto –ed) Yogyakarta mendarat pesawat terbang yang membawa Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay –ed), India. Namanya Abdul Moun’em.
Dia datang sebagai utusan Liga Arab yang berkedudukan di Kairo, dan minta dipertemukan dengan Presiden Sukarno. Tentu saja para petugas di Maguwo kalang kabut. Tiga jam menunggu, barulah Abdul Moun’em bisa dibawa ke Hotel Merdeka (sekarang Hotel Garuda –ed). Itu pun sesudah pimpinan lapangan terbang Maguwo, Sudjono turun tangan langsung mengantar dengan mobilnya. Kelak Sudjono menjadi salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Para pejabat di ibukota tidak kurang bingungnya, siapa yang akan melayani tamu dari Arab ini? Akhirnya, karena saya dianggap mahir berbahasa Arab, ditunjuklah saya sebagai juru bahasa. Kesepakatan pembicaraan antara utusan Liga Arab dengan pemerintah Republik Indonesia ialah harus ada delegasi Indonesia yang dikirim segera ke Mesir.
Bayangkan, tanggal 13 Maret tamu itu datang, dan saya terus menerus mendampinginya, tanggal 17 Maret delegasi Indonesia berangkat ke Mesir.
Berapa orang jumlah Delegasi Indonesia?
Lima orang. Ketua Delegasi H. Agus Salim. Anggota-anggotanya terdiri dari Mr. Nazir Dt. Pamuntjak. Abdul Kadir, dan Abdul Rahman Baswedan. Saya sendiri ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Bendahara Delegasi. Saya tidak tahu apa yang harus dibendaharai, maklum berangkatnya juga menumpang kapal terbang orang Mesir itu. Saya juga tidak tahu untuk berapa lama Delegasi itu menjalankan tugas.
***
Prof. Rasjidi memulai pengabdian formalnya kepada negara “secara tidak sengaja”, yaitu ketika tanpa diberi tahu lebih dulu dia ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sutan Sjahrir I. Sesudah itu dia berkiprah di Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, dan mengakhirinya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berikut ini jejak hayat dan riwayat pengabdiannya:  
  1. Dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis Pahing , 20 Mei 1915 bertepatan dengan 4 Rajab 1333.
  2. Pendidikan di Indonesia:
a.    Sekolah Ongko Loro do Kotagede,
b.    Sekolah Rendah Muhammadiyah di Kotagede,
c.    Sekolah Guru Muhammadiyah di Yogyakarta (sampai kelas 3),
d.    Sekolah Arab Al-Irsyad pimpinan Syaikh Soorkati di Lawang, Malang, Jawa Timur (2 tahun).
  1. Pendidikan di Mesir:
a.    Sekolah Darul Ulum dan equivalent Sekolah Menengah Umum (tamat 1934),
b.    Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas Kairo (tamat 1938).
  1. Pendidikan di Prancis: meraih Ph.D di Universitas Sorbonne, Paris, pada 1956 dengan disertasi mengenai Serat Tjentini.
  2. Riwayat Pekerjaan dan Pengabdian:
a.    Mengajar di Sekolah Menengah Islam Surakarta, yaitu Pesantren Luhur, yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda (sampai Jepang masuk ke Indonesia),
b.    Pegawai Pemerintah Pendudukan Jepang (1943-1945),
c.    Diangkat menjadi Menteri Negara, kemudian Menteri Agama, pada Pemerintahan Nasional, 1946,
d.    Sekretaris Jenderal Kementerian Agama (1946-1947),
e.    Sekretaris Delegasi Diplomatik Republik Indonesia ke negara-negara Arab, kemudian Ketua Delegasi, yakni setelah Ketua Delegasi H. Agus Salim berangkat ke PBB (1947-1949),
f.      Duta (belum ada istilah Duta Besar) di Mesir merangkap di Saudi Arabia berkedudukan di Kairo, Mesir (1950-1952),
g.    Duta di Iran merangkap Afghanistan berkedudukan di Teheran, Iran (1952-1953),
h.    Kepala Direktorat Penerangan Kementerian Luar Negeri (1953-1955),
i.      Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Pakistan (1956-1958),
j.      Associate Professor di McGill University, Montreal, Kanada (1958-1963),
k.    Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1965-1980),
l.      Bersama-sama Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh Islam aktivis Partai Masyumi, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan menjadi Wakil Ketua (1967)
m.  Kepala Kantor The World Moslem League di Jakarta (1981-1988),
n.    Menulis dan menerjemahkan berbagai karya ilmiah/buku.
***
Sejarah mencatat sukses besar yang dicapai oleh Delegasi itu.
Betul. Delegasi ini menghasilkan pengakuan de jure dari Mesir dan negara-negara Arab lainnya atas kemerdekaan negara Republik Indonesia. Tetapi jangan lupa, khusus untuk Mesir, peranan Raja Farouk dalam menghasilkan pengakuan itu sangat besar sekali.
Raja Farouk itu masih muda usianya. Kecerdasannya sih biasa-biasa saja, tetapi semangatnya itu yang luar biasa sekali. Perdana Menteri Mesir sendiri ketika itu kelihatan masih ragu-ragu untuk mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi Raja Farouk terus menerus mendesak Perdana Menteri untuk mengakui Indonesia. Karena desakan itulah akhirnya pengakuan terhadap Indonesia ditandatangani oleh Perdana Menteri Mesir. Padahal kalau dipikir-pikir, Raja Farouk itu kan cuma punya hak suara untuk urusan-urusan di dalam negeri Mesir saja.
Siapa lagi yang turut berjasa?
Untuk Saudi Arabia, orang-orang yang berjasa adalah keturunan Indonesia yang tinggal di sana. Mereka itu sudah beberapa generasi tinggal di Arab Saudi, tetapi masih tetap mencintai Indonesia.
Ketika sudah menjadi Ketua Delegasi di Mesir –H. Agus Salim sudah terbang ke Lake Succes, Amerika Serikat, untuk memperkuat Delegasi Indonesia di PBB, Abdul Kadir dan Abdul Rahman Baswedan sudah pulang ke Tanah Air untuk menyerahkan surat pengakuan dari pemerintah Mesir, sedang Nazir Dt. Pamuntjak sakit—saya berangkat ke Makkah karena Belanda –dipimpin Sultan Hamid dari Pontianak-- mengerahkan 15.000 jamaah haji dari wilayah yang masih didudukinya. Saya harus melawan propaganda Belanda di Makkah.
Keberhasilan missi diplomatik saya di Saudi Arabia sebagian karena dukungan orang-orang Indonesia di sana. Ketika akhirnya saya diterima oleh Raja Abul Aziz, dia pun mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. “Hati kami selalu bersama Indonesia. Anda tahu sendiri, hidup kami di sini selalu bersama orang Indonesia,” kata Raja Saudi Arabia itu. Dan memang, saya lihat hampir semua pegawai di istana Raja adalah orang-orang Indonesia.
***
Menghadapi perlawanan gencar dari rakyat Indonesia baik di dalam negeri maupun di forum internasional, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Rasjidi yang terus menerus tinggal di Mesir untuk menggalang dukungan dari negara-negara Arab, akhirnya ditunjuk menjadi Duta Republik Indonesia untuk Mesir merangkap Saudi Arabia, berkedudukan di Kairo. Rasjidi adalah orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi Duta negara Republik Indonesia untuk Mesir dan Saudi Arabia.  
Pada Februari 1952, Rasjidi diminta oleh Wakil Tetap Indonesia di PBB untuk menemaninya mengikuti sidang-sidang PBB di Paris, markas PBB waktu itu. Di sela-sela keibukannya mengikuti sidang-sidang di markas PBB, Rasjidi memanfaatkan waktu untuk mendaftarkan diri guna mengajukan disertasi di Universitas Sorbonne, Paris. Rasjidi memilih Univeritas Sorbonne mengingat hubungan kultural yang amat dekat antara Mesir dengan Prancis, juga mengingat biaya yang relatif murah.
Sementara itu masa tugasnya disambung dengan menjadi Duta di Iran merangkap Afghanistan berkedudukan di Teheran. Kariernya di Kementerian Luar Negeri dilanjutkan ketika Rasjidi menjadi Kepala Direktorat Penerangan Kementerian Luar Negeri. Sesudah itu ia ditugaskan menjadi Administrator Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Di sini Rasjidi tidak hanya mengurusi mahasiswa, tetapi mengurus juga ketatausahaan dan perpustakaan. Dengan posisinya yang terakhir itu, sesungguhnya Rasjidi merasa sedang disingkirkan. Akan tetapi sebagai Muslim ia mengambil hikmahnya. Di perpustakaan, Rasjidi dapat mengumpulkan berbagai bahan untuk disertasinya yang akan diajukan di Universitas Sorbonne berjudul “l’Evolution d l’Islam en Indonesie ou Consideratuion Crititique du Livre Javanais Tjentini”.
Pada 23 Maret 1956, Rasjidi pun dinyatakan lulus, dan berhak mengenakan gelar Docteur de l’Universite de Paris avec la mention Tres honorable atau Cum Laude, dengan pujian. Ijazah yang diberikan kepada Rasjidi ditandai dengan tulisan Faculte des Letters Doctorat de l’Universite de Paris.
  Di tengah suasana gembira, Rasjidi menerima kawat pengangkatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Pakistan, berkedudukan di Pakistan.
Masa di Pakistan adalah masa-masa sulit bagi Rasjidi. Di Tanah Air pecah pergolakan daerah yang ditandai dengan pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Beberapa Kedutaan RI memihak PRRI/Permesta. Silih berganti mereka yang pro-PRRI/Permesta dan pro-Sukarno datang membujuk Rasjidi untuk mengikuti mereka.
Dalam masa sulit itulah datang tawaran kepada Rasjidi untuk menjadi Guru Besar di McGill University, Montreal, Kanada. Tanpa berpikir panjang, Rasjidi menerima tawaran dari McGill University itu dan segera mengajukan cuti besar atas tanggungan sendiri. Lima tahun lamanya Rasjidi menghabiskan waktu, menjadi Guru Besar di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Kanada.
Pengembarannya di luar negeri diakhiri dengan menjabat sebagai Wakil Direktur Islamic Centre di Washington DC, Amerika Serikat.
Rasjidi kembali ke Tanah Air di hari-hari terakhir kekuasaan Sukarno. Sembilan bulan lamanya dia menumpang tinggal di Jalan Menteng Raya 58 (Kompleks Sekretariat Gerakan Pemuda Islam Indonesia/GPII dan Pelajar Islam Indonesia/PII –ed) lantaran rumahnya di Jalan Diponegoro 42 Jakarta Pusat masih ditempati orang lain.
***
Apa kegiatan Pak Rasjidi sekembali di Tanah Air?
Selama dua tahun saya menganggur, hingga pada suatu hari di bulan September 1966, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Mr. Subekti, meminta saya menjadi Guru Besar Hukum Islam. Tawaran itu saya terima, dan pada 20 April 1968 saya dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada kesempatan itu saya menyampaikan pidato pengukuhan berjudul: “Islam di Indonesia di Zaman Moderen”.
Menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai pensiun?
Tepatnya dipensiunkan. Pada tanggal 14 April 1978, surat kabar Suara Karya memuat tulisan A.M.W. Pranarka berjudul: “Secara Kultural, Nasionalisme adalah Dasar Sejarah Indonesia.” Tulisan itu menunjukkan bahwa Pranarka amat terpengaruh oleh filsafat Hegel (1777-1831), baik yang mengenai dialektika atau pun yang mengenai negara dan agama.
Saya kemudian menanggapi tulisan itu yang kemudian dibukukan dengan judul Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (Jakarta, Bulan Bintang, 1980). Akibat tulisan itu, tanpa pemberitahuan lebih dulu, saya dipensiunkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef. Padahal, baik Rektor UI maupun Dekan FH-UI telah menetapkan untuk meminta saya terus mengajar.
Jabatan Pak Rasjidi yang lain?
Sejak 1981 saya menjadi Kepala Kantor The World Moslem League di Jakarta, tetapi sejak Desember 1988 jabatan itu sudah saya lepaskan.
Kegiatan yang lain?
Saya menulis dan menerjemahkan 23 buku.
Apa kepedulian utama Pak Rasjidi?
Saya ingin mendekatkan kaum intelektual kepada Islam.
***
Prof. Dr. H.M. Rasjidi dikenal sebagai intelektual yang produktif menuangkan pemikirannya dalam bentuk artikel dan buku. Berikut ini beberapa karya intelektual Prof. Rasjidi.
1.    L’Evolution de l’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Javanais Tjentini (Disertasi Ph.D di Universitas Sorbonne, Prancis, 1956),  
2.    “Unity and Diversity in Islam” dalam Prof. Kenneth Morgan, Islam the Straight Path, Ronald Press New York, 1958,
3.    Islam dan Indonesia di Zaman Moderen (Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1968),
4.    Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisme (1972),
5.    Filsafat Agama (1972),
6.    Keutamaan Hukum Islam,
7.    Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi (1974),
8.    Sidang Dewan Gereja se-Dunia di Jakarta 1975: Artinya Bagi Dunia Islam,
9.    Islam dan Kebatinan (1977),
10. Mengapa Aku Tetap Memeluk Islam,
11. Islam Menentang Komunisme,
12. Islam dan Sosialisme,
13. Sikap Umat Islam terhadap Ekspansi Kristen,
14. Agama dan Etika,
15. Di Sekitar Kebatinan,
16. Kasus Rancangan Undang-undang Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (dilarang beredar),
17. Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977),
18. Bibel, Qur’an, dan Sains Moderen (terjemahan dari Le Bible, le Coran, et le Science, karya Dr. Maurice Bucaile, 1978),
19. Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (1980),
20. Humanisme dan Islam (terjemahan dari buku l’Humanisme de l’Islam, karya Dr. Marcel Boisard, 1980),
21. Janji-janji Islam (terjemahan dari buku Promesses de Islam karya Roger Graudy, 1982),
22. Persoalan Filsafat (terjemahan dari buku The Living Issue of Philosophy, karya Titus cs, 1984),
23. Apakah Itu Syi’ah? (1984),
24. Soal Peradilan Agama Prof. Dr. H.M. Rasjidi menjawab Frans Magnis Suseno SJ, (1988),
25. Dan sejumlah tulisan lain yang tersebar di berbagai media massa.
***
Bagaimana Pak Rasjidi melihat perkembangan Islam di Indonesia sekarang?
            Menggembirakan. Dulu di zaman Belanda hanya sedikit orang Islam yang berminat kepada Islam, kini jamaah masjid dan majelis ta’lim melimpah. Ternyata perkembangan Islam itu tidak bisa dihambat. Itu semua berkat kerja keras kita bersama.
Jadi, Bapak optimis melihat perkembangan Islam?
            Ya. Anak-anak demikian bergairah. Tetapi bahwa ada di antara anak-anak muda itu yang berpikiran aneh-aneh dan menjual dirinya untuk kepentingan sesaat, tentu sangat disayangkan.
Saya yakin tanpa berpikiran aneh dan menjual diri, Islam ini akan tetap berkembang.
Bagaimana proses penganugerahan Bintang Mahaputera itu?
Singkat sekali. Awal Agustus saya menerima telepon dari Departemen Luar Negeri, meminta riwayat hidup saya. Saya bikin, ditulis tangan, karena saya sudah tidak bisa mengetik lagi. Beberapa hari kemudian datang lagi telepon, kali ini dari Sekretaris Militer (Sekmil) Presiden. Juga minta riwayat hidup. Saya tanya, ada apa ini? Orang Sekmil itu cuma menjawab: “Nanti Bapak akan tahu sendiri.”
Tahu-tahu, ya Bintang Mahaputera itu tadi.
Jadi yang mengusulkan Departemen Luar Negeri?
Ya.
Bukankah Bapak Menteri Agama pertama?
Ya. Dan ucapan selamat yang saya terima dari pejabat negara, baru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hasan. 
***
Pak Rasjidi berdiri dan berjalan mengambil surat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak lama kemudian surat itu ditunjukkan kepada Serial Media Dakwah. “Saudara bisa baca surat itu. Itulah satu-satunya surat dari pejabat negara yang saya terima hingga hari ini,” tutur Pak Rasjidi.
Senja bertambah larut. Maghrib menjelang datang. Serial Media Dakwah pun mohon diri. Pak Rasjidi mempersilahkan dengan ramah. Kami berjabat tangan, dan saling memberi salam.[]
 
Sumber: http://lukmanhakiem.blogspot.co.id/2014/12/serial-media-dakwah-nomor-183-muharram.html (17 Desember 2015)