Sunday, December 14, 2014

La Ikraha fi al-Din

La Ikraha fi al-Din*)
Sabtu, 11 Oktober 2014 20:43

Oleh Nurul H. Maarif**)
Diriwayatkan, sebelum Islam datang, ada seorang wanita yang ketika mempunyai anak, anaknya selalu meninggal dunia. Ia berjanji pada dirinya, apabila mempunyai anak yang hidup, ia akan memaksa dan menjadikannya Yahudi. Ketika Islam datang dan Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah karena pengkhiatannya, ternyata anak tersebut dan beberapa anak lainnya yang sudah termasuk keluarga Anshar, terdapat bersama-sama kaum Yahudi. Berkatalah kaum Anshar: “Jangan biarkan anak-anak kita bersama mereka.”1) Maka turunlah Qs. al-Baqarah [2]: 256:

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada taghut2) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah [2]: 256).

Turunnya ayat di atas menjadi teguran keras bagi orang-orang tertentu (dan kita semuanya) yang memaksa pihak lain untuk mengikuti agamanya. Dalam riwayat lain diceritakan, ayat ini berkaitan dengan al-Hushain dari golongan Anshar, suku Bani Salim bin ‘Auf. Ia mempunyai dua orang anak yang beragama Nashrani, sedang ia sendiri seorang muslim. Ia bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Bolehkah saya memaksa kedua anak saya itu, karena mereka tidak taat kepadaku dan tetap ingin beragama Nashrani?” Maka turunlah ayat ini sebagai teguran atas keinginannya memaksa kedua anaknya beralih agama atau keyakinan.3)

Nafy al-Din al-Ijbari
Ikrah dalam Qs. al-Baqarah [2]: 256 di atas, bermakna paksaan. Akar katanya kariha yang bermakna ketidaksenangan atau kesulitan yang dihadapi seseorang akibat dibebani sesuatu secara paksa. Pemaksaan adalah pekerjaan yang menyebabkan orang lain tidak senang atau tidak suka. Dengan demikian, maksud “tidak ada ikrah” dalam ayat di atas adalah kita tidak boleh memaksa orang lain untuk masuk atau menganut agama Islam. Allah menghendaki seseorang masuk atau menganut Islam secara suka rela dan ikhlas tanpa paksaan. Ini akan menjadikan keislaman berjalan efektif.4) Untuk itu, tugas kita hanyalah menyampaikan, bukan memaksa objek dakwah, karena hidayah itu urusan Allah.

Islam mengajarkan umatnya untuk mengajak kepada Islam dengan hikmah (al-hikmah), nasihat yang baik (al-mau’idhah al-hasanah), dan berdiskusi atau berdialog dengan cara yang terhormat (wa jadilhum bi allati hiya ahsan) (Qs. al-Nahl: 125). Apabila kita sudah menyampaikan kepada mereka melalui tiga langkah itu, tetapi mereka tetap dalam pendiriannya dan tidak juga beriman, maka selesailah tugas kita dan itu bukanlah urusan kita lagi, melainkan urusan Allah Swt.5) Allah Swt berfirman:

Artinya: “Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus [10]: 99.

Dalam al-Qur’an dan Tafsirnya dijelaskan, iman adalah keyakinan batin yang berada di kedalaman hati sanubari. Tiada seorangpun dapat memaksa hati seseorang untuk meyakini sesuatu, tatkala ia tidak bersedia meyakininya.6) Kebenaran Nabi Muhammad dan Islam sudah gamblang dan informasi tentangnya sudah tersampaikan kepada semua orang. Karena itu, terserah pada masing-masing orang untuk mengimani atau mengingkarinya. Toh, tanggungjawab keimanan dan keingkaran itu ada pada diri masing-masing. Kita tidak akan memikul tanggungjawab atau konsekuensi perbuatan yang dilakukan pihak lain.

Terkait tudingan Islam disebarkan dengan pedang dan darah (bi al-saif wa al-dam) lantaran terjadi beberapa peperangan dalam sejarah Islam, maka itu bukan tudingan yang mendasarkan pada argumen ilmiah. Peperangan yang terjadi saat itu, hanyalah “beladiri” atau “pembelaan diri” terhadap serangan-serangan kaum kafir pada kaum muslim. Peperangan inipun dilakukan untuk mengamankan jalannya dakwah Islam, sehingga aneka kezaliman kaum kafir tidak mengganggu keberlangsungannya.7)

Menurut Muhammad Husein al-Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, ajaran la ikraha fi al-din menganulir tudingan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan jihad menjadi rukun penegakannya. Baginya, perang hanyalah pembelaan (al-difa’), bukan cara penyebaran Islam. Karenanya, ayat ini tidak diabrogasi/dihapus oleh ayat tentang pedang.8) Dalam al-Tafsir al-Munir, Wahbah al-Zuhaili juga menyatakan, ayat la ikraha fi al-din ini membatalkan tuduhan bahwa Islam qama bi al-saif (tegak karena pedang). Peperangan yang (terpaksa) terjadi itu hanyalah cara li radd al-‘udwan (untuk menghalau musuh), sehingga agama bisa berdiri dengan merdeka tanpa ada gangguan pihak musuh. Ayat ini juga mengarahkan kita untuk mengakui – yang oleh al-Zuhaili disebut – hurriyah al-tadayyun (kebebasan memeluk agama).9)

Karena itu juga, terkait kebebasan beragama ini, di wilayah yang dikuasai kaum muslim, maka non-muslim diberi hak dan kemerdekaan untuk memilih memeluk Islam ataukah tetap setia pada agama mereka. Jika memilih tetap pada agamanya, maka mereka dikenai pajak keamanan (jizyah).10) Pajak ini wajib dibayarkan selama pemerintah Islam mampu mengayomi mereka dan menjamin keamanannya. Andai pemerintah Islam tidak mampu, mereka tidak berkewajiban membayarnya dan bahkan jizyah yang telah dibayarkan bisa ditarik kembali. Inilah bukti keluasan Islam, yang senantiasa menghargai dan memberikan kebebasan bagi siapapun untuk memeluk agama sesuai keyakinannya. Inilah inti ajaran “lakum dinukum wa liya din/Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Qs. al-Kafirun: 6).

Menafsiri Qs. al-Baqarah [2]: 256 di atas, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim Abu al-Fida Isma’il bin Katsir menuliskan, maksud la ikraha fi al-din adalah la tukrihu ahadan ‘ala al-dukhul fi din al-Islam (Jangan kalian memaksa seseorang memasuki/menganut Islam!). Sebab, semua dalil kebenaran Islam sudah jelas, sehingga tidak perlu ada pemaksaan.11) Sedangkan Muhammad Husein al-Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an menyatakan, al-ikrah huwa al-ijbar wa al-haml ‘ala al-fi’l min ghair ridha (Memaksakan suatu perbuatan tanpa kerelaan).12) Point utama dari pemaksaan, adalah ketidakridaan atas perbuatan yang dilakukan. Jika ini dibiarkan, maka yang timbul bukanlah peribadahan yang didasari ketulusan, melainkan kemunafikan. Dan tentu saja, Islam tidak menghendaki kemunafikan dalam beribadah. Keyakinan itu ibarat cinta, yang tidak bisa dipaksakan untuk seseorang yang tidak dicintainya.

Bagi Muhammad Husein al-Thabathaba’i, ayat la ikraha fi al-din ini sesungguhnya tengah menjelaskan perihal nafy al-din al-ijbari (meniadakan agama paksaan),13) agama yang dibangun atau dianut oleh seseorang berdasarkan pemaksaan oleh pihak lain. Muhammad Husein al-Thabathaba’i menyatakan, agama adalah rantai pengetahuan akademis yang berlandaskan keyakinan-keyakinan (i’tiqadat). Menurutnya, al-i’tiqad wa al-iman min al-umur al-qalbiyyah allati la yuhkamu fiha al-ikrah wa al-ijbar (Keyakinan adalah persoalan hati yang tidak bisa dihukumi dengan pemaksaan). Pemaksaan itu, katanya, bisa berpengaruh hanya pada perbuatan-perbuatan lahir (al-a’mal al-dhahirah) dan gerak tubuh yang fisik (al-harakat al-badaniyyah al-madiyah).14) Karena hati bukan persoalan lahir, maka tidak berlaku pemaksaan atasnya.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menerangkan, sesungguhnya Allah Swt tidak membutuhkan sesuatu, sehingga tidak perlu ada pemaksaan dalam beragama. Jika menghendaki, maka sesungguhnya Allah Swt bisa menjadikan kita semua sebagai umat yang satu (Qs. al-Ma’idah: 48). Menurut Quraish, yang dimaksud tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah tidak ada paksaan untuk menganut akidahnya. Jika ia sudah menganut akidah tertentu, maka ia terikat oleh aturan dan ketentuan akidah itu, sehingga ia tidak berhak berkata: “Allah telah memberi kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah”.15)

Penjelasan serupa disampaikan Wahbah al-Zuhaili. Ia menuliskan: “Jangan kalian memaksa seseorang untuk masuk/menganut Islam, karena sejatinya bukti-bukti kebenarannya tidak membutuhkan pemaksaan. Dan sesungguhnya keimanan itu berdiri di atas kerelaan, hujjah dan bukti-bukti. Karenanya, tiada berguna pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan”.16)

Dalam Tafsir fi Dhilal al-Qur’an, Sayyid Quthb menjelaskan, masalah akidah yang dibawa oleh Islam, adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Agama Islam datang dan berbicara pada daya pemahaman manusia dengan segala kekuatan dan kemampuannya. Ia berbicara pada akal yang berfikir, intuisi yang berbicara dan perasaan yang sensitif, sebagaimana ia berbicara pada fitrah yang tenang.17) Menurutnya juga, Islamlah yang mengumandangkan tidak ada paksaan memeluk agama. Islamlah yang menjelaskan tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama ini.18) Dengan demikian, ayat la ikraha fi al-din ini memberikan jaminan kepada seluruh manusia perihal kebebasan memeluk dan menganut agama atau keyakinan yang dipercayainya. Hal ini penting untuk menghindarkan tudingan Islam sebaga al-din al-ijbari (agama paksaan), karena sejatinya ayat ini justru tengah melakukan – apa yang oleh al-Thabathaba’i disebut sebagai – nafy al-din al-ijbari (menegasikan agama paksaan).19)

Hikmah Larangan Memaksa

La ikraha fi al-din telah menjadi ajaran yang inheren dalam Islam, yang karenanya harus diamalkan sungguh-sungguh. Spirit ayat ini sudah semestinya menjadi darah kehidupan kita, sehingga dalam menjalankan nadi dakwah kita senantiasa bertindak damai dan menenteramkan. Pertanyaannya, apa sesungguhnya hikmah yang bisa dipetik dari spirit ayat ini? Tentu saja banyak hikmah yang muncul darinya. Dalam tulisan ringan ini, setidaknya tiga hal yang penulis kemukakan.

Pertama
, Allah Swt memuliakan kehendak manusia. Bagi Sayyid Quthb, ayat la ikraha fi al-din ini menunjukkan bahwa Allah Swt memuliakan manusia, menghormati kehendak, pikiran dan perasaannya. Allah Swt ingin menyerahkan segala urusan mereka pada dirinya sendiri, terutama terkait petunjuk dan kesesatan dalam akidah dan memikulkan tanggungjawab pada dirinya sebagai konsekuensi pilihan perbuatannya. Menurutnya, kebebasan berakidah merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang karena hal itulah ia layak disebut manusia. Untuk itu, manusia yang melucuti manusia lain dari kebebasan dan kemerdekaan berakidah, berarti ia telah melucuti kemanusiaannya.20)

Kedua
, Allah Swt menghendaki kedamaian. Menurut M. Quraish Shihab, diantara hikmah la ikraha fi al-din adalah kedamaian. Quraish menuliskan, Allah Swt menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamakan Islam yang bermakna damai. Menurutnya, kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa manusia tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, sehingga tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan Islam.21) Ini menunjukkan, visi ayat ini sesuai dengan visi besar Islam itu sendiri sebagai agama yang menjunjung keramahan dan kedamaian.

Ketiga
, Allah Swt mengajarkan ketulusan. Zakky Mubarak menyatakan, Islam mengajarkan umat manusia untuk menjalankan kebaikan dan menghindarkan keburukan dengan keinsyafan dan kesadaran. Perbuatan dan berbagai aktivitas apapun tidak akan memiliki makna yang baik, apabila dikerjakan dengan terpaksa dan karena pertimbangan-pertimbangan lain dengan mengabaikan ketulusan dan keikhlasan. Ibadah dan amal kebajikan yang sedikit dan ringan yang dilakukan dengan keikhlasan jauh lebih baik dari ibadah dan amal yang dikerjakan tanpa keikhlasan, meskipun dikerjakan lebih banyak dan lebih berat.22) Pemberian kebebasan dan bukan pemaksaan, akan menjadikan pelakunya meraih ketulusan dalam menjalankan agamanya. Inilah point utama dalam beragama, sesungguhnya.

Selain itu, tentu saja hikmah-hikmah lain bisa dirasakan oleh yang bersangkautan. Misalnya, keberagamaan harus didasari kedewasaan, belajar bertanggungjawab atas pilihan sadarnya, menghargai keragaman yang didasari tanggungjawab baik di dunia maupun di akhirat, terjalinnya silaturahim universal antara pihak yang satu dengan yang lain dan sebagainya. Untuk itu, menjaga spirit ayat ini menjadi kewajiban yang terlarang diabaikan bagi umat Islam, terutama kalangan santri pesantren. Wa Allah a’lam.[]

Cikulur, 10 Oktober 2014
END NOTES
*)Makalah disampaikan pada Halqah Remaja “Triple Ing Community” (Triping.Com), Jum’at, 10 Oktober 2014, di Pondok Baca Qi Falah Cikulur Lebak Banten.
**)Penggagas Halqah Santri Triple Ing Community, Pondok Baca Qi Falah dan Pimred www.qothrotulfalah.com, Cikulur Lebak Banten.
1)    K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Penerbit Diponegoro, 200), h. 85-86. Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001), I/305. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M), II/22.
2) Thaghut adalah sekutu-sekutu Allah dan para berhala (al-andad wa al-ashnam). Juga apa-apa yang disembah selain Allah Swt. Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/306. M. Quraish Shihab menyebutkan, al-thaghut bermakna “melampuai batas”, yakni melampaui batas keburukan. Setan, dajjal atau penyihir, semuanya  digelari al-thaghut. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), I/670. Sayyid Quthb menjelaskan, al-thaghut adalah segala sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya, tidak berpedoman pada akidah dan syariat yang ditetapkan-Nya. Manhaj atau tatanan/aturan yang tidak berpegang pada ketentuan Allah Swt juga disebutnya al-thaghut. Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, T.Th.), I/344.
3) K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, h. 86. Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/305. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, II/22.
4) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), I/380.
5) Hidayah yang bermakna al-taufiq, adalah semata urusan Allah Swt. Kita hanya bisa memberikan hidayah dalam pengertian al-irsyad wa al-bayan, hidayah yang berupa petunjuk-petunjuk dhahir. Soal petunjuk batin, itu murni kehendak dan wewenang Allah Swt, yang tidak seorangpun mampu melakukannya, termasuk Nabi Muhammad Saw. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Qs. al-Qashash: 56). Tentang hidayah al-taufiq dan al-irsyad wa al-bayan ini, lihat: Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 30-31. 
6) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, I/381.
7) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, I/382 .
8) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/348.
9) Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, II/23.
10) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, I/382
11) Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/305.
12) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1417 H/1997 M), II/346.
13) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/347.
14) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/347.
15) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, I/668-669.
16) Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, II/23.
17) Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, I/342.
18) Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, I/343.
19) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/347.
20) Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, I/343.
21) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, I/669.
22) Zakky Mubarak, Menjadi Cendekiawan Muslim: Kuliah Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniyah, 1428 H/2007 M), 58.

DAFTAR PUSTAKA
1.    al-Qur’an dan Terjemahnya
2.    Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M.
3.    Bin Katsir, Abu al-Fida Isma’il. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001.
4.    Mubarak, Zakky. Menjadi Cendekiawan Muslim: Kuliah Islam di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniyah, 1428 H/2007 M.
5.    Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, T.Th.
6.    Shaleh, K.H.Q. dan H.A.A. Dahlan. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000.
7.    Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
8.    Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010\.
9.    al-Thabathaba’i, Muhammad Husein. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1417 H/1997 M.
10.    Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
11.    al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M.

http://www.qothrotulfalah.com/indeks-artikel-santri/618-la-ikraha-fi-al-din.html

Saturday, November 15, 2014

Regulation of “Religion” and the “Religious”: The Politics of Judicialization and Bureaucratization in India and Indonesia

Comparative Studies in Society and History / Volume 56 / Issue 02 / April 2014, pp 448-478

DOI: http://dx.doi.org/10.1017/S0010417514000103

Regulation of “Religion” and the “Religious”: The Politics of Judicialization and Bureaucratization in India and Indonesia

Yüksel Sezgina1 c1 and Mirjam Künklera2
a1 Syracuse University
a2 Princeton University

AbstractThis article compares the strategies through which Hindu-majority India and Muslim-majority Indonesia have regulated religion and addressed questions of what constitutes “the religious” in the post-independence period. We show that the dominant approach pursued by the Indian state has been one of judicialization—the delegation of religious questions to the high courts—while in Indonesia it has predominantly been one of bureaucratization—the regulation of religious issues by the Ministry of Religious Affairs. Contrary to the expectation that judicialization devitalizes normative conflicts while bureaucratization, more frequently associated with authoritarian politics, “locks” these conflicts “in,” we show that these expectations have not materialized, and at times, the effects have been reverse. Engaging the literatures on judicialization and on bureaucratization, we argue that what determines the consequences of the policy toward religion is less the choice of the implementing institution (i.e., the judiciary or bureaucracy) than the mode of delegation (vertical versus horizontal) which shapes the relationship between the policy-maker and the institution implementing it. Bureaucrats, judges, and elected politicians in multicultural societies around the world encounter questions of religious nature very similar to those that authorities in India and Indonesia have faced. How they address the challenge of religious heterogeneity has a profound impact on prospects of nation-building and democratization. It is therefore imperative that the consequences of the policy toward religion, and even more so the consequences of political delegation, be studied more systematically.

Correspondence
c1 ysezgin@jjay.cuny.edu

Footnotes
Several friends and colleagues have provided valuable feedback at various stages of writing this manuscript, among them the participants of a SSRC-funded workshop, Religious Norms in the Public Sphere, held at the European University Institute, Florence, 16–18 December 2010, as well as the participants of the 2010–2011 Harvard Divinity School WSRP Research Colloquium. We thank them, and the anonymous CSSH reviewers for their very helpful comments.

Thursday, October 2, 2014

Kuliah Umum - Prospek dan Tantangan Studi Agama di Indonesia

Kuliah Umum "Prospek dan Tantangan Studi Agama di Indonesia" oleh Ahmad Najib Burhani (Peneliti LIPI) yang diadakan oleh Prodi Perbandingan Agama dan Prodi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, 10 September 2014.



https://www.youtube.com/watch?v=VL63U71KJM8

Thursday, September 18, 2014

Bagaimana Negara Mengakui Agama?


Satu Harapan, 
OPINI
Penulis: Zainal Abidin Bagir 00:00 WIB | Kamis, 18 September 2014 

SATUHARAPAN.COM – Salah satu masalah mendasar dalam pengelolaan keragaman agama di Indonesia adalah pengakuan atas agama-agama. Jelas bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945). Menguatnya perlindungan HAM setelah Reformasi 1998, di antaranya dengan dikeluarkannya UU HAM (1998) dan masuknya satu bab khusus HAM dalam amandemen konstitusi, memperkuat jaminan itu. Namun semua ini hanya bermanfaat sejauh lingkup pengakuan negara atas agama.

Dalam konteks itulah beberapa pernyataan dan tindakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang baru menjabat selama 2 bulan, menjadi penting. Dalam waktu singkat itu ia telah menjamu beberapa perwakilan kelompok-kelompok agama minoritas (Ahmadiyah, Syiah, Parmalim, Sunda Wiwitan, Sikh) yang selama ini kerap terdiskriminasi bahkan mengalami serangan fisik. Ia juga telah mengunjungi pengungsi Syiah Sampang di rusun di Sidoarjo, Jawa Timur, yang hari-hari ini persis sudah dua tahun terusir dari kampung halaman mereka. Selain itu, ia juga mengeluarkan pernyataan mengenai agama Baha’i.

Dengan itu semua pun, mesti diakui bahwa sejauh ini belum ada perubahan kebijakan penting yang bisa kita lihat. Jika dilandasi dengan niat politik yang baik, namun tanpa mengubah kebijakan menyangkut agama yang sebagiannya masih diskriminatif, sejauh manakah perbaikan bisa dibuat dalam tahap implementasinya?

Dua Kategori ‘Agama’ di Indonesia
Menyangkut pengakuan negara atas agama, apakah maksud istilah “agama yang diakui”, dan ada berapa banyak agama yang diakui? Sesungguhnya istilah ini tak dikenal dalam UUD maupun UU, yang bahkan tak menyebut nama agama-agama. Penyebutan itu muncul dalam peraturan-peraturan tingkat yang lebih rendah. Salah satu sumber terpentingnya adalah Penjelasan atas UU tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA) yang berasal dari Penetapan Presiden pada tahun 1965. Pernyataan Menag mengenai Baha’i pun sebagiannya mengutip kalimat dalam Penjelasan UU PPA itu.

Bagian Penjelasan dari UU itu menyebut dua kategori (atau kelas?) agama. Kategori pertama adalah “agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia”, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). “Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.” Keenam agama ini mendapat jaminan kebebasan, bantuan, dan perlindungan. Dalam kenyataannya, enam agama inilah yang terwakili dalam Kementrian Agama, dalam struktur setingkat Direktorat Jenderal, dan mendapat bantuan pendanaan dari APBN (meskipun kasus Konghuchu lebih kompleks, dengan sejarah yang lebih berliku).

Kategori kedua muncul di kalimat berikutnya, yang menyebut bahwa agama-agama lain di luar keenam agama itu (contoh yang diberikan adalah Yahudi, Zoroastrianisme, Shinto, Taoisme) “mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.”

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, bahwa semua contoh yang diberikan dalam kategori pertama maupun kedua adalah “agama dunia”, yaitu agama yang ada bukan hanya di Indonesia tapi tersebar di banyak tempat lain di dunia. Kedua, agama-agama dunia dalam kategori kedua dilindungi, tapi tak disebut sebagai mendapatkan bantuan. Dalam praktiknya, mereka memang tak diakomodasi dalam struktur Kementrian Agama. Jika mau menggunakan istilah yang terdengar kurang enak tapi lebih sesuai dengan realitas, kita bisa katakan bahwa agama kategori kedua itu sesungguhnya adalah agama kelas dua—dalam pandangan negara.

Dalam pemahaman ini, pernyataan Menag mengenai Baha’i sebetulnya tidak terlalu banyak. Pertama, bahwa Baha’i adalah agama, bukan ‘aliran’ dalam suatu agama. Penegasan ini penting, karena sebagian orang memahami Baha’i sebagai aliran dalam Islam, dan ada beberapa insiden penyerangan atas mereka di Indonesia karena dianggap sebagai “aliran menyimpang”, yang akan dibahas lebih jauh nanti. Sebagai agama, Baha’i adalah agama kelas dua, yang “dibiarkan adanya” (frasa dari UU PPA ini dikutip oleh Menag). Pemberitaan sebagian media yang menyebut bahwa Baha’i sedang dipertimbangkan untuk menjadi “agama resmi ketujuh” adalah jelas keliru. Jika ada yang mau disebut sebagai “agama resmi”, maka itu adalah agama-agama dalam Kategori Pertama; namun yang disampaikan oleh Menang adalah bahwa Baha’i adalah agama dalam Kategori kedua.

Target Diskriminasi: Agama Lokal, Aliran Non-arus Utama dan Agama Kategori Kedua
Hal lain yang sudah tampak dari penjelasan di atas adalah bahwa yang disebut sebagai “agama” oleh negara memang adalah bahwa ia harus bersifat internasional, tidak lokal. Ini mungkin ironis, karena justru agama-agama yang asli lahir dan tumbuh di Indonesia tidak diakui, sementara yang diakui sebagai agama adalah yang datang dari luar, namun inilah realitas kita sejak masa kemerdekaan.
Apa yang biasa disebut “agama lokal” atau agama suku (indigenous religions), seperti Kaharingan dan Ammatoa, juga aliran kepercayaan, tidak dianggap sebagai “agama”. Di antara kelompok-kelompok yang diundang dalam acara berbuka puasa di rumah dinas Menag pada 15 Juli 2004 adalah kedua kelompok yang tidak masuk dalam definisi “agama” itu.

Selain kedua kelompok itu, yang juga diundang adalah kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Keduanya, dalam pengakuan mereka sendiri, adalah bagian dari Islam namun dianggap sebagai, dalam bahasa UU PPA, “menyimpang” dari pokok-pokok ajaran Islam. Di beberapa tempat mereka kerap diserang tanpa perlindungan berarti oleh negara; mereka juga menjadi objek regulasi yang membatasi bahkan melarang aktifitas mereka. Di Wisma Transito, Mataram, saat ini ada sekitar 100 orang Ahmadi yang telah mengungsi dari beberapa desa di Lombok sejak tahun 2006, dan tak bisa kembali ke rumah mereka. Sedangkan di sebuah rumah susun di Sidoarjo, ada hampir 200 orang Syiah yang sudah dua tahun ini terusir dan tak bisa kembali ke kampung halaman mereka di Sampang, Madura. Para pengungsi di negara sendiri itu kini banyak yang sudah tak memiliki KTP dan kehilangan lebih banyak lagi hak-hak mereka atas terpenuhinya kebutuhan dasar, pendidikan, maupun pekerjaan.

Baik kelompok agama kategori kedua (seperti Baha’i dan Sikh), penganut agama lokal, aliran kepercayaan, maupun aliran-aliran dalam Islam yang dianggap “menyimpang” menmgalami nasib serupa: stigmatisasi, yang bisa berakibat konflik, dan diskriminasi karena tak adanya atau lemahnya pengakuan negara. Semua kelompok-kelompok di atas pernah mengalami serangan fisik oleh masyarakat karena stigmatisasi sebagai aliran sesat, atau tidak beragama (artinya ateis dan komunis?)

Wujud diskriminasi negara atas mereka muncul, misalnya, karena kesulitan atau ketidakjelasan mengisi kolom agama di KTP. Hal ini mempengaruhi akses mereka pada pekerjaan (apalagi jika mendaftar sebagai pegawai negeri, polisi atau tentara). Terkait dengan pendidikan agama di sekolah yang merupakan kewajiban, anak-anak mereka juga tidak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama mereka sendiri, dan sebagian besar harus mempelajari agama lain.

Makna Penting Pernyataan Menag
Dua Kementrian yang paling bertanggung jawab atas situasi diskriminasi ini adalah Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Mereka tak bisa bergerak banyak dalam medan yang dibelenggu oleh kebijakan lama yang represif.

Namun lebih dari itu, kita melihat bahwa negara, atas nama pemeliharaan kerukunan dan menjaga ketertiban, sering tunduk pada tuntutan “massa” (tepatnya kelompok-kelompok agama otoriter) yang mengatasnamakan mayoritas, dan memilih merugikan kelompok-kelompok minoritas tersebut. Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, misalnya, telah pernah menyebut Ahmadiyah dan Syiah sebagai kelompok menyimpang, menyarankan mereka “kembali” kepada ajaran agama yang benar, bahkan terlibat cukup jauh hingga memfasilitasi—atau setidaknya menyaksikan—“pertobatan” massal kelompok-kelompok itu. Selain menambah luka kelompok-kelompok kecil yang terdiskriminasi itu, di sini menjadi tidak jelas tugas negara yang harus melayani semua warga negara tanpa membedakan agama dan kepercayaan mereka, dengan keinginan menjaga kemurnian teologis yang seharusnya byukan wilayah wewenang negara.

Dalam konteks inilah kesediaan Menag Lukman Hakim Saifuddin untuk setidaknya mendengarkan dan berhubungan langsung dengan kelompok-kelompok tersebut terasa cukup segar. Setelah memberikan isyarat-isyarat politik yang positif itu, kita tentu berharap ia berbuat lebih jauh.
Misalnya, bersama Mendagri ia semestinya memastikan kelompok non-“agama resmi” tak diingkari hak-hak sosialnya hanya karena implementasi kebijakan mengenai KTP yang tak konsisten, dengan segala implikasinya. Dalam hal pendidikan, di lapangan terkadang isunya hanya teknis: bagaimana mendapatkan guru untuk kelompok-kelompok kecil itu. Sementara untuk para pengungsi Ahmadiyah dan Syiah, sembari upaya pemulangan mereka secara permanen dilakukan, hak-hak dasar mereka tak boleh makin hilang.

Mengubah regulasi membutuhkan waktu. Namun dalam dalam keterbatasan regulasi saat ini pun, setiap warga negara, terlepas dari keyakinan agamanya—termasuk apakah keyakinan itu dinilai keliru atau tidak—perlu diperlakukan sebagai manusia bermartabat dan harus diakui hak-haknya sebagai warga negara, tak berbeda dari kelompok-kelompok besar lain. Inilah kiranya yang menjadi tugas besar Menteri Agama berikutnya.

Penulis adalah Dosen pada Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah pascasarjana, Universitas Gadjah Mada

http://www.satuharapan.com/read-detail/read/bagaimana-negara-mengakui-agama

Wednesday, September 10, 2014

Studi Agama di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia

Public Lecture in the Faculty of Ushuluddin and Filsafat at UIN Sunan Ampel Surabaya, September 10, 2014 on ""Studi Agama di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia"


Video Kuliah Umum bisa dilihat di klik di sini atau dibuka di link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=VL63U71KJM8

Monday, August 11, 2014

Welcoming Baha’i: New official religion in Indonesia

The Jakarta Post,

Amanah Nurish, Yogyakarta | Opinion | Fri, August 08 2014, 9:56 AM

The Religious Affairs Ministry has added the Baha’i faith to the list of official Indonesian religions, which already comprises Islam, Christianity, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Confucianism.

However, to say Baha’i is a new world religion is, somehow, historically indelicate, as in the early 19th century, Persia (now Iran) had witnessed the birth of this youngest form of Abrahamic religion. The predecessor of this religion was founded in 1844 by Sayyed ‘Ali Mohammad Shirazi, a charismatic young merchant from Shiraz, and affirmed Baha’ullah as its prophet (Momen, 2002).

The followers of Baha’i hold Al-Aqdas as their holy book, which has been translated into hundreds of languages. The word Baha’i itself means “the splendor”, meanwhile Baha’ullah means the “splendor of God”.

As a prophetic messiah, Baha’ullah proclaimed his mission to leaders of Zoroastrianism, Judaism, Christianity, including Catholicism, Orthodox Christianity and Protestantism, and Islam (Sunni and Shia). Historically, Baha’ullah messages were addressed to the crowned heads of Europe, in public proclamations to Queen Victoria, Napoleon III, Pope Pius IX and other world leaders during the Adrianople in 1864–1868 and Akka periods in 1868–1892 (Buck, 2004: 157). When Baha’ullah died on May 18, 1892, his undertaking was continued by his eldest son Abdu’l-Bahá .

The Baha’i followers themselves have been faithful in propagating their faith to even the most obscure corners of the world (Miller, 1984). The spread of the Baha’i faith, thus, has been impressively fast, and on May 7, 1955, the campaign of anti-Baha’ism in Iran commenced.

The army and military were involved in destroying the dome of Baha’i center in Teheran (Fischer, 1990: 45) and Baha’i was then considered a (political) threat to Muslim communities, such as in Egypt, Pakistan, Turkey, Indonesia, and Malaysia.

In Indonesia, Baha’i as a religious movement has existed since the 1970s, although its arrival can be traced back to the 1920s. As mentioned by Religious Affairs Minister Lukman Hakim Saifuddin through his Twitter account, Baha’i followers in Indonesia have grown in number, scattered in major cities in Indonesia (Jakarta, Bandung, Malang, Surabaya, Medan, Banyuwangi and so on).

He said Baha’i was now a protected religion in Indonesia, according to Article 28E and 29 of the 1945 Constitution, and also based on Government Regulation No. 1/PNPS/1965, which refers to Baha’i as a form of religion apart from Islam, Christianity, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Confucianism. This official acknowledgement brings with it a massive impact on the establishment of Baha’i in Indonesia.

Along with my almost-a-decade-research on this issue, I have witnessed various forms of social discrimination against Baha’i followers in my hometown Banyuwangi, East Java. In 2002, the Indonesian Ulema Council (MUI) issued a fatwa (edict) that bans Baha’i followers from being able to bury their dead relatives in public areas. Issues related to social injustice include the ban on legal Baha’i marriages.

Indonesian Baha’i followers had been living “in disguise” before the Religious Affairs Ministry acknowledged their existence.

According to my studies on the Baha’i faith in Indonesia, during the Dutch colonial era, the Baha’i faith was more accepted by society than in the New Order and Reform era. Religious violence targeting the Indonesian Baha’i community began in the New Order, as the Soeharto regime restricted the official religions to only five.

The government’s recognition of Baha’i as an official religion in Indonesia has confirmed the nation’s commitment to religious diversity. Indonesia’s third president, Abdurrahman Wahid, was a strong supporter of religious pluralism in the country.

The Baha’i faith is not deviant and every Baha’i follower has the right to profess their religious beliefs freely in Indonesia.

The writer is a Baha’i researcher in Southeast Asia who is pursuing a PhD degree at the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Gadjah Mada University (UGM), Yogyakarta.

http://www.thejakartapost.com/news/2014/08/08/welcoming-baha-i-new-official-religion-indonesia.html