A. Biografi Mukti Ali
Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia,
tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu
Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu
perbandingan agama di indonesia.
Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan
tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the
history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun
persoalan sosio kultural.
Riwayat Hidup Mukti Ali
Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota
yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas
dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa
pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu
pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif.
Di kota
itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923.
dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh
bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan
setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau
yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan
dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota
cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara
turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana
desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan
sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak
dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik
orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh
pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang
dialaminya waktu ia masih kecil.
Boedjono
memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7
atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia
yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang
kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini
Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut
teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal
sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun
1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas
Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya.
Ditengah
tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas
Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal
mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang
sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di
pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil
yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide
politik.
Karir
politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari
dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study,
McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk
mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN
Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya
dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai
mentri agama.
Pergumulannya
didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain
dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia
adalah disen di Fakultas Ushuluddin,
IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai
Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia
dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun
1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.
B. Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali
Meskipun
Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap
menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa
kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas,
semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi
mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang
menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947.
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi.
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama.
C. Corak berpikir Mukti Ali
Di
Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah
secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan
metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan
profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred
Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan
pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh
metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa
menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan
dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan
dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi
ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan
bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha
bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat
Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode
Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam
dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa
islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana
kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak
wanita dan dialog antar umat beragama.
Hal
terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan
kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan
bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith,
yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem
dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian
hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah
memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu
perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama,
dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali
menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen
agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia. Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia.
Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu,
Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini
kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan
putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air.
D. Karya-karya Mukti Ali
Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri.
Mukti
Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis
yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer
adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
- Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
- “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
- “Hubungan
antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia,
buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
- “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung.
E. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Istilah
Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali
dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep
Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam
mengamati realitas agama.
kata
“Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah
faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama,
sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai
pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak
agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka
masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain.
Dalam
tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur
kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan
permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan
untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena
itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal
ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang
bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu
dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran
jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan yang
dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama
yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan
bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah
apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang
mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap
agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur
itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna
tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan
apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali
berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak
nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti.
Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena
kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri
dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan
hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri
dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori
evolusi Darwin Spencer.
Begitu
pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian
yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada
salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang,
seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama
ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan
berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak
berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh
masyarakat modern.
Displin
Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari
sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan
pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa
suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama
itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari
sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena
itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan
Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik
menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan
Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang
beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan
dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan,
juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi
dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang
itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu
Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang
dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan
pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai
dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan
menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan
betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja
karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau
ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah
itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama,
hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut
Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap
keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama
lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
- Ilmu
Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi
nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama
dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari
pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
- Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
- Ilmu
Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan
menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan
juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami
gejala-gejala keagamaan.
Tiga
puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu
telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu
Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk
memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
…..
ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai
agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan
perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama
dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif
apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya,
berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus
melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif
perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa
pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus
difahami sebagai alat yang
berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada
kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan,
tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah
fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak
kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu
dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang
tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah
lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam
membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung
kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya
sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud
objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas
ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis
dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek
yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat
rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya
materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga
sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan
metode yang imateril.
Adapun
objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita
adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam
berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai
struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian
agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia
dengan masyarakat.
Dalam
membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya
dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus
digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan
kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama
hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan
metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan
dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun
lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang
diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”.
Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit
istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu
pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur
yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis
yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka
metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh
dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai
penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi
adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang
ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien.
Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba
mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba
mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen).
Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap
wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu
sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun,
bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai.
Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode
“sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam
juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam
metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer,
sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz.
Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti.
Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip
keterpaduan metode”.
Dalam
hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan.
Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme
bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada
pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali
mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti
pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis
dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.
1. Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis)
adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang
beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada
aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan
sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak
pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama
seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan
begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog:
“agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan
atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah
personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada
permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis
pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas
sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang
senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis”
disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia
mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi
sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami
bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif,
melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama
tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada
perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal
dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun
Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis
terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang
terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada
titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba
melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap
misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika
peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari
pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang
supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto
memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen
yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan.
Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin
menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu
tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang
suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu
pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali
tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca
indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala
pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan
dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk
berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis,
sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin
manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab
atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan
penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan
emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati
adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena
bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang
diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang
berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam
menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang
dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang
terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan
diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan
manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif,
menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta
manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif
diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2. Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method)
merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir
disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi
aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut
John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang
dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik
kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai
suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya
merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan
prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau
secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah
mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek
yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan
persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan
manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari
entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan
“rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban
manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke
dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian
ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi
dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing
atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat
perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen
terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya
perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia
yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai
yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan
fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan
merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh
pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari
metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta
agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu
dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus
disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir
dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya.
Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan dalam
aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan
lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang
berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan warnanya yang universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama dan keberagamaan (religiousity).
Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang
berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal
sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari
dan dilukiskan secara sistematis.
3. Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama,
mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek
kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya
kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan
memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam
garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen
terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar
mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu
tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan
ketekunan.
Kedua,
secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan
agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek
netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai
tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat
memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi
keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu
memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak
jarang cukup patal.
Oleh
sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit
bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi.
Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan
ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan
dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara
mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas
agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil
untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia.
Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness)
perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama
tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak
ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi
dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan
komplementer.
Maka
kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah
Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan
sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan
historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan
historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan
bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan
pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan
pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk
mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama,
maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang
semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh
sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”.
Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat
konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman
baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah
yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan
sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan
sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan
pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode
sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin
memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama
harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian
studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu
mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut
mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis
pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya
dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba
menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus
kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai
relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena
karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi
perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen,
objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya
metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang
kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama?
Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama
adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah
kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran
yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar,
seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen.
Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti
peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth,
yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela
memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan
agama.
Maka metode religio-scientific merupakan
pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai
dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu
social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama
sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para
sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai
aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam
kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu
agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama
tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama
adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas
empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan
tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus
ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh.
Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan
tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang
Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan
metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog,
dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar
belakang keahliannya.
Maka
sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi
yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari
jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian
sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba
mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen).
Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan
mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Retrieved from: http://husnie85.blogspot.com/2011/01/prof.html
No comments:
Post a Comment