Oleh
ILIM ABDUL HALIM
(DOSEN PERBANDINGAN AGAMA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)
Dalam
memelihara kehidupan masyarakat, kontribusi nilai-nilai agama sangat
diperlukan terutama dalam upaya membangun etika yang diperlukan
masyarakat. Sebagaimana konsep Global Responsibility yang
diungkapkan Hans Kung bahwa ada beberapa pola dalam membentuk tanggung
jawab dunia. Pertama, dunia tidak akan bertahan tanpa adanya etika dunia
(No survival without a world ethic); kedua, tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian keberagamaan (No world peace without religious peace); ketiga, tidak ada perdamaian keberagamaan tanpa dialog keberagamaan (No religious peace without religious dialogue), keempat, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).[1]
Kehadiran peran agama dalam konteks Indonesia pun sangat diperlukan
karena Indonesia sebagai salah satu Negara dan Bangsa dihuni oleh
masyarkat yang memiliki nilai-nilai keyakinan terhadap sesuatu yang
dianggap sakral. Indonesia sebagai salah satu Negara dari belahan dunia
yang berada di bagian timur bumi, ternyata memiliki keanekaragaman
kekayaan, baik sumber daya alam maupun sumber daya masyarakat. Selain
itu Indonesia dikenal sebagai kesatuan bangsa, faktanya terdapat
berbagai suku bangsa atau etnik yang relatif banyak berada di dalamnya.
Sebagaimana para ahli sosiologi dan antropologi mencatat sekitar 300
suku bangsa yang memiliki bahasa, tradisi dan agama (kepercayaan) yang
berbeda-beda.
Menyadari
hal tersebut, kajian dan kontribusi atau nilai pragmatis Ilmu
Perbandingan Agama dan dialog kebergamaan dalam konteks Indonesia
dianggap penting sebagai kerangka pemikiran dan kerja dalam memelihara
integrasi bangsa. Tulisan ini didasarkan pada buku-buku Ilmu
Perbandingan Agama dan beberapa pengamatan sekaligus pengalaman penulis
dalam memahami Ilmu Perbandingan Agama dan realitas dialog keberagamaan.
Secara ringkas dalam tulisan ini penulis akan menguraikan beberapa hal
diantaranya; Pertama, Pengertian Ilmu Perbandingan Agama, dalam
bahasan ini penulis akan menguraikan sejarah kelahiran Perbandingan
Agama sebagai Ilmu yang dianggap sebagai wilayah kajian baru dalam
tradisi ilmiah. Kedua, metode kajian Ilmu Perbandingan Agama,
di sini dijelaskan bagaimana cara mempelajari Agama-Agama sebagai
fenomena keberagamaan termasuk pendekatan-pendekatan keilmuan. Ketiga, dialog keberagamaan sebagai salah satu aplikasi Ilmu Perbandingan Agama.
Ilmu Perbandingan Agama
Sebenarnya
Ilmuan Muslim telah menyusun metode-metode tentang aliran dan
sekte-sekte keagamaan yang menjadi fondasi keilmuan Ilmu Perbandingan
Agama yang dikenal comparative of religion di dunia Barat. Terbukti dengan karya-karyanya seperti; Ali Ibn Hazm (994-1064) menyusun karya Al-fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nihal, Muhammad Abd Al-Karim Al-Syarastani (1017-1143) membuat karya Al-Milal wa Al-Nihal. Beberapa penulis Muslim lain telah menyusun sekte-sekte dalam Islam seperti: Al-Baghdadi (wafat 429 H) menyusun al-faruq bain al firaq,
Abu Mudzaffar al Isfarayani (wafat 471 H). Para penulis Muslim tersebut
dapat disebut sebagai peletak dasar Ilmu perbandingan Agama. Karena
karya-karya penulis Muslim itu cenderung bersifat teologis-normatif,
dimana unsur-unsur subyektif penulisnya mewarnai karya-karya itu, maka
karya-karya mereka berbeda dengan tradisi keilmuan yang ada di Barat.
Akibatnya karya-karya mereka tidak dikenal segaimana tradisi keilmuan di
dunia Barat.
Ilmu
Perbandingan Agama di dunia Eropa pada mulanya dipublikasikan oleh
Friedrich Max Muller seorang ahli filologi berkebangsaan Jerman, ketika
dia berbicara di Royal Institution – London tentang Ilmu Agama.
Ucapan-ucapan dia tentang Ilmu Agama itu ditulis dalam suatu tulisan
yang dimuat dalam bahasa Inggris berjudul, Introduction to the Science of Religion (1873). Secara
garis besar isi buku itu menceritakan bahwa ilmu Agama itu didasarkan
pada perbandingan Agama-agama yang tidak berat sebelah dan benar-benar
ilmiah. Selain itu dia menjelaskan sikap para peneliti dan pengkaji
agama agar menghargai agama itu dalam bentuk apa pun agama itu
mengekspresikan dirinya, sehingga pengkajian agama pada saat itu menjadi
wilayah baru dalam tradisi keilmuan.
Kemudian
para sarjana yang memiliki perhatian terhadap pemikiran Max Muller itu
mengembangkannya di Paris, Jerman dengan menyusun bahan-bahan studi
secara sistematis. Mereka menekankan adanya studi perbandingan atau
metode perbandingan pada kajiannya, sehingga kajian agama-agama itu
bernama Studi (ilmu) Perbandingan Agama (the comparative study of religion) atau secara sederhana dikenal dengan istilah “perbandingan agama” (comparative religion).
Pada
akhir abad kesembilan belas, Ilmu perbandingan Agama ini semakin meluas
pada wilayah kajiannya. Dengan kata lain Ilmu Perbandingan Agama
mengalami perkembangan pada sisi epistimologi, ontologi dan aksiologi
Ilmu Pengetahuan. Para Ilmu Perbandingan Agama menganggap perlu adanya
kejelasan bagaimana Ilmu Perbandingan Agama dipahami? Louis H. Jordan
pada tahun 1905 menulis buku berjudul Comparative Religions, its Genesis and Growth. Dia
menganggap perlunya memberikan arti tentang Perbandingan Agama. Dia
menjelaskan arti Ilmu Perbandingan Agama sebagaimana dikutip Mukti Ali[2];
Ilmu
yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai
agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-peersamaan dan
perbedaannya yang sebenarnya, sejauh mana hubungan antara satu agama
dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif
apabila dianggap sebagai tipe-tipe.
Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama tersebar ke berbagai Negara dengan
istilah yang berbeda-beda. Istilah tersebut dikenal dalam berbagai
bahasa di luar negeri diantaranya; The science of religion, comparative of religions, the comparative of religions (Bahasa Inggris), la science de religion (Prancis), religionswissenschaft (Bahasa Jerman), muqaranatul adyan (Bahasa Arab).
Di
Indonesia pada tahun 1950-an telah ada istilah “Sejarah Agama-agama”
yang digunakan sebagai mata pelajaran di Madrasyah Aliyah dan Mata
Kuliah di perguruan tinggi Islam. Istilah itu mirip dengan Ilmu
Perbandingan Agama karena ia mengkaji Agama-agama lain selain Agama
Islam dari aspek sejarah. Agama-agama yang dipelajari diantaranya, Agama
Primitif, Yahudi, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Khonghucu.
Zoroaster, dan Majusi. Namun istilah “Sejarah Agama-agama” itu mengalami
perubahan secara akademik pada tahun 1960. Istilah “Ilmu Perbandingan
Agama” dipopulerkan oleh Mukti Ali, ketika fakultas Ushuluddin dengan
jurusan Perbandingan Agama sebagai salah satu jurusannya pada program
Strata-1 dibuka di Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta pada tahun
1960. Mukti Ali menyusun kurikulum Jurusan perbandingan Agama pada waktu
itu. Adapun kurikulum tersebut adalah Ilmu Perbandingan Agama,
Sosiologi Agama, Filsafat Agama, Psikologi Agama, Kristologi, Dogmatika
Kristen, Sejarah Gereja, Tafsir Injil, Orientalisme, Kebatinan, Tafsir,
Hadits, Fiqh, Ilmu kalam dan Aliran-aliran Modern dalam Islam.
Berkat ketekunannya dalam kajian Agama-Agama Mukti Ali dikenal di luar
dan dalam negeri sebagai Ilmuan Agama-Agama. Beliau pernah menduduki
jabatan-jabatan yang berkaitan dengan bidang keagamaan diantaranya;
beliau dikenal sebagai Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama di UIN Sunan
Kalijaga- Yogyakarta, pernah menjabat Menteri Agama, sebagai anggota
dewan komite Kebudayaan Islam UNESCO (Paris), dewan penasihat
Pembentukan Parlemen Agama-Agama Sedunia dan masih banyak jabatan
lainnya.
Kondisi
pendidikan masyarakat Muslim pada waktu itu sedang memerlukan
peningkatan secara kualitas. Sebagaimana menurut Mukti Ali bahwa
terdapat sebab-sebab praktis dan fundamental perlunya peningkatan,
diantaranya; kekurangan bacaan ilmiah, kurangnya kegiatan penelitian
ilmiah, kurangnya diskusi akademis, rendahnya penguasaan bahasa asing di
antara sebagian besar mahasiswa dan dosen, corak mistik mendominasi
kehidupan agama di Indonesia, pemikiran fiqh dengan pendekatan normatif
cenderung lebih ditekankan oleh para ulama, timbulnya semangat dakwah
yang begitu antusias setelah terjadinya pemberontakan yang diduga
dilakukan oleh Komunis pada tahun 1948 dan 1965, adanya kecurigaan dari
masyarakat muslim –bahkan sampai sekarang, bahwa Ilmu Perbandingan Agama
berasal dari Barat, dan para pengkaji Ilmu Agama atau Ilmu Perbandingan
Agama waktu itu kurang menguasai ilmu-ilmu bantu seperti sosiologi,
antropologi, arkeologi, filsafat dan sebagainya. Pembukaan Jurusan
perbandingan Agama dilanjutkan di perguruan tinggi yang berada di
berbagai daerah di Indonesia. Kini, program perbandingan Agama tidak
hanya di program Strata satu, tetapi juga ia diadakan di program
Pascasarjana.
Apabila
dilihat dari pengertiannya sejak kelahirannya sampai perkembangannya,
maka Ilmu perbandingan Agama memiliki beberapa makna. Pertama,
Ilmu perbandingan Agama memiliki makna sebagai salah satu Ilmu yang
dikenal dengan Ilmu Agama. Pada dasarnya Ilmu Perbandingan Agama adalah
Ilmu Agama-Agama (Religious Studies). Ilmu ini mengkaji fenomena
keberagamaan atau ungkapan keberagamaan (religious expression), baik individu maupun kelompok masyarakat. Kedua
Ilmu Perbandingan Agama sebagai metode untuk mengkaji agama-Agama,
karena di dalamnya terdapat metode perbandingan. Untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan struktur-struktur diantara Agama-Agama mesti
menggunakan metode perbandingan. Ketiga, ilmu perbandingan
Agama bermakna sebagai nama program atau jurusan di Perguruan Tinggi
Pendidikan. Beberapa perguruan tinggi seperti IAIN, UIN dan UGM membuka
jurusan atau program Ilmu Perbandingan Agama atau Perbandingan Agama.[3]
Metode Ilmu Perbandingan Agama
Untuk memahami Ilmu perbandingan secara akademis diperlukan cara dan
prosedur dalam kajiannya. Cara dan prosedur tersebut dinamakan metode
Ilmu Perbandingan Agama. Dalam metode tersebut terdapat objek kajian,
pendekatan, cabang-cabang, dan paradigma atau sikap pengkaji.
Objek kajian Ilmu Perbandingan Agama adalah agama itu sendiri sebagai
penomena. Di sini Agama diartikan sebagai keberagamaan (religious bukan religion)
yang memiliki berbagai aspek atau multi dimensi. Sebagaimana Ninian
Smart ungkapkan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki
multidimensi, seperti doktrin, mitologi, etika, ritual, institusi sosial
dan pengalaman keagamaan.[4]
Agama dipahami sebagai fenomena atau ekspresi individu atau kelompok
dalam interaksinya dengan sesuatu yang dianggap sakral. Ekpresi
keagamaan tersebut menurut Joachim Wach diwujudkan dalam tiga bentuk
yang menjadi obyek kajian Ilmu Perbandingan Agama. Ketiga bentuk
tersebut adalah teoritis, praktis dan sosial atau lembaga. Hal-hal yang
berkaitan dengan teoritis seperti gagasan doktrin, teks suci,
cerita-cerita mitos dan sistem keyakinan. Unsur agama yang berhubungan
dengan praktis diantaranya ritual do’a, dan prilaku masyarakat beragama.
Aspek agama yang berkaitan dengan sosial atau lembaga seperti;
interaksi masyarakat beragama, baik konflik maupun integrasi sosial
dalam kehidupannya, stratifikasi, kelompok masyarakat beragama dan
sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam Ilmu Perbandingan
Agama diantaranya; Bagaimana gagasan seseorang memahami Tuhannya?
Bagaimana individu atau masayarakat menemukan sabda suci yang memberikan
kerangka berpifkir dalam melakukan setiap aktifitasnya? Bagaimana
dampaknya gagasan dan ritual keagamaan terhadap masyarakat? Bagaimana
kehidupan masyarakat berdampak dalam kehidupan keberagamaan? Para
pengkaji Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama tidak mengkaji hakikat
kebenaran suatu Agama menurut keyakinan pengkajinya sehingga para
peneliti Ilmu Perbandingan Agama tidak mengangkat pertanyaan-pertanyaan
seperti; Apakah agama seseorang benar atau salah? Apakah Tuhan mereka
Benar atau Salah? Persoalan Agama mana yang benar dan salah adalah
persoalan teologi atau normatif seseorang dalam menilai suatu agama,
sehingga Ilmu Perbandingan Agama yang dikembangkan oleh Max Muller
cenderung menggunakan pendekatan keilmuan yang tidak normative-teologis
dalam kajiannya, melainkan emfiris-fenomena.
Perlu diketahui bahwa metode comparative
atau perbandingan adalah salah satu jenis pendekatan yang mampu
digunakan oleh pengkaji agama di dalam kajian dan penelitiannya. Metode
lainnya adalah metode deskriptif analisis. Metode ini merupakan suatu
metode untuk mendeskrifsikan ekspresi keagamaan dengan analisis fenomena
atau kualitatif. Penelitian agama cenderung menggunakan analisis
kualitatif, karena obyek kajiannya berupa fenomena dari ekspresi
keagamaan. Terdapat beberapa pendekatan atau ilmu bantu untuk mengkaji
agama dalam Ilmu Perbandingan Agama, diantaranya; sejarah, sosiologi,
antropologi, filsafat,[5]
psikologi, fenomenologi, dan filologi. Dengan pendekatan beberapa ilmu
tersebut diharapkan para pengkaji agama dengan mudah atau terbantu dalam
mengkaji agama secara ilmiah bukan apologis. Masing-masing pendekatan
mempunyai metode-metode tersendiri.
Namun Mukti Ali menyarankan bahwa pengkajian Agama dalam Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya pendekatan sain atau scientific, tetapi juga diiringi dengan pendekatan cumdoctrinair,
sehingga beliau memperkenalkan suatu istilah dalam metode pendekatannya
yaitu pendekatan “religio-scientific”. Istilah lain untuk menyebut
istilah tersebut beliau namakan dengan istilah “scientific-cumdoctrinair
atau “ilmiah-agamais”. Di sini Agama diteliti atau dikaji tidak hanya
dengan pendekatan Ilmiah, melainkan dipadukan dengan pendekatan sikap
keberagamaan atau religious. Apabila agama dikaji dengan
pendekatan ilmiah saja, ada suatu kekuatiran dengan penafsiran pengkaji
atau peneliti agama yang tidak sesuai dengan phenomena di masyarakat.
Contohnya, seorang ahli seni rupa meneliti masyarakat Hindu dan
masyarakat Muslim. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitiannya adalah
bahwa masyarakat Hindu menyembah patung yang terbuat dari batu, begitu
pula masyarakat Muslim menyembah batu hitam. Padahal pada faktanya
masyarakat Hindu mengakui tidak menyembah patung dan masyarakat Muslim
tidak mengakui menyembah batu hitam, melainkan mereka mengakui menyembah
Tuhannya. Dengan demikian seorang peneliti atau pengkaji agama
sebaiknya mengerti atau merasakan tentang Tuhan. Dengan kata lain
seorang peneliti atau pengkaji agama memahami arti beragama atau
sebaiknya dia beragama. Akibatnya, Ilmu Perbandingan Agama atau
Perbandingan Agama memiliki cabang-cabang ilmu dalam kajian keberagamaan
sesuai dengan konteksnya. Cabang-cabang ilmu itu diantaranya, sejarah
agama, psikologi agama, sosiologi agama, fenomenologi agama, dan
filsafat agama. Masing-masing cabang ilmu itu memiliki
pendekatan-pendekatan dan metode-metode tertentu.
Uraian metode tersebut diatas dapat menimbulkan suatu paradigama atau
sikap yang mesti dipahami oleh peneliti atau pengkaji agama dalam
lingkup Ilmu Perbandingan Agama. Beberapa paradigma atau sikap peneliti
dalam Ilmu Perbandingan Agama itu diantaranya; Pertama, Agama
dipahami sebagai fenomena faktual. Artinya sesuai dengan apa yang
dipercayai dan diyakini oleh para pemeluk agama-agama masing-masing.
Fakta tersebut menjadi bahan kajian para peneliti agama. Bukan agama
yang seharusnya dipahami oleh peneliti atau bersifat ideal, melainkan
agama yang dipahami oleh subyek penelitian yang menjadi phenomena
obyektif. Di sini objektifitas dari peneliti dalam melihat gejala
keberagamaan sangat diperlukan. Kedua, para peneliti agama
sebaiknya bersikap tidak kontra-produktif, tidak polemik, tidak
apologetik, dan tidak mengadili terhadap agama yang dikajinya. Peneliti
agama sebaiknya mengerti dan memahami prinsif “Agree in Dis-Agreement”.
Peneliti atau pengkaji agama tidak menilai benar atau salah suatu agama
atau pemahaman penganut agama, melainkan mendeskripsikan dan
menganalisisnya. Peneliti tidak menginterpensi kondisi gejala keagamaan
yang sedang diteliti, sehingga hasil kajiannya menjadi bahan
pengetahuan. Ketiga, Dalam kajian masyarakat beragama terutama
dengan pendekatan sosiologi dan antropologi, peneliti atau pengkaji
agama mengerti dan merasakan keberagamaan masyarakat agar hasil
analisisnya sesuai dengan fakta di lapangan. Keempat peneliti
atau pengkaji agama memiliki kemampuan pengetahuan atau ilmu-ilmu alat
bantu perbandingan Agama, seperti sosiologi, antropologi, arkeologi,
fenomenologi, bahasa (terutama bahasa Inggris dan Arab) dan sebagainya
dalam mengkaji agama-agama tertentu yang menjadi objek kajiannya. Kelima,
Peneliti atau pengkaji agama menganggap bahwa kajiannya atau hasil
penelitiannya tidak hanya untuk kepentingan akademis, tetapi juga untuk
kepentingan pragmatis seperti dialog keberagamaan dan mengatasi problema
masyarakat (soteriologi), seperti memelihara kerukunan atau menjaga
integrasi sosial. Terutama bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman
budaya dan agama.
Dialog Keberagamaan
Salah satu aplikasi dari Ilmu Perbandingan Agama dapat berupa dialog
keberagamaan. Adanya dialog keberagamaan di masyarakat terutama di
Indonesia didasarkan adanya keanekaragaman masyarakat Indonesia yang
plural termasuk identitas agama sebagai salah satunya. Masyarakat
beragama memiliki keinginan atau kepentingan yang berbeda-beda dalam
interaksi sosialnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Karena
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman sosial dan budaya
yang dinamis, maka potensi pertentangan akan selalu ada pada setiap
aspek budayanya. Pluralitas masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan aspek budaya terutama politik, ekonomi dan agama
memiliki potensi yang dapat menimbulkan pertentangan (disosiatif).
Beberapa peristiwa konflik telah dialami bangsa ini pada era setelah
jatuhnya Soeharto. Peristiwa-peristiwa itu diantaranya, kasus gerakan
separatisme terjadi di Timor-Timur, Aceh, Papua Barat; Kerusuhan Muslim
dan masyarakat Kristen di Maluku dan Sulawesi, Kekerasan antar etnik di
Kalimantan, kekerasan anti Cina, perilaku kekerasan Muslim yang
bersifat militeristik dan geng-geng pemuda.[6]
Pertentangan
hubungan antar penganut agama, terutama Islam dan Kristen telah terjadi
di Indonesia sejak lama. Persaingan kedua penganut agama ini
menyangkut masalah bantuan asing, penyebaran agama dan pendirian tempat
ibadah. Salah satu persoalan sikap keberagamaan yang menyangkut sikap
intoleransi banyak terjadi pula di Indonesia. Sebagaimana hasil temuan
Wahid Institut bahwa sepanjang tahun 2009 wilayah yang sering
munculnya kasus-kasus intoleransi; Jawa Barat 32 kasus (34 %), Jakarta 15 kasus (16 %), Jawa Timur 14 kasus
(15 %), dan Jawa Tengah 13 kasus (14 %). Menurut lembaga ini bahwa di
Jawa Barat, isu yang paling mengancam kehidupan beragama adalah isu yang
termasuk dalam kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada
agama tertentu seperti Yahudi, Kristen, atau kelompok/individu yang
diduga sesat. Masalah-masalah seperti kemiskinan, kesejahteraan,
pengangguran, hak azasi manusia, keadilan, bencana alam merupakan faktor
yang menjadi pendorong diadakannya dialog.
Dalam mengkaji dialog keberagamaan terdapat beberapa hal yang dianggap penting, diantaranya; Institusi, landasan atau prinsip dan bentuk dialog keberagamaan. Apabila institusi dipahami sebagai sistem perilaku untuk mengatur kebutuhan manusia,[7]
maka dalam dialog keberagamaan tidak hanya institusi agama yang
diperlukan tetapi institusi lainnya juga diperlukan. Artinya dialog
keberagamaan tidak hanya melibatkan pada persoalan agama termasuk
doktrin, ritual dan penganut agama saja, tetapi institusi lainnya
termasuk ekonomi, politik-pemerintah, budaya, dan sistem kemasyarakatan
juga perlu terlibat dalam dialog keberagamaan. Institut atau organisasi
yang terlibat itu bisa pemuka agama atau masyarakat beragama yang
tergabung dalam organisasi keagamaan; bisa kalangan akademisi, LSM,
Pemerintah, media massa dan lembaga-lembaga lainnya. Khusus para
akademisi yang memiliki latar belakang Ilmu Perbandingan Agama dapat
memilih posisi dan peran dalam dialog keberagamaan, seperti, ilmuan,
agamawan, aktifis sosial keagamaan, pejabat pemerintah dan sebagainya.
Sebagai ilmuan agama, seseorang dapat meneliti dan mengkaji hubungan
antar agama di masyarakat. Apabila hasil penelitian dan pengkajian
agama-agama seperti ini sudah banyak dipublikasikan dan bisa banyak
dibaca oleh masyarakat yang rawan konflik agama, maka kemungkinan
kesalah pahaman yang berkaitan dengan agama-agama lain, dapat dihindari
atau minimal bisa dikurangi. Sehingga keharmonisan atau kerukunan bahkan
kerjasama antar penganut agama dapat diwujudkan.
Persoalan landasan atau prinsip dialog kebergamaan diperlukan sebagai
norma atau kode etik. Dalam konteks dialog keberagamaan di Indonesia,
norma ini disusun berdasarkan pada nilai-nilai teologi dari
masing-masing agama yang bersifat tidak monopoli. Nilai teologi ini
disebut teologi kerukunan sebagaimana Djohan Effendi[8] jelaskan,
Dengan
pendekatan dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan
dan ketidakmutlakkan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan, katakanlah
semacam Teologi kerukunan. Istilah ini mengandung dan mengundang kritik,
namun apa yang dimaksudkan adalah suatu pandangan keagamaan yang tidak
bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagaman
yang didasarkan atas kesaradan bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tak
pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan
bahwa keberagamaan seseorang, pada umumnya, lebih merupakan produk, atau
setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.
Para
pemuka atau penganut agama yang terlibat dalam dialog keberagamaan
menyadari betul bahwa masing-masing agama mengajarkan keselamatan,
perdamaian, kemanusiaan, rakhmat, loyalitas, kesederhanaan, keterbukaan
dan keuniversalan. Nilai-nilai persamaan dari masing-masing agama ini
dapat menjadi landasan atau kerangka kerja dalam dialog keberagamaan.
Salah satu contoh doktrin ajaran Islam sebagai landasan berdialog
diantaranya; adanya keyakinan atau iman kepada para nabi dan rasul.[9]
Dalam penjelasannya bahwa adanya rasul atau orang yang diutus Allah
merupakan tanda kebesaran Tuhan yang memerintahkan kebaikan dan
meninggalkan keburukan kepada manusia. Selain itu beliau menambahkan
bahwa dalam pandangan inklusif ummat Islam diperintahkan untuk mengajak
kaum Ahli Kitab menuju pada prinsip nilai-nilai persamaan (kalimat-un
sawa) yaitu ke ajaran tawhid –monoteisme.[10]Dengan
demikian untuk dapat saling mengerti dan memahami diantara penganut
agama, nilai-nilai keterbukaan menjadi syarat dalam dialog keberagamaan.
Namun
bagi kelompok agamawan atau penganut agama nilai-nilai keterbukaan itu
masih perlu ada batas-batas yang tetap dijaga oleh para penganut agama
tersebut. Sebagaimana menurut Kleden[11] seorang sosiolog Kristen,
Suatu
pembicaran mengenai dialog antar agama nampaknya hanya bisa dimulai
dengan mengandaikan adanya keterbukaan sebuah agama terhadap agama
lainnya. Masalahnya mungkin baru timbul, bila kemudian mulai
dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud dengan keterbukaan,
segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya terbuka terhadap
agama lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan atau
ditolerir, dan juga dalam modus yang bagaimana keterbukaan itu dapat
dilaksanakan. Dengan lain perkataan, perlu dirumuskan juga batas-batas
kemungkinan keterbukaan tersebut.
Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud batas-batas dari dialog itu adalah keselamatan itu sendiri[12].
Keselamatan bagi para penganut agama itu yakni tidak adanya paksaan
yang bertentangan dengan hak azasi manusia dan tidak menjadikan
percampuran doktrin keagamaan yang mengurangi nilai kesakralan. Khusus
berkaitan dengan perbedaan teologis, apabila tidak ditemukan titik
persamaan diantara para pemuka agama, maka para pemuka agama dapat
menggunakan prinsip “Agree in Dis-Agreement”. Sebagaimana pandangan
ekslusif tentang agama, baik gagasan kayakinan Islam maupun Kristen.
Dalam ajaran Islam dikenal ayat; Inna dinna indallaahil Islam (sesungguhnya agama yang di sisi Allah adalah Islam), dan dalam ajaran Kristen dikenal extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) atau ungkapan extra ecclesiam nullus propheta (di luar gereja tidak ada nabi).
Selain
itu landasan yang berperan sebagai norma-norma itu seharusnya didasari
azas kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan azas kebangsaan, masyarakat
Indonesia yang dibedakan oleh identitas ras, etnik, agama atau
kepercayaan dan jenis kelamin semestinya menyadari betul bahwa mereka
adalah sebagai warga Negara dan bangsa Indonesia. Berbagai persoalan
yang menjandi ancaman kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
seperti disintegrasi, sparatisme, demokratisasi, kemiskinan,
pengangguran dan sebagainya adalah tanggung jawab segenap lapisan dan
kelompok masyarakat Indonesia. Dengan demikian dialog keberagamaan dalam
konteks Indonesia tidak hanya untuk kepentingan para penganut atau
kelompok agama tetapi sebaiknya diarahkan pula untuk kepentingan Bangsa
dan Negara Indonesia. Begitu pula dengan azas Kemanusiaan, masyarakat
dunia yang terdiri dari kelompok dan individu termasuk kelompok beragama
memiliki persoalan dan tanggung jawab terhadap kelangsungan peradaban
manusia. Persoalan hak azasi, domokrasi, perdamaian, kesejahteraan,
kemiskinan, kebodohan, lingkungan dengan beberapa bencana alam merupakan
bagian dari persolan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab seluruh
manusia. Kehidupan masyarakat beragama tidak hanya untuk kepentingan
kelompok atau komunitas masyarakat beragama tetapi juga dituntutut untuk
kepentingan kemanusiaan secara umum. Para penganut agama dituntut untuk
memberi kontribusi terhadap solusi masalah peradaban manusia yang tidak
lagi dibatasi oleh letak geografis dan identitas budaya, karena
kehidupan yang damai, harmonis merupakan cita-cita umat manusia.
Dialog
keberagamaan atau dikenal kerukunan hidup beragama telah dilakukan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu kasus yang terjadi di
Indonesia secara historis bahwa gagasan kerukunan beragama yang menjadi
salah satu program pemerintah diduga dilatarbelakangi oleh adanya
hubungan yang kurang harmonis di kalangan hidup beragama, terutama isu
Kristenisasi. Sebagaimana Djohan Effendi ungkapkan,
Kerukunan
hidup beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan di bidang agama.
Gagasan ini muncul, terutama karena dilatarbelakangi oleh beberapa
kejadian yang memperlihatkan gejala meruncingnya hubungan antar agama.
Gejala ini terlihat kentara pada pertengahan akahir tahun enam puluhan.
Hal ini terutama berhubungan dengan sangat santernya isyu kristenisasi
pada saat itu. Barangkali karena itulah Menteri Agama pada waktu itu,
Prof. Mukti Ali, pada tahun 1971 melontarkan gagasan dialog pemuka
agama, sebagai usaha untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama
dalam satu forum percakapan bebas dan terus terang dimana masing-masing
pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang
menjadi kepentingan bersama. Sejak itu kegiatan dialog diprogramkan dan
merupakan kegiatan utama dari proyek kerukunan Hidup Beragama Departemen
Agama.[13]
Tentu
saja, bukan hanya faktor persoalan agama yang menjadi latar belakang
dialog keberagamaan, tetapi juga persoalan kebangsaan dan kemanusiaan
menjadi latar belakang adanya dialong kerukunan hidup beragama.
Beberapa bentuk dialog keberagamaan dapat dilakukan masyarakat baik
individu atau kelompok. Beberapa tokoh masyarakat melakukan berbagai
dialog keagamaan seperti pemuka agama atau kepercayaan, kalangan
akademis, lembaga non-pemerintah dan masyarakat secara umum. Beberapa
dialog telah dilakukan tokoh masyarakat di berbagai kota di Indonesia
dalam bentuk seminar, dialog, lokakarya, penelitian dan sebagainya.
Selain dalam bentuk kegiatan formal ada juga masyarakat yang melakukan
kegiatan secara informal, baik berkaitan dengan lingkup keluarga dan
bertetangga maupun berkaitan dengan waktu-waktu tertentu. Seperti
kehidupan masyarakat sehari-hari di lingkungan keluarga atau bertetangga
- peristiwa kawin campur, hubungan antar agama dalam kehidupan
bertetangga kasus di Yogyakarta. peristiwa yang berkaitan dengan
waktu-waktu tertentu seperti; buka puasa bersama, pengadaan pasar murah,
warung reformasi – masih kasus di Yogyakarta. Upaya memelihara
perdamaian di kalangan generasi muda melalui olah raga yang diorganisir
kelompok Muslim dan no-Muslim. Seperti program “sepak bola untuk
perdamaian” yang dilakukan di Jawa Barat. Beberapa upaya yang dilakuan
oleh berbagai penganut agama dalam upaya memulihkan tragedi kemanusiaan
seperti; gempa, banjir, longsor dan sebagainya. Hal yang lebih penting
dari dialog keberagamaan itu yang telah dilakukan beberapa tokoh dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentu, penulis merasa sukar untuk menilai keberhasilan program dialog
keberagamaan itu di Indonesia. Terbukti masih adanya beberapa konflik
masyarakat yang dijadikan isyu persoalan agama terutama penganut agama.
Tetapi penulis dapat melihat beberapa kemajuan dialog yang telah
dilakukan baik oleh sebagian masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Seperti dialog yang bersifat normative teologis, birokratis, dan sosiologis humanis.
Selain itu terdapat pula adanya pola pembinaan untuk saling mengerti
dan memahami di antara pemuka agama termasuk generasi muda dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu dialog
keberagamaan tetap masih perlu dilanjutkan, baik formal maupun informal
guna membina dan memelihara integrasi sosial.
Dari
uaraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa Agama sebagai salah satu
institusi sosial dapat berkaitan dengan institusi sosial lainnya yakni
pendidikan akademik dan prilaku sosial. Dalam konsep pendidikan
akademik, agama dapat berbentuk Ilmu Agama atau Ilmu Perbandingan Agama,
sedang dalam prilaku sosial dapat berupa Dialog keberagamaan atau aksi
sosial keagamaan. Terdapat kesatuan antara kajian agama sebagai
pendidikan akademik melalui Ilmu Perbandingan Agama dan prilaku dialog
keberagamaan sebagai aksi sosial. Kedua hal itu seharusnya saling
melengkapi karena yang pertama bersifat akademik teoritis memberi
kerangka pemikiran dan kerja, sedang yang kedua bersifat sosial praktis
yang menjadi perwujudan atau aplikasi dari Ilmu Perbandingan Agama.
Peran Ilmu Perbandingan Agama dan dialog keberagamaan tersebut sangat
diperlukan dalam konteks masyarakat yang memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, baik secara diferensiasi maupun stratifikasi sosial.
Perbedaan peran dan status dalam masyarakat itu akan menjadi rawan dan
terancam terhadap kondisi masyarakat sebagai kesatuan bangsa apabila
aktivitas manusia cenderung bersifat mementingkan diri dan tidak
manusiawi.
Ilmu
Perbandingan Agama dan dialog keberagamaan merupakan suatu kesatuan
yang dapat dipahami secara akademik, sosiologis, budaya dan sebagainya.
Kehadirannya telah memberikan kontribusi bagi kemanusiaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam kehidupan
internasional. Di sini kontribusi atau nilai pragmatis Ilmu
Perbandingan Agama yang diwujudkan dalam dialog keberagamaan dapat
dilihat dengan jelas yakni memelihara atau menjaga integrasi sosial.
Terdapat
dua tokoh di Indonesia yang dapat dijadikan simbol karena jasanya dalam
bidang akademik dan pembangunan kehidupan beragama yang harmonis. Kedua
tokoh tersebut adalah H.A Mukti Ali dan K.H. Abdurahman Wahid. Kedua
tokoh ini tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Tokoh pertama telah memberi kontribusi terutama dalam sosialisasi Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan memprakarsai program kerukunan hidup
beragama. Tokoh yang pernah menjabat menteri Agama ini telah merumuskan
dan mempublikasikan teori dan metode Ilmu Perbandingan Agama juga
konsep dialog kebergamaan di Indonesia.Tokoh Kedua telah memberi
kontribusi dalam aspek aplikasi Ilmu Perbandingan Agama dalam konteks
kerukunan ummat beragama sebagai wujud dari etika kamanusiaan. Awalnya
Gusdur –panggilan Akrab K.H. Abdurahman Wahid dikenal sebagai keturunan
dan pemimpin salah satu organisasi besar Islam, namun beliau mampu
menjalin hubungan integrasi dengan para penganut-penganut agama lain.
Upaya Dialog tersebut bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan
keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbukti gagasan
pemikiran dan perilaku beliau diterima sebagian besar bangsa Indonesia
dari berbagai kelompok dan lapisan masyarakat. Beliau telah memberikan
keteladanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah
kehidupan yang pluralistic dan multikulturalistik. Kontribusi beliau
dalam kehidupan berbangsa dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat
dengan keteladanannya dalam menjaga integrasi bangsa yang terdiri dari
berbagai etnis, ras, agama atau kepercayaan dan gender. Sehingga atas
jasa-jasanya kedua tokoh tersebut baik secara akademik maupun aksi
sosial keberagamaan layak sebagai tokoh pluralisme dan multikulturalisme
Indonesia.
Tentu
saja terdapat beberapa kritik yang muncul dalam menanggapi terhadap
Ilmu Perbandingan Agama dan Dialog Keberagamaan. Dalam penggunaan
istilah “ilmu” dalam Ilmu Perbandingan Agama cenderung bersifat mazazi
atau metafora, artinya ilmu yang dipahami dalam ilmu Perbandingan Agama
tidak sesuai dengan kaidah yang sudah ada, seperti sosiologi,
antropologi, psikologi dan sebagainya, karena bercampur dengan prinsif
norma. Di sini Ilmu cenderung dipahami sebagai “kajian” sehingga para
pengkaji agama kini lebih banyak menggunakan kata “kajian” atau
“studies” daripada kata “ilmu”. Untuk memasyarakatkan dan memfokuskan
kajian Ilmu Agama, para pengkaji agama mengganti istilah “Ilmu
Perbandingan Agama” dengan istilah Studi Agama-Agama atau “religious
studies.
Ada
pula sebagian ahli memberikan pendapat bahwa sebaikanya istilah yang
digunakan adalah “resulusi konflik”. Istilah ini cenderung dipahami
dalam konteks praktis dalam mengatasi problem sosial terutama konflik
sosial. Dalam hal ini Mahasiswa diharapkan memahami dan mampu secara
terlatih mengatasi persoalan konflik di masyarakat terutama yang
disebabkan oleh faktor sosial-agama, apabila konflik sosial itu terjadi.
Begitu
juga dialog yang telah banyak dilakukan cenderung bersifat ceremonial
dan karikatur. Dialog keberagamaan semestinya tidak hanya sebagai
kegiatan yang bersifat ceremonial yang hanya menjadi tontonan sesaat di
waktu ada upacara, tetapi sebagai sikap mental yang dilandasi tanggung
jawab masyarakat atau individu sebagai penganut agama, warga masyarakat,
bangsa dan Negara, juga warga dunia. Karena di tengah arus globalisasi
dan informasi nilai-nilai agama dituntut berperan dalam mengatasi
persoalan bangsa dan dunia.
Akhirnya
penulis dapat mengatakan dua hal yang dianggap penting dalam akhir
tulisan ini. Pertama, Ilmu Perbandingan Agama atau religious studies
dapat menghasilkan norma atau prinsip-prinsip dalam kehidupan beragama.
Kedua, dialog keberagamaan akan memberikan kontribusi dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa, bernegara dan global internasional apabila dialog
keberagamaan tidak didasarkan paksaan atau kepalsuan melainkan atas
dasar tanggung jawab dan kejujuran.
Referensi
§ David Brown and Ian Wilson. Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum in Jakarta, Working Paper No.145 July 2007, Asia Research Center-Perth Western Australia.
§ George B. Grose dan Benyamin J. Hubbard (editor), Tiga Agama Satu Tuhan,Terjemahan Santi Indra Astuti, Bandung: Mizan, 1998,
§ H.A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993. Cetakan keempat,
§ Hans Kung, Global Responsibility in Search of a new World Ethic, New York; Crossroad. Translated John Bowden, 1991
§ Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, cetakan ke-2, Jakarta: Universitas, 1964,
§ Prisma No. 5 Juni 1978.
§ Walter H. Capps, Religious Studies The Making of a Discipline. USA: Fortress Press. 1995.
http://www.pauinsgd.ac.id/html/index.php?id=artikel&kode=12
No comments:
Post a Comment