Friday, May 24, 2013

Buya Hamka dan Kebebasan Beragama

oleh: Djohan Effendi
 
 “Majlis Hakim Kerajaan telah memutuskan bahwa kami melanggar Mazhab Syafi’i. Untuk menjaga perdamaian, kami kemukakan alasan Mazhab Syafi’i juga menganggap sah Jum’at kami. Sekarang sebab Pemerintah Dai Nippon telah sudi mencampuri soal ini, biarlah kami kemukakan pendirian kami yang sebenarnya. Kami Muhammadiyah tidak terikat dalam Mazhab Syafi’i. Memang kami tidak terikat kepada Mazhab Syafi’i. Kami hanya memakai suatu mazhab, yaitu Qur`an dan Hadits. Pada pendapat kami Jum’at kami tidak sah, selama kami bersatu dalam Jum’at kerajaan. Menurut pandangan kami di situ terlalu banyak bid’ah, yang dalam Mazhab Syafi’i sendiri pun tidak ada! Dalam ajaran Nabi kami, Muhammad s.a.w., bila seorang Islam sampai tiga kali meninggalkan Jum’at, hatinya akan dikelamkan Tuhan. Dia menjadi munafik. Maka kawan-kawan saya di Rampah lebih seratus orang banyaknya, gelisah jiwanya kalau tidak mempunyai Jum’at sendiri! Saya percaya pemerintah Dai Nipon akan mendamaikan hal ini. Yaitu kemerdekaan beragama! Dalam hal yang lain, kawan-kawan saya di daerah kerajaan akan tetap menjadi rakyat patuh! Tetapi berilah dia kemerdekaan mengerjakan agama menurut keyakinannya! Sedangkan pemeluk agama lain bebas beribadat menurut keyakinan agamanya, mengapa kami orang Islam tidak?”
 Kalimat-kalimat yang menuntut kebebasan beragama dan melaksanakan ibadat menurut keyakinan agama pemeluknya diucapkan oleh Buya Hamka di hadapan pejabat pemerintahan Jepang di Sumatera Utara dan para ulama Kerajaan Deli ketika pelaksanaan shalat Jum’at tersendiri oleh warga Muhammadiyah di Rampah, Sumatera Utara, dihalang-halangi oleh Kerajaan Deli. Menurut pihak ulama Kerajaan, berdasarkan Mazhab Syafi’i yang dianut oleh Kerajaan mendirikan dua mesjid di satu wilayah yang azan di mesjid didengar oleh jamaah mesjid lain tidak diperkenankan. Shalat Jum’at yang dilakukan di mesjid itu tidak sah. Di pihak lain, ulama-ulama Muhammadiyah Sumatera Utara, dengan mendasarkan pada salah satu pendapat di kalangan Mazhab Syafi’i juga, mengatakan kehadiran mesjid baru itu tidak dilarang. Bahkan, menurut mereka, karena dalam pelaksanaan shalat Jum’at di mesjid Sultan di Rampah dilakukan banyak perbuatan-perbuatan yang tidak disetujui oleh pihak Muhammadiyah, justru shalat Jum’at yang mereka lakukan mereka di mesjid Sultan itu yang tidak sah.
 Untuk memahami lebih jelas kasus yang mendorong Buya Hamka menyatakan pendiriannya dengan tegas dan keras mungkin ada baiknya bila kita menoleh ke belakang ketika wacana tentang pertentangan masalah-masalah keagamaan marak berkembang di kalangan umat Islam waktu itu. Paroh pertama abad ke-20 wacana keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia diwarnai terutama oleh perbedaan dan pertengkaran pendapat yang dipicu oleh pertentangan antara Kaum Muda dan Kaum Tua, antara gerakan salafiyah dengan semboyan “Kembali ke Quran dan Hadits” dan kalangan tradisionalisme mazhabiyah yang mempertahankan faham bahwa umat Islam mesti wajib bertaqlid, mengikuti salah satu dari empat mazhab Sunni, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, dan khusus untuk Indonesia itu berarti mengikuti mazhab Syafi’i. Banyak praktek-praktek keagamaan Kaum Tua dianggap oleh Kaum Muda sebagai bid’ah, yakni praktek-praktek keagamaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat beliau. Bagi Kaum Muda semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat akan masuk neraka. Oleh karena itu mereka yang menganut faham Kaum Muda berusaha membersihkan praktek-praktek keagamaan mereka dari hal-hal yang berbau bid’ah.
 Pertentangan Kaum Muda dan Kaum Tua itu juga terjadi di Sumatera Utara. Pertentangan ini menarik karena melibatkan pihak Kerajaan yang mempertahankan faham Kaum Tua. Penyebaran faham Kaum Muda yang dibawa dan dikembangkan oleh Muhammadiyah tak ayal lagi menimbulkan kerenggangan dan ketegangan hubungan antara pembawa faham baru dan pembela faham lama. Salah satu di antaranya adalah kasus pelaksanaan shalat Jum’at di Rampah, di wilayah Kesultanan Deli. Di Rampah Muhammadiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan jumlah anggotanya ratusan orang. Mereka ingin mempunyai mesjid sendiri untuk melaksanakan shalat Jum’at bebas dari hal-hal yang mereka anggap sebagai bid’ah. Mereka mulai dengan melaksanakan shalat Jum’at di sekolah Muhammadiyah. Terjadilah pertengkaran antara Hakim Kesultanan yang didukung oleh para ulama Kaum Tua, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam, dan pihak Muhammadiyah yang dipimpin oleh Buya Hamka yang ketika itu menjabat Konsul Muhammadiyah di Sumatera Utara. Pelaksanaan shalat Jum’at yang diselenggarakan Muhammadiyah Rampah dianggap telah melanggar Mazhab Syafi’i dan karena itu dilarang oleh Kesultanan Deli. Pihak Muhammadiyah tidak mau menerima begitu saja keputusan Hakim Kesultanan. Terjadilah ketegangan antara kedua belah pihak yang bertentangan sehingga Pemerintahan Jepang di Sumatera Utara campur tangan untuk mendamaikan pertengkaran itu.
 Dalam pertemuan antara ulama Kesultanan Deli dan pimpinan Muhammadiyah yang diprakarsai dan dipandu oleh pejabat Jepang untuk mendamaikan pertengkaran kedua pihak tersebut Buya Hamka dengan penuh semangat mengemukakan pendirian Muhammadiyah seperti dikutib di atas. Kisah nyata ini dapat kita baca dalam otobiografi Buya Hamka, Kenang-kenangan Hidup jilid III halaman 155-156.
Cerita ini sengaja saya ungkapan kembali untuk menanggapi laporan Wahid Institute yang menggambarkan bahwa masalah kebebasan beragama di negeri kita masih sangat memprihatinkan. Pemerkosaan kebebasan beragama tampak kasat mata sampai saat ini. Puluhan orang masih tinggal di tempat pengungsian di Mataram, Lombok, karena mereka menganut faham yang difatwakan sesat oleh Majlis Ulama dan diamini oleh “aparat Pemerintah” dan berdasarkan fatwa penyesatan itu berbagai kalangan masyarakat mengambil tindakan sendiri, mengusir sekelompok orang yang mereka anggap menganut faham sesat, merusak harta benda mereka, menutup dan membakar rumah ibadah mereka.
 Betapa penting kebebasan beragama dan kebebasan meyakini dan mengamalkan ajaran agama sesuai dengan keyakinan penganutnya, sebab tanpa kebebasan itu, menurut Buya Hamka, akan menggelisahkan jiwa seseorang. Memang pemerkosaan terhadap kebebasan berkeyakinan adalah penderitaan batin sangat menyakitkan bagi para korban. Keyakinan hidup terutama berkaitan dengan agama menyangkut keyakinan tentang kebenaran dan keselamatan hidup, di dunia dan di alam baka yang untuk itu seseorang bersedia menyerahkan nyawanya. Sungguh ironis kalau ada orang, organisasi atau lembaga, yang merasa berwenang mengatur keyakinan hati seseorang yang Tuhan sendiri menganugerahinya kebebasan hati nurani.
 Sebelum era reformasi kemerdekaan beragama dianggap sebagai hak manusia yang paling asasi dan berasal dari Tuhan sendiri, sama sekali bukan pemberian kelompok atau negara. Ia tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Ia melekat dalam harkat dan martabat kemanusiaan yang dibawa sejak lahir. Tak ada yang berhak merampas kemerdekaan itu. Kalau Tuhan Pencipta alam semesta ini memberikan kebebasan kepada manuasia ciptaan-Nya, tidak peduli apakah mereka beriman atau tidak, muslim atau tidak, untuk hidup di atas bumi-Nya dan memanfaatkan segala apa yang ada di alam ini, lalu apa hak sekelompok manusia untuk mengusir kelompok manusia lain dari bumi Tuhan yang Dia sendiri memuliakan semua turuan Adam? Apa hak Pemerintah Republik Indonesia atau Majlis Ulama Indonesia, misalnya untuk melarang atau meminta melarang seseorang atau sekelompok orang yang sudah turun temurun tinggal di negeri ini, hanya karena menganut keyakinan yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Kalau pemeluk agama lain saja tidak dilarang mengapa sekelompok orang yang mengaku diri mereka muslim walaupun dianggap sesat oleh pihak muslim lain, tidak diberi kebebasan untuk menganut faham dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka? Majlis Ulama Indonesia atau Departemen Agama kalau merasa berhak silahkan saja menganggap sekelompok orang sesat atau bukan muslim tapi mereka tidak berhak melarang mereka untuk mengakui muslim dan merampas kemerdekaan mereka untuk menganut keyakinan agama mereka kalau mereka bersikukuh menyatakan diri mereka muslim.
 Mungkin ada baiknya pihak berwenang di Republik Indonesia ini menyimak tanggapan Buya Hamka terhadap pihak ulama Kesultanan yang menyatakan: “Seluruh kekuasaan beragama adalah di tangan raja, di tangan sultan! Muhammadiyah boleh berdiri di tanah kerajaan, tetapi jangan mengerjakan agama berbeda dengan amal pihak kerajaan!” Buya Hamka menjawab: “Mendirikan klengteng dan gereja, mengapa dibolehkan di tanah kerajaan?” Pihak kerajaan menukas: ”Kalau sudah terang Muhammadiyah tidak Islam, tentu diizinkan!” Buya Hamka menjawab: “Bukankan menurut keyakinan kerajaan, kami ini adalah golongan sesat? Golongan Wahabi. Mu’tazilah, keluar dari Mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah? Apa salahnya tuan golongkan saja kami ini sebagai pemeluk agama yang lain? Sebab berbeda pendirian dengan tuan-tuan.”
 Ada baiknya apabila pihak Majlis Ulama Indonesia dan Departemen Agama bahkan organisasi Muhammadiyah sendiri, menyimaki saran Buya Hamka, Ketua Umum pertama Majlis Ulama Indonesia kepada ulama resmi dan penguasa agama dalam menghadapi kelompok yang dianggap sesat dan bukan meniru sikap ulama kesultanan Deli yang mau memberikan kebebasan kepada Muhammadiyah melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka kalau Muhammadiyah menyatakan diri mereka sebagai bukan Islam.  []

http://tulisande.blogspot.com/2009/08/buya-hamka-dan-kebebasan-beragama.html

No comments:

Post a Comment