Wednesday, July 13, 2011

Integrasi China dan Muslim


Oleh: Azyumardi Azra

Masyarakat China Indonesia baru saja merayakan Tahun Baru Imlek 2558, bertepatan dengan Minggu,18 Februari 2007 M atau 30 Muharam 1428 H. Sebagian mereka memeluk agama Islam.

Sebagian dari mereka telah merayakan Tahun Baru Masehi 2007 dan sebagian lainnya memperingati Tahun Baru Hijriah (Sabtu 20 Januari 2007).Jadi,masyarakat China Indonesia memperingati tiga tahun baru sekaligus; Tahun Baru Imlek,Tahun Baru Masehi, dan Tahun Baru Hijriyah.

Bagi masyarakat China, baik di mainland maupun di perantauan (overseas) khususnya di Kawasan Nanyang (Nan- Hai), laut selatan atau Nusantara, dan lebih khusus di Indonesia, Islam sebenarnya secara historis bukanlah sesuatu yang baru. Di mainland, Islam bahkan dipercayai telah berkembang sejak abad pertama hijriyah atau abad ketujuh, dibawa pertama kali oleh sahabat Nabi SAW, Sa'ad ibn Lubayd, yang sering diidentikkan dengan Sa'ad ibn Abi Waqqas.

Lebih dari itu, identitas Sa'ad ibn Lubayd al- Habsyi sendiri tidak diketahui pasti. Terlepas dari kesulitan identifikasi tentang Sa'ad ini, kontak antara Dunia Islam khususnya Arabia,dengan China berjalan cukup intens. Selama 90 tahun masa Dinasti Umaiyyah, tak kurang dari 17 duta muslim muncul di istana China.

Mereka diikuti sekitar 18 duta yang dikirim penguasa Dinasti Abbasiyyah dalam periode 750–798.Kunjungan-kunjungan ini mendorong perkembangan Islam sehingga terbentuklah koloni Ta Shih di Kanfu (Kanton). Selain itu, terdapat koloni muslim yang cukup besar sejak pertengahan abad ke-8 di Pulau Hainan dan Kota Yang Chou.

Jejak Historis

Hubungan antara Nusantara dengan mainland China sudah terjalin sejak masa pra-Islam sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting.Sumbersumber China, bahkan memberi informasi- informasi cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Riwayat perjalanan pendeta-pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuza (Sriwijaya) pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia di sana.

Riwayat pengembara Chau Ju-Kua juga memberitakan adanya "koloni Arab" di pesisir barat Sumatera, paling mungkin di Barus. Sumber-sumber China ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang dikenal dalam sejarah Nusantara. Berkaitan dengan intensitas hubungan antar-Samudera antara Arabia- Nusantara dan "koloni muslim" di China, tidak heran kalau kemudian ada teori tentang asal-muasal Islam di Nusantara yang "turun dari wilayah China",seperti dikemukakan Slamet Mulyana.

Mengingat teori saya tentang sumber dan asal Islam di Nusantara seperti "mata air dari sebuah sungai", maka boleh jadi juga terjadi trickle down Islam ke Nusantara dari beberapa koloni muslim yang ada di China. Dan, ini misalnya terlihat dari riwayat mengenai Laksamana Cheng Ho (Zheng Ho, disebut pula sebagai Haji Sam Bo Po) yang mengadakan pelayaran pada sekitar 1405–1433.

Zheng Ho yang bahkan diklaim sebagai keturunan ke-37 Nabi Muhammad Saw itu meninggalkan warisan masjid yang lebih dikenal sebagai klenteng Sam Po Kong di Semarang, Jawa Tengah. Selain Zheng Ho, masih terdapat sejumlah pengembara, pelaut, dan pemukim China muslim yang sayangnya riwayat mereka sangat sulit diverifikasi secara akurat.

Mereka mencakup, misalnya Haji Mah Hwang dan Haji Feh Tsin, anggota angkatan laut China yang dikatakan sering salat di masjid Semarang, Haji Boh Tak Keng asal Champa, Haji Gan Eng Cu di Tuban,Jin Bun yang dikatakan adalah Raden Patah (Demak), Tung Ka Lo yang diklaim sebagai Sultan Trenggana,dan sebagainya. Pada masa prakolonial, orang-orang atau komunitas China beserta unsur budayanya lambat laun melebur dengan unsur-unsur lokal.

Sampai abad ke-15,seperti disimpulkan Denys Lombard, kebanyakan orang China yang menetap di pesisir pulau-pulau Nusantara menganut Islam. Bahkan, istilah "babah" yang sampai sekarang masih digunakan untuk menyebut laki-laki China bukan sekadar gelar kehormatan yang sangat dikenal di dunia muslim, khususnya di Turki untuk menyebut seorang tokoh, seorang syeikh penyebar Islam.

Konflik dan "Cultural Gap"

Integrasi orang-orang China perantauan ke dalam masyarakat muslim Nusantara mulai terganggu dengan kedatangan kolonialisme Belanda yang kemudian menjadikan orang-orang China sebagai middlemen atau brokers dalam perdagangan mereka dengan masyarakat pribumi.

Disrupsi dan kehancuran ekonomi masyarakat muslim pribumi akibat praktik monopoli pasca-Belanda yang dibantu oleh orang-orang China hanya menumbuhkan sikap antipati dari kalangan pribumi terhadap masyarakat China keturunan. Terputusnya hubungan antara Nusantara dengan China mainland pada 1740- an sempat menimbulkan kebingungan di kalangan China muslim keturunan sehingga muncullah kembali kecenderungan mereka untuk menganut Islam dalam rangka asimilasi dengan masyarakat pribumi.

Komunitas muslim keturunan kembali membangun masjid mereka sendiri, dan mengubur anggota komunitas mereka yang meninggal pada kuburan muslim. Pada saat yang sama, terjadi asimilasi kultural; keluarga-keluarga terkemuka China menerima dan mengadopsi aspek-aspek tertentu budaya Jawa. Asimilasi dan upaya dakwah Islam terhadap warga keturunan kembali terganggu dengan terjadinya radikalisasi masyarakat muslim pribumi terhadap Belanda.

Di sini, warga keturunan kadang-kadang menjadi salah satu penyebab konflik dan perang, seperti terlihat dalam Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro (1825–1830) yang marah karena orang-orang China diberikan privilese untuk memungut pajak dan biaya toll jalan raya. Konflik yang sering berujung dengan kerusuhan anti- China terus berlanjut selama masa kolonialis Belanda, khususnya lagi ketika nasionalisme Indonesia,seperti diwakili Sarekat Islam (SI) mengalami kebangkitan pada awal abad ke-20.

Alienasi warga keturunan dari masyarakat pribumi mencapai puncaknya pada 1854 dengan penetapan status warga keturunan (China) sebagai bangsa kelas dunia bersama golongan Timur Asing (India dan Arab).Sedangkan masyarakat pribumi ditempatkan sebagai kelas tiga. Penggolongan warga Netherlands East- Indies berdasarkan kategori etnis ini hanya tambah memperkuat cultural gap di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi.

Sebaliknya, asosiasi kultural dan keagamaan dengan Belanda dan sekaligus agama Kristen semakin meningkat di kalangan masyarakat keturunan. Dalam semua proses ini, terjadilah pembentukan prasangka-prasangka timbal balik di antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi. Di antara prasangka dan bias kultural itu juga mencakup agama yang dipeluk masing-masing komunitas tersebut.

Perkembangan sosiokultural dan politik pasca G 30 S/PKI 1965 semakin kurang menguntungkan hubungan antara masyarakat pribumi muslim dengan warga keturunan.Ketakutan warga China keturunan terhadap "pembersihan" yang dilakukan masyarakat muslim pribumi terhadap antek-antek komunis yang tentu saja terkait dengan pemerintahan komunis China mainland membuat gapdi antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi semakin lebar.

Sama seperti banyak orang komunis lain yang secara massal masuk Kristen karena takut dituduh "ateis" dan karena itu sekaligus komunis terjadi gelombang besar warga keturunan masuk agama Kristen. Gelombang ini diperbesar dengan kebijakan Orde Baru yang mengharamkan setiap ekspresi sosiokultural warga keturunan. Socio-cultural gap antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi bertambah lagi dengan disparitas ekonomi yang semakin tajam pada masa Orde Baru antara konglomerasi warga keturunan dengan penguasa pribumi muslim.

Karena pemerintah Soeharto mengharamkan setiap pembicaraan tentang hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi dengan alasan bahwa hal itu termasuk masalah SARA, terjadilah pengendapan social resentment dengan potensi konflik dan kekerasan yang cukup besar terhadap warga keturunan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya violence outburst dari waktu ke waktu dari masyarakat pribumi terhadap warga keturunan. Puncaknya adalah kerusuhan anti-China dalam skala yang sangat besar berikut diikuti kejatuhan Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998.

Kini, pasca-Soeharto, ketika masyarakat China memperingati Tahun Baru (Imlek, Hijriyah, dan Masehi), seharusnya hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi tidak terganggu lagi. Integrasi kedua komunitas itu seharusnya semakin kuat di masa kini dan mendatang.

Mereka dan komunitas lain mampu menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi prasangka- prasangka sosial-kultural yang tidak menguntungkan kedua belah pihak. Sebab itu, dalam momentum tahun baru ini, kedua belah pihak mesti meningkatkan dan memperluas kegiatankegiatan berkaitan dengan upaya mempererat tali solidaritas dengan menggunakan berbagai sarana yang tersedia. Wallahu a`lam bish shawab.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/integrasi-china-dan-musli

AZYUMARDI AZRA
Guru Besar dan Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 20 Feb 07
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7634&coid=1&caid=34
Copyright © 2007 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

No comments:

Post a Comment