Wednesday, July 13, 2011

Dialog Emansipatoris untuk Kerukunan Umat Beragama


Oleh: Azyumardi Azra

Ketiadaan dialog antaragama, pada satu segi, boleh jadi karena kurangnya prakarsa majelis-majelis keagamaan berkaitan dengan pengalaman tidak menyenangkan pada masa Orde Baru.

Ketika itu mereka hanya menjadi alat untuk mendukung kebijakan-kebijakan represif dengan selubung SARA. Dengan alasan SARA, pemerintah Orde Baru menyembunyikan masalah-masalah dan ganjalan ganjalan yang terdapat dalam intra maupun antaragama.Karena itu sulit diharapkan terjadi dan berlang sungnya dialog-dialog yang genuine di antara umat beragama.

Masih berlangsungnya kebekuan atau kurangnya sikap proaktif majelismajelis keagamaan pada masa pasca- Orde Baru jelas tidak menguntungkan, di tengah kecenderungan masih bertahannya friksi dan konflik yang bernuansa keagamaan.Sudah waktunya majelis-majelis keagamaan tersebut mengambil langkah-langkah lebih proaktif untuk terjadinya rejuvenasi dialog-dialog intra dan antaragama yang berani,jujur,dan ikhlas.

Secara etimologis, kata ”dialog” berasal dari bahasa Yunani, ”dialogos”, yakni bicara di antara dua pihak. Secara terminologi, kata ini berarti pembicaraan atau percakapan di antara dua orang/pihak atau lebih berkenaan dengan subjek atau tema tertentu guna terjadinya saling pengertian dan kesepahaman yang pada gilirannya dapat meningkatkan kerja sama dan toleransi di antara mereka.

Prof Mukti Ali, guru besar perbandingan agama dan menteri agama pada awal 1970-an—salah seorang pemrakarsa terpenting dialog antaragama— menyatakan bahwa ”dialog” lebih tepat diartikan sebagai komunikasi di antara orang-orang beriman untuk mencapai kebenaran tertentu dan kerja sama dalam masalah- masalah yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan bersama (Mukti Ali,1992: 208).

Senada dengan itu, Swidler merumuskan, ”dialog” (intra dan antaragama) adalah perbincangan atau percakapan di antara dua orang atau lebih yang memiliki pandanganpandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah untuk saling belajar sehingga para peserta dialog dapat mengubah pandangannya dan meningkatkan pengalaman keagamaannya (Swidler,1990: 3).

Dengan beberapa pengertian dialog seperti itu, ”dialog emansipatoris” dapat diartikan sebagai pembicaraan atau percakapan di antara dua pihak atau lebih yang ”membebaskan”, karena terjadinya pertukaran dan pemahaman timbal balik yang lebih baik di antara mereka.

Kondisi terakhir ini dapat ”membebaskan” pihak-pihak yang terlibat dalam dialog dari prasangka, bias, persepsi tidak akurat, kecurigaan, bahkan sikap bermusuhan dan saling membenci, yang potensial menciptakan konflik yang dapat berujung pada kekerasan.

Seperti pernah saya kemukakan (Azra, 1999: 62-64; cf Kimbal, 1995: 204),terdapat setidaknya lima macam dialog antaragama. Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialog) yang disponsori World’s Parliament of Religions, World Conference of Religions and Peace (WCRP),World Congress of Faiths (WCF) dan lain-lain.

Dialog ini memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerja sama lebih baik di antara para pemeluk agama yang berbeda. Kedua, dialog kelembagaan (institutional dialog), yakni di antara wakil-wakil institusi atau majelismajelis agama, lazimnya untuk membicarakan masalah-masalah mendesak dan mengembangkan komunikasi dan saling pemahaman antarumat beragama.

Ketiga, dialog teologi (theological dialog) untuk membahas tema-tema teologis dan filosofis menyangkut Tuhan,wahyu Ilahi, dan sebagainya. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialog in community) dan dialog kehidupan (dialog of life) yang bertujuan untuk penyelesaian masalahmasalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,seperti hubungan yang lebih pas antara agama dan negara, hak-hak kaum minoritas keagamaan, kemiskinan, perkawinan antaragama, dan sebagainya.

Kelima, dialog keruhanian (spiritual dialog) yang bertujuan memperdalam pengalaman keruhanian atau spiritualitas keagamaan. Kelima bentuk dialog antaragama ini bisa menjadi dialog emansipatoris dalam berbagai aspeknya. Dialog antaragama bisa betulbetul emansipatoris—membebaskan— bila tiga syarat dipenuhi. Pertama, dialog dilakukan dengan penuh keterbukaan, keterusterangan, keberanian, dan kejujuran.

Dialog antaragama tidak akan emansipatoris jika para peserta tidak terbuka,menutupi hal-hal tertentu, sehingga dialog yang terjadi akhirnya hanya basa-basi. Kedua, dialog disertai kemauan dan iktikad baik untuk saling mendengar dan mengemukakan pendapat dengan penuh keseimbangan dan kesetaraan.

Ketiga, dialog disertai kesiapan untuk mengubah pandangan, persepsi, dan tindakan yang selama ini keliru, dan saling membuka diri untuk menerima kebenaran dari pihak-pihak yang terlibat dalam dialog. Jika dialog-dialog antaragama bisa dilakukan sesuai ketiga hal tersebut, maka bisa diharapkan terciptanya hubungan yang lebih harmonis, penuh toleransi di antara umat beragama yang berbeda.

Ini juga merupakan mekanisme internal umat beragama untuk prevensi dan resolusi konflik yang berwarna agama. Apalagi kemudian para ulama dan komunitas umat beragama lain mendengar dan melaksanakan seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan pada The 3rd International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta (30/7/8) tentang pesan perdamaian yang mesti terus diaktualisasikan umat beragama untuk menciptakan kehidupan sosial-keagamaan yang lebih harmonis dan damai. Hemat saya, pesan perdamaian ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antarumat beragama.Wallahu a’lam bishshawab.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/dialog-emansipatoris-untu



Azyumardi Azra
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Sindo
Tanggal: 02 Agt 08
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=10480&coid=1&caid=34
Copyright © 2008 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

No comments:

Post a Comment