Oleh: Achmad Munjid |
Penggerudukan terhadap Lembah Karmel di Cianjur, Jawa Barat, oleh sejumlah kelompok umat Islam beberapa hari lalu (Tempo Interaktif, 20 Juli) telah memaksa Komunitas Tritunggal Mahakudus mengurungkan konferensi internasional bertajuk "Kobarkan Api Kristus", yang hendak mereka gelar pada 24-29 Juli 2007. Bagi saya, peristiwa ini adalah alamat buruk tentang kian pudarnya toleransi di tengah masyarakat kita. Sekaligus, ini adalah ancaman serius terhadap pluralitas kehidupan sosial kita yang mendesak untuk diatasi. Betapapun, peristiwa Lembah Karmel tersebut adalah cermin dari watak pasang-surut hubungan antarkomunitas agama, terutama muslim-Kristen, di Tanah Air yang dipengaruhi macam-macam faktor. Karenanya, faktor-faktor itu, berikut kaitannya satu sama lain, perlu dikenali dengan cermat jika antagonisme antarpemeluk agama hendak dihindari. Dalam kasus Lembah Karmel, sekurangnya empat faktor berikut perlu diperhatikan. Pertama, corak keberagamaan. Kita tahu, bersama Banten, Garut, Tasikmalaya dan beberapa wilayah lain, Cianjur adalah daerah yang memberlakukan peraturan daerah syariah. Penelitian International Center for Islam and Pluralism atas 20 pesantren di 10 kabupaten pada 2005 lalu mengungkapkan bahwa umat Islam di sejumlah wilayah Jawa Barat, termasuk Cianjur, memang memiliki corak keberagamaan yang cenderung normatif atau formal. Ini sekaligus sedikit menjelaskan mengapa dulu gerakan Darul Islam berhasil membangun kantong-kantong kekuatan di sana. Perlu ditegaskan, kenormatifan atau formalisme keberagamaan ini bukanlah kesimpulan yang bisa digeneralisasi untuk menilai sebagian besar muslim Jawa Barat, bahkan Cianjur. Ia juga bukanlah merupakan watak kultural yang secara historis diandaikan tidak berubah. Poin saya: laku kerasnya perda syariah di banyak wilayah Jawa Barat tentu mengucapkan adanya kebenaran tentang kuatnya kecenderungan formalisme agama di sana. Ini perlu disadari jika pergaulan sosial yang menyangkut aspek agama hendak dikembangkan secara konstruktif. Kedua, faktor permainan politik. Yang lebih peka menangkap kecenderungan tersebut biasanya justru kaum politikus. Sebab, formalisasi agama memang empuk sebagai komoditas politik. Tapi jelas pula, di tengah kemajemukan masyarakat kita, ia sungguh amat rentan memicu konflik. Di Cianjur, komitmen pada perda syariah yang kemudian dirumuskan sebagai Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah (Gerbang Marhamah) telah mengangkat sekaligus menyingkirkan Wasidi Swastomo sebagai bupati (periode 2001-2006). Alih-alih meraup dukungan dari semua golongan, akibat mengeluarkan izin perluasan Lembah Karmel pada semester terakhir masa jabatannya, oleh kalangan muslim pendukungnya ia justru dianggap telah mengkhianati komitmennya pada proyek Gerbang Marhamah. Akibatnya, ia tak hanya gagal meraih kursi bupati periode berikutnya, hubungan muslim-Kristen di Cianjur pun memburuk. Penggerudukan terhadap lokasi wisata ziarah keagamaan itulah buktinya. Ketiga, kekurangpekaan para pemimpin agama. Dalam kasus Lembah Karmel, bisa jadi sejumlah unsur berikut ini telah membentuk kombinasi khas yang bersifat kebetulan: kegersangan batin kalangan menengah-atas (segmen utama pengunjung Lembah Karmel), tawaran penyembuhan dan pesona kehidupan rohani komunitas Katolik beraliran Karismatik itu, latar etnis pendiri utama komunitas Tritunggal Mahakudus, serta lingkungan asri berhawa sejuk pegunungan. Semua itu mendukung terbentuknya Lembah Karmel sebagai oasis spiritual orang-orang kaya dan "istana pertapaan" yang hampir ideal. Namun, bukankah di tengah dusun-dusun berpenduduk mayoritas muslim yang rata-rata miskin, arsitektur khas Kristen yang berdiri megah di area puluhan hektare dan hilir-mudik kendaraan mewah para pengunjungnya sangat potensial menyulut kecemburuan? Tentu masyarakat sekitar bukan tidak diuntungkan secara ekonomi. Tapi, jika faktor kecemburuan ini dibiarkan, ia menjadi bara dalam sekam yang dengan mudah terus membesar. Hal yang sama juga terjadi ketika dilakukan entah oleh pihak muslim ataupun kelompok lain. Islamic Center di Manokwari, yang menyulut pengibaran bendera Kota Injil beberapa waktu lalu, adalah contohnya. Lagi pula, di tengah kubangan kemiskinan sebagian besar umat, mengapa kita harus begitu mementingkan pembangunan "istana peribadatan" yang kelewat megah? Bukankah Yesus Kristus dan Nabi Muhammad justru hidup dan mati dalam keadaan miskin? Dalam kehidupan sosial yang serba sulit seperti sekarang ini, kita membutuhkan lebih banyak pemimpin agama yang memiliki kepekaan sosial, baik dalam kaitannya dengan kenyataan internal umat sendiri maupun dalam hubungan dengan komunitas lain. Keempat, kurangnya komunikasi terbuka antarkomunitas. Kejadian Lembah Karmel sekaligus memperlihatkan betapa komunikasi antarkomunitas yang berlangsung selama ini bersifat amat terbatas, sebatas permukaan, semu, dan karenanya sama sekali tidak memadai. Akibatnya, kecurigaanlah yang lebih menjadi mekanisme relasi antarkelompok. Dalam situasi demikian, informasi tentang pihak lain sering kali beredar secara sepotong-sepotong, manipulatif, salah, dan menyesatkan. Pihak-pihak yang berbeda saling berbicara baru ketika timbul soal untuk dipercekcokkan. Saya hampir yakin, ratusan orang yang menggeruduk Lembah Karmel itu digerakkan terutama oleh informasi yang menyesatkan atau kabar yang sengaja digemparkan buat menyulut bara ketegangan yang sudah lama tersimpan. Lebih celaka lagi, akibat deraan krisis yang berkepanjangan, kini bermunculan kelompok-kelompok agama yang sibuk mencari dalil demi mengumbar kemarahan dan menebar kebencian atas siapa saja yang bisa ditaklukkan. Toleransi dan dialog Mari kita akui sekarang bahwa bahkan syarat minimal terpeliharanya masyarakat yang plural pun ternyata kini tidak kita punyai: toleransi. Toleransi yang dimaksud di sini adalah apa yang disebut John Rawls (1987: 12) sebagai "metode pengelakan" (method of avoidance) bersisi ganda. Yakni, mengelak dari pemaksaan keyakinan sendiri atas orang lain dan tidak menolak orang lain memeluk dan mempraktekkan keyakinan mereka. Padahal toleransi ini saja tidak cukup untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat plural yang demokratis. Agar toleransi tidak berubah menjadi sarana alienasi, ia harus disertai pergumulan kritis (critical engagement) setiap pihak dalam rangka membentuk dunia bersama yang terbaik. Untuk itu, kita butuh dialog terbuka yang bertumpu pada solidaritas intelektual dan sosial sekaligus (David Hollenbach, 1998: 13-5). Solidaritas intelektual adalah kehendak yang sungguh-sungguh dan adil dalam memperlakukan kehadiran pihak lain, termasuk dalam berdebat. Sedangkan solidaritas sosial adalah kehendak tulus untuk menerima pihak lain sebagai sesama warga berikut hak-hak dan kewajiban yang harus dipelihara. Dalam kaitan inilah sesungguhnya kita amat membutuhkan komunikasi dan dialog antaragama, baik di kalangan para pemimpin maupun kaum awam. Bagi bangsa yang tengah terseok akibat lilitan rupa-rupa persoalan, dialog agama yang kita perlukan bukan terutama percaturan, apalagi perbantahan, teologis dan filosofis, melainkan dialog yang dalam istilah Paul F. Knitter (1995:17) bersifat soteriocentric. Yakni dialog, baik verbal maupun sosial, yang terutama bertujuan mengatasi pelbagai persoalan kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab bersama setiap komunitas agama, seperti kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, kesenjangan ekonomi, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan sosial dan gender, kerusakan lingkungan, serta perdagangan manusia dan lain-lain. Dengan bersama-sama menggarap isu nyata bersama itulah kita akan mampu menerjemahkan hakikat nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial. Kehadiran dan perjumpaan dengan pihak lain bukan saja tidak menjadi ancaman, tapi menjadi anugerah yang wajib disyukuri sepenuh hati dalam proses indah mendendangkan lagu kebenaran. URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/07/30/Opini/krn,20070730,52.id.html
|
Achmad Munjid Kandidat Doktor Bidang Religious Studies, Temple University, Philadelphia, USA |
Keterangan Artikel Sumber: Koran Tempo Tanggal: 30 Jul 07 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=8472&coid=1&caid=34 |
Studies of Religious Minorities, Comparative Religions within a Single Religious Tradition & Approaches to Islam in Indonesia from the Perspective of Religious Studies
Wednesday, July 13, 2011
Hubungan antar agama: Kemajemukan Minus Toleransi
Relasi Islam-Vatikan
Oleh: Ahmad Munjin |
Masih segar dalam ingatan kita ketika di sejumlah negara muslim, termasuk Indonesia, terjadi protes yang cukup masif sebagai reaksi terhadap kartun Nabi Muhammad SAW yang diidentikkan dengan teroris dalam sebuah majalah di Denmark. Protes masif itu kini terjadi lagi, menyusul pernyataan Paus Benediktus XVI mengenai Islam yang disamakan dengan kekerasan dalam pidatonya di Universitas Regensburg, Jerman. Sementara itu, sejumlah aksi demo terus terjadi di sejumlah tempat. Di Basrah, Irak, massa membakar boneka Paus dan mendesak adanya permintaan maaf dari Paus. Di Kashmir, India, warga melakukan mogok kerja sehari sebagai protes terhadap pernyataan Paus. Aksi demo itu dilengkapi dengan kritik yang dilontarkan media massa Timur Tengah. Harian Al-Yom di Arab Saudi dan harian Ash-Sharq di Qatar mensinyalir bahwa pernyataan Paus itu menguatkan genderang perang yang ditabuh kubu ultrakanan Amerika Serikat. Lebih jauh, pidato itu juga dianggap menambah rangkaian tuduhan fasis, teroris, dan ekstremis yang dialamatkan kepada umat muslim serta publikasi serangkaian kartun yang menghujat Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari apakah Paus lupa atau sengaja, pernyataan itu telah membangkitkan ketegangan antarumat manusia dan agama yang tak terhindarkan lagi. Sebenarnya, kalau yang membuat pernyataan itu orang biasa, yang tidak memiliki posisi penting dalam struktur agama, ruang, dan simbol tertentu, mungkin pernyataan itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Yang menjadi masalah adalah pernyataan itu dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI sebagai simbol pemimpin tertinggi dalam struktur agama Kristen Katolik. Kekerasan tanpa belas Memang perlu diakui dengan penuh kejujuran bahwa dalam Islam, dan juga agama lain, secara normatif dan positif (sosiologis) ada potensi kekerasan. Tapi, jangan lupa, Islam juga memiliki embrio-embrio perdamaian sejati. Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Agama (2003), agama memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan supertisi; menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri rohani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki. Kendati agama memiliki dua dimensi yang bertentangan, tidak lantas dapat diinterpretasikan secara tekstual dengan melepaskan konteksnya. Saya kira kearifan ini harus dimiliki oleh pemuka-pemuka agama, termasuk Paus Benediktus XVI, kecuali kalau pemuka-pemuka agama itu memang secara terbuka menginginkan peperangan. Agama adalah satu-satunya faktor yang sangat sensitif untuk dijadikan bahan bakar konflik. Faktor ini terbukti ketika permintaan maaf Paus Benediktus XVI, 17 September lalu, ternyata belum meredakan kemarahan sejumlah kelompok muslim. Di Yordania, Nasser Jawdeh, juru bicara pemerintah, mengharapkan lebih dari itu (minta maaf). Sementara itu, di Somalia, suster asal Italia, Leonella, 66 tahun, tewas ditembak di Mogadishu, 17 September. Di Palestina, tujuh gereja diserang. Di Malaysia, Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar meminta Paus lebih dari sekadar minta maaf. Begitu juga di Mesir, yang diwakili Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi Mesir. Di Iran, Ali Khomeini, pemimpin spiritual Syiah Iran, menuduh Paus sebagai "mata rantai" konspirasi Amerika Serikat dan Israel, yang bertujuan menciptakan konflik antaragama. Yang lebih berbahaya lagi, di Irak, jaringan Al-Qaidah bakal mengobarkan jihad sampai Barat dikalahkan. Tentara Mujahidin dan Liga Jihad Irak mengancam akan membalas pernyataan Paus. Undangan dialog Namun, di atas semua itu, sebelum kerugian yang lebih besar terjadi, sebagai implikasi dari pernyataan Paus itu, kaum muslimin di Indonesia pertama-tama harus mengedepankan sikap yang lebih rasional ketimbang emosional. Semua protes harus dilakukan secara prosedural. Hal ini paralel dengan apa yang diharapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya di Havana, Kuba. Meski menyesalkan pernyataan Paus itu, Yudhoyono mengajak rakyat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, menahan diri, sabar, serta menjaga persatuan dan kerukunan beragama agar betul-betul bisa dibangun situasi yang lebih harmonis. Kedua, para tokoh agama Islam bersama-sama dengan agama lain mesti segera melakukan dialog secara terbuka, penuh kejujuran, dan saling menghargai agar bisa meredam perasaan emosi umat Islam yang sedang tersinggung. Jadi permintaan maaf Paus sekaligus penyesalannya atas pernyataan itu sudah tepat dan harus disikapi dengan penuh empati oleh kaum muslimin. Soalnya, Paus sendiri telah menjelaskan dengan sebenarnya bahwa pidatonya itu merupakan sebuah kutipan dari sebuah teks abad pertengahan yang tidak mencerminkan pendapat pribadinya. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa keseluruhan pidatonya merupakan sebuah undangan untuk dialog yang terus terang dan tulus, dengan saling menghormati. Ketiga, apabila yang dilakukan kaum muslimin adalah sifat emosional dan reaksioner, justru inilah yang akan lebih menegaskan dan mengafirmasi bahwa Islam memang agama kekerasan. Dengan pernyataan Paus ini, Barat justru akan mengetahui peta radikalisme Islam dengan niscaya. Peta ini tentunya satu paket dengan perang Amerika Serikat terhadap terorisme. Pada hemat penulis, inilah keadaan paling buruk jika umat Islam tidak bersikap dewasa dalam merespons setiap polemik yang terjadi antara Islam dan Vatikan. Ke depan, pemuka-pemuka agama harus bisa mengedepankan sisi-sisi perdamaian dari agama ketimbang memperuncing aspek kekerasan dalam agama. Agama-agama harus sepenuhnya menghargai berbagai bentuk perbedaan normatif ataupun sosiologis sebagai ekspresi keyakinan beragama dengan semangat saling menghargai, terbuka, dan menjunjung tinggi kebebasan semua pemeluk agama. Namun, semua itu harus dilakukan dengan tetap bertumpu pada agama masing-masing sebagai agama yang paling benar dalam kewajarannya sebagai umat beragama. URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2006/09/22/Opini/krn,20060922,70.id.html
|
Ahmad Munjin Peneliti Muda Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta |
Keterangan Artikel Sumber: Koran Tempo Tanggal: 21 Sep 06 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=6799&coid=1&caid=34 |
Integrasi China dan Muslim
Oleh: Azyumardi Azra |
Masyarakat China Indonesia baru saja merayakan Tahun Baru Imlek 2558, bertepatan dengan Minggu,18 Februari 2007 M atau 30 Muharam 1428 H. Sebagian mereka memeluk agama Islam. Sebagian dari mereka telah merayakan Tahun Baru Masehi 2007 dan sebagian lainnya memperingati Tahun Baru Hijriah (Sabtu 20 Januari 2007).Jadi,masyarakat China Indonesia memperingati tiga tahun baru sekaligus; Tahun Baru Imlek,Tahun Baru Masehi, dan Tahun Baru Hijriyah. Bagi masyarakat China, baik di mainland maupun di perantauan (overseas) khususnya di Kawasan Nanyang (Nan- Hai), laut selatan atau Nusantara, dan lebih khusus di Indonesia, Islam sebenarnya secara historis bukanlah sesuatu yang baru. Di mainland, Islam bahkan dipercayai telah berkembang sejak abad pertama hijriyah atau abad ketujuh, dibawa pertama kali oleh sahabat Nabi SAW, Sa'ad ibn Lubayd, yang sering diidentikkan dengan Sa'ad ibn Abi Waqqas. Lebih dari itu, identitas Sa'ad ibn Lubayd al- Habsyi sendiri tidak diketahui pasti. Terlepas dari kesulitan identifikasi tentang Sa'ad ini, kontak antara Dunia Islam khususnya Arabia,dengan China berjalan cukup intens. Selama 90 tahun masa Dinasti Umaiyyah, tak kurang dari 17 duta muslim muncul di istana China. Mereka diikuti sekitar 18 duta yang dikirim penguasa Dinasti Abbasiyyah dalam periode 750–798.Kunjungan-kunjungan ini mendorong perkembangan Islam sehingga terbentuklah koloni Ta Shih di Kanfu (Kanton). Selain itu, terdapat koloni muslim yang cukup besar sejak pertengahan abad ke-8 di Pulau Hainan dan Kota Yang Chou. Jejak Historis Hubungan antara Nusantara dengan mainland China sudah terjalin sejak masa pra-Islam sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting.Sumbersumber China, bahkan memberi informasi- informasi cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Riwayat perjalanan pendeta-pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuza (Sriwijaya) pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia di sana. Riwayat pengembara Chau Ju-Kua juga memberitakan adanya "koloni Arab" di pesisir barat Sumatera, paling mungkin di Barus. Sumber-sumber China ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang dikenal dalam sejarah Nusantara. Berkaitan dengan intensitas hubungan antar-Samudera antara Arabia- Nusantara dan "koloni muslim" di China, tidak heran kalau kemudian ada teori tentang asal-muasal Islam di Nusantara yang "turun dari wilayah China",seperti dikemukakan Slamet Mulyana. Mengingat teori saya tentang sumber dan asal Islam di Nusantara seperti "mata air dari sebuah sungai", maka boleh jadi juga terjadi trickle down Islam ke Nusantara dari beberapa koloni muslim yang ada di China. Dan, ini misalnya terlihat dari riwayat mengenai Laksamana Cheng Ho (Zheng Ho, disebut pula sebagai Haji Sam Bo Po) yang mengadakan pelayaran pada sekitar 1405–1433. Zheng Ho yang bahkan diklaim sebagai keturunan ke-37 Nabi Muhammad Saw itu meninggalkan warisan masjid yang lebih dikenal sebagai klenteng Sam Po Kong di Semarang, Jawa Tengah. Selain Zheng Ho, masih terdapat sejumlah pengembara, pelaut, dan pemukim China muslim yang sayangnya riwayat mereka sangat sulit diverifikasi secara akurat. Mereka mencakup, misalnya Haji Mah Hwang dan Haji Feh Tsin, anggota angkatan laut China yang dikatakan sering salat di masjid Semarang, Haji Boh Tak Keng asal Champa, Haji Gan Eng Cu di Tuban,Jin Bun yang dikatakan adalah Raden Patah (Demak), Tung Ka Lo yang diklaim sebagai Sultan Trenggana,dan sebagainya. Pada masa prakolonial, orang-orang atau komunitas China beserta unsur budayanya lambat laun melebur dengan unsur-unsur lokal. Sampai abad ke-15,seperti disimpulkan Denys Lombard, kebanyakan orang China yang menetap di pesisir pulau-pulau Nusantara menganut Islam. Bahkan, istilah "babah" yang sampai sekarang masih digunakan untuk menyebut laki-laki China bukan sekadar gelar kehormatan yang sangat dikenal di dunia muslim, khususnya di Turki untuk menyebut seorang tokoh, seorang syeikh penyebar Islam. Konflik dan "Cultural Gap" Integrasi orang-orang China perantauan ke dalam masyarakat muslim Nusantara mulai terganggu dengan kedatangan kolonialisme Belanda yang kemudian menjadikan orang-orang China sebagai middlemen atau brokers dalam perdagangan mereka dengan masyarakat pribumi. Disrupsi dan kehancuran ekonomi masyarakat muslim pribumi akibat praktik monopoli pasca-Belanda yang dibantu oleh orang-orang China hanya menumbuhkan sikap antipati dari kalangan pribumi terhadap masyarakat China keturunan. Terputusnya hubungan antara Nusantara dengan China mainland pada 1740- an sempat menimbulkan kebingungan di kalangan China muslim keturunan sehingga muncullah kembali kecenderungan mereka untuk menganut Islam dalam rangka asimilasi dengan masyarakat pribumi. Komunitas muslim keturunan kembali membangun masjid mereka sendiri, dan mengubur anggota komunitas mereka yang meninggal pada kuburan muslim. Pada saat yang sama, terjadi asimilasi kultural; keluarga-keluarga terkemuka China menerima dan mengadopsi aspek-aspek tertentu budaya Jawa. Asimilasi dan upaya dakwah Islam terhadap warga keturunan kembali terganggu dengan terjadinya radikalisasi masyarakat muslim pribumi terhadap Belanda. Di sini, warga keturunan kadang-kadang menjadi salah satu penyebab konflik dan perang, seperti terlihat dalam Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro (1825–1830) yang marah karena orang-orang China diberikan privilese untuk memungut pajak dan biaya toll jalan raya. Konflik yang sering berujung dengan kerusuhan anti- China terus berlanjut selama masa kolonialis Belanda, khususnya lagi ketika nasionalisme Indonesia,seperti diwakili Sarekat Islam (SI) mengalami kebangkitan pada awal abad ke-20. Alienasi warga keturunan dari masyarakat pribumi mencapai puncaknya pada 1854 dengan penetapan status warga keturunan (China) sebagai bangsa kelas dunia bersama golongan Timur Asing (India dan Arab).Sedangkan masyarakat pribumi ditempatkan sebagai kelas tiga. Penggolongan warga Netherlands East- Indies berdasarkan kategori etnis ini hanya tambah memperkuat cultural gap di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi. Sebaliknya, asosiasi kultural dan keagamaan dengan Belanda dan sekaligus agama Kristen semakin meningkat di kalangan masyarakat keturunan. Dalam semua proses ini, terjadilah pembentukan prasangka-prasangka timbal balik di antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi. Di antara prasangka dan bias kultural itu juga mencakup agama yang dipeluk masing-masing komunitas tersebut. Perkembangan sosiokultural dan politik pasca G 30 S/PKI 1965 semakin kurang menguntungkan hubungan antara masyarakat pribumi muslim dengan warga keturunan.Ketakutan warga China keturunan terhadap "pembersihan" yang dilakukan masyarakat muslim pribumi terhadap antek-antek komunis yang tentu saja terkait dengan pemerintahan komunis China mainland membuat gapdi antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi semakin lebar. Sama seperti banyak orang komunis lain yang secara massal masuk Kristen karena takut dituduh "ateis" dan karena itu sekaligus komunis terjadi gelombang besar warga keturunan masuk agama Kristen. Gelombang ini diperbesar dengan kebijakan Orde Baru yang mengharamkan setiap ekspresi sosiokultural warga keturunan. Socio-cultural gap antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi bertambah lagi dengan disparitas ekonomi yang semakin tajam pada masa Orde Baru antara konglomerasi warga keturunan dengan penguasa pribumi muslim. Karena pemerintah Soeharto mengharamkan setiap pembicaraan tentang hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi dengan alasan bahwa hal itu termasuk masalah SARA, terjadilah pengendapan social resentment dengan potensi konflik dan kekerasan yang cukup besar terhadap warga keturunan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya violence outburst dari waktu ke waktu dari masyarakat pribumi terhadap warga keturunan. Puncaknya adalah kerusuhan anti-China dalam skala yang sangat besar berikut diikuti kejatuhan Soeharto dari kekuasaan pada Mei 1998. Kini, pasca-Soeharto, ketika masyarakat China memperingati Tahun Baru (Imlek, Hijriyah, dan Masehi), seharusnya hubungan antara warga keturunan dengan masyarakat muslim pribumi tidak terganggu lagi. Integrasi kedua komunitas itu seharusnya semakin kuat di masa kini dan mendatang. Mereka dan komunitas lain mampu menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi prasangka- prasangka sosial-kultural yang tidak menguntungkan kedua belah pihak. Sebab itu, dalam momentum tahun baru ini, kedua belah pihak mesti meningkatkan dan memperluas kegiatankegiatan berkaitan dengan upaya mempererat tali solidaritas dengan menggunakan berbagai sarana yang tersedia. Wallahu a`lam bish shawab.(*) URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/integrasi-china-dan-musli
|
AZYUMARDI AZRA |
Keterangan Artikel Sumber: Koran Sindo Tanggal: 20 Feb 07 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=7634&coid=1&caid=34 |
Dialog Emansipatoris untuk Kerukunan Umat Beragama
Oleh: Azyumardi Azra |
Ketiadaan dialog antaragama, pada satu segi, boleh jadi karena kurangnya prakarsa majelis-majelis keagamaan berkaitan dengan pengalaman tidak menyenangkan pada masa Orde Baru. Ketika itu mereka hanya menjadi alat untuk mendukung kebijakan-kebijakan represif dengan selubung SARA. Dengan alasan SARA, pemerintah Orde Baru menyembunyikan masalah-masalah dan ganjalan ganjalan yang terdapat dalam intra maupun antaragama.Karena itu sulit diharapkan terjadi dan berlang sungnya dialog-dialog yang genuine di antara umat beragama. Masih berlangsungnya kebekuan atau kurangnya sikap proaktif majelismajelis keagamaan pada masa pasca- Orde Baru jelas tidak menguntungkan, di tengah kecenderungan masih bertahannya friksi dan konflik yang bernuansa keagamaan.Sudah waktunya majelis-majelis keagamaan tersebut mengambil langkah-langkah lebih proaktif untuk terjadinya rejuvenasi dialog-dialog intra dan antaragama yang berani,jujur,dan ikhlas. Secara etimologis, kata ”dialog” berasal dari bahasa Yunani, ”dialogos”, yakni bicara di antara dua pihak. Secara terminologi, kata ini berarti pembicaraan atau percakapan di antara dua orang/pihak atau lebih berkenaan dengan subjek atau tema tertentu guna terjadinya saling pengertian dan kesepahaman yang pada gilirannya dapat meningkatkan kerja sama dan toleransi di antara mereka. Prof Mukti Ali, guru besar perbandingan agama dan menteri agama pada awal 1970-an—salah seorang pemrakarsa terpenting dialog antaragama— menyatakan bahwa ”dialog” lebih tepat diartikan sebagai komunikasi di antara orang-orang beriman untuk mencapai kebenaran tertentu dan kerja sama dalam masalah- masalah yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan bersama (Mukti Ali,1992: 208). Senada dengan itu, Swidler merumuskan, ”dialog” (intra dan antaragama) adalah perbincangan atau percakapan di antara dua orang atau lebih yang memiliki pandanganpandangan yang berbeda, yang tujuan utamanya adalah untuk saling belajar sehingga para peserta dialog dapat mengubah pandangannya dan meningkatkan pengalaman keagamaannya (Swidler,1990: 3). Dengan beberapa pengertian dialog seperti itu, ”dialog emansipatoris” dapat diartikan sebagai pembicaraan atau percakapan di antara dua pihak atau lebih yang ”membebaskan”, karena terjadinya pertukaran dan pemahaman timbal balik yang lebih baik di antara mereka. Kondisi terakhir ini dapat ”membebaskan” pihak-pihak yang terlibat dalam dialog dari prasangka, bias, persepsi tidak akurat, kecurigaan, bahkan sikap bermusuhan dan saling membenci, yang potensial menciptakan konflik yang dapat berujung pada kekerasan. Seperti pernah saya kemukakan (Azra, 1999: 62-64; cf Kimbal, 1995: 204),terdapat setidaknya lima macam dialog antaragama. Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialog) yang disponsori World’s Parliament of Religions, World Conference of Religions and Peace (WCRP),World Congress of Faiths (WCF) dan lain-lain. Dialog ini memusatkan diri dalam penciptaan dan pengembangan kerja sama lebih baik di antara para pemeluk agama yang berbeda. Kedua, dialog kelembagaan (institutional dialog), yakni di antara wakil-wakil institusi atau majelismajelis agama, lazimnya untuk membicarakan masalah-masalah mendesak dan mengembangkan komunikasi dan saling pemahaman antarumat beragama. Ketiga, dialog teologi (theological dialog) untuk membahas tema-tema teologis dan filosofis menyangkut Tuhan,wahyu Ilahi, dan sebagainya. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialog in community) dan dialog kehidupan (dialog of life) yang bertujuan untuk penyelesaian masalahmasalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari,seperti hubungan yang lebih pas antara agama dan negara, hak-hak kaum minoritas keagamaan, kemiskinan, perkawinan antaragama, dan sebagainya. Kelima, dialog keruhanian (spiritual dialog) yang bertujuan memperdalam pengalaman keruhanian atau spiritualitas keagamaan. Kelima bentuk dialog antaragama ini bisa menjadi dialog emansipatoris dalam berbagai aspeknya. Dialog antaragama bisa betulbetul emansipatoris—membebaskan— bila tiga syarat dipenuhi. Pertama, dialog dilakukan dengan penuh keterbukaan, keterusterangan, keberanian, dan kejujuran. Dialog antaragama tidak akan emansipatoris jika para peserta tidak terbuka,menutupi hal-hal tertentu, sehingga dialog yang terjadi akhirnya hanya basa-basi. Kedua, dialog disertai kemauan dan iktikad baik untuk saling mendengar dan mengemukakan pendapat dengan penuh keseimbangan dan kesetaraan. Ketiga, dialog disertai kesiapan untuk mengubah pandangan, persepsi, dan tindakan yang selama ini keliru, dan saling membuka diri untuk menerima kebenaran dari pihak-pihak yang terlibat dalam dialog. Jika dialog-dialog antaragama bisa dilakukan sesuai ketiga hal tersebut, maka bisa diharapkan terciptanya hubungan yang lebih harmonis, penuh toleransi di antara umat beragama yang berbeda. Ini juga merupakan mekanisme internal umat beragama untuk prevensi dan resolusi konflik yang berwarna agama. Apalagi kemudian para ulama dan komunitas umat beragama lain mendengar dan melaksanakan seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan pada The 3rd International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta (30/7/8) tentang pesan perdamaian yang mesti terus diaktualisasikan umat beragama untuk menciptakan kehidupan sosial-keagamaan yang lebih harmonis dan damai. Hemat saya, pesan perdamaian ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antarumat beragama.Wallahu a’lam bishshawab.(*) URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/dialog-emansipatoris-untu
|
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta |
Keterangan Artikel Sumber: Koran Sindo Tanggal: 02 Agt 08 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=10480&coid=1&caid=34 |
Peluang Dialog Agama
Oleh: Geger Riyanto |
Beberapa bulan yang lalu, 138 intelektual muslim memadukan suara dan mengirimkan surat kepada Paus Benediktus XVI serta sejumlah pemimpin Kristen lainnya, yang isinya mengimbau terciptanya dialog antara umat Islam dan Kristen. Dalam surat yang berjudul "A Common Word Between Us and You" tersebut, mereka menuturkan bahwa kedua umat perlu menangguhkan keberbedaan mereka dan memahami bahwa Tuhan mereka adalah sama dan pada dasarnya, Dia memerintahkan setiap manusia saling mengasihi. Tapi Adrian Pabst, pengajar agama dan politik dari University of Nottingham, mengkritik habis pernyataan ini. Menurut dia, tidak mungkin benar-benar tercipta dialog di antara keduanya, karena sifat Tuhan masing-masing agama begitu berbeda. Tuhan dalam teologi Kristen memiliki tiga sifat, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus, dengan kedudukan yang sama, atau diistilahkan sebagai trinitas. Adapun dalam Islam, Tuhan bersifat tunggal, sebagaimana yang tecermin dari pernyataan "tiada allah selain Allah". Menurut Pabst, yang diperlukan saat ini bukanlah dialog, melainkan perdebatan mencari siapakah yang paling benar. Pernyataan Pabst begitu provokatif, tapi terasa benarnya. Hal itu tecermin dari perayaan Idul Adha dan Natal yang jatuh berdekatan pada bulan ini. Dalam kitab Kejadian yang dipegang umat Kristen diceritakan bahwa anak kesayangan yang dikorbankan Abraham (Ibrahim) bukanlah Ismail, melainkan Iskak. Sementara itu, dari sudut pandang teologi Islam, Isa (Yesus) adalah nabi yang diutus oleh Allah dan tidak sepatutnya disembah atau diberhalakan sebagai Tuhan. Pabst tampaknya berkeyakinan bahwa sekularisasi adalah sebuah keniscayaan, yakni agama yang tidak dapat mempertahankan relevansinya dengan keadaan modern akan tereliminasi karena tidak diminati lagi oleh manusia yang semakin rasional. Agama yang paling tinggi adalah yang paling rasional, yang tetap mampu menjawab persoalan dan kegundahan eksistensial yang dialami manusia, meskipun ilmu pengetahuan yang canggih telah hadir. Dari sinilah muncul anggapan bahwa perdebatan teologis dan historis antarkeyakinan akan mengakhiri konflik di antara agama-agama, karena mereka yang kalah seketika akan tersingkir. Sebelumnya, sosiolog Max Weber berpandangan bahwa agama Yahudi adalah salah satu agama tertinggi karena mengajarkan bahwa Tuhan adalah entitas yang tunggal, tertinggi, absolut, sehingga tidak dapat diidentifikasi dengan segala yang berwujud di dunia ini. Dengan demikian, agama Yahudi dapat menepis segala pembuktian ilmu pengetahuan bahwa tidak ada entitas yang berwujud yang mengatur semesta ini. Namun, pemikiran berhaluan sekularisasi telah kehilangan relevansinya, karena tak bisa dinafikan bahwa fundamentalisme tengah menjadi fenomena. Meski para penyelidik terus mengetengahkan bahwa Yesus adalah manusia dengan bukti temuan makamnya, akankah itu meruntuhkan keyakinan yang telah hidup selama nyaris dua milenium begitu saja? Persoalannya, dapatkah fakta ilmiah menawarkan keamanan dan kenyamanan hidup bagi mereka yang terbiasa di bawah lindungan payung sucinya? Perdebatan belum tentu memecahkan persoalan ini, karena pencerahan yang ditemukan darinya hanya dapat dinikmati oleh kalangan elite intelektual, mereka yang memiliki gairah dalam praktek penghancuran kebenaran awam. Tapi, bagi yang tidak menikmatinya, mereka dapat dengan mudah memalingkan muka dari fakta-fakta ilmiah. Taruhlah kalangan Kristen Evangelistis. Sebagian dari mereka meyakini bahwa bukti-bukti ilmiah, seperti fosil dan artefak, yang menentang kebenaran versi Alkitab adalah obyek-obyek yang sengaja ditaruh Tuhan untuk menguji kadar keimanan mereka. Sederhananya, seperti yang diungkapkan Carl Gustav Jung, "Aku tetap percaya, meskipun segalanya di dunia ini menjadi bukti yang menyerang keyakinanku." Menurut hemat saya, ketegangan antaragama tidak dapat dipecahkan dengan perdebatan atau konfrontasi langsung. Ketegangan antarumat mesti diselesaikan dengan menemukan kesamaan yang tak terdefinisikan, kesamaan yang menembus batas-batas teologis. Bila secara nalar mustahil mempertemukan agama-agama dengan perbedaan teologis yang begitu tajam, tapi mengapa seruan berdialog tak kunjung usang diembuskan? Satu hal, karena pada setiap agama terkandung sifat kebaikan hakiki yang hanya dapat dirasakan secara afektif atau intuitif. Mungkin kita tidak dapat memberikan alasan kesamaan apa yang ada di antaranya, tapi kita merasakannya. Psikolog Michael Schulman menunjukkan bahwa seorang siswa taman kanak-kanak akan menurut bila dilarang gurunya makan di kelas, tapi apabila gurunya memperbolehkan mendorong siswa lain dari bangkunya, seorang anak akan mulai mempertanyakan otoritas gurunya itu. Marc Hauser, profesor psikologi dari Harvard University, mengatakan bahwa setiap orang memiliki dorongan moral, hanya dorongan yang universal itu tidak terbakukan dalam peraturan dan dirasakan melalui intuisi. Hal yang membuat setiap agama memiliki jejak dalam sejarah manusia adalah ketidakmasukakalannya, pertentangan antara ajarannya dan logika mayoritas saat itu. Tapi entah bagaimana, kita dapat merasakan bahwa ajaran itu benar. Agama mengajari manusia untuk menjiwai kebaikan yang hakiki melalui revolusi moral terhadap ajaran-ajaran lama yang telah membeku oleh otoritas. Teologi agama adalah upaya menancapkan kepastian terhadap apa yang dimaksud dengan kebaikan agar kebaikan yang sebelumnya dirasakan secara intuitif dapat dipahami oleh nalar manusia dan tersampaikan kepada yang lain melalui bahasa. Dari sini dapat dipahami bahwa teologi adalah tubuh bagi jiwa agama yang revolusioner sekaligus welas asih. Dan transendensi agama tidak terletak pada teksnya semata, tapi pada apa yang menyangga sehingga teks itu tetap terasa segar pada masa kini. Dialog memungkinkan tiap-tiap agama berbagi konsepsinya yang "tak sama tapi serupa" tentang kebaikan. Dan perbedaan itu tak mengapa, karena siapa pun--bahkan dalam penelitian Schulman adalah anak TK--dapat membedakan yang benar dengan yang salah. Yang perlu disadari seseorang sebelum berbuat baik terhadap yang lain hanyalah mereka adalah sesama manusia, itu pun sudah cukup. Walau kita "tahu" bahwa kebenaran kita berbeda, kita cukup semudah "merasakannya" untuk sadar bahwa kita sama. URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2007/12/21/Opini/krn,20071221,54.id.html
|
Geger Riyanto PENEKUN SOSIOLOGI PENGETAHUAN UNIVERSITAS INDONESIA |
Keterangan Artikel Sumber: Koran Tempo Tanggal: 21 Des 07 Catatan: - |
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9154&coid=1&caid=34 |
Persaudaraan dan Pluralitas
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/persaudaraan-dan-pluralit
Abdurrahman Wahid
Ketua Umum Dewan Syura PKB
Ucapan Selamat Natal dan Umat Islam Indonesia
Oleh: M Bambang Pranowo
Sejak 1980-an tiap hari raya Natal ada keganjilan di masyarakat Indonesia.Hampir setiap pejabat publik, presiden, gubernur, menteri, dan lain-lain yang agamanya Islam terlihat mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.
Bahkan tidak sedikit di antara para pejabat publik tersebut menghadiri perayaan Natal.Amien Rais yang sering dikelompokkan sebagai seorang tokoh muslim militan yang anti-Natal, misalnya, ketika menjabat ketua MPR sering terlihat menghadiri acara-acara Natal dan berbicara akrab dengan para pendeta dan pastor. Sikap Amien Rais ini semakin jelas ketika mencalonkan diri jadi presiden RI pada 2004.Amien Rais sering hadir dalam acara-acara yang diadakan umat Kristiani,baik itu di acara Natal,Paskah,maupun lainnya.Amien juga sering terlihat berada dalam lingkaran para pemimpin Kristiani.
Tidak demikian halnya dengan Hidayat Nur Wahid ketika menjadi ketua MPR.Hidayat,belum pernah terlihat muncul dalam acara Natal. Hidayat tampaknya konsisten terhadap ”larangan” mengucapkan Natal–apalagi menghadiri—acara perayaan Natal. Hidayat rupanya termasuk tokoh yang patuh terhadap fatwa MUI yang melarang umat Islam merayakan Natal. Bagi MUI,umat Islam yang ikut merayakan Natal, bahkan mengucapkan selamat Hari Raya Natal pun hukumnya haram karena merusak akidah.Merayakan dan mengucapkan selamat Natal,bagi MUI,sama artinya dengan mendukung keimanan umat Kristiani bahwa Isa (Yesus) adalah Tuhan.
Padahal bagi umat Islam, Isa Al-Masih seorang rasul Allah yang kedudukannya sama dengan rasul lain. Kenapa Amien dan Hidayat– untuk melihat dua ikontokoh Islam yang berasal dari ”rumah” yang sama, Muhammadiyah–mempunyai perbedaan sikap? Mungkin karena Amien adalah tokoh muslim yang meski dibesarkan oleh Muhammadiyah (yang awalnya berbau wahabisme),tapi mengenyam pendidikan sekuler di UGM Yogyakarta dan Chicago University, AS. Sedangkan Hidayat, yang juga orang Muhammadiyah, besar dengan pendidikan di IAIN Yogyakarta dan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Latar belakang inilah barangkali yang membedakan sikap Amien dan Hidayat dalam memandang Natal dan umat Kristen. Amien, meski dikenal seorang muslim militan–sama dengan Hidayat–tapi bisa menghayati makna pluralisme dalam kehidupan beragama dan bernegara. Jika pun Muhammadiyah disebut- sebut aliran yang mengadopsi wahabisme, tapi belakangan Muhammadiyah kelihatan makin condong ke ahlus-sunnah waljamaah.
Bahkan di kalangan muda Muhammadiyah–seperti ditunjukkan dalam aktivitas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pola-pola wahabisme (yang puritan dan anti-Natal) mulai dijauhi.Sikap Muhammadiyah ini– sebagaimana dikatakan AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional, dalam Terorisme: Fundamentalis Kristen,Yahudi, Islam (2009)–sangat positif bagi perkembangan kehidupan beragama di Indonesia.
Wahabisme dan Natal
Wahabisme adalah paham dan gerakan Islam yang didirikan Muhammad bin Abdul Wahab di abad ke-18.Abdul Wahab disebut-sebut sebagai founding fathers Kerajaan Arab Saudi. Paham ini mengembangkan puritanisme, militanisme, dan ekstremisme.
Menurut wahabisme, umat Islam saat ini telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni, sehingga diperlukan gerakan untuk memurnikannya dengan jalan kembali kepada Alquran dan hadis. Pernyataan bahwa umat Islam harus kembali kepada Alquran dan hadis memang tidak ada yang salah, sebab keduanya merupakan sumber primer dalam Islam.Tapi slogan tersebut menjadi masalah karena dimodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritan absolut.Wahabisme menganggap hanya doktrinnyalah yang benar, yang lain salah dan kafir.
Wahabisme menolak tasawuf, tawassul, rasionalisme, dan pandangan lain yang dianggap tidak berasal dari Islam. Dalam melakukan misinya, wahabisme menggunakan istilah bidah, bagi perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang tidak ada padanannya dalam Alquran dan sunah Nabi Muhammad.Siapa pun yang melakukan, berbuat dan bersikap seperti itu, dia telah melakukan bidah,dan setiap bidah adalah sesat. Lebih jauh lagi, wahabisme tidak hanya menganggap bidah terhadap orang-orang non-Islam, tapi juga menganggap salah terhadap ulama-ulama lain yang pandangannya bertentangan dengannya.
Tidak hanya ajaran tasawuf yang dianggap bidah,ajaran-ajaran lain yang menyimpang dari doktrin wahabisme pun dianggap bidah (Misrawi,2009). Jika di Arab Saudi ada ulama terkenal, Imam Fakhruddin al-Razi, yang dianggap sesat; di Indonesia pun Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid serta orang-orang yang mempunyai pandangan keislaman yang sama dengan keduanya dianggap sesat. Kaum wahabi terkenal sangat anti terhadap orang-orang non- Islam (kafir). Salah satu fatwanya, jangan berteman dengan orangorang kafir dan mengikuti kebiasaan mereka.
Orang-orang Islam yang berteman dan mengikuti kebiasaan orang-orang kafir sudah termasuk kafir, bahkan lebih buruk dari orang kafir itu sendiri. Dari poin seperti inilah,kemudian muncul fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani.Merayakan Natal dan saling mengucapkan selamat Natal,menurut pandangan Wahabisme, adalah kebiasaan orang-orang kafir yang sesat. Pandangan ini jelas sangat mengganggu toleransi antarumat beragama dan meruntuhkan sendisendi pluralisme yang membentuk kehidupan modern.
Wahabisme menihilkan ayat Alquran surat Ali Imran ayat 113–114 ini, ”Di antara orang-orang ahli kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan.Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang saleh. Nabi Muhammad pernah bersabda, ”Orang Islam yang paling baik adalah yang menebar salam perdamaian dan memberikan makanan, baik kepada orang yang dikenal maupun tidak.”
Alquran dan hadis tersebut jelas jauh dari paradigma wahabisme. Wahabisme melihat sesuatu dengan sikap hitam dan putih; kawan dan lawan.Pandangan inilah yang akhirnya memunculkan benihbenih terorisme.Hampir semua organisasi yang mengusung terorisme, ideologi dasarnya–meminjam tesis AM Hendropriyono–berasal dari wahabisme itu tadi. Ciri-ciri wahabisme,misalnya,bisa tercium dari ceramah dan buku-buku Imam Samudera dan Abu Bakar Ba’asyir. Setelah menyadari ”ancaman” terorisme yang muncul dari ideologi wahabisme ini, Pemerintah Arab Saudi, yang semula sangat mendukung perkembangan wahabisme, kini mulai ”berpikir lain”.
Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz, misalnya, kini mulai bersikap terbuka dan mau berkunjung ke Vatikan.Anehnya pula, keamanan Arab Saudi pun kini sangat tergantung dari keberadaan tentara-tentara AS.Kekerasan dan ekstremisme wahabisme kini tampaknya mulai membahayakan ”tuannya” sendiri, sehingga perlu dijaga oleh tentara AS.Benarbenar sebuah dilema yang unik.Padahal semua itu adalah konsekuensi hukum alam belaka: siapa yang memelihara macan, jiwanya pun akan terancam terkaman macan itu sendiri.
Dari perspektif inilah, kita– kaum muslim Indonesia–hendaknya mulai mengkaji kembali fatwa larangan merayakan Natal dan mengucapkan selamat Natal. Fatwa tersebut jelas tidak relevan dan mengganggu terwujudnya kerukunan beragama di negara yang penduduknya sangat plural seperti Indonesia. Para ulama Indonesia yang mengharamkan memberikan ucapan selamat Natal hendaknya melihat bagaimana ulama-ulama besar Al-Azhar di Mesir dan Iran. Mereka, tidak hanya memberikan ucapan selamat Natal kepada warga Kristiani di negaranya, tapi juga biasa ikut merayakan Natal di gereja.
Sri Paus,misalnya,pernah mengakui bahwa orang pertama di dunia yang mengucapkan selamat Natal tiap tahun kepadanya adalah Ayatullah Ruhullah Khomeini.Ulama besar Mesir,Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang muslim turut merayakan Hari Raya Natal, tapi juga menghadiri undangan Natal umat Kristen (Koptik) di gereja-gereja di sana. Itulah Islam yang penuh toleransi dan rahmat. Selamat Natal, semoga Tuhan memberkahi kita semua!(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/292457/
M Bambang Pranowo
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta
Islam dan Pluralisme Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0709/01/Bentara/3800195.htm
MOHAMAD GUNTUR ROMLI Aktivis Jaringan Islam Liberal
Mendesain Kembali Format Dialog Agama
Salah satu pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya selama ini adalah mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah memprakarsai pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan, dan kekerasan? Adakah yang salah dalam desain dialog agama selama ini?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01103538/mendesain.kembali.form
Sumanto Al Qurtuby Sekjen KNU AS-Kanada dan Mahasiswa PhD di Bidang Cultural Anthropology, Boston University, Massachusetts, United States
Wednesday, June 29, 2011
Muslim Jurisprudence, not Shariah, is Islam-supremacist
Book Review
Name of the Book: Interfaith Theology—Responses of Progressive Indonesian Muslims
Edited by: Zainun Kamal
Publisher: International Centre for Islam and Pluralism, Jakarta
Pages: 190
Reviewed by: Yoginder Sikand
A challenge of critical proportions that plural societies today face—and this is a dilemma that has become one of truly global proportions—is the question of how people associated with different religious can, despite their different truth claims, live together in reasonable harmony. Underlying this is the vexed issue of inter-faith relations—of how each religion, despite its own respective claims to representing the ultimate truth, can be creatively interpreted to accept people who claim to follow other paths. For Muslims, as with followers of other monotheistic religions that make exclusive theological claims of representing the sole truth, this issue has continued to be deeply troublesome. The vexed relations between Muslims and others in large parts of the world owe, in part, precisely to this dilemma. This book, by an Indonesian Muslim scholar, marvelously addresses this problem head-on, critiquing exclusivist and supremacist understandings of Islam while seeking to explore alternate understandings of Islamic theological resources in order to develop an Islamically-grounded theology of harmonious inter-faith relations.
Surveying the corpus of traditional Muslim jurisprudence or fiqh, Kamal argues that it is unable to accommodate the vital inter-faith question that we are today faced with. This is because, he writes, traditional fiqh is premised on an antagonism towards others and their truth claims, refuses to respect or even acknowledge them, and views other religions and communities with contempt. It actively seeks to discredit other religions completely, and so, obviously, is not conducive to dialogue and harmonious relations between Muslims and non-Muslims. Hence, there is an urgent need, Kamal says, to transcend the views of the earlier ulema on these matters by engaging in a process of creative, contextual interpretation or ijtihad in order to make fiqh formulations on inter-community and inter-faith relations relevant to our new context. This, he cautions, might be wrongly portrayed by narrow-minded critics as an attack on the Islamic shariah itself, but he hastens to point out that this would be far from true, indicating the clear distinction between the shariah as the divine path, on the one hand, and fiqh as a cumulative, historical and human enterprise, on the other. While the former is immutable, the latter can, indeed should, change, based on the recognition that, being a human product, it is liable to error. Pre-empting his critics, he argues that we need to recognize that the fuqaha, scholars of fiqh, were products of their own times and contexts, and, hence, were not infallible. He castigates the tendency to glorify, as unchangeable and immutably Islamic, the corpus of medieval fiqh and its creators, calling for developing fiqh rules appropriate to today’s times, including on the issue of inter-faith relations.
To refuse to do so, he rightly indicates, would only lead to further stagnation of Muslims and to widening the existing conflicts and suspicions between Muslims and others. Kamal spells out a broad methodology to be followed to promote this exercise of ijtihad in matters of fiqh related to inter-faith relations. The project should be based on a clear understanding of the higher principles of the shariah (or what is called maqasid al shariah), and on what Kamal terms as an anthropocentric (or ‘human-oriented’), as opposed to a theocentric, approach to religion. The latter, he warns, is easily amenable to exclusivist, intolerant and authoritarian tendencies and is liable to be misused to generate hatred against others. In this regard, he also supports the proposal by the notable Egyptian Sunni scholar, Yusuf al-Qaradawi for what he terms fiqh al-waqi’ ( or ‘fiqh of reality’) and fiqh al-awlawiyat (‘fiqh of priorities’) that can better solve crucial humanitarian problems, including that of strained relations between Muslims and others. Altogether, what Kamal pleads for is a dynamic, inclusive and egalitarian fiqh, shorn of exclusivist, hierarchical and discriminatory provisions. This, what he calls fiqh al-maqasid or ‘fiqh of higher aims’, would, he writes, prioritise universal human values that apply to all peoples, irrespective of religion, such as public interest, justice, and equality. In this regard, he critiques the corpus of inherited fiqh for ignoring the ‘higher aims’, for not placing sufficient stress on public (and this includes the non-Muslim public) interest, and, therefore, of become static, frozen in time and degenerating into a tool for power. The new fiqh with regard to inter-community relations that Kamal calls for would, he says, be sensitive to the fact of ritual heterogeneity. It would be based on the understanding that rituals are secondary to good deeds and faith in one God, which can form the basis of a minimum common consensus among believers in different religions. It would reflect the understanding that it is erroneous, as Kamal says, to brand others as unbelievers and infidels simply because they worship in other ways, provided of course they do not engage in shirk or associationism.
This new fiqh would also need to critically re-examine some traditional fiqh formulations on a host of issues with regard to non-Muslims, such as greeting and befriending them, praying with them, allowing them to enter mosques and inter-marriage. Some of the traditional fiqh prescriptions in these matters, he says, are clearly hostile to non-Muslims, although without any Quranic warrant. In this regard, Kamal points out the need to need critically and contextually examine and reject certain fake hadith reports on which these hostile fiqh prescriptions are based. To truly uncover the hidden universalism of the Quran—something indispensable to develop a truly inclusive Islamic fiqh and theology vis-à-vis people of other faiths— Kamal insists that the Arab cultural trappings that have wrongly come to be associated with Islam need to be removed, so that Islam can be seen and expressed as what it really is—a truly universal creed not tied down to any particular culture or historical tradition. Overall, the veritable paradigmatic shift in fiqh on inter-community relations that Kamal advocates reflects a rejection of crucial aspects of the corpus of fiqh of what he calls Muslim communal supremacy, devised during the medieval period of Muslim imperium, in favour of a new fiqh attuned to today’s plural context, thus reflecting a proper fit between the law and social realities.
Alongside with the reformulation of fiqh prescriptions on inter-faith relations, Kamal pleads for what he calls a plural Islamic theology—a contextually-relevant theology of Islamic pluralism in place of the current theological exclusivism that still has wide currency among Muslims across the world. The seeds of this plural theology, he writes, lies in the very notion, so strongly stressed in the Quran, that the religion (al-din in Arabic) taught by all the prophets of God, from the first to the last, has been one—called in Arabic al-Islam or the ‘The Surrender’ [to the one God], although the message of some prophets differed in some aspects of the path or shariah and method or minhaj. Another pillar of this plural theology is the statement, so clearly mentioned in the Quran, that had God wanted to, He could have made mankind one community. Hence, Kamal says, religious pluralism is part of God’s plan. A third pillar of this plural theology is the insistence, so consistently stressed in the Quran, that Muslims must believe in, and make no distinction between, all the prophets, considering them all equal.
Striking at the roots of theological exclusivism, Kamal points out that the Quran does not present paradise as solely for Muslims alone. Nor does it claim that all Muslims are destined for paradise. Further, the Quran places stress not on rituals but on faith and good deeds in God’s eyes. It fervently opposes all forms of communalism, even Muslim communalism, its open, inclusive approach being clearly evident when it calls upon Jews and Christians to come together with Muslims on the basis of kalimatun sawa, a common platform based on faith in the one God. When the Quran specifies Islam as the din al-fitra, or religion of nature, and insists that no other religion than this Islam is acceptable to God, it is, Kamal writes, yet another statement in favour of universalism in that it indicates the religion submission to and obedience of God alone, implying that all those who submit to and obey God are ‘Muslims’ or those who surrender themselves to God, no matter what they call themselves and in which language.
Kamal draws on other Islamic scripturalist resources to build up his case for a meaningful Islamic theology of pluralism. Thus, for instance, he discusses the category Ahl-e Kitab, and points out that Islam requires Muslims to protect, rather than subjugate, such people, highlighting the Charter of Medina that brought together the Muslims under the Prophet and the Ahl-e Kitab of Medina as a model in this regard. Likewise, he subjects the terms kafir and muslim to intense scrutiny, showing, contrary to widely-held beliefs, that these are not to be understood in a communal sense, not being the labels of any communities. Rather, he writes, these are attributes or attitudes, and can be characteristic of any people in any community.
Of course, reformulating fiqh and developing more inclusive Islamic theologies are not enough for the enormous task of promoting better relations between Muslims and others, although they are a necessary ingredient. Kamal insists that Muslims from all walks of life taken an active interest and role in forms of inter-faith and inter-community dialogue—not just at the theological level, but, equally importantly, at the day-to-day level as well, working together with people of other faiths for a better, more peaceful, just, egalitarian and God-centred society, in which way they can truly express a contemporary understanding of Islam.
URL: http://www.newageislam.com/NewAgeIslamBooksAndDocuments_1.aspx?ArticleID=3040 (Accessed 6/29/2011)
Islam in Indonesia Democratisation from Below
Islam in Indonesia
Democratisation from Below
18.11.2010
In Indonesia, Islamic NGOs have become the backbone of the country's tolerant civil society. While Islamic women's organisations are demonstrating how the Sharia can be used effectively to combat misogynist policies, Islamist parties are losing ground in elections. Alfred Stepan and Jeremy Menchik reportThe Obama seal of approval: since Suharto was toppled, Indonesia has developed into a model democracy in South-East Asia The visit of "Barry Obama" – the Indonesian nickname for the former Indonesian resident and current US president – to Jakarta is intended, as much as anything, to celebrate the achievements of the largest Muslim-majority country in the world. In the 12 years since its transition to democracy, Indonesia has regularly held local and national elections, developed a functioning free market and strengthened its culture of tolerance towards the country's Christian, Hindu, Buddhist and Chinese minorities.
Of the ten members of the Association of Southeast Asian Nations, only Indonesia has a "free" rating from Freedom House. The largely Catholic Philippines, Buddhist Thailand and Confucian Singapore lag behind Indonesia in providing basic democratic rights to their peoples.
American policymakers have therefore looked to Indonesia as a model for the rest of the Muslim world. But what lessons can be learned from Indonesian democracy?
Backbone of a tolerant society
The most important lesson is that Islamic organisations can provide the backbone of a tolerant civil society. Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama (NU), mass Islamic institutions with more than 30 million and 40 million members respectively, operate more than 10,000 schools and hundreds of hospitals, run youth organisations and support women's movements. Both have connections to political parties, most of which have consistently spoken out in support of democracy and against an Islamic state.
At the gender conference organised by the Indonesian women's organisation Fatayat, Indonesian women showed that the Sharia can be used as a tool for combating misogynist policies Indeed, Syafi'i Ma'arif, the former chair of Muhammadiyah, has made pluralist arguments, grounded in the Koran, against blind obedience to Islamic classical jurisprudence. Abdurrahman Wahid, the former chair of NU, for decades advocated respect for religious pluralism, and was pivotal in mobilising democratic opposition to the authoritarian leader Suharto.
A third Islamic intellectual, Nurcholish Madjid, called for the "de-sacralising" of politics in the 1970s, advocated genuine multi-party democracy in the 1990s and personally urged Suharto to step down in 1998.
Information campaigns for women excluded from US aid
Indonesia also demonstrates how Islam can provide support for women's rights. Among the activist community in Jakarta, the most successful organisations are those that draw support from the women's wings of Muhammadiyah and NU: Muslimat, Fatayat and Aisyiyah.
Ironically, the Bush administration restricted funding for health programmes that promoted safer sex and family planning The former head of Fatayat, Maria Ulfah Anshor, has made sophisticated arguments grounded in fiqh for women's access to reproductive rights. And, thanks to a partnership between the state and Islamic scholars stretching back 40 years, Indonesia has one of the most successful family-planning programmes in the developing world.
Ironically, the US has done as much to block the efforts of Indonesia's women's rights activists as it has to support them.
Former President George W. Bush's restrictions on funding for health programs that promoted the use of condoms or other forms of contraception meant that Islamic organisations receiving any funding from the US Agency for International Development were unable to publish material promoting safe sex and family planning.
Scharia as a tool for women's rights
This could be, and often was, highly counter-productive. In one particularly absurd case, a group of Muslim feminists who wrote a book promoting women's rights based on Koranic exegesis had to publish their work in secret, because it included arguments for women's reproductive rights and a small percentage of the group's funding came from a foundation that had received money from USAID.
With 30 million members, the Islamic NGO Nahdlatul Ulama is one of the largest Islamic mass institutions in Indonesia and in the world The fact that Islamic organisations have benefited women may also help explain Indonesian women's political success. The parliament is 18 percent female (a slightly higher percentage than in the US Congress), and a woman, Megawati Sukarnoputri, was the country's fourth president. Leading organisations like Umar, Fatayat and Muslimat provide a corrective to the widespread view that the Sharia necessarily impedes women.
Indeed, Indonesian women have shown how the Sharia can provide a tool for combating misogynist policies. For example, the head of Islamic affairs in the Ministry of Religion, Nasaruddin Umar, is a self-described Islamic feminist who has published sophisticated critiques of gender bias in Koranic exegesis.
Islamists lose political ground
Religion permeates almost every aspect of life in Indonesia, including politics. But political parties advocating implementation of the Sharia have lost ground in successive elections from 1955 to 2009.
Supporters of the Islamist Hizb ut-Tahrir demonstrate for the introduction of the Sharia The parties that still support the Sharia have largely disappeared or changed their platform. Rather than taking over the state, Islamist parties have been forced by the electorate to alter their policies to account for Indonesian pluralism.
Perhaps the best way to help Muslims is not to attempt to transplant institutions from Indonesia to the Middle East, or to give aid to "American-approved" moderates, but simply to listen more closely to the voices of Indonesian Islam.
But that is difficult to do. Almost none of the writings of the intellectuals who have been crucial to democratisation and women's rights in Indonesia – for example, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Syafi'i Ma'arif, Siti Musdah Mulia and Maria Ansor Ulfah – has been translated into English. Perhaps more unfortunately, none has been translated into Arabic.
Alfred Stepan and Jeremy Menchik
© Project Syndicate 2010
Alfred Stepan, a professor of political science at Columbia University and the director of its Centre for the Study of Democracy, Toleration, and Religion, is a co-author with Juan J. Linz and Yogendra Yadav of Crafting State Nations: India and Other Multinational Democracies. Jeremy Menchik, a Ph.D. candidate at the University of Wisconsin-Madison, has spent the past two years studying Islam and politics in Indonesia.
Editor: Aingeal Flanagan/Qantara.de
http://en.qantara.de/wcsite.php?wc_c=8405 (Accessed 6/29/2011)