A.     Biografi Mukti Ali
Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia,
 tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu 
Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu 
perbandingan agama di indonesia.
 Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan 
tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the 
history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun 
persoalan sosio kultural. 
Riwayat Hidup Mukti Ali
Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota
 yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas 
dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa
 pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu 
pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif. 
Di kota
 itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923.
 dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh 
bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan 
setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau
 yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan 
dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota 
cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara 
turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana
 desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan 
sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak 
dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik 
orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh 
pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang 
dialaminya waktu ia masih kecil. 
Boedjono
 memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7 
atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia
 yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang 
kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini 
Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut 
teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal 
sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun 
1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas 
Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya. 
Ditengah
 tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas 
Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal 
mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang 
sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di 
pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil 
yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide 
politik. 
Karir
 politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari 
dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study,
 McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk
 mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN 
Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya
 dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai 
mentri agama. 
Pergumulannya
 didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain 
dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia
 adalah disen di Fakultas  Ushuluddin,
 IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai 
Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia 
dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun 
1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan 
Kalijaga, Yogyakarta. 
B.     Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali
Meskipun
 Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap 
menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa 
kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas,
 semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi 
mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang
 menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947. 
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra  Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi. 
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama. 
C.     Corak berpikir Mukti Ali
Di
 Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah 
secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan 
metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan 
profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred 
Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan 
pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh
 metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa 
menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan 
dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan 
dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi 
ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan
 bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha 
bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat 
Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode
 Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam
 dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa 
islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana
 kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak 
wanita dan dialog antar umat beragama. 
Hal
 terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan 
kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan 
bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith, 
yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem 
dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian
 hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah 
memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu
 perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama, 
dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali 
menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen 
agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia.  Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia.
 Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu, 
Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini 
kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan 
putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air. 
D.    Karya-karya Mukti Ali
Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri. 
Mukti
 Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis 
yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer 
adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
-         Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
-         “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
-         “Hubungan
 antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia,
 buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
-         “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung. 
E.     Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Istilah
 Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali
 dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep 
Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam
 mengamati realitas agama.
 kata
 “Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah 
faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama, 
sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai 
pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak 
agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka 
masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain. 
Dalam
 tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur 
kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan 
permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan
 untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena 
itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal 
ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang 
bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu
 dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran 
jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan  yang
 dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama
 yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan 
bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah 
apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang 
mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap
 agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur 
itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna 
tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan 
apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali 
berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak 
nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti.
 Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena 
kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri 
dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan 
hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri 
dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori
 evolusi Darwin Spencer. 
Begitu
 pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian 
yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada 
salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, 
seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama 
ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan 
berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak 
berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh 
masyarakat modern.  
Displin
 Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari 
sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan 
pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa 
suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama 
itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari 
sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena 
itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan 
Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik 
menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan
 Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang 
beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan 
dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, 
juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi 
dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang 
itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu
 Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang 
dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan 
pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai
 dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan 
menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan
 betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja 
karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau 
ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah
 itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama, 
hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut
 Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu 
pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap 
keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama 
lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
-         Ilmu
 Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi 
nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama 
dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari 
pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
-         Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
-         Ilmu
 Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan 
menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan 
juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami 
gejala-gejala keagamaan.
Tiga
 puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu 
telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu 
Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk 
memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
…..
 ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai
 agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan 
perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama 
dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif 
apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya,
 berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus 
melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif 
perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa 
pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus 
difahami  sebagai alat yang 
berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada 
kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan, 
tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah 
fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak 
kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu 
dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang 
tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah 
lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam
 membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung 
kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya
 sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud 
objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas 
ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis
 dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek 
yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat 
rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya 
materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga
 sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan 
metode yang imateril.
Adapun
 objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita 
adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam 
berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai 
struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian 
agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia 
dengan masyarakat.
Dalam
 membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya
 dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus 
digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan 
kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama 
hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan 
metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan 
dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun 
lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang 
diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. 
Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit
 istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu 
pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur 
yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis 
yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka
 metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh 
dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai 
penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi 
adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang 
ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. 
Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba 
mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba 
mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen).
 Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap 
wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu 
sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun,
 bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai. 
Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode 
“sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam 
juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam 
metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer, 
sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz. 
Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti. 
Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip 
keterpaduan metode”.
Dalam
 hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan.
 Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme 
bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada
 pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali 
mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti 
pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis 
dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.
1.      Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis)
 adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang 
beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada
 aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan 
sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak 
pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama 
seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan
 begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog:
 “agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan 
atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah 
personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada
 permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis 
pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas
 sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang 
senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis” 
disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia
 mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi
 sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami 
bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif,
 melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama 
tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada 
perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal 
dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun 
Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis 
terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang 
terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada
 titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba 
melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap 
misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika 
peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari 
pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang 
supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto 
memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen
 yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan. 
Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin 
menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu 
tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang 
suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu 
pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali 
tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca 
indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala 
pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan 
dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk 
berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis,
 sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin 
manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab
 atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan 
penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan 
emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati 
adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena
 bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang 
diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang 
berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam 
menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang 
dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang 
terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan 
diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan 
manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif, 
menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta 
manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif 
diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2.      Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method)
 merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir 
disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi 
aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut 
John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang 
dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik 
kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai 
suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya 
merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai 
langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan 
prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau 
secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah 
mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek 
yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan 
persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan 
manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari 
entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan 
“rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban 
manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke 
dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian
 ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi
 dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing
 atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat 
perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen 
terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya 
perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia 
yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi 
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai 
yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan 
fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan
 merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh 
pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari 
metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta
 agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu 
dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus
 disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir 
dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya.
 Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut  dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan  dalam
 aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan 
lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang 
berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan  perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan  warnanya yang  universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama  dan keberagamaan (religiousity).
 Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang
 berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal 
sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari
 dan dilukiskan secara sistematis.
3.      Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama,
 mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek 
kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya 
kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan 
memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam 
garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen 
terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar
 mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu 
tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan 
ketekunan.
Kedua,
 secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan 
agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek 
netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai 
tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat 
memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi 
keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu 
memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak 
jarang cukup patal.
Oleh
 sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit 
bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi.
 Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan
 ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan
 dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara
 mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas 
agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil 
untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia. 
Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness) 
perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama 
tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak 
ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi 
dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan 
komplementer.
Maka
 kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah 
Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan 
sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan 
historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan
 historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan 
bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan 
pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan 
pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk
 mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama, 
maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang 
semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh
 sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”. 
Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat 
konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman 
baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah 
yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan 
sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan 
sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan
 pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode
 sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin 
memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama
 harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian
 studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu 
mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut 
mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis 
pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya 
dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba
 menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus 
kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai 
relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena
 karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi 
perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, 
objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya 
metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang
 kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama?
 Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama 
adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah
 kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran 
yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar, 
seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen. 
Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti 
peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth,
 yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela 
memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan
 agama.
Maka metode religio-scientific merupakan
 pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai
 dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu 
social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama
 sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para 
sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai 
aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam 
kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu 
agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama 
tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama 
adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas 
empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan 
tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus 
ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. 
Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan 
tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang 
Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan 
metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog, 
dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar 
belakang keahliannya.
Maka
 sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi 
yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari 
jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian 
sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba 
mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen).
 Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan 
mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Retrieved from: http://husnie85.blogspot.com/2011/01/prof.html