Saturday, April 23, 2011

Pengantar “Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama”

Kata Pengantar Ustadz Hartono Ahmad Jaiz

Al-hamdulillahi Rabill ‘alamien.

Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan atas Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.

Amma ba’du. Buku ini berjudul Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama, merupakan bantahan secara mendasar terhadap buku terbitan Paramadina yang bekerjasama dengan The Asia Foundation.

Buku Fiqih Lintas Agama itu sendiri telah menghebohkan karena isi dan misinya cukup berseberangan dengan Islam. Dan itu akan dibuktikan di dalam buku Koreksi ini.

Misi yang dikandung buku Fiqih Lintas Agama kemungkinan bukan semata-mata sekadar menerbitkan buku. Untuk memberi gambaran bahwa buku itu memiliki misi tersendiri, perkenankanlah saya memberikan gambaran satu kenyataan masa lalu yang mengharu biru (usil) terhadap Islam, namun dilakukan oleh orang yang berpredikat Kiai alias orang yang ahli Islam.

Masyarakat Islam di Solo Jawa Tengah dan sekitarnya di tahun 1955-an mesti tahu bahwa di zaman jaya-jayanya PKI (Partai Komunis Indonesia) ada tokoh yang bahkan Kiai namun dikenal sebagai Kiai PKI. Namanya Kiai Dasuki Sirodj. Dia dikenal “fatwanya” yang dicomot dari Al-Qur’an :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS Al-Ma’un/ 107: 4). Dengan adanya “fatwa” Kiai PKI itu maka orang abangan yang mengaku Islam namun ogah-ogahan shalat merasa disahkan ketidak shalatannya. Di samping itu mereka merasa lebih sreg (merasa lebih pas) bergabung dengan PKI dibanding mendekat pada muslim taat. Lantas kaum abangan dan PKI yang diimami Kiai PKI itupun nglunjak (naik ke kepala). Umat Islam diberi cap buruk sebagai Kaoem Saroengan.

Kiai PKI itu dengan modal memotong ayat semaunya disertai maksud-maksud tertentu ternyata menghasilkan tambahnya pengikut, lantas dilanjutkan dengan mulusnya pemojokan terhadap umat Islam. “Fatwa” itu sengaja dengan cara memotong ayat, bukan lantaran tidak tahu, namun karena ada maksud-makusd jahat di dalamnya. Seharusnya Kiai Dasuki kalau mau jujur, dia cukup mengemukakan apa adanya, yaitu meneruskan ayat itu sampai tuntas:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ(6)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ(7)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS Al-Ma’un/ 107: 4-7).

“Fatwa” model yang drastis seperti itu bisa dilakukan secara sendiri, berkelompok, atau bahkan beramai-ramai alias kroyokan. Untuk memasarkan “fatwa” yang menjegal Islam itupun bisa dilakukan sendiri, berkelompok, ataupun berkroyokan. “Fatwa” yang tidak drastic, hanya sekadar cap-cap buruk terhadap umat Islam, juga bisa dipompakan secara sendiri, berkelompok, atau bahkan kroyokan, atau malahan secara internasional, menggelobal. Kini cap terorisme secara mendunia telah dialamatkan kepada umat Islam. Penyebar cap buruk itu diketahui adalah negara adikuasa yang ditakuti kezhalimannya. Maka dampak dari itu bukan seperti dampak dari “fatwa” Kiai Dasuki yang sifatnya local belaka, yang hanya membangunkan orang abangan setempat untuk krengkang-krengkang (mulai bertandang) memojokkan Islam, bergabung dengan Komunis. Namun komando dari Amerika, Australia, Inggeris, Singapura, dan negara-negara yang pada dasarnya di bawah pengaruh teroris murni Israel sangat nyaring dihayati oleh orang “abangan baru” yang berlabel liberal. Serentak sontak para “abangan baru” itu kluruk (berkokok) sejadi-jadinya, untuk menunjukkan kepada boss mereka bahwa mereka bekerja sekeras-kerasnya.

Di antara bukti kerja keras mereka siang malam adalah apa yang mereka wujudkan berupa buku berjudul Fiqih Lintas Agama, ditulis oleh tim penulis Paramadina di Jakarta, diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina –yang didirikan Dr Nurcholish Madjid dan konco-konconya– bekerjasama dengan lembaga yang berpusat di Amerika, The Asia Foundation. Buku itu ditulis oleh 9 orang, dan sebelum naik cetak telah diseminarkan di gedung-gedung. Itu menunjukkan bahwa buku itu bukan sekadar buku biasa, namun luar biasa, dari segi penunjukan kerja keras mereka. Entah kalau dari segi dana, tentu saja sangat besar, namun itu urusan mereka.

Buku itu adalah hasil kerja kroyokan 9 orang dalam Tim Penulis Paramadina:

Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun’im A. Sirry.

Judul persisnya: FIQIH LINTAS AGAMA

Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Cet. I September 2003).

Terhadap buku itu, Irfan Suryahardi Awwas ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin berkomentar lantang ketika acara debat antara MMI dengan Paramadina di UIN (Universitas Islam negeri) Jakarta, 15 januari 2004:

“Fiqih Pluralis yang dikembangkan oleh Tim Penulis Paramadina dan dikemas dalam sebuah buku berjudul, “Fiqih Lintas Agama” yang diterbitkan bersama oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, merupakan salah satu bentuk kekafiran berfikir.”

Kenapa demikian? Jawabnya ada pada ungkapan dari orang paramadina sendiri dalam acara debat tersebut, di antaranya apa yang dikemukakan langsung oleh Dr Kautsar Azhari Noer:

“Tentang akidah, mungkin kita juga berbeda, meskipun sama-sama memeluk agama Islam. Ada istilah akidahnya, teologinya itu eksklusifisme misalnya, itu memang berbeda dengan yang akidahnya teologinya itu pluralisme. Kalau teologinya pluralis maka fiqihnya juga pluralis. Jadi teologi pluralis membutuhkan fiqih pluralis. Sedangkan teologi eksklusifis ya temannya fiqih eksklusifis juga. Jadi nggak pernah ketemu. Jadi nanti kalau nggak ketemu karena akidahnya beda.” (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Mengkritisi Debat Fiqih Lintas Agama, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, Maret 2004).

Ungkapan orang Paramadina ini sangat mengagetkan. Sama-sama memeluk Islam, tetapi akidahnya berbeda. Mereka terus terang berakidah pluralis (menyamakan / menyejajarkan semua agama, semuanya masuk surga, menuju keselamatan, hanya beda teknis, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan agama yang kita peluk). Dengan akidah pluralis itu maka mereka membuat panduan praktisnya dalam kehidupan, ujudnya adalah buku Fiqih Lintas Agama itu.

Secara mudahnya, Paramadina membuat “agama baru”, namanya bisa dikonklusikan sebagai “Agama Lintas Agama”, akidahnya pluralis, “kitab sucinya” Fiqih Lintas Agama, tokoh utamanya Nurcholish Madjid bersama 8 orang lainnya.

Untuk keperluan membantah “kitab suci agama baru” Paramadina inilah Ustadz Agus Hasan Bashori membuat buku ini dengan judul Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama.

“Agama baru” yang akidahnya pluralis itu apakah sesuai dengan pemahaman Islam. Coba kita rujuk kepada ungkapan ulama, di antaranya sebagai berikut.

Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu’ Al-Fatawa 35/ 364-365:

“Agama para nabi itu satu yaitu Islam, semua mereka Muslim Mukmin sebagaimana telah Allah jelaskan di lain tempat dalam Al-Qur’an, tetapi sebagian syari’at itu berjenis-jenis, kadang Dia syari’atkan satu perkara pada suatu waktu untuk suatu hikmah, kemudian Dia syari’atkan perkara yang lain di waktu lain untuk suatu hikmah (pula). Sebagaimana Dia syari’atkan pada awal Islam shalat (menghadap) ke Baitul Maqdis kemudian Dia hapus hal itu dan Dia perintahkan shalat (menghadap) ke Ka’bah. Maka syari’at itu bermacam-macam sedangkan agama itu satu. Dulu (shalat) menghadap ke Syam pada waktu itu adalah termasuk agama Islam dan demikian pula Hari Sabat bagi Nabi Musa adalah termasuk agama Islam. Kemudian ketika dihapus, agama Islam jadilah ia penghapusnya, yaitu shalat ke Ka’bah. Maka barangsiapa berpegang pada yang dihapus (mansukh), bukan pada yang menghapus (nasikh) maka dia bukan berada di atas agama Islam dan dia tidaklah sebagai pengikut salah satu nabipun. Dan barangsiapa mengganti syari’at para nabi dan menciptakan satu syari’at maka syari’atnya itu batil, tidak boleh diikuti. Sebagaimana Allah berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS As-Syuro/ 42: 21).

Karena itu kafirlah Yahudi dan Nasrani karena mereka berpegang pada syari’at yang telah diganti dan dinasakh/ dihapus –kadaluarsa—.

Allah telah mewajibkan atas seluruh makhluk untuk beriman kepada seluruh kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan beriman kepada Nabi Muhammad sebagai penutup para rasul. Maka wajib atas seluruh makhluk mengikuti Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- dan mengikuti syari’at agamanya yaitu apa-apa yang dia bawa berupa al-Kitab (al-Quran) dan As-Sunnah. Maka apa-apa yang dibawa oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah syari’at yang wajib diikuti oleh seluruh makhluk, dan tidak ada seorang pun keluar (terkecualikan) dari kewajiban mengikuti syari’at itu. Yaitu syari’at yang para mujahid berperang untuk mengangkatnya, dan itulah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pedang-pedang Muslimin membela syari’at ini yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana kata Jabir bin Abdullah, Rasulullah telah memerintahkan kami untuk memukul dengan ini yakni pedang pada orang yang keluar dari ini yakni mushaf Al-Qur’an.[1]

Persoalan mendasar yang ditempuh oleh Tim Penulis Paramadina dalam buku Fiqih Lintas Agama adalah:

1. Menyamakan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- dengan agama Yahudi dan Nasrani padahal di sana ada dua persoalan pokok. Pertama, Agama Yahudi dan Nasrani itu sudah dinasakh/ dikadaluarsakan oleh Islam yang dibawa Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam-, sehingga siapa saja yang masih ikut agama yang dinasakh itu maka tidak termasuk umat nabi siapa pun. Kedua, Agama Yahudi dan Nasrani itu sudah diubah oleh tangan-tangan manusia. Sedangkan ketika belum dinasakh pun kalau sudah diubah maka berarti bukan lagi murni dari sisi Allah, apalagi setelah dinasakh.

2. Menyamakan agama dari sisi Allah dengan agama-agama apapun. Ini sesuatu yang mengherankan benar. Karena dalam hal agama tidak ada penyamaan penyamaan agama. Agama yang benar dari sisi Allah pun tidak bisa disamakan antara agama yang kadaluarsa dengan yang masih berlaku. Sebagaimana tidak bisa disamakan pula antara agama yang masih murni dengan yang sudah diubah oleh tangan manusia. Apalagi menyamakan agama yang murni dari Allah dan masih murni diberlakukan, disamakan dengan agama yang bukan dari Allah SWT. Sedang yang murni dari Allah pun kalau sudah kadaluarsa, tak bisa disamakan dengan yang masih berlaku.

3. Menyamakan pengikut agama dari Allah yang sudah kadaluarsa dengan pengikut agamaNya yang masih berlaku, sebagai sama-sama dijanjikan masuk surga. Ini benar-benar talbisul haq bil baathil, mencampur adukkan yang haq dengan yang batil. Lantas apa gunanya diutus Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- kalau sama-sama masuk surga? Dan apa gunanya Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- kirim surat kepada Kaisar Romawi, Heraclius, yang nasrani itu agar masuk Islam, kalau sama-sama akan masuk surga?

4. Mengangkat orang selain Yahudi dan Nasrani sebagai Ahli Kitab dengan dicari-carikan dalih sekenanya, sampai memlintir-mlintir hadits Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- dan perkataan ulama di antaranya Imam Ibnu Taimiyyah, Imam At-Thabari dan lainnya.[2]

5. Menghalalkan pernikahan antara Muslim/ Muslimah dengan pemeluk agama apapun dan atau aliran kepercayaan apapun. Ini adalah puncak pembangkangan terhadap Islam sekaligus mengajak agar umat Islam membangkang terhadap agamanya. Kemauan mereka tidak mau diatur oleh Allah dan Rasul-Nya, maka mereka membuat aturan tersendiri. Ini pada dasarnya adalah membuat agama baru. Maka mereka secara beramai-ramai membuat “kitab suci agama barunya” dengan judul Fiqih Lintas Agama. Mereka berani menjanjikan surga dengan di antaranya memlintir ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 62. Di samping itu mereka menjanjikan harta kepada orang kafir yaitu dengan cara:

6. Menghalalkan waris memawaris antara Muslim dengan kafir. Ini janji dari “agama baru” yang hanya dengan cara membetot hadits Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- yang shahih yang isinya meniadakan waris mewaris antara Muslim dan kafir namun langsung mereka kadaluarsakan begitu saja.

7. Merendahkan ulama di antaranya Imam As-Syafi’I dengan tuduhan-tuduhan yang sangat tidak bermoral, dan sama sekali tidak ilmiyah.

8. Mengangkat perkataan orang kafir dan anti agama seperti Karl Marx dan orang semacamnya sebagai dalil yang seakan melebihi nash Al-Qur’an sehingga dijadikan alat untuk “menggebugi” Imam As-Syafi’i. Ini justru menunjukkan aib mereka sendiri. Kegalakan mereka terhadap ulama yang statusnya pewaris para nabi itu adalah kegagalan total dalam memelihara otak mereka sendiri selama ini, apalagi dalam memelihara agamanya. Orang yang garang terhadap ulama, bila statusnya adalah penguasa maka julukannya zhalim. Bila ia statusnya sarjana Islam, maka perlu mengaca diri lagi.

Orang model ini perlu diingatkan, betapa mulianya status ulama itu.

Keutaman ulama itu dijelaskan oleh Nabi-Shalallahu alaihi wasalam-:

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ. ( أبو داود والترمذي وابن ماجة).

Keutamaan seorang alim (berilmu agama) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR Abu daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Sampai-sampai Allah pun menjanjikan untuk mengangkat derajat orang iman yang berilmu dengan firman-Nya:

يرفع الله الذين ءامنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات. (المجادلة: 11).

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” ( Al-Mujadilah: 11).

Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Ada kisah dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dimuat dalam Kitab Riyadhus Sholihin, bab taubat, ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang rahib/ pendeta ahli ibadah sebagai korban yang ke-100 karena jawaban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya setelah membunuh si ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang alim, dan di sana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, yaitu agar pergi ke tempat yang di sana penghuninya menyembah Allah, maka ia agar ikut menyembahNya sebagaimana yang mereka lakukan, dan jangan sampai kembali ke desa semula karena di sana tempat orang jahat. Di tengah jalan, ia mati, maka Malaikat Rahmat bertengkar dengan Malaikat Adzab. Lalu datang malaikat berujud manusia, menjadi hakam (juru damai), menyuruh agar diukur mana yang lebih dekat, kampung baik atau kampung jelek. Ternyata mayat ini lebih dekat sejengkal ke kampung baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dia dibawalah oleh malaikat Rahmat. Demikianlah. Dengan adanya orang alim yang memberi petunjuk tentang kebenaran, maka diapun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya, hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat.

Betapa jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.[3]

Kenapa mereka membabat ulama, padahal ulama itulah yang memberi penerang kepada umat Islam? Pertanyaan ini cukup dijawab dengan ilustrasi. Syetan memang suka yang gelap-gelap. Bahkan pemuda-pemudi yang bermaksiat pun memerlukan tempat-tempat yang gelap. Sampai maling-maling yang beroperasi di malam hari, mereka punya selera tersendiri bila dalam keadaan gelap. Demikian pula para penyesat, maka berupaya agar terbentuk kondisi dan situasi gelap. Selama peran ulama dengan ilmunya itu masih menerangi umat, maka kegelapan pun sirna. Oleh karena itu ilmu ulama itu perlu dicampakkan dengan cara memburukkan citra ulama, hingga umat tidak lagi terterangi oleh ilmu ulama. Di saat itulah gerilya untuk menyesatkan umat bisa dilangsungkan dengan leluasa.

Namun rupanya segala gerilya untuk menggelapkan suasana yang telah mereka upayakan dengan susah payah itu justru akan menimpa mereka sendiri. Kata pepatah, siapa menggali lubang maka akan terperosok ke dalamnya. Dan ternyata Ustadz Agus Hasan Bashori ini membawa kain kafan yang sudah dirancang dengan tali-talinya untuk mengikat dan menggelundungkan mereka ke lubang yang mereka gali sendiri. Kain kafan yang dilibatkan ke diri-diri mereka itu diberi merk Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama. Padahal perjalanan mereka setelah menerbitkan buku Fiqih Lintas Agama atas kerjasama dengan The Asia Foundation, lembaga yang berpusat di Amerika dan duitnya dari Amerika, itu mereka telah babak belur akibat disaduk (dihantam ulu hatinya) secara bertubi-tubi, di antaranya:

a. Tantangan debat dari MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang dilaksanakan di UIN (Universitas Islam Negeri –dahulu IAIN) Jakarta, 15 Januari 2004. Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi mewakili tim penulis FLA dari Paramadina gelagapan tak keruan menghadapi hujatan dan pertanyaan M Thalib dan Alawi Makmun dari MMI dan 3 peserta yang hadir dalam debat.

b. Terbitnya buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, Maret 2004, berupa transkrip debat tersebut serta komentar yang membantah argumen-argumen rancu dan kacau pelaku debat dari Paramadina.

c. Terbitnya buku Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL & FLA, Juni 2004, berisi bantahan terhadap kenyelenehan JIL dan kesesatan buku Fiqih Lintas Agama.

d. Terbitnya buku Tim Editor Mujahidin berjudul Kekafiran Berpikir Sekte Paramadina, April 2004.

e. Acara-acara bedah buku di berbagai kota yang mengemukakan kesesatan dan bahaya buku Fiqih Lintas Agama.

f. Liputan media massa Islam yang memberi gambaran kepada umat Islam tentang betapa tidak ilmiyahnya buku Fiqih Lintas Agama produk Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation itu serta betapa bahayanya bagi kemurnian Islam.

Dari berbagai tonjokan terhadap buku Fiqih Lintas Agama itu kini ditambah lagi dengan sayatan-sayatan yang dilangsungkan Ustadz Agus. Pisau bedahnya ditujukan kepada produk tim penulis Paramadina. Tinggal satu lagi untuk menuntaskannya, dan itu tenaga-tenaganya sudah ada, tinggal tunggu kesempatan. Yaitu tenaga-tenaga yang siap untuk membedah langsung guru-guru mereka yang liberal itu yakni para orientalis. Karena pada dasarnya liberal yang berlabel Muslim di sini hanyalah kepanjangan tangan dari para orientalis di Barat. Sehingga ketika nanti dibongkar kelicikan, kecurangan dan kepalsuan serta kebohongan para orientalis itu akan lebih cepat membungkam para pembebeknya yang berada di dalam negeri ini.

Di samping itu buku-buku yang langsung membantah orientalis dan ditulis oleh para pakar di luar negeri bisa pula diterjemahkan dan diterbitkan. Adnin Armas seorang pelajar Indonesia di Malaysia yang gigih menelusuri sumber-sumber, mengemukakan: Ada beberapa tanggapan serius (terhadap para orientalis yang menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu problematic) yang sudah dilakukan oleh para ulama.

Diantaranya Karya Ahmad Ali Imam, Variant Readings of the Quran; A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins (Virginia: International Institute of Islamic thought and Civilization, 1998).

Karya ini berasal dari disertasi doktoralnya di Universitas Edinburg, 1984. Saat ini AAI adalah Rektor universitas al-Quran di Sudan.

Begitu juga Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Quranic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Isalmic Academy, 2003). Buku ini sudah diterjemahkan oleh teman-teman di Kuala Lumpur dan sekarang sedang dicetak oleh GIP.

Masalah yang dikemukakan oleh para orientalis dan juga masalah yang

lain berkaitan dengan al-Qur’an banyak dibahas dalam dua buku tersebut.


[1] Ibnu Taimiyyah Majmu’ Al-Fatawa 35/ 364-365,

مجموع الفتاوى ج: 35 ص: 364

فدين الأنبياء واحد وهو دين الإسلام كلهم مسلمون مؤمنون كما قد بين الله فى غير موضع من القرآن لكن بعض الشرائع تتنوع فقد يشرع فى وقت أمرا لحكمه ثم يشرع فى وقت آخر أمرا آخر لحكمه كما شرع فى أول الإسلام

مجموع الفتاوى ج: 35 ص: 365

الصلاة إلى بيت المقدس ثم نسخ ذلك وأمر بالصلاة إلى الكعبة فتنوعت الشريعة والدين واحد وكان إستقبال الشام ذلك الوقت من دين الإسلام وكذلك السبت لموسى من دين الإسلام ثم لما نسخ صار دين الإسلام هو الناسخ وهو الصلاة إلى الكعبة فمن تمسك بالمنسوخ دون الناسخ فليس هو على دين الإسلام ولا هو متبع لأحد من الأنبياء ومن بدل شرع الأنبياء وإبتدع شرعا فشرعه باطل لايجوز إتباعه كما قال أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله ولهذا كفر اليهود والنصارى لأنهم تمسكوا بشرع مبدل منسوخ

والله أوجب على جميع الخلق أن يؤمنوا بجميع كتبه ورسله ومحمد خاتم الرسل فعلى جميع الخلق إتباعه وإتباع ما شرعه من الدين وهو ما أتى به من الكتاب والسنة فما جاء به الكتاب والسنة وهو الشرع الذى يجب على جميع الخلق إتباعه وليس لأحد الخروج عنه وهو الشرع الذى يقاتل عليه المجاهدون وهو الكتاب والسنة وسيوف المسلمين تنصر هذا الشرع وهو الكتاب والسنة كما قال جابر إبن عبد الله أمرنا رسول الله أن نضرب بهذا يعنى السيف من خرج عن هذا يعنى المصحف

[2] Lebih jelasnya, silahkan membaca buku Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL & FLA, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Juni 2004.

[3] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan kedelapan, Juni 2004, halaman 8-10.

http://timdesain.blogdetik.com/2009/06/02/koreksi-total-buku-fiqih-lintas-agama/

No comments:

Post a Comment