Sunday, May 15, 2011

Buya, fatwa dan kerukunan beragama


SURAT itu pendek. Ditulis oleh Hamka dan ditujukan pada Menteri Agama RI Letjen. H. Alamsyah Ratuperwiranegara. Tertanggal 21 Mei 1981, isinya pemberitahuan bahwa sesuai dengan ucapan yang disampaikannya pada pertemuan Menteri Agama dengan pimpinan MUI pada 23 April, Hamka telah meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum Majeiis Ulama Indonesia (MUI). Menteri Agama membacakan isi surat itu Sabtu lalu di Bina Graha seusai menemui Presiden. Sebelumnya, yang pagi itu tidak mengenakan kopiah, membacakan naskah dua lembar tulisan tangannya pada para wartawan. Isinya tanggapan Pemerintah mengenai persyaratan mundur Hamka tersebut. Pemerintah berpendapat pengunduran diri Buya Hamka adalah hak seorang dalam negara demokrasi yang memang diakui dan dihargai.

"Maksud Buya mundur dari jabatan Ketua Umum MUI bukan untuk merusak MUI, apalagi merusak kesatuan dan persatuan. Sebab dalam pernyataan beliau, masih tetap bersedia membantu pemerintah," kata Alamsyah. Presiden percaya, lanjut Alamsyah, sebagai ulama besar Hamka akan tetap menyampaikan saran atau pertimbangan apabila perlu pada Presiden atau pemerintah.

Buat banyak orang pengunduran diri Hamka sebagai Ketua Umum MUI mengagetkan. Timbul bermacam dugaan tentang alasan dan latar belakangnya. Agaknya sadar akan kemungkinan percik gelombang yang ditimbulkannya, pemerintah dalam pernyataannya mengharapkan agar mundurnya Hamka "jangan sampai dipergunakan golongan tertentu untuk merusak kesatuan dan persatuan bangsa, apalagi merusak umat lslam sendiri."

Mengapa Hamka mengundurkan diri? Hamka sendiri pekan lalu mengungkapkan pada pers, pengunduran dirinya disebabkan oleh fatwa MUI 7 Maret 1981. Fatwa yang dibuat Komisi Fatwa MUI tersebut pokok isinya mengharapkan umat Islam mengikuti upacara Natal, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa. Menurut K.H.M. Syukri Ghozali, Ketua Komisi Fatwa MUI, fatwa tersebut sebetulnya dibuat untuk menentukan langkah bagi Departemen Agama dalam hal umat Islam. "Jadi seharusnya memang tidak perlu bocor keluar," katanya. Fatwa ini kemudian dikirim pada 27 Maret pada pengurus MU di daerah-daerah. (TEMPO, 16 Mei 1981). Bagaimanapun, harian Pelita 5 Mei lalu memuat fatwa tersebut, yang mengutipnya dari Buletin Majelis Ulama no. 3/April 1981. Buletin yang dicetak 300 eksemplar ternyata juga beredar pada mereka yang bukan pengurus MUI.

Yang menarik, sehari setelah tersiarnya fatwa itu, dimuat pula surat pencabutan kembali beredarnya fatwa tersebut. Surat keputusan bertanggal 30 April 1981 itu ditandatangani oleh Prof. Dr. Hamka dan H. Burhani Tjokrohandoko selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Menurut SK yang sama, pada dasarnya menghadiri perayaan antar agama adalah wajar, terkecuali yang bersifat peribadatan, antara lain Misa, Kebaktian dan sejenisnya. Bagi seorang Islam tidak ada halangan untuk semata-mata hadir dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain dalam upacara yang bersifat seremonial, bukan ritual.

Tapi bila itu soalnya, kenapa heboh? Rupanya "bocor"nya Fatwa MUI 7 Maret itu konon sempat menyudutkan Menteri Agama Alamsyah. Hingga, menurut sebuah sumber, dalam pertemuannya dengan pimpinan MUI di Departemen Agama 23 April, Alamsyah sempat menyatakan bersedia berhenti sebagai Menteri. Kejengkelan Menteri Agama agaknya beralasan juga. Sebab rupanya di samping atas desakan masyarakat, fatwa itu juga dibuat atas permintaan Departemen Agama. "Menteri Agama secara resmi memang meminta fatwa itu yang selanjutnya akan dibicarakan dulu dengan pihak agama lain. Kemudian sebelum disebarluaskan Menteri akan membuat dulu petunjuk pelaksanaannya," kata E.Z. Muttaqien, salah satu Ketua MUI.

Ternyata fatwa itu keburu bocor dan heboh pun mulai. Melihat keadaan Menteri itu, Hamka kemudian minta izin berbicara dan berkata, menurut seorang yang hadir, "Tidak tepat kalau saudara Menteri yang harus berhenti. Itu berarti gunung yang harus runtuh." Kemudian inilah yang terjadi: Hamka yang mengundurkan diri. "Tidak logis apabila Menteri Agama yang berhenti. Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut .... Jadi sayalah yang mesti berhenti," kata Hamka pada Pelita pekan lalu. Tapi dalam penjelasannya yang dimuat majalah Panji Masyarakat 20 Mei 1981, Hamka juga mengakui adanya "kesalahpahaman" antara pimpinan MUI dan Menteri Agama karena tersiarnya fatwa itu.

Kepada TEMPO Hamka mengaku sangat gundah sejak peredaran fatwa itu dicabut. "Gemetar tangan saya waktu harus mencabutnya. Orang-orang tentu akan memandang saya ini syaithan. Para ulama di luar negeri tentu semua heran. Alangkah bobroknya saya ini, bukan?" kata Hamka. Alasan itu agaknya yang mendorong lmam Masjid Al Azhar ini menulis penjelasan, secara pribadi, awal Mei lalu. Di situ Buya menerangkan: surat pencabutan MUI 30 April itu "tidaklah mempengaruhi sedikit juga tentang kesahan (nilai/kekuatan hukum) isi fatwa tersebut, secara utuh dan menyeluruh."

HAMKA juga menjelaskan, fatwa itu diolah dan ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI bersama ahli-ahli agama dari ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga Islam tingkat nasional -- termasuk Muhammadiyah, NU, SI, Majelis Dakwah Islam Golkar. Fatwa dikeluarkan sebagai tanggungjawab para ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian Aqidah Islamiyah, tanpa mengabaikan kerukunan hidup beragama. Di sinilah tampaknya letak perbedaan pandangan mulai muncul. Menteri Alamsyah pada pertemuannya dengan Komisi IX DPR 20 Mei lalu tentang fatwa MUI ini menegaskan, "Fatwa tersebut berisikan beberapa ayat Al Quran dan Hadis yang hanya dilihat dari segi aqidah saja, tidak melihat soal-soal lainnya. " Alamsyah mengingatkan, bahwa bangsa Indonesia terdiri dari pemeluk banyak agama. "Karenanya menghadiri perayaan agama lain dalam rangka menghormati undangan pemeluk agama lain adalah layak, dan wajar, dan akan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta kerukunan hidup antar umat beragama," ujar Menteri di DPR pekan lalu itu. Namun, ditambahkannya, dalam perayaan yang bersifat ibadat, tidak perlu pemeluk agama lain hadir. Tapi Alamsyah mengakui, "Batasan mana yang ibadat dan mana yang cuma perayaan hingga bisa dihadiri umat agama lain memang belum ada," katanya pada TEMPO pekan lalu.

Departemen Agama, menurut dia, kini sedang mengumpulkan bahan dari ahli masing-masing agama tentang pembatasan tersebut. Setelah bahan itu terkumpul, barulah Departemen Agama akan mengeluarkan semacam pedoman. "Sasarannya toh tidak banyak, cuma pegawai negeri, karyawan dan anak sekolah," lanjutnya. Batasan ini memang penting, sebab yang diatur sebenarya adalah toleransi dan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Dalam situasi di mana masalah agama bisa menjadi sangat peka, dan bisa eksplosif, bisa dimengerti bila semua pihak -- termasuk pemerintah -- sangat berhati-hati menanganinya.

PERSOALANNYA rupanya bermula dari perayaan Natal bersama di beberapa daerah. Yang menjadi sumber keresahan kabarnya perayaan Natal di beberapa sekolah, yang mengharuskan siswa yang beragama Islam hadir, bahkan juga dipungut iuran. "Inilah yang sekarang sedang diurus. Artinya supaya cara-cara seperti itu tidak terulang kembali," kata Alamsyah. Sebab, menurut dia, yang dimaksud kerukunan bukanlah campur aduk yang serupa itu. Pedoman semacam itu sebetulnya sudah lama ada. Misalnya "fatwa" Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada sekolah umum negeri, Departemen Agama tanggal 11 Februari 1981 yang menegaskan siswa yang beragama Islam wajib menghadiri perayaan hari besar Islam atau upacara keagamaan. Siswa yang beragama Islam juga tidak diperkenankan ikut serta melakukan upacara keagamaan lain.

TNI-AD rupanya juga sudah mendahului. November 1980, Kepala Dinas Pembinaan Mental TNI-AD telah mengeluarkan instruksi tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Besar Keagamaan. Pertimbangan dikeluarkannya instruksi tersebut antara lain guna menghilangkan hambatan "masalah yang kelihatannya kecil tetapi mendasar dari segi keimanan masingmasing penganut agama." Menurut instruksi itu, penyelenggara an peringatan hari besar keagamaan suatu agama yang dihadiri juga oleh penganut agama lain, hendaknya diusahakan sedemikian rupa, hingga tidak menimbulkan masalah yang merepotkan kerukunan hidup antar umat beragama. Caranya menurut instruksi di kalangan Angkatan Darat itu pihak penyelenggara tidak mempersilakan penganut agama lain, meskipun sebagai kehormatan, melaksanakan kegiatan yang termasuk ibadat.

Pihak penyelenggara juga diwajibkan memberitahu saat akan diselenggarakan kegiatan ibadat tersebut, agar yang penganut agama lain diundang mengetahuinya. Instruksi ersebut dilampiri daftar kegiatan yang termasuk dan tidak termasuk ibadat Pada peringatan hari besar keagamaan Islam seperti Maulid Nabi atau Isra Mi'raj, yang dianggap termasuk ibadat adalah salam, pembacaan kitab suci Al Quran, salawat nabi dan doa. Sedang yang tidak termasuk ibadat antara lain pembukaan, ceramah, sambutan hiburan, penutup, serta "sikap berdiri pasif": tidak mengikuti acara ibadat .

Buat agama Kristen Protestan, yang termasuk ibadat adalah: tahbisan dan salam, penyalaan lilin, pujian atau nyanyian dan paduan suara, doa, pembacaan Al Kitab, khotbah dan renungan serta berkat. Sedang yang tidak termasuk ibadat, antara lain sambutan, hiburan, ramah tamah dan juga, "sikap berdiri pasif". Buat agama Katolik instruksi tersebut menjelaskan, semua acara yang bersifat ibadat dilaksanakan dalam acara khusus.

Pegangan di kalangan Angkatan Darat itu agaknya cukup praktis, jelas -- dan tak akan menimbulkan kerepotan. Tapi toh tampaknya belum ada pemahaman yang cukup tentang pembedaan ini. Di samping itu, rupanya masih adanya perbedaan pendapat. Misalnya yang tercermin dalam pendapat KH Misbach, Ketua MUI Jawa Timur tentang perayaan Natal. "Biarpun di situ kita tidak ikut bernyanyi dan berdoa, tapi kehadiran kita itu berarti kita sudah ikut bernatal," katanya. M nurut pendapatnya, "Seluruh acara dalam perayaan Natal merupakan upacara ritual. Di sini hadis, "Innamal a'malu binniat (Segala perbuatan itu dinilai dari motifnya) tampaknya tidak bisa diterapkan," ujarnya.

Kalangan Kristen sendiri mengakui, "Bagi golongan Protestan, antara ritual dengan yang seremonial tak bisa dipisahkan: keduanya merupakan satu keutuhan," ujar Dr. SAE Nababan, Sekjen Dewan Gereja Indonesia (DGI). Menurut dia, Natal merupakan perayaan yang mempunyai makna yang sesuai dengan apa yang dipercayai. "Tak ada pembedaan antara ritus dengan seremoni. Bahkan istilah itu tak dipakai. Yang dipakai adalah perayaan dan ibadat. Dalam perayaan ada ibadat ," kata Nababan.

Tapi dari kalangan Katolik nampaknya ada perbedaan. Dr. J. Riberu, Kepala Bagian Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), misalnya mengatakan: "Bagi kami orang Katolik, baru disebut ibadat atau kultus, jika diadakan dalam rangka ekaristi suci, jika ada Imam yang mempersembahkan kurban misa. Dan ini diwujudkan dengan seremoni tertentu," kata Riberu. Di luar itu, biarpun pakai lilin - yang hanya untuk menyemarakkan saja -- adalah "nonkultus". Ini biasanya diadakan sesudah yang benar-benar ibadat dijalankan dan sekedar merupakan perayaan keluarga atau kewargaan. Melihat berbagai pandangan tadi, yang cukup berbeda, pedoman tentang mana yang batasan ibadat dan yang tidak memang tampaknya perlu.

Tak ada yang ingin melihat retaknya kerukunan antar umat beragama hanya karena persoalan ini. Dan untuk kerukunan itu, betapa pun terbatasnya peran MUI, ia tetap diperlukan sebagai jembatan (lihat: MUI, Kisah Sebuah Jembatan). Lalu, apa yang terjadi setelah pengunduran diri Hamka "MUI akan jalan terus," tegas EZ Muttaqien. Sampai terpilihnya ketua umum baru, pimpinan MUI akan dipegang secara bergiliran antara ke enam ketua MUI. Giliran pertama dipegang oleh KH Hasan Basri. Rapal pengurus paripurna untuk memilih ketua umum itu diharapkan berlangsung sebelum bulan Ramadhan. Ketua MUI yang lain, H. Soedirman, mengharapkan agar dengan berhentinya Buya Hamka, MUI bisa mawas diri dan melahirkan semangat baru. "Sebab selama ini MUI hanya lebih dikenal Buya Hamkanya," katanya. "Saya pribadi menghendaki agar MUI bisa berbuat lebih banyak."

No comments:

Post a Comment