Posted by nahdliyinbelanda on October 2, 2007
Oleh: Muhammad Latif Fauzi
Judul Buku: Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis
Penulis : Nurcholish Madjid, dkk.
Editor : Mun’im A. Sirry.
Penerbit : Paramadina, Jakarta
Tahun : 2004
Tebal : 274 + x hlm disertai dengan indeks dan biodata penulis
Sejak awal, hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk saling mengerti dan memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan eksperimentasi demokrasi, umumnya kelompok-kelompok nonmuslim seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan yang sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai “warga kelas dua”, meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran mereka sepenuh hati. Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang seolah-olah taken for granted, yaitu bahwa orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.
Keyakinan semacam ini merembes pada penafsiran hukum atas ayat-ayat al-Quran yang membicarakan status orang-orang nonmuslim. Para fuqaha’ hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa point hukum fiqih yang tidak dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti kasus nikah antaragama dan harta warisan bagi keluarga yang tak seagama. Dalam hal ini, nonmuslim tidak diperbolehkan berhubungan dengan umat muslim karena perbedaan agama tadi. Sementara itu, ada pula masa>’il fiqhiyyah di mana baik umat muslim maupun non-muslim diperlakukan sejajar dan mendapat perlakuan hukum yang sama, seperti persoalan zakat dan kewajiban menaati penguasa (uli> al-amr).
Para fuqaha’ tidak menyamakan status hukum semua orang nonmuslim. Mereka menetapkan kategori-kategori tertentu yang memilah antara kaum nonmuslim yang ahl al-kita>b maupun nonmuslim yang sepenuhnya musyrik. Sayangnya, kategorisasi itu-untuk konteks sekarang-belum cukup memadai untuk mewadahi pluralitas dan menjamin hubungan yang efektif dan egaliter antara kaum muslim dan nonmuslim sendiri. Ada dua alasan mendasar yang melatari. Pertama, kategori apakah seorang nonmuslim musyrik atau bukan yang dibuat para fuqaha’ masih didominasi oleh asumsi teologi skolastik yang melihat keimanan atau akidah orang-orang nonmuslim, tak terkecuali kelompok ahl al-kita>b, sebagai bentuk penyimpangan (deviasi) dari kebenaran Islam, dan karena itu perlu “diluruskan”. Kedua, kategorisasi semacam ini telah mengabaikan munculnya komunitas-komunitas keberagamaan yang lebih kompleks dan beragam daripada sekadar pembedaan antara ahl al-kita>b (Yahudi-Nasrani) dan musyrik yang dibuat para fuqaha’ abad pertengahan.
Selain itu, menurut al-Jabiri, fiqih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutupi masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi, melainkan juga tidak mengakomodasi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan madzhab tertentu.
Faktor terpenting yang menyebabkan kebekuan pemahaman tersebut adalah kecenderungan untuk mengagungkan suatu masa tertentu sebagai masa yang paling Islami. Padahal, fiqih dan ushul fiqih semestinya terus berkembang dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan modern. Fleksibilitas struktur fundamental hukum Islam ini tidak diimbangi dengan produktifitas pemahaman substantif melalui metode ijtihad. Akibatnya, tradisi ilmu-ilmu keislaman, khususnya hukum Islam, pasca abad 10 M cenderung legal-formalistic dan stagnant. Situasi ini menjadi semakin parah ketika teks-teks interpretatif hukum Islam dijadikan teks otoritatif.
Karena itu, sudah menjadi keniscayaan jika fiqih mesti melakukan tafsiran ulang atas sumber-sumber normatif yang melahirkan ambivalensi di kalangan umat muslim dalam menyikapi orang-orang nonmuslim, sekaligus mengangkat pesan universal Islam yang pada dasarnya senada dengan kebenaran yang diyakini oleh agama-agama lain di luar Islam. Upaya ini sangat bergantung pada kepedulian fuqaha’ untuk mencari solusi alternatif agar fiqih juga bisa berbicara banyak dan berperan dalam menciptakan hubungan antaragama yang harmonis dan toleran.
Berdasarkan latar belakang itu, maka beberapa pertanyaan yang muncul adalah, pertama, bagaimana fiqih hubungan antar agama direkonstruksi? Kedua, bagaimana fiqih menyikapi hak minoritas? Ketiga, bagaimana fiqih menyikapi kekerasan yang mengatasnamakan agama? Keempat, bagaimana fiqih menyikapi konsep kewarganegaraan?
Jawaban dan pembahasan atas fiqih yang dituntut mampu menghadapi problem kemanusiaan kontemporer, khususnya masalah hubungan antar agama, dapat ditemukan dalam buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis yang diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation. Buku ini merupakan hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang dimaksudkan untuk memikirkan ulang keberadaan fiqih di tengah perkembangan zaman yang senantiasa meminta etika dan paradigma baru.
Secara sistematis, buku tersebut terdiri dari empat bagian kajian. Bagian pertama diawali dengan pembahasan tentang kerangka pijak teologis yang dibutuhkan untuk membangun fiqih lintas agama. Di situ dijelaskan bahwa fiqih memerlukan pijakan keimanan yang menggambarkan keutuhan dimensi-dimensi keberagamaan. Fiqih yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keimanan yang pluralis pula. Untuk mengembangkan pijakan teologi pluralis dibutuhkan suatu pemahaman dan kesadaran akan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan.
Karena itu muncul sebuah tesis yang, menurut penulis buku tersebut, perlu dipegang teguh dalam konteks hubungan antaragama.
“Fiqih hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqih pluralis. Fiqih eksklusivis tidak sesuai dengan teologi pluralis. Fiqih eksklusivis sesuai hanya dengan teologi eksklusivis. Itulah sebabnya mengapa fiqih lama yang ekslusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota-anggotanya semakin meningkat. Fiqih yang sesuai dengan situasi ini adalah fiqih pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu.
Bagian kedua berbicara tentang bentuk formulasi hukum Islam yang peka terhadap keragaman ritual, misalnya mengucapkan salam kepada non-muslim, doa bersama. Selanjutnya, pada bagian ketiga dibahas tentang fiqih yang dapat menerima agama lain untuk membangun hubungan sinergis, waris beda agama misalnya. Seadangkan pada bagian terakhir dijelaskan tentang variabel pendukung gagasan tersebut, yaitu upaya intensif berupa dialog antaragama yang meliputi dialog kehidupan, kerja sosial, teologis, maupun spiritual.
Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa problem kemanusiaan kontemporer meniscayakan sebuah pembaruan fiqih. Untuk melakukan pembaruan itu dapat dilakukan pada beberapa level, yaitu: Pertama, pembaruan pada level metodologis. Pembaruan model ini memiliki kesamaan dengan pembaruan yang dilakukan oleh ulama’ fiqih lain melalui interpretasi terhadap teks-teks fiqih secara kontekstual, bermadzhab secara metodologis, dan verifikasi antara ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu’). Pembaruan pada level ini tidak mesti membabat habis akar-akar fiqih klasik, melainkan melakukan kontekstualisasi dan verifikasi.
Untuk melakukan pola ini diperlukan dua langkah elemental; pertama, melakukan dekonstruksi (al-qati’ah al-ma’rafiyyah) dengan melakukan pembacaan kritis untuk mengungkap “kepentingan dan ideologi” di balik konsepsi fiqih yang ada dalam teks. Kedua, melakukan rekonstruksi (al-tawa>s}ul al-ma’rafy) sebagai upaya kontekstualisasi konsep fiqih tersebut dengan problem kemanusiaan kontemporer. Dalam konsep hubungan antaragama misalnya, fiqih harus mempertimbangkan faktor keragaman masyarakat dan harus memberikan perhatian yang lebih terhadap non-Muslim.
Kedua, pembaruan pada level etis. Khazanah fiqih yang berkembang dalam masyarakat seakan-akan menyediakan sesuatu yang baku, akibatnya produk fiqih adalah produk yang formalistik dan legalistik. Di sini, perlu pembaruan fiqih yang lebih bernuansa sosial etis. Fiqih tidak sekadar membahas hukum halal-haram, melainkan membahas tujuan hukum (maqa>s}id al-syari>’ah). Ketiga, pembaruan pada level filosofis. Pada level ini, fiqih terbuka terhadap filsafat dan teori-teori sosial kontemporer. Ini penting agar fiqih dapat memotret realitas sosial secara komprehensif. Contoh yang tepat dalam hal ini adalah fiqih terhadap konsep kewarganegaraan dan demokrasi.
Gagasan untuk membangun masyarakat yang damai, harmonis, pluralis-inklusif melalui teologi teoretis (ilmu kalam) dan teologi praktis (fiqih), yang ditawarkan oleh para penulis dalam buku tersebut, memang bagus. Tetapi sebagai sebuah ilmu yang memiliki ciri berkembang secara dinamis tentu saja tidak semuanya benar. Sejauh amatan reviewer terhadap pembahasan dalam buku tersebut, terdapat beberapa “keberatan” yang dapat reviewer ajukan.
Pertama, kerangka pijak dari fiqih lintas agama adalah teologi pluralis sesungguhnya tidak terlalu tepat. Teologi pluralis yang menghendaki pemahaman bahwa semua agama sama adalah lebih karena ajaran semua agama adalah kepasrahan pada Tuhan. Misalnya, jika Islam dalam konteks pluralitas, maka pemahamannya menjadi agama kemanusiaan dan agama fitrah. Kepatuhan terhadap Tuhan yang bersifat vertikal itu harus diturunkan menjadi kesalihan sosial melalui perilaku dalam kehidupan. Dari situ, jelas dan ada alasan untuk merumuskan teologi pluralis karena memang terdapat titik temu di antara beberapa agama, yaitu ajaran untuk patuh kepada Tuhan Maha Kuasa.
Hal ini, menurut reviewer, berbeda hal dengan konsep Fiqih Lintas Agama. Pada titik mana, ajaran (hukum) semua agama dapat bertemu. Oleh karena itu, pada posisi ini, terdapat problem terminologi atas istilah Fiqih Lintas Agama yang digunakan.
Kedua, tidak ada penjelasan tentang metodologi secara detail sebagai kerangka operasional yang dapat digunakan dalam melakukan proses penemuan dan pembentukan hukum Islam yang responsif terhadap problem kemanusiaan kontemporer khususnya terhadap pluralitas agama. Dari berbagai contoh kasus yang ditunjukkan, ternyata masing-masing memiliki kelemahan dan metode penyelesaian yang berbeda.
Dalam penjelasan tentang kawin beda agama, terdapat tiga alasan yang diajukan. Pertama, dijelaskan tentang konsep kafir, musyrik, dan ahl al-kitab dalam al-Qur’an dengan mengkaji QS. Al-Baqarah (2): 105 dan QS. Al-Bayyinah (98): 1. Dari pembahasan tersebut disimpulkan bahwa setiap perbuatan syirik tidak menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik karena pada kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik, namun Allah memanggil mereka dengan ahl al-kitab. Kedua, ketika ayat tentang larangan menikahi musyrik turun, terjadi ketegangan antara orang Muslim dengan orang Musyrik Arab. Ketiga, terdapat tiga kelompok lain dalam masyarakat Arab, yaitu musyrik, Kristen, dan Yahudi. Yang disebut musyrik adalah mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi penting dalam masyarakat dan ini yang membedakan dengan Kristen dan Yahudi.
Sedangkan dalam pembahasan tentang kebolehan waris beda agama, argumen yang digunakan adalah: Pertama, ayat (QS. Al-Nisa’ (4): 141) yang digunakan ulama’ fiqih merupakan ayat yang tidak langsung menunjuk pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadis yang bersifat umum. Kedua, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu> al-arh}a>m), keturunan (nasab), dan menantu, apapun agamanya. Ketiga, hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain.
Berdasar dua contoh kasus di atas, reviewer mengajukan keberatan. Pada contoh pertama, ketika menjelaskan ayat sangat detail dan data yang ditunjukkan sangat representatif, tetapi pada contoh kedua, yang muncul seakan hanya “klaim” tanpa adanya alasan yang memadai. Selain itu, alasan bahwa ketika ayat turun terdapat hubungan tegang antara umat Muslim dan non Muslim, tidak terlalu tepat. Kapan hubungan tegang antaragama dapat berakhir? Perbedaan bahkan benturan konsepsi terjadi pada hampir semua aspek dalam agama. Karena itu, konflik antaragama selalu saja terjadi dari dulu sampai sekarang walaupun kehidupan damai dan harmonis lebih banyak dijalani oleh umat beragama.
Dari situ, kelihatan bahwa gagasan yang diajukan belum seluruhnya matang. Walaupun argumen-argumen yang diajukan sangat logis dan rasional, jika tidak ada formulasi metodologi yang jelas dan dapat diuji, maka cenderung bersifat subyektif. Bisa saja ketika melakukan ijithad terhadap suatu persoalan, alasan-alasan yang ditunjukkan hanya yang sesuai dengan kepentingan mujtahid.
Kendati demikian, fiqih lintas agama memperlihatkan betapa fiqih dapat dijadikan instrumen untuk membuka kerangka kerjasama antaragama yang genuine. Selain itu, fiqih lintas agama juga memiliki ancangan kuat agar fiqih yang ada saat ini tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat individual-privat atau ‘iba>dah mah}d}ah saja, melainkan juga menyentuh ranah publik, termasuk di dalamnya menyangkut hubungan antara satu agama dengan agama lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, wacana ini akan membantu mengatasi merebaknya fobia sebagian kalangan Islam terhadap segala hal yang berbau Barat (yang diidentikkan dengan Kristen) belakangan ini.
Sudah barang pasti, upaya serius tersebut membutuhkan dialog antaragama yang dilakukan secara komprehensif pada level praktis yang terkait dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan demikian, untuk menyentak kesadaran umat muslim akan realitas pluralisme, tidak perlu dengan cara yang muluk-muluk. Persoalan-persoalan yang kelihatannya “sepele” perlu diangkat jika mempunyai implikasi besar bagi hubungan antaragama, misalnya hukum mengucapkan selamat kepada nonmuslim pada saat Natal. Dengan kata lain, narasi besar pluralisme agama dan agenda perdamaian antar umat beragama mesti diterjemahkan secara konkret ke dalam kehidupan yang membumi. Fiqih lintas agama akan menyumbang peranan penting jika ia bisa menunjukkan kepada khalayak bahwa hukum Islam dapat menjadi perekat sosial dan bukan pemicu disintegrasi.
Referensi
Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Jakarta: GIP, 2004.
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, New Delhi: Adam Publisher &Distributor, 1994.
Akh Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam al-Ja>mi’a>h Volume 63 tahun 1999.
Budi Setiawan, ”Warga Negara dalam Intervensi Agama” dalam M. AS. Hikam, Fiqih Kewarganegaraan (Intervensi Agama-Agama terhadap Masyarakat Sipil), Jakarta: PB PMII, 2000.
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Takwin al-‘Aql al-‘Araby, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994.
M. Abou el-Fadl, Khaled, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Dialog Agama-Agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”, dalam Passing Over, Ed. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Jakarta: Paramadina, 1998.
Madjid, Nurcholish, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.
Nyazee, Imran Ahsan Khan, Theories of Islamic Law, Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Tim Editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, Yogyakarta, Wihdah Press, 2004.
____________________
1. Ketegangan hubungan antaragama tentu saja bertalian dengan berbagai faktor yang saling berhubungan secara ruwet. Ada atau tidak adanya keserasian hidup antara pemeluk berbagai agama yang berbeda banyak ditentukan oleh faktor-faktor keagamaan, kesejarahan, kenegaraan, politik, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain. Nurcholish Madjid, “Dialog Agama-Agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”, dalam Passing Over, Ed. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 6.
2. Di zaman-zaman kebesaran Islam, persoalan hubungan antaragama yang paling gawat terdapat di kalangan bangsa-bangsa yang mayoritas bukan Muslim. Umat Islam di mana saja menjadi lebih sensitif lagi terhadap kenyataan ini, karena jika terdapat komunitas Muslim di negeri-negeri yang mayoritas bukan Muslim dengan kesenjangan dan ketidakserasian hubungan antaragama itu maka yang paling menderita kezaliman agama ialah kaum Muslim. Sebaliknya, minoritas-minoritas bukan Muslim di dunia mendapati bahwa kehidupan beragama yang paling aman dan damai ada di kalangan mayoritas Muslim. Kini, keadaan yang baik itu sangat umum. Nurcholish Madjid, “Dialog Agama-Agama.., hlm. 6.
3. Penyimpangan dari kebenaran Islam dengan cara menutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui Rasul-Nya dalam terminologi ilmu akidah disebut dengan kufr. Kufr memiliki banyak tingkatan, yaitu (1) kufr ingkar, (2) kufr juhud, (3) kafir munafiq (kufr nifa>q), (4) kufr syirik, (5) kufr nikmat, (6) kafir murtad, dan (7) kafir ahli kitab. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 31.
4. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Araby, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), hlm. 98.
5. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 3.
6. Ushul fiqih menempati posisi sentral dalam studi keislaman, sehingga sering kali disebut sebagai the queen of Islamic sciences. Baca Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hlm. 1; Akh Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam al-Jami’ah Volume 63 tahun 1999, hlm. 15. Sebelum adanya pembakuan oleh al-Syafi’i dalam al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum (reasoning). Pada masa al-Syafi’i dan ulama’ ushul setelahnya, qiyas menjadi teori penalaran yang ketat, baku, dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual karena terpengaruh filsafat Yunani, khusunya sillogisme logika Aristoteles. Akibatnya, qiyas menjadi penalaran hukum yang tunduk di bawah bayang-bayang teks agama, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’. Lihat Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publisher &Distributor, 1994), hlm. 137.
7. Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 4.
8. Beberapa sarjana cenderung menyejajarkan interpretasi teks yang bersifat spekulatif atau tidak masuk akal dengan otoritarianisme epistemologis. Joseph Vining, seperti dikutip Abou el-Fadl menyatakan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah sistem sebelum melakukan upaya interpretasi, yang otoriter adalah “sebentuk dengan taklid buta”, sementara yang otoritatif adalah melakukan “pilihan terbaik berdasarkan rasion”. Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 204.
9. Buku ini bukanlah kumpulan tulisan dari beberapa penulis, melainkan ditulis secara tim sebagai rangkuman pemikiran utuh yang melibatkan banyak ahli dari berbagai latar belakang.
10. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama…, hlm. 17-18.
11. Ibid., hlm. 65.
12. Ibid., hlm. 13.
13. Ibid..
14. Dalam hal ini, Wael B. Hallaq misalnya mengatakan: “Each legal and ethical inquiry will have two diametrically opposite views of either affirmation or negation. Those who approve and declare these prastices premissible would do so on the basis of either social necessity (d}aru>rah) or public benefit (mas}lah}ah). Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 219.
15. Ibid., hlm. 14.
16. Budi Setiawan, ”Warga Negara dalam Intervensi Agama” dalam M. AS. Hikam, Fiqih Kewarganegaraan (Intervensi Agama-Agama terhadap Masyarakat Sipil), (Jakarta: PB PMII, 2000), hlm. 53.
17. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa jika ada fiqih lintas agama, maka adakah fiqih di luar Islam. Baca Tim Editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, (Yogyakarta, Wihdah Press, 2004), hlm. 48.
18. Sebagai ilustrasi, reviewer perlu menjelaskan tentang alasan al-Jabiri memilih terminologi “al-‘aql al-‘araby” sebagai objek pembahasannya. Dulu, para ahli logika kuno pernah mengatakan bahwa sesuatu itu dapat diketahui dengan melihat antonimnya. Istilah antonim ini tidak mesti berpengertian “ sesuatu yang konradiktif”, melainkan sekadar perbedaan. Cara inilah yang dipakai untuk menjelaskan apakah yang disebut dengan Akal Arab, yaitu dengan membandingkannya dengan dua akal yang lain: Akal Yunani dan Akal Eropa. Dengan demikian, Akal Arab terafirmasi.
19. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama…, hlm. 153-161.
20. Lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: GIP, 2004), hlm. 7.
21. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama…, hlm. 195.
Peresensi juga santri Leiden (agak lama dikit)
http://nahdliyinbelanda.wordpress.com/2007/10/02/rekonstruksi-fiqih-inklusif-pluralis/. Accessed May 4, 2011.