Saturday, July 16, 2016

Empat Tesis tentang Masyarakat Indonesia dalam Kaitannya dengan Kelompok Agama Minoritas


Diambil dari buku: Ahmad Najib Burhani (ed.). 2015. Pluralitas dan Minoritas: Batas-batas Kebebasan Beragama di Indonesia. Jakarta: Gading Inti Prima. Pp. 153-159

Empat Tesis tentang Masyarakat Indonesia dalam Kaitannya dengan Kelompok Agama Minoritas

Ahmad Najib Burhani

Ada empat tesis utama yang ingin disampaikan oleh buku ini. Pertama, ancaman konservatisme dalam tubuh umat Islam Indonesia adalah nyata, bukan ilusi. Jawa Timur yang menjadi pusatnya NU (Nahdlatul Ulama), sebuah organisasi yang menjadi garda depan dalam moderatisme Islam, dalam beberapa tahun belakangan ini telah menjadi “laboratorium intoleransi” (Akhol 2015). Jawa Timur yang sebelumnya disebut sebagai daerah yang aman bagi minoritas kemudian berubah menjadi daerah merah kedua setelah Jawa Barat bagi kelompok minoritas agama. Pengusiran komunitas Syi’ah dari Sampang, fatwa tentang kesesatan Syi’ah yang dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dari hampir setiap kota dan kabupaten di Jawa Timur, serta diskriminasi terhadap Ahmadiyah dan Penghayat Keperayaan adalah contoh dari sikap yang lahir dari konservatisme dalam beragama di Jawa Timur. Provinsi yang sebelumnya dianggap sebagai benteng dari Islam ramah ini telah mengalami apa yang disebut oleh Martin van Bruinessen sebagai conservative turn. Inilah diantaranya yang menjadikan buku ini berada pada posisi yang bertolak belakang dengan tesis yang menyebutkan bahwa “Indonesian Islam atau Indonesian Wasathiyya Islam is too big to fail” (Islam moderat ala Indonesia itu terlalu besar untuk gagal) seperti yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra (2014).
            Selama ini sering ada anggapan bahwa pelaku intoleransi itu hanyalah sekelompok kecil dari umat beragama yang disebut sebagai kelompok garis keras atau disebut juga sebagai noisy minority (minoritas yang berisik), sementara yang mayoritas adalah toleran. Padahal, tindakan dari kelompok garis keras yang kecil itu tak akan atau sulit terjadi jika ada perlawanan cukup keras dari kelompok mayoritas. Namun yang sering terjadi, kecuali dalam kasus terorisme, adalah bahwa kelompok mayoritas seperti memberikan endorsement (persetujuan) and condoning (menyetujui dengan diam atau pura-pura tidak melihat) berbagai aksi intoleransi, meski mereka tak terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Ini adalah ancaman dari konservatisme yang menyebar luas dan nyata itu.
            Tesis pertama tentang ancaman konservatisme itu lantas membawa kepada tesis kedua, yaitu mewabahnya mental construct atau mindset konservatif di semua elemen masyarakat, termasuk di pemerintahan. Dalam istilah Jeremy Menchik disebut dengan godly nationalism, yaitu “komunitas imaji/bayangan yang terikat oleh keimanan bersama kepada Tuhan dan dimobilisasi melalui negara yang bekerja sama dengan organisasi keagamaan di masyarakat” (Menchik 2015, 96). Mental construct konservatif itu menyebar luas dalam semua elemen masyarakat dan aparat pemerintah, termasuk yang di kejaksaan, kepolisian dan DPR/DPRD. Mental construct konservatif dalam beragama ini dalam pemerintahan di Jawa Timur, misalnya, ditunjukkan dengan dua regulasi tentang kelompok agama minoritas, yaitu: SK Gubernur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Ahmadiyah dan Peraturan Gubernur No. 55/1912 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Pemerintah dalam hal ini telah masuk dalam urusan teologi dengan ikut menentukan mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang sesat.
Berbagai regulasi tentang agama minoritas umumnya dikeluarkan oleh pemerintah setelah MUI mengeluarkan fatwa sesat kepada kelompok agama tertentu. Jadi regulasi itu menjadi semacam tindak lanjut dari fatwa. Jika fatwa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka regulasi dari pemerintah itulah yang memberikan kekuatan hukum bagi fatwa. Mewabahnya konservatif mindset itulah yang kemudian membuat banyak aparatur pemerintah yang menganggap bahwa, dalam kasus Syi’ah Sampang, pemindahan mereka dari tempat asalnya adalah solusi untuk menjaga ketenteraman masyarakat. Cara pandang aparatur pemerintah itu bisa dirangkumkan dalam kalimat: “By stopping or restricting the activities of religious minorities, we can prevent casualties. By compromising their religious freedom, we can create harmony. By displacing Shi’i community from Sampang, we can develop harmonious-homogenious Sampang again” (Hanya dengan menghentikan atau membatasi aktivitas dari kelompok agama minoritas, maka kita bisa mencegah jatuhnya korban. Dengan mengorbankan kebebasan beragama mereka, maka kita bisa menciptakan harmoni. Dengan memindahkan komunitas Syi’ah dari Sampang, maka kita akan bisa menciptakan Sampang yang harmonis-homogen lagi).
Tesis ketiga dari buku ini adalah bahwa sikap konservatif itulah yang kemudian melahirkan mental, sikap, dan perilaku sektarian di masyarakat. Masyarakat hanya berpikir tentang kelompoknya dan selalu menganggap kelompok lain sebagai ancaman. Mereka sering memimpikan kehidupan yang homogen karena dalam bayangan mereka bahwa dalam homogenitas itulah kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan akan digapai. Pandangan sektarian terhadap kelompok yang berbeda ini oleh Slavoj Zizek diringkaskan dalam kalimat, “If only they weren’t here, life would be perfect, and society will be harmonious again” (jika mereka tidak di sini, maka kehidupan ini akan menjadi sempurna, dan masyarakat akan menjadi harmonis lagi). Harapan untuk hidup dalam komunitas yang homogen seperti itu, terlebih di dunia yang global saat ini, adalah harapan yang sulit dipenuhi, jika tidak absurd. Kalaulah sekelompok orang bisa hidup dalam lingkungan dengan etnik atau agama yang sama, pada dasarnya selalu tetap ada perbedaan pada masyarakat. Bahkan dalam saudara sekandung ataupun saudara kembar pun kadang terdapat perbedaan yang tidak bisa dipertemukan.
Tesis keempat dari buku ini adalah bahwa paradigma kolonialisme dalam beragama masih berlaku pada masyarakat. Masih ada anggapan bahwa para pemeluk agama minoritas itu adalah orang-orang tersesat atau belum beragama dan karena itu mereka harus diselamatkan dengan membawa kepada ortodoksi atau ke kelompok mainstream. Jika mereka tidak mau atau menolak diajak ke “jalan yang benar”, maka mereka harus disingkirkan atau dibinasakan karena keyakinan mereka bisa menyebar ke orang lain dan menjadi wabah bagi masyarakat. Logika dibalik tindakan itu adalah: “we force them to the ‘true path’ in order to save or rescue them from the punishment of God in the hell” (kita memaksa mereka untuk kembali ke ‘jalan yang benar’ untuk menyelamatkan mereka dari siksaan Tuhan di neraka).
Logika seperti tersebut di atas adalah mirip dengan logika yang dipakai oleh negara-negara kolonial, sebagaimana ditulis oleh Edward Said (1979), ketika mereka menjajah Afrika dan Asia. Mereka berpikir bahwa manusia di daerah jajahan adalah un-civilized (belum atau tidak beradab) atau bahkan half-human (setengah manusia). Karena itu mereka harus dijadikan beradab, kalau perlu dengan paksaan. Logika ini kadang juga berlaku pada negara yang mempromosikan demokrasi seperti Amerika Serikat ketika mereka memaksakannya kepada negara lain yang kadang dilakukan dengan peperangan dan pembunuhan penduduk setempat.
Akhirnya, dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perkembangan ke arah konservatif, Kementerian Agama mempersiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB). RUU ini diharapkan bisa menjadi semacam penangkal racun (antidote) terhadap berbagai tindak intoleransi dan diskriminasi bagi kelompok agama minoritas. Namun demikian, niat baik ini bisa saja justru berakibat buruk bagi minoritas ketika isinya banyak dipengaruhi oleh cara pandang konservatif di Indonesia. Dalam hal itu, maka ia bisa jadi justru memperkokoh hegemoni dari kelompok mainstream dan membatasi gerak minoritas. Ini sangat mungkin terjadi jika mengaju kepada empat tesis di atas, dimana konservatisme dalam beragama telah menyebar termasuk pada aparatur pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).