Diambil dari buku: Ahmad Najib Burhani (ed.). 2015. Pluralitas dan Minoritas: Batas-batas Kebebasan Beragama di Indonesia. Jakarta: Gading Inti Prima. Pp. 153-159
Empat
Tesis tentang Masyarakat Indonesia dalam Kaitannya dengan Kelompok Agama
Minoritas
Ahmad Najib Burhani
Ada
empat tesis utama yang ingin disampaikan oleh buku ini. Pertama, ancaman
konservatisme dalam tubuh umat Islam Indonesia adalah nyata, bukan ilusi. Jawa
Timur yang menjadi pusatnya NU (Nahdlatul Ulama), sebuah organisasi yang menjadi
garda depan dalam moderatisme Islam, dalam beberapa tahun belakangan ini telah
menjadi “laboratorium intoleransi” (Akhol 2015). Jawa Timur yang sebelumnya
disebut sebagai daerah yang aman bagi minoritas kemudian berubah menjadi daerah
merah kedua setelah Jawa Barat bagi kelompok minoritas agama. Pengusiran
komunitas Syi’ah dari Sampang, fatwa tentang kesesatan Syi’ah yang dikeluarkan
oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dari hampir setiap kota dan kabupaten di
Jawa Timur, serta diskriminasi terhadap Ahmadiyah dan Penghayat Keperayaan
adalah contoh dari sikap yang lahir dari konservatisme dalam beragama di Jawa
Timur. Provinsi yang sebelumnya dianggap sebagai benteng dari Islam ramah ini
telah mengalami apa yang disebut oleh Martin van Bruinessen sebagai conservative turn. Inilah diantaranya
yang menjadikan buku ini berada pada posisi yang bertolak belakang dengan tesis
yang menyebutkan bahwa “Indonesian Islam atau
Indonesian Wasathiyya Islam is too big to
fail” (Islam moderat ala Indonesia itu terlalu besar untuk gagal) seperti
yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra (2014).
Selama ini sering ada anggapan bahwa pelaku intoleransi
itu hanyalah sekelompok kecil dari umat beragama yang disebut sebagai kelompok
garis keras atau disebut juga sebagai noisy
minority (minoritas yang berisik), sementara yang mayoritas adalah toleran.
Padahal, tindakan dari kelompok garis keras yang kecil itu tak akan atau sulit
terjadi jika ada perlawanan cukup keras dari kelompok mayoritas. Namun yang
sering terjadi, kecuali dalam kasus terorisme, adalah bahwa kelompok mayoritas
seperti memberikan endorsement (persetujuan)
and condoning (menyetujui dengan diam
atau pura-pura tidak melihat) berbagai aksi intoleransi, meski mereka tak
terlibat langsung dalam aksi kekerasan. Ini adalah ancaman dari konservatisme
yang menyebar luas dan nyata itu.
Tesis pertama tentang ancaman konservatisme itu lantas
membawa kepada tesis kedua, yaitu mewabahnya mental construct atau mindset
konservatif di semua elemen masyarakat, termasuk di pemerintahan. Dalam
istilah Jeremy Menchik disebut dengan godly
nationalism, yaitu “komunitas imaji/bayangan yang terikat oleh keimanan
bersama kepada Tuhan dan dimobilisasi melalui negara yang bekerja sama dengan
organisasi keagamaan di masyarakat” (Menchik 2015, 96). Mental construct konservatif itu menyebar luas dalam semua elemen masyarakat dan aparat pemerintah, termasuk yang di kejaksaan, kepolisian dan DPR/DPRD. Mental construct konservatif dalam beragama ini dalam pemerintahan
di Jawa Timur, misalnya, ditunjukkan dengan dua regulasi tentang kelompok agama
minoritas, yaitu: SK Gubernur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Ahmadiyah dan
Peraturan Gubernur No. 55/1912 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan
Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Pemerintah dalam hal ini telah masuk
dalam urusan teologi dengan ikut menentukan mana ajaran yang benar dan mana
ajaran yang sesat.
Berbagai
regulasi tentang agama minoritas umumnya dikeluarkan oleh pemerintah setelah
MUI mengeluarkan fatwa sesat kepada kelompok agama tertentu. Jadi regulasi itu
menjadi semacam tindak lanjut dari fatwa. Jika fatwa tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat, maka regulasi dari pemerintah itulah yang memberikan
kekuatan hukum bagi fatwa. Mewabahnya konservatif mindset itulah yang kemudian membuat banyak aparatur pemerintah
yang menganggap bahwa, dalam kasus Syi’ah Sampang, pemindahan mereka dari
tempat asalnya adalah solusi untuk menjaga ketenteraman masyarakat. Cara
pandang aparatur pemerintah itu bisa dirangkumkan dalam kalimat: “By stopping
or restricting the activities of religious minorities, we can prevent
casualties. By compromising their religious freedom, we can create harmony. By
displacing Shi’i community from Sampang, we can develop harmonious-homogenious
Sampang again” (Hanya dengan menghentikan atau membatasi aktivitas dari
kelompok agama minoritas, maka kita bisa mencegah jatuhnya korban. Dengan
mengorbankan kebebasan beragama mereka, maka kita bisa menciptakan harmoni.
Dengan memindahkan komunitas Syi’ah dari Sampang, maka kita akan bisa
menciptakan Sampang yang harmonis-homogen lagi).
Tesis
ketiga dari buku ini adalah bahwa sikap konservatif itulah yang kemudian
melahirkan mental, sikap, dan perilaku sektarian di masyarakat. Masyarakat
hanya berpikir tentang kelompoknya dan selalu menganggap kelompok lain sebagai
ancaman. Mereka sering memimpikan kehidupan yang homogen karena dalam bayangan
mereka bahwa dalam homogenitas itulah kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan
akan digapai. Pandangan sektarian terhadap kelompok yang berbeda ini oleh
Slavoj Zizek diringkaskan dalam kalimat, “If
only they weren’t here, life would be perfect, and society will be harmonious
again” (jika mereka tidak di sini, maka kehidupan ini akan menjadi
sempurna, dan masyarakat akan menjadi harmonis lagi). Harapan untuk hidup dalam
komunitas yang homogen seperti itu, terlebih di dunia yang global saat ini,
adalah harapan yang sulit dipenuhi, jika tidak absurd. Kalaulah sekelompok
orang bisa hidup dalam lingkungan dengan etnik atau agama yang sama, pada
dasarnya selalu tetap ada perbedaan pada masyarakat. Bahkan dalam saudara
sekandung ataupun saudara kembar pun kadang terdapat perbedaan yang tidak bisa
dipertemukan.
Tesis
keempat dari buku ini adalah bahwa paradigma kolonialisme dalam beragama masih
berlaku pada masyarakat. Masih ada anggapan bahwa para pemeluk agama minoritas
itu adalah orang-orang tersesat atau belum beragama dan karena itu mereka harus
diselamatkan dengan membawa kepada ortodoksi atau ke kelompok mainstream. Jika
mereka tidak mau atau menolak diajak ke “jalan yang benar”, maka mereka harus
disingkirkan atau dibinasakan karena keyakinan mereka bisa menyebar ke orang
lain dan menjadi wabah bagi masyarakat. Logika dibalik tindakan itu adalah: “we force them to the ‘true path’ in order to
save or rescue them from the punishment of God in the hell” (kita memaksa
mereka untuk kembali ke ‘jalan yang benar’ untuk menyelamatkan mereka dari
siksaan Tuhan di neraka).
Logika
seperti tersebut di atas adalah mirip dengan logika yang dipakai oleh
negara-negara kolonial, sebagaimana ditulis oleh Edward Said (1979), ketika
mereka menjajah Afrika dan Asia. Mereka berpikir bahwa manusia di daerah
jajahan adalah un-civilized (belum
atau tidak beradab) atau bahkan half-human
(setengah manusia). Karena itu mereka harus dijadikan beradab, kalau perlu
dengan paksaan. Logika ini kadang juga berlaku pada negara yang mempromosikan
demokrasi seperti Amerika Serikat ketika mereka memaksakannya kepada negara
lain yang kadang dilakukan dengan peperangan dan pembunuhan penduduk setempat.
Akhirnya,
dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perkembangan ke arah
konservatif, Kementerian Agama mempersiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama
(PUB). RUU ini diharapkan bisa menjadi semacam penangkal racun (antidote) terhadap berbagai tindak
intoleransi dan diskriminasi bagi kelompok agama minoritas. Namun demikian,
niat baik ini bisa saja justru berakibat buruk bagi minoritas ketika isinya
banyak dipengaruhi oleh cara pandang konservatif di Indonesia. Dalam hal itu,
maka ia bisa jadi justru memperkokoh hegemoni dari kelompok mainstream dan
membatasi gerak minoritas. Ini sangat mungkin terjadi jika mengaju kepada empat
tesis di atas, dimana konservatisme dalam beragama telah menyebar termasuk pada
aparatur pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).