(Serial Media Dakwah Nomor 183, Muharram 1410/September 1989, halaman 43-47)
H. MOHAMMAD RASJIDI
Jejaknya di Tiga Dunia
(Serial Media Dakwah Nomor 183,
Muharram 1410/September 1989, halaman 43-47)
SELASA, 15 Agustus (1989 –ed)
lalu, lima putera Indonesia memperoleh anugerah Bintang Mahaputera atas
jasa-jasa mereka kepada bangsa dan negara. Prof.
Dr. Haji Mohammad Rasjidi (mantan Menteri Agama, mantan Duta Besar Republik
Indonesia untuk Mesir, Saudi Arabia, Iran, Afghanistan, dan Pakistan), Oetojo
Oesman, S.H. (Kepala BP-7, badan di tingkat pusat yang mengelola
penyelenggaraan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila –ed), dan H. KRMH. Soerjo Wirjohadipoetro
(mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung RI), masing-masing memperoleh Bintang Mahaputera Utama; sedangkan
Prof. Dr. Padmo Wahjono, S.H. (Wakil Kepala BP-7) memperoleh Bintang Mahaputera Pratama, dan Tedjo
Sumarto, S.H. (Manggala BP-7 Pusat) memperoleh Bintang Mahaputera Nararya.
Terpilihnya Prof. Dr. H.M. Rasjidi sebagai salah seorang
yang dianugerahi Bintang Mahaputera oleh Presiden Soeharto, tidak syak lagi
telah menyebabkan banyak pihak menoleh lagi kepadanya.Mengapa Rasjidi?
Bukan! Bukan karena Prof. Rasjidi tidak dikenal orang,
melainkan karena Rasjidi selama ini dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang
tulisan-tulisannya amat tajam. Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, H.
Djarnawi Hadikusumo menyebut Rasjidi sebagai “pengeritik tajam”. Sedangkan M.
Dawam Rahardjo dan Nucholish Madjid menjuluki Prof. Rasjidi sebagai “The Guardian (penjaga) dunia pemikiran
Islam Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau
‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual.”
Citra “keras” melekat pada diri Prof. Rasjidi. Dan
seorang tokoh dengan citra “keras, tidak mengenal kompromi di dalam membela
Islam” dianugerahi Bintang Mahaputera Utama, niscayalah berita menarik –jika
tidak boleh disebut sebagai berita besar.
“Saya sendiri heran. Bintang Mahaputera itu kan kecil
saja, tapi telepon di rumah saya terus menerus berdering-dering menanyakan soal
itu. Belum lagi kawat (telegram –ed),
dan permohonan wawancara dari berbagai media massa yang datang bertubi-tubi,”
ungkap Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) dan Wakil Ketua
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang lebih akrab dipanggil Pak Rasjidi
itu kepada Mohammad Syah Agusdin dan
Lukman Hakiem dari Serial Media Dakwah yang datang
bersilaturrahmi di rumahnya, Jalan Pangeran Diponegoro 42, Jakata Pusat, pada
suatu senja yang cerah, satu hari menjelang peringatan hari ulang tahun ke-44
kemerdekaan Republik Indonesia.
Berikut ini petikan percakapan dengan Pak Rasjidi yang
berlangsung dalam suasana akrab dan santai.
Dapatkah Pak Rasjidi menceritakan
kembali masa kecil Bapak?
Saya kira yang Saudara tanyakan itu sudah termuat lengkap
di dalam buku ini.
***
Pak Rasjidi menunjukkan buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang
disunting oleh Endang Basri Ananda, diterbitkan oleh Harian Umum Pelita,
Jakarta, Cetakan Pertama, Juni 1985.
Dalam buku itu antara lain diuraikan
bahwa Rasjidi dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis Pahing, 20 Mei
1915, bertepatan dengan 4 Rajab 1333.
Rasjidi adalah anak kedua dari lima
bersaudara putera dan puteri keluarga Atmosudigdo. Saudara-saudaranya yang lain
ialah, kakak laki-lakinya bernama Sapardi –kemudian menjadi Drs. Sapardi.
Adik-adiknya berturut-turut: Sadjiman (kemudian menjadi ahli bedah), Sakidjan
(kemudian menjadi Sarjana Ekonomi), dan Sadjinah (kemudian menjadi istri dr.
Yazid, ahli bedah di Cirebon, Jawa Barat).
Keluarga Atmosudigdo adalah keluarga
pedagang yang meskipun Muslim tetapi kurang melaksanakan syari’at Islam
sebagaimana mestinya.
Rasjidi sendiri sesungguhnya
terlahir dengan nama Saridi. Ia memulai riwayat pendidikannya di Sekolah Ongko Loro, setingkat Sekolah Dasar
dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Ketika Muhammadiyah mendirikan Sekolah
Rendah di Kotagede, Saridi tertarik dan pindah ke sekolah Muhammadiyah itu.
Setamat dari Sekolah Rendah Muhammadiyah, Saridi masuk sekolah Guru
Muhammadiyah, Kweekschool
Muhammadiyah di Yogyakarta. Di masa inilah Saridi terserang penyakit typus yang memaksanya menghentikan pendidikannya
sampai kelas tiga, walaupun hasrat belajarnya tidak pernah padam.
Di masa menganggur itu, suatu hari
Saridi membaca berita tentang Syaikh Ahmad Soorkati –salah seorang tokoh
reformasi Islam di awal abad XX—yang membuka perguruan Al-Irsyad di Lawang,
Malang, Jawa Timur. Saridi menyurati Soorkati dan menyatakan hasratnya untuk belajar
di Al-Irsyad. Soorkati menjawab surat Saridi dan mempersilahkannya datang ke
Lawang.
Prestasi belajar Saridi di Al-Irsyad
Lawang yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar itu ternyata amat baik.
Dalam waktu singkat ia telah menguasai kitab standar gramatika bahasa Arab, Alfiyah. Juga hafal buku logika
Aristoteles, Matan al Sulam. Lantaran
itu, Soorkati amat menyayangi Saridi.
Betapapun Soorkati sangat menyayangi
Saridi, tetap saja Soorkati kesulitan melafalkan nama Saridi. Soorkati selalu keliru
menyebut Saridi menjadi Rasidi. Berulang kali dikoreksi, berulang kali pula
terucap Rasidi. Saridi sendiri rupanya merasa lebih sreg dengan “nama barunya” itu.
Beberapa tahun kemudian, sepulang dari menunaikan ibadah haji di Makkah, Saridi
mengukuhkan namanya menjadi Mohammad Rasjidi.
Setamat dari Al-Irsyad Lawang,
Rasjidi melanjutkan pendidikanya ke Kairo, Mesir. Ia masuk Darul ‘Ulum dan
mengikuti ujian persamaan (equivalent) Sekolah Menengah Umum. Kedua kegiatan itu diselesaikannya pada 1934.
Empat tahun kemudian (1938), Rasjidi menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra jurusan
Filsafat di Universitas Kairo.
***
Riwayat di pemerintahan?
Saya ini masuk pemerintahan dari tiga jurusan. Di Departemen (sekarang
Kementerian –ed) Agama saya adalah
Menteri Agama pertama, kemudian menjadi Sekretaris Jenderal di bawah Menteri
Agama Faturrachman.
Di Departemen Luar Negeri, saya pernah menjadi Sekretaris Delegasi
Diplomatik Indonesia ke negara-negara Arab, kemudian menjadi Ketua Delegasi
setelah Ketua delegasi H. Agus Salim berangkat ke Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) untuk memperkuat delegasi Indonesia di sana. Pada 1950-1952 saya menjadi
Duta –waktu itu belum ada istilah Duta Besar—di Mesir merangkap Saudi Arabia.
Pada 1952-1953 saya menjadi Duta di Iran merangkap Afghanistan. Pada 1953-1955,
saya menjadi Kepala Direktorat Penerangan Departemen Luar Negeri, dan pada
1956-1958 saya Duta Besar di Pakistan.
Sejak 1965 hingga dipensiunkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed
Joesoef pada 1980, saya Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Bisa pindah-pindah begitu?
Pertama sekali saya menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sutan Sjahrir I.
Saya sendiri tidak tahu menahu tentang penunjukan itu. Suatu hari saya suruh
pembantu saya membeli surat kabar Merdeka.
Saya lihat ada pengumuman pembentukan Kabinet Sjahrir. Saya lihat juga ada nama
H. Rasjidi. Saya mengira itu nama orang lain yang kebetulan sama dengan nama
saya, apalagi karena saya sendiri merasa tidak pernah dihubungi oleh siapa pun
untuk duduk di Kabinet.
Rupanya orang-orang di kampung saya membaca juga pengumuman itu. Di kampung
saya, di Kotagede, saya ini lebih dikenal dengan nama Haji Rasjidi. Mereka
mengirim kawat menanyakan apakah Haji Rasjidi yang dibaca di koran dan diangkat
sebagai menteri itu, saya? Saya tidak jawab kawat itu, karena memang saya
sendiri tidak tahu. Seminggu sesudah itu juga tidak ada perkembangan baru
mengenai nama H. Rasjidi di koran itu. Saya tambah tidak memikirkannya lagi.
Baru sesudah beberapa lama kemudian datang utusan Kabinet ke rumah saya di
Kebon Kacang untuk menjemput saya menghadiri sidang Kabinet di Jalan Jawa, rumah
Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Ketika terjadi perombakan Kabinet, saya ditunjuk menjadi Menteri Agama.
Jabatan itu saya pegang selama tujuh bulan kurang sepuluh hari. Bersamaan
dengan jatuhnya Kabinet, saya berhenti jadi menteri. Nah, saya pun pulang ke
Kotagede.
O ya, bersamaan dengan pengangkatan saya sebagai Menteri Agama pada 3
Januari 1946, ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Baru seminggu saya melepaskan jabatan sebagai Menteri Agama, datang utusan
Presiden Sukarno membawa surat pengangkatan saya sebagai Sekretaris Jenderal
Kementerian Agama.
Sesudah itu pindah ke Departemen
Luar Negeri?
Begini, pada tanggal 13 Maret 1947, tiba-tiba di lapangan terbang Maguwo
(sekarang bandar udara Adi Sucipto –ed)
Yogyakarta mendarat pesawat terbang yang membawa Konsul Jenderal Mesir di
Bombay (sekarang Mumbay –ed), India.
Namanya Abdul Moun’em.
Dia datang sebagai utusan Liga Arab yang berkedudukan di Kairo, dan minta
dipertemukan dengan Presiden Sukarno. Tentu saja para petugas di Maguwo kalang
kabut. Tiga jam menunggu, barulah Abdul Moun’em bisa dibawa ke Hotel Merdeka
(sekarang Hotel Garuda –ed). Itu pun
sesudah pimpinan lapangan terbang Maguwo, Sudjono turun tangan langsung
mengantar dengan mobilnya. Kelak Sudjono menjadi salah seorang Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Para pejabat di ibukota tidak kurang bingungnya, siapa yang akan melayani
tamu dari Arab ini? Akhirnya, karena saya dianggap mahir berbahasa Arab,
ditunjuklah saya sebagai juru bahasa. Kesepakatan pembicaraan antara utusan
Liga Arab dengan pemerintah Republik Indonesia ialah harus ada delegasi
Indonesia yang dikirim segera ke Mesir.
Bayangkan, tanggal 13 Maret tamu itu datang, dan saya terus menerus
mendampinginya, tanggal 17 Maret delegasi Indonesia berangkat ke Mesir.
Berapa orang jumlah Delegasi
Indonesia?
Lima orang. Ketua Delegasi H. Agus Salim. Anggota-anggotanya terdiri dari
Mr. Nazir Dt. Pamuntjak. Abdul Kadir, dan Abdul Rahman Baswedan. Saya sendiri
ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Bendahara Delegasi. Saya tidak tahu apa
yang harus dibendaharai, maklum berangkatnya juga menumpang kapal terbang orang
Mesir itu. Saya juga tidak tahu untuk berapa lama Delegasi itu menjalankan
tugas.
***
Prof. Rasjidi memulai pengabdian
formalnya kepada negara “secara tidak sengaja”, yaitu ketika tanpa diberi tahu
lebih dulu dia ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Sutan Sjahrir I.
Sesudah itu dia berkiprah di Kementerian Agama, Kementerian Luar Negeri, dan
mengakhirinya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Berikut ini jejak hayat
dan riwayat pengabdiannya:
- Dilahirkan di Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis Pahing , 20 Mei 1915 bertepatan dengan 4 Rajab 1333.
- Pendidikan di Indonesia:
a. Sekolah Ongko Loro do Kotagede,
b. Sekolah Rendah Muhammadiyah di
Kotagede,
c. Sekolah Guru Muhammadiyah di
Yogyakarta (sampai kelas 3),
d. Sekolah Arab Al-Irsyad pimpinan
Syaikh Soorkati di Lawang, Malang, Jawa Timur (2 tahun).
- Pendidikan di Mesir:
a. Sekolah Darul Ulum dan equivalent Sekolah Menengah Umum
(tamat 1934),
b. Jurusan Filsafat Fakultas Sastra
Universitas Kairo (tamat 1938).
- Pendidikan di Prancis: meraih Ph.D di Universitas Sorbonne, Paris, pada 1956 dengan disertasi mengenai Serat Tjentini.
- Riwayat Pekerjaan dan Pengabdian:
a. Mengajar di Sekolah Menengah Islam
Surakarta, yaitu Pesantren Luhur, yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda (sampai
Jepang masuk ke Indonesia),
b. Pegawai Pemerintah Pendudukan Jepang
(1943-1945),
c. Diangkat menjadi Menteri Negara,
kemudian Menteri Agama, pada Pemerintahan Nasional, 1946,
d. Sekretaris Jenderal Kementerian
Agama (1946-1947),
e. Sekretaris Delegasi Diplomatik
Republik Indonesia ke negara-negara Arab, kemudian Ketua Delegasi, yakni setelah
Ketua Delegasi H. Agus Salim berangkat ke PBB (1947-1949),
f. Duta (belum ada istilah Duta Besar)
di Mesir merangkap di Saudi Arabia berkedudukan di Kairo, Mesir (1950-1952),
g. Duta di Iran merangkap Afghanistan
berkedudukan di Teheran, Iran (1952-1953),
h. Kepala Direktorat Penerangan
Kementerian Luar Negeri (1953-1955),
i. Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh Republik Indonesia untuk Republik Islam Pakistan (1956-1958),
j. Associate Professor di McGill
University, Montreal, Kanada (1958-1963),
k. Guru Besar Hukum Islam di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (1965-1980),
l. Bersama-sama Mohammad Natsir dan
tokoh-tokoh Islam aktivis Partai Masyumi, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) dan menjadi Wakil Ketua (1967)
m. Kepala Kantor The World Moslem
League di Jakarta (1981-1988),
n. Menulis dan menerjemahkan berbagai
karya ilmiah/buku.
***
Sejarah mencatat sukses besar yang
dicapai oleh Delegasi itu.
Betul. Delegasi ini menghasilkan pengakuan de jure dari Mesir dan negara-negara Arab lainnya atas kemerdekaan
negara Republik Indonesia. Tetapi jangan lupa, khusus untuk Mesir, peranan Raja
Farouk dalam menghasilkan pengakuan itu sangat besar sekali.
Raja Farouk itu masih muda usianya. Kecerdasannya sih biasa-biasa saja,
tetapi semangatnya itu yang luar biasa sekali. Perdana Menteri Mesir sendiri
ketika itu kelihatan masih ragu-ragu untuk mengakui kemerdekaan Indonesia,
tetapi Raja Farouk terus menerus mendesak Perdana Menteri untuk mengakui
Indonesia. Karena desakan itulah akhirnya pengakuan terhadap Indonesia
ditandatangani oleh Perdana Menteri Mesir. Padahal kalau dipikir-pikir, Raja
Farouk itu kan cuma punya hak suara untuk urusan-urusan di dalam negeri Mesir
saja.
Siapa lagi yang turut berjasa?
Untuk Saudi Arabia, orang-orang yang berjasa adalah keturunan Indonesia
yang tinggal di sana. Mereka itu sudah beberapa generasi tinggal di Arab Saudi,
tetapi masih tetap mencintai Indonesia.
Ketika sudah menjadi Ketua Delegasi di Mesir –H. Agus Salim sudah terbang
ke Lake Succes, Amerika Serikat, untuk memperkuat Delegasi Indonesia di PBB,
Abdul Kadir dan Abdul Rahman Baswedan sudah pulang ke Tanah Air untuk
menyerahkan surat pengakuan dari pemerintah Mesir, sedang Nazir Dt. Pamuntjak
sakit—saya berangkat ke Makkah karena Belanda –dipimpin Sultan Hamid dari
Pontianak-- mengerahkan 15.000 jamaah haji dari wilayah yang masih didudukinya.
Saya harus melawan propaganda Belanda di Makkah.
Keberhasilan missi diplomatik saya di Saudi Arabia sebagian karena dukungan
orang-orang Indonesia di sana. Ketika akhirnya saya diterima oleh Raja Abul
Aziz, dia pun mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. “Hati kami selalu
bersama Indonesia. Anda tahu sendiri, hidup kami di sini selalu bersama orang
Indonesia,” kata Raja Saudi Arabia itu. Dan memang, saya lihat hampir semua
pegawai di istana Raja adalah orang-orang Indonesia.
***
Menghadapi perlawanan gencar dari
rakyat Indonesia baik di dalam negeri maupun di forum internasional, Belanda
akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Rasjidi yang terus menerus tinggal di
Mesir untuk menggalang dukungan dari negara-negara Arab, akhirnya ditunjuk menjadi
Duta Republik Indonesia untuk Mesir merangkap Saudi Arabia, berkedudukan di
Kairo. Rasjidi adalah orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi Duta negara
Republik Indonesia untuk Mesir dan Saudi Arabia.
Pada Februari 1952, Rasjidi diminta
oleh Wakil Tetap Indonesia di PBB untuk menemaninya mengikuti sidang-sidang PBB
di Paris, markas PBB waktu itu. Di sela-sela keibukannya mengikuti
sidang-sidang di markas PBB, Rasjidi memanfaatkan waktu untuk mendaftarkan diri
guna mengajukan disertasi di Universitas Sorbonne, Paris. Rasjidi memilih
Univeritas Sorbonne mengingat hubungan kultural yang amat dekat antara Mesir
dengan Prancis, juga mengingat biaya yang relatif murah.
Sementara itu masa tugasnya
disambung dengan menjadi Duta di Iran merangkap Afghanistan berkedudukan di
Teheran. Kariernya di Kementerian Luar Negeri dilanjutkan ketika Rasjidi
menjadi Kepala Direktorat Penerangan Kementerian Luar Negeri. Sesudah itu ia
ditugaskan menjadi Administrator Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Di sini
Rasjidi tidak hanya mengurusi mahasiswa, tetapi mengurus juga ketatausahaan dan
perpustakaan. Dengan posisinya yang terakhir itu, sesungguhnya Rasjidi merasa
sedang disingkirkan. Akan tetapi sebagai Muslim ia mengambil hikmahnya. Di
perpustakaan, Rasjidi dapat mengumpulkan berbagai bahan untuk disertasinya yang
akan diajukan di Universitas Sorbonne berjudul “l’Evolution d l’Islam en Indonesie ou Consideratuion Crititique du Livre
Javanais Tjentini”.
Pada 23 Maret 1956, Rasjidi pun
dinyatakan lulus, dan berhak mengenakan gelar Docteur de l’Universite de Paris avec la mention Tres honorable atau Cum Laude, dengan pujian. Ijazah yang diberikan kepada Rasjidi ditandai dengan
tulisan Faculte des Letters Doctorat de l’Universite de Paris.
Di tengah suasana gembira, Rasjidi menerima
kawat pengangkatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik
Indonesia untuk Republik Islam Pakistan, berkedudukan di Pakistan.
Masa di Pakistan adalah masa-masa
sulit bagi Rasjidi. Di Tanah Air pecah pergolakan daerah yang ditandai dengan
pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Beberapa Kedutaan RI memihak
PRRI/Permesta. Silih berganti mereka yang pro-PRRI/Permesta dan pro-Sukarno
datang membujuk Rasjidi untuk mengikuti mereka.
Dalam masa sulit itulah datang
tawaran kepada Rasjidi untuk menjadi Guru Besar di McGill University, Montreal,
Kanada. Tanpa berpikir panjang, Rasjidi menerima tawaran dari McGill University
itu dan segera mengajukan cuti besar atas tanggungan sendiri. Lima tahun
lamanya Rasjidi menghabiskan waktu, menjadi Guru Besar di sebuah perguruan
tinggi terkemuka di Kanada.
Pengembarannya di luar negeri
diakhiri dengan menjabat sebagai Wakil Direktur Islamic Centre di Washington
DC, Amerika Serikat.
Rasjidi kembali ke Tanah Air di
hari-hari terakhir kekuasaan Sukarno. Sembilan bulan lamanya dia menumpang tinggal
di Jalan Menteng Raya 58 (Kompleks Sekretariat Gerakan Pemuda Islam
Indonesia/GPII dan Pelajar Islam Indonesia/PII –ed) lantaran rumahnya di Jalan
Diponegoro 42 Jakarta Pusat masih ditempati orang lain.
***
Apa kegiatan Pak Rasjidi sekembali
di Tanah Air?
Selama dua tahun saya menganggur, hingga pada suatu hari di bulan September
1966, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Mr. Subekti, meminta
saya menjadi Guru Besar Hukum Islam. Tawaran itu saya terima, dan pada 20 April
1968 saya dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada kesempatan itu saya menyampaikan pidato pengukuhan berjudul: “Islam di
Indonesia di Zaman Moderen”.
Menjadi Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia sampai pensiun?
Tepatnya dipensiunkan. Pada tanggal 14 April 1978, surat kabar Suara Karya memuat tulisan A.M.W.
Pranarka berjudul: “Secara Kultural, Nasionalisme adalah Dasar Sejarah
Indonesia.” Tulisan itu menunjukkan bahwa Pranarka amat terpengaruh oleh
filsafat Hegel (1777-1831), baik yang mengenai dialektika atau pun yang
mengenai negara dan agama.
Saya kemudian menanggapi tulisan itu yang kemudian dibukukan dengan judul Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan
Pendidikan Nasional (Jakarta, Bulan Bintang, 1980). Akibat tulisan itu,
tanpa pemberitahuan lebih dulu, saya dipensiunkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef. Padahal, baik Rektor UI maupun Dekan FH-UI telah
menetapkan untuk meminta saya terus mengajar.
Jabatan Pak Rasjidi yang lain?
Sejak 1981 saya menjadi Kepala Kantor The
World Moslem League di Jakarta, tetapi sejak Desember 1988 jabatan itu
sudah saya lepaskan.
Kegiatan yang lain?
Saya menulis dan menerjemahkan 23 buku.
Apa kepedulian utama Pak Rasjidi?
Saya ingin mendekatkan kaum intelektual kepada Islam.
***
Prof. Dr. H.M. Rasjidi dikenal
sebagai intelektual yang produktif menuangkan pemikirannya dalam bentuk artikel
dan buku. Berikut ini beberapa karya intelektual Prof. Rasjidi.
1. L’Evolution de l’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre
Javanais Tjentini (Disertasi Ph.D di
Universitas Sorbonne, Prancis, 1956),
2. “Unity and Diversity in Islam” dalam
Prof. Kenneth Morgan, Islam the Straight Path, Ronald Press New York, 1958,
3. Islam dan Indonesia di Zaman Moderen
(Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1968),
4. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisme (1972),
5. Filsafat Agama (1972),
6. Keutamaan Hukum Islam,
7. Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi (1974),
8. Sidang Dewan Gereja se-Dunia di Jakarta 1975: Artinya Bagi Dunia Islam,
9. Islam dan Kebatinan (1977),
10. Mengapa Aku Tetap Memeluk Islam,
11. Islam Menentang Komunisme,
12. Islam dan Sosialisme,
13. Sikap Umat Islam terhadap Ekspansi Kristen,
14. Agama dan Etika,
15. Di Sekitar Kebatinan,
16. Kasus Rancangan Undang-undang Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (dilarang beredar),
17. Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya (1977),
18. Bibel, Qur’an, dan Sains Moderen
(terjemahan dari Le Bible, le Coran, et le Science, karya Dr. Maurice Bucaile, 1978),
19. Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (1980),
20. Humanisme dan Islam (terjemahan dari
buku l’Humanisme de l’Islam, karya
Dr. Marcel Boisard, 1980),
21. Janji-janji Islam (terjemahan dari
buku Promesses de Islam karya Roger
Graudy, 1982),
22. Persoalan Filsafat (terjemahan dari
buku The Living Issue of Philosophy,
karya Titus cs, 1984),
23. Apakah Itu Syi’ah? (1984),
24. Soal Peradilan Agama Prof. Dr. H.M. Rasjidi menjawab Frans Magnis Suseno SJ, (1988),
25. Dan sejumlah tulisan lain yang
tersebar di berbagai media massa.
***
Bagaimana Pak Rasjidi melihat
perkembangan Islam di Indonesia sekarang?
Menggembirakan. Dulu di zaman Belanda hanya sedikit orang
Islam yang berminat kepada Islam, kini jamaah masjid dan majelis ta’lim
melimpah. Ternyata perkembangan Islam itu tidak bisa dihambat. Itu semua berkat
kerja keras kita bersama.
Jadi, Bapak optimis melihat
perkembangan Islam?
Ya. Anak-anak demikian bergairah. Tetapi bahwa ada di
antara anak-anak muda itu yang berpikiran aneh-aneh dan menjual dirinya untuk
kepentingan sesaat, tentu sangat disayangkan.
Saya yakin tanpa berpikiran aneh dan menjual diri, Islam ini akan tetap
berkembang.
Bagaimana proses penganugerahan
Bintang Mahaputera itu?
Singkat sekali. Awal Agustus saya menerima telepon dari Departemen Luar
Negeri, meminta riwayat hidup saya. Saya bikin, ditulis tangan, karena saya
sudah tidak bisa mengetik lagi. Beberapa hari kemudian datang lagi telepon,
kali ini dari Sekretaris Militer (Sekmil) Presiden. Juga minta riwayat hidup.
Saya tanya, ada apa ini? Orang Sekmil itu cuma menjawab: “Nanti Bapak akan tahu
sendiri.”
Tahu-tahu, ya Bintang Mahaputera itu tadi.
Jadi yang mengusulkan Departemen
Luar Negeri?
Ya.
Bukankah Bapak Menteri Agama
pertama?
Ya. Dan ucapan selamat yang saya terima dari pejabat negara, baru dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hasan.
***
Pak Rasjidi berdiri dan berjalan mengambil surat dari Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan. Tidak lama kemudian surat itu ditunjukkan kepada Serial Media Dakwah. “Saudara bisa baca
surat itu. Itulah satu-satunya surat dari pejabat negara yang saya terima hingga
hari ini,” tutur Pak Rasjidi.
Senja bertambah larut. Maghrib menjelang datang. Serial Media Dakwah pun mohon diri. Pak Rasjidi mempersilahkan
dengan ramah. Kami berjabat tangan, dan saling memberi salam.[]
Sumber: http://lukmanhakiem.blogspot.co.id/2014/12/serial-media-dakwah-nomor-183-muharram.html (17 Desember 2015)