Friday, February 1, 2013

Tokoh Ilmu Perbandingan Agama dan Pemikirannya

A. Pendahuluan
Agama mengajarkan ketenangan, keharmonisan, kedamaian dan tentunya menimbulkan sinergi positif dalam kehidupan beragama. Namun, tak jarang di temui ada konflik, perselisihan, bahkan kekerasan yang muncul karena agama atau mengatasnamakan agama. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, adakalanya konflik terjadi antar sesama agama yang memiliki sekte berbeda.
Terjadinya perbedaan pendapat mengenai aliran teologi dalam umat telah disampaikan oleh Nabi SAW dalam hadisNya, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tetapi hanya satu golongan yang akan selamat, golongan yang lain akan binasa”. Tentu timbul pertanyaan golongan manakah yang selamat itu? Rasulullah tidak memberikan jawaban dengan menunjuk golongan tertentu tetapi dengan memberikan kriteria golongan yang selamat tersebut. “(yaitu) orang-orang yang mengikuti sunnah dan al-jama’ah”.
Riwayat hadis diatas memberikan gambaran umum apa yang selalu terjadi di dalam umat Islam. Klaim kebenaran dan hak pemegang kebenaran sejati muncul dari setiap golongan dan seringkali diikuti dengan pertumpahan darah. Perenungan yang mendalam mengenai teks hadis dan fenomena yang terjadi seharusnya memberikan jalan keluar dari konflik yang berlarut-larut hingga kini. Secara faktual hadis diatas tidak tunjuk hidung dengan menunjuk golongan mana yang terselamatkan itu?. Hadis di atas memberikan penjelasan bahwa (1) adanya perpecahan dalam umat, (2) kriteria gologan yang selamat (3) keharusan untuk mengikuti al-sunnah dan al-jam’ah dan (4) al-sunnah dan al-jama’ah adalah apa yang Nabi dan para sahabat jalankan.
Selain faktor eksternal yang menjadi pokok penyebabnya, ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya. Padahal dalam setiap agama terdapat ajaran tentang kerukunan antar sesama. Untuk itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman antar umat beragama perlu kiranya sebuah disiplin ilmu tentang agama-agama yang ada di dunia ini, dalam hal ini kita kenal dengan ilmu perbandingan agama. Dalam tulisan saya kali ini saya tidak membahas tentang disiplin ilmu tersebut, melainkan saya hanya ingin mengemukakan beberapa tokoh yang ahli dalam ilmu perbandingan agama dan pemikirannya. Diantara tokoh-tokoh ilmu perbandingan agama tersebut antara lain adalah Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Ibnu Hazm dan As-Syahrastani.

B. Prof. Dr. H.A. Mukti Dan Pemikirannya
Prof. Dr. H.A. Mukti Ali lahir di Cepu, 23 Agustus 1923. Semasa beliau masih kecil Sejak berumur delapan tahun, beliau mengenyam pendidikan Belanda di HIS. Baru setelah usianya menginjak 17 tahun beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Dengan kemampuannya dalam berbahasa inggris beliau melanjutkan studi Islam ke Universitas Aligarch, India setelah perang dunia ke dua hingga mendapat gelar doktor sejarah Islam sekitar tahun 1952 dan kemudian beliau melanjutkan studi ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil gelar Master of Arts (MA). Beliau juga pernah menjabat sebagai staf Kedubes RI di Karachi. Sejak itulah gagasan pembaruan Mukti Ali sebenarnya telah terlihat jelas. Beliau kerap kali menulis soal-soal gagasan pembaruan keislaman Muhamamd Abduh dan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Meskipun saat itu, beliau masih pada taraf membandingkan gagasan pembaruan kedua tokoh tersebut, namun benih-benih pembaruannya itu menjadi entry point penting kelak dalam perkembangannya. Mukti Ali cukup lihai dan cenderung mengintrodusir gagasan liberal Islam sedemikian rupa sehingga relatif tidak menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tidak sepaham dengannya.
Mantan rektor IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini, dinilai sebagian kalangan telah memberi perlindungan kepada Ahmad Wahib atau Harun Nasution yang dianggap sebagai pemikir liberal. Baginya, membiarkan pemikiran liberal tumbuh akan lebih menguntungkan dan kondusif bagi perkembangan Islam modern. Karena itulah dapat dipahami bila tokoh ini tidak mengkritisi liberalisme Islam yang dikembangkan para intelektual. Sebagai sekretaris M. Natsir, ketua umum Masyumi waktu itu juga membina dan mencoba merujukkan hubungan baik antara NU dan Muhammadiyah, serta mempelopori gerakan kerukunan antar-agama.
Tokoh yang bersih, jujur dan sederhana ini dilantik menjadi menteri agama pada 11 September 1971 menggantikan KH. M. Dachlan (Kabinet Pembangunan I) dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Saat itulah beliau menggagas model kerukunan antar-umat beragama untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional. Terapi yang digagas Mukti Ali dan diimplementasikan melalui Departemen Agama tersebut, secara mendasar dilandasi oleh prinsip keadilan Islam yang mempercayai tiga hal penting, yakni; kebebasan hati nurani secara mutlak, persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang kokoh. Setelah meneyelesaikan tugas sebagai Menteri Agama, lalu diangkat menjadi anggota DPA, tapi ia memutuskan tinggal di Yogyakarta agar kegiatan mengajar bisa kembali dilakukannya.
Gagasan dan pemikirannya ini tetap diteruskan oleh penggantinya, kala itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Bahkan kemudian dikembangkan menjadi konsep “Trilogi Kerukunan” yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.
Yang lebih menonjol adalah konsepnya tentang agree in disagreement (setuju dalam ketidaksetujuan atau setuju dalam perbedaan) yang pertama kali dikemukakannya pada forum symposium di Goethe Institute, Jakarta, beberapa bulan sebelum ia diangkat menjadi menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut menjadi konsep ‘Kerukunan Hidup Antar umat Beragama’ di Indonesia.
Sepanjang hayatnya beliau dikenal sebagai intelektual Muslim yang tangguh, berwatak dan berpandangan luas, memiliki reputasi nasional dan internasional. Dia anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), anggota dewan riset internasional dan perintis organisasi Parlemen Agama Sedunia di New York. Dia orang pertama yang membuka jurusan Perbandingan Agama di lingkungan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan dikukuhkan sebagai Guru Besar ilmu Perbandingan Agama, barangkali satu-satunya di Indonesia. Dia memperkenalkan pendekatan religion scientific atau scientific-cum-doctrinair. Meski demikian, ia menolak disebut sebagai ‘bapak ilmu Perbandingan Agama di Indonesia’.
Dalam memahami ilmu perbandingan agama ada kesulitan yang disebut “epoche”, yaitu ‘meninggalkan untuk sementara credo yang diyakininya dan masuk ke dalam credo agama lain yang ingin dipahaminya”, Mukti ali memberikan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ini, yaitu dengan “pengalaman bergaul” atau “ mentransfer” pengalaman kita sendiri dalam meyakini dan menghayati agama yang kita peluk, ke dalam pemeluk agama lain dengan pengalamannya beragama.
Ilmu perbandingan agama seringkali disamaartikan dengan sejarah agama-agama, fenomenologi agama, ilmu agam-agama. Menurut mukti ali asal muasal ilmu perbandingan agama adalah ilmu agama-agama (science of religions atau religionswissenchaft). Dan dalam perkembangannya yang awalnya merupakan salah satu metode dari ilmu agama, akhirnya menjadi ilmu tersendiri.
Keistimewaan Mukti Ali, ia bisa menampilkan diri murni sebagai tokoh representatif umat Islam yang netral dari kepentingan kelompok. Dia bukan berasal dari organisasi NU, bukan pengurus Muhammadiyah, atau lainnya, dan bukan pula kader partai politik. Di samping itu, meski berpendidikan Barat, kharisma seorang mentri agama panutan umat tercermin pada sosok Mukti Ali. Bahkan beliau mensponsori berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) bulan Juli 1975, yang diantara fungsi utamanya memberikan pertimbangan kepada umat Islam dan pemerintah mengenai masalah keagamaaaan dan kemasyarakatan.
Hingga masa senjanya, beliau telah menulis puluhan buku, antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini; Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika; Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal; Ta’limul Muta’alim versi Imam Zarkasyi; Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam; Asal Usul Agama; dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.

C. Ibnu Hazm dan Pemikirannya
Selain Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, juga ada 2 tokoh pemikir Muslim yang meletakkan dasar-dasar Ilmu perbandingan agama, yaitu Ibn Hazm dan As-Syahrastani. Ibn Hazm adalah seorang Islam spanyol yang kakeknya adalah seorang Islam yang tadinya Kristen. Keadaan Spanyol yang terpecah-pecah menyebabkan Islam lebih mudah menguasai spanyol kembali. Pada tahun-tahun berikutnya pusat-pusat pemerintahan Islam jatuh di tangan Spanyol, misalnya: Toledo (1085), Cordoba (1236), Sevila (1248), dan akhirnya Granada (1492). Pada saat itulah beliau menulis bukunya yang berjudul Al-Fasl fil Milal wal Ahwa’ wal Nihal.
Buku tersebut terdiri atas empat jilid, dan merupakan serangan terhadap integritas Al-Kitab (Bibel) serta bantahan atasnya. Ia mengenal dan mengerti perjanjian lama dan perjanjian baru dalam beberapa terjemahan. Kutipan-kutipannya banyak banyak mengambil dari terjemahan bahasa Arab yang ditulis oleh Sa’id b. Ya’qub al-Fayyumi (nama arab dari sa’adiyah Gaon, 882-942). Ia juga mempunyai hubungan erat dengan seorang sarjana Yahudi yang bernama Samuel Halevy ben joseph b. Naqdala (meninggal di Granada 1055).
Dalam bukunya, Al-Fasl tersebut di atas, selalu ditunjukkan ketidakbenaran kitab orang Yahudi dan Kristen. Ia menyebutkan bahwa buku-buku yang diwariskan dan diterima oleh orang Yahudi itu sudah mengalami tahrif dan tabdil (penkorupsian teks dan perubahan isi), ia mengatakan bahwa kisah yang ada dalam kitab kejadian (Genesis) sudah dipalsukan, ia juga berpendapat bahwa kitab keluaran sudah dipalsukan. Masalah-masalah kronologis juga menarik perhatiannya karena tidak sesuai dengan realitas berdasarkan argument historisnya. Bahkan ia juga mengungkapkan keberatan-keberatan secara teologis dan menunjukkan bahwa Perjanjian lama itu bukan berasal dari Tuhan, begitu juga dengan perjanjian baru khususnya kitab injil bukan berasal dari Tuhan.

D. Asy-Syahrastani dan Pemikirannya
Sedangkan Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.
Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.
Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya. Asy-Syahrastani mempunyai beberapa buah kerya tulis diantaranya adalah: Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.
Jika dipandang dari segi pikiran dan kepercayaan, menurut Asy-Syahrastani manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.
Asy-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.
Dalam Bukunya Al-Milal wa Al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.
 
Retrieved from: http://ramadhan-el-fitherfiker.blogspot.com/2012/03/tokoh-ilmu-perbandingan-agama-dan.html

No comments:

Post a Comment