Sunday, December 14, 2014

La Ikraha fi al-Din

La Ikraha fi al-Din*)
Sabtu, 11 Oktober 2014 20:43

Oleh Nurul H. Maarif**)
Diriwayatkan, sebelum Islam datang, ada seorang wanita yang ketika mempunyai anak, anaknya selalu meninggal dunia. Ia berjanji pada dirinya, apabila mempunyai anak yang hidup, ia akan memaksa dan menjadikannya Yahudi. Ketika Islam datang dan Yahudi Bani Nadhir diusir dari Madinah karena pengkhiatannya, ternyata anak tersebut dan beberapa anak lainnya yang sudah termasuk keluarga Anshar, terdapat bersama-sama kaum Yahudi. Berkatalah kaum Anshar: “Jangan biarkan anak-anak kita bersama mereka.”1) Maka turunlah Qs. al-Baqarah [2]: 256:

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada taghut2) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah [2]: 256).

Turunnya ayat di atas menjadi teguran keras bagi orang-orang tertentu (dan kita semuanya) yang memaksa pihak lain untuk mengikuti agamanya. Dalam riwayat lain diceritakan, ayat ini berkaitan dengan al-Hushain dari golongan Anshar, suku Bani Salim bin ‘Auf. Ia mempunyai dua orang anak yang beragama Nashrani, sedang ia sendiri seorang muslim. Ia bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Bolehkah saya memaksa kedua anak saya itu, karena mereka tidak taat kepadaku dan tetap ingin beragama Nashrani?” Maka turunlah ayat ini sebagai teguran atas keinginannya memaksa kedua anaknya beralih agama atau keyakinan.3)

Nafy al-Din al-Ijbari
Ikrah dalam Qs. al-Baqarah [2]: 256 di atas, bermakna paksaan. Akar katanya kariha yang bermakna ketidaksenangan atau kesulitan yang dihadapi seseorang akibat dibebani sesuatu secara paksa. Pemaksaan adalah pekerjaan yang menyebabkan orang lain tidak senang atau tidak suka. Dengan demikian, maksud “tidak ada ikrah” dalam ayat di atas adalah kita tidak boleh memaksa orang lain untuk masuk atau menganut agama Islam. Allah menghendaki seseorang masuk atau menganut Islam secara suka rela dan ikhlas tanpa paksaan. Ini akan menjadikan keislaman berjalan efektif.4) Untuk itu, tugas kita hanyalah menyampaikan, bukan memaksa objek dakwah, karena hidayah itu urusan Allah.

Islam mengajarkan umatnya untuk mengajak kepada Islam dengan hikmah (al-hikmah), nasihat yang baik (al-mau’idhah al-hasanah), dan berdiskusi atau berdialog dengan cara yang terhormat (wa jadilhum bi allati hiya ahsan) (Qs. al-Nahl: 125). Apabila kita sudah menyampaikan kepada mereka melalui tiga langkah itu, tetapi mereka tetap dalam pendiriannya dan tidak juga beriman, maka selesailah tugas kita dan itu bukanlah urusan kita lagi, melainkan urusan Allah Swt.5) Allah Swt berfirman:

Artinya: “Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus [10]: 99.

Dalam al-Qur’an dan Tafsirnya dijelaskan, iman adalah keyakinan batin yang berada di kedalaman hati sanubari. Tiada seorangpun dapat memaksa hati seseorang untuk meyakini sesuatu, tatkala ia tidak bersedia meyakininya.6) Kebenaran Nabi Muhammad dan Islam sudah gamblang dan informasi tentangnya sudah tersampaikan kepada semua orang. Karena itu, terserah pada masing-masing orang untuk mengimani atau mengingkarinya. Toh, tanggungjawab keimanan dan keingkaran itu ada pada diri masing-masing. Kita tidak akan memikul tanggungjawab atau konsekuensi perbuatan yang dilakukan pihak lain.

Terkait tudingan Islam disebarkan dengan pedang dan darah (bi al-saif wa al-dam) lantaran terjadi beberapa peperangan dalam sejarah Islam, maka itu bukan tudingan yang mendasarkan pada argumen ilmiah. Peperangan yang terjadi saat itu, hanyalah “beladiri” atau “pembelaan diri” terhadap serangan-serangan kaum kafir pada kaum muslim. Peperangan inipun dilakukan untuk mengamankan jalannya dakwah Islam, sehingga aneka kezaliman kaum kafir tidak mengganggu keberlangsungannya.7)

Menurut Muhammad Husein al-Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, ajaran la ikraha fi al-din menganulir tudingan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan jihad menjadi rukun penegakannya. Baginya, perang hanyalah pembelaan (al-difa’), bukan cara penyebaran Islam. Karenanya, ayat ini tidak diabrogasi/dihapus oleh ayat tentang pedang.8) Dalam al-Tafsir al-Munir, Wahbah al-Zuhaili juga menyatakan, ayat la ikraha fi al-din ini membatalkan tuduhan bahwa Islam qama bi al-saif (tegak karena pedang). Peperangan yang (terpaksa) terjadi itu hanyalah cara li radd al-‘udwan (untuk menghalau musuh), sehingga agama bisa berdiri dengan merdeka tanpa ada gangguan pihak musuh. Ayat ini juga mengarahkan kita untuk mengakui – yang oleh al-Zuhaili disebut – hurriyah al-tadayyun (kebebasan memeluk agama).9)

Karena itu juga, terkait kebebasan beragama ini, di wilayah yang dikuasai kaum muslim, maka non-muslim diberi hak dan kemerdekaan untuk memilih memeluk Islam ataukah tetap setia pada agama mereka. Jika memilih tetap pada agamanya, maka mereka dikenai pajak keamanan (jizyah).10) Pajak ini wajib dibayarkan selama pemerintah Islam mampu mengayomi mereka dan menjamin keamanannya. Andai pemerintah Islam tidak mampu, mereka tidak berkewajiban membayarnya dan bahkan jizyah yang telah dibayarkan bisa ditarik kembali. Inilah bukti keluasan Islam, yang senantiasa menghargai dan memberikan kebebasan bagi siapapun untuk memeluk agama sesuai keyakinannya. Inilah inti ajaran “lakum dinukum wa liya din/Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Qs. al-Kafirun: 6).

Menafsiri Qs. al-Baqarah [2]: 256 di atas, dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim Abu al-Fida Isma’il bin Katsir menuliskan, maksud la ikraha fi al-din adalah la tukrihu ahadan ‘ala al-dukhul fi din al-Islam (Jangan kalian memaksa seseorang memasuki/menganut Islam!). Sebab, semua dalil kebenaran Islam sudah jelas, sehingga tidak perlu ada pemaksaan.11) Sedangkan Muhammad Husein al-Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an menyatakan, al-ikrah huwa al-ijbar wa al-haml ‘ala al-fi’l min ghair ridha (Memaksakan suatu perbuatan tanpa kerelaan).12) Point utama dari pemaksaan, adalah ketidakridaan atas perbuatan yang dilakukan. Jika ini dibiarkan, maka yang timbul bukanlah peribadahan yang didasari ketulusan, melainkan kemunafikan. Dan tentu saja, Islam tidak menghendaki kemunafikan dalam beribadah. Keyakinan itu ibarat cinta, yang tidak bisa dipaksakan untuk seseorang yang tidak dicintainya.

Bagi Muhammad Husein al-Thabathaba’i, ayat la ikraha fi al-din ini sesungguhnya tengah menjelaskan perihal nafy al-din al-ijbari (meniadakan agama paksaan),13) agama yang dibangun atau dianut oleh seseorang berdasarkan pemaksaan oleh pihak lain. Muhammad Husein al-Thabathaba’i menyatakan, agama adalah rantai pengetahuan akademis yang berlandaskan keyakinan-keyakinan (i’tiqadat). Menurutnya, al-i’tiqad wa al-iman min al-umur al-qalbiyyah allati la yuhkamu fiha al-ikrah wa al-ijbar (Keyakinan adalah persoalan hati yang tidak bisa dihukumi dengan pemaksaan). Pemaksaan itu, katanya, bisa berpengaruh hanya pada perbuatan-perbuatan lahir (al-a’mal al-dhahirah) dan gerak tubuh yang fisik (al-harakat al-badaniyyah al-madiyah).14) Karena hati bukan persoalan lahir, maka tidak berlaku pemaksaan atasnya.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menerangkan, sesungguhnya Allah Swt tidak membutuhkan sesuatu, sehingga tidak perlu ada pemaksaan dalam beragama. Jika menghendaki, maka sesungguhnya Allah Swt bisa menjadikan kita semua sebagai umat yang satu (Qs. al-Ma’idah: 48). Menurut Quraish, yang dimaksud tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah tidak ada paksaan untuk menganut akidahnya. Jika ia sudah menganut akidah tertentu, maka ia terikat oleh aturan dan ketentuan akidah itu, sehingga ia tidak berhak berkata: “Allah telah memberi kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah”.15)

Penjelasan serupa disampaikan Wahbah al-Zuhaili. Ia menuliskan: “Jangan kalian memaksa seseorang untuk masuk/menganut Islam, karena sejatinya bukti-bukti kebenarannya tidak membutuhkan pemaksaan. Dan sesungguhnya keimanan itu berdiri di atas kerelaan, hujjah dan bukti-bukti. Karenanya, tiada berguna pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan”.16)

Dalam Tafsir fi Dhilal al-Qur’an, Sayyid Quthb menjelaskan, masalah akidah yang dibawa oleh Islam, adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Agama Islam datang dan berbicara pada daya pemahaman manusia dengan segala kekuatan dan kemampuannya. Ia berbicara pada akal yang berfikir, intuisi yang berbicara dan perasaan yang sensitif, sebagaimana ia berbicara pada fitrah yang tenang.17) Menurutnya juga, Islamlah yang mengumandangkan tidak ada paksaan memeluk agama. Islamlah yang menjelaskan tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama ini.18) Dengan demikian, ayat la ikraha fi al-din ini memberikan jaminan kepada seluruh manusia perihal kebebasan memeluk dan menganut agama atau keyakinan yang dipercayainya. Hal ini penting untuk menghindarkan tudingan Islam sebaga al-din al-ijbari (agama paksaan), karena sejatinya ayat ini justru tengah melakukan – apa yang oleh al-Thabathaba’i disebut sebagai – nafy al-din al-ijbari (menegasikan agama paksaan).19)

Hikmah Larangan Memaksa

La ikraha fi al-din telah menjadi ajaran yang inheren dalam Islam, yang karenanya harus diamalkan sungguh-sungguh. Spirit ayat ini sudah semestinya menjadi darah kehidupan kita, sehingga dalam menjalankan nadi dakwah kita senantiasa bertindak damai dan menenteramkan. Pertanyaannya, apa sesungguhnya hikmah yang bisa dipetik dari spirit ayat ini? Tentu saja banyak hikmah yang muncul darinya. Dalam tulisan ringan ini, setidaknya tiga hal yang penulis kemukakan.

Pertama
, Allah Swt memuliakan kehendak manusia. Bagi Sayyid Quthb, ayat la ikraha fi al-din ini menunjukkan bahwa Allah Swt memuliakan manusia, menghormati kehendak, pikiran dan perasaannya. Allah Swt ingin menyerahkan segala urusan mereka pada dirinya sendiri, terutama terkait petunjuk dan kesesatan dalam akidah dan memikulkan tanggungjawab pada dirinya sebagai konsekuensi pilihan perbuatannya. Menurutnya, kebebasan berakidah merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang karena hal itulah ia layak disebut manusia. Untuk itu, manusia yang melucuti manusia lain dari kebebasan dan kemerdekaan berakidah, berarti ia telah melucuti kemanusiaannya.20)

Kedua
, Allah Swt menghendaki kedamaian. Menurut M. Quraish Shihab, diantara hikmah la ikraha fi al-din adalah kedamaian. Quraish menuliskan, Allah Swt menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamakan Islam yang bermakna damai. Menurutnya, kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa manusia tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, sehingga tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan Islam.21) Ini menunjukkan, visi ayat ini sesuai dengan visi besar Islam itu sendiri sebagai agama yang menjunjung keramahan dan kedamaian.

Ketiga
, Allah Swt mengajarkan ketulusan. Zakky Mubarak menyatakan, Islam mengajarkan umat manusia untuk menjalankan kebaikan dan menghindarkan keburukan dengan keinsyafan dan kesadaran. Perbuatan dan berbagai aktivitas apapun tidak akan memiliki makna yang baik, apabila dikerjakan dengan terpaksa dan karena pertimbangan-pertimbangan lain dengan mengabaikan ketulusan dan keikhlasan. Ibadah dan amal kebajikan yang sedikit dan ringan yang dilakukan dengan keikhlasan jauh lebih baik dari ibadah dan amal yang dikerjakan tanpa keikhlasan, meskipun dikerjakan lebih banyak dan lebih berat.22) Pemberian kebebasan dan bukan pemaksaan, akan menjadikan pelakunya meraih ketulusan dalam menjalankan agamanya. Inilah point utama dalam beragama, sesungguhnya.

Selain itu, tentu saja hikmah-hikmah lain bisa dirasakan oleh yang bersangkautan. Misalnya, keberagamaan harus didasari kedewasaan, belajar bertanggungjawab atas pilihan sadarnya, menghargai keragaman yang didasari tanggungjawab baik di dunia maupun di akhirat, terjalinnya silaturahim universal antara pihak yang satu dengan yang lain dan sebagainya. Untuk itu, menjaga spirit ayat ini menjadi kewajiban yang terlarang diabaikan bagi umat Islam, terutama kalangan santri pesantren. Wa Allah a’lam.[]

Cikulur, 10 Oktober 2014
END NOTES
*)Makalah disampaikan pada Halqah Remaja “Triple Ing Community” (Triping.Com), Jum’at, 10 Oktober 2014, di Pondok Baca Qi Falah Cikulur Lebak Banten.
**)Penggagas Halqah Santri Triple Ing Community, Pondok Baca Qi Falah dan Pimred www.qothrotulfalah.com, Cikulur Lebak Banten.
1)    K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Penerbit Diponegoro, 200), h. 85-86. Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001), I/305. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M), II/22.
2) Thaghut adalah sekutu-sekutu Allah dan para berhala (al-andad wa al-ashnam). Juga apa-apa yang disembah selain Allah Swt. Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/306. M. Quraish Shihab menyebutkan, al-thaghut bermakna “melampuai batas”, yakni melampaui batas keburukan. Setan, dajjal atau penyihir, semuanya  digelari al-thaghut. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), I/670. Sayyid Quthb menjelaskan, al-thaghut adalah segala sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya, tidak berpedoman pada akidah dan syariat yang ditetapkan-Nya. Manhaj atau tatanan/aturan yang tidak berpegang pada ketentuan Allah Swt juga disebutnya al-thaghut. Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, T.Th.), I/344.
3) K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an, h. 86. Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/305. Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, II/22.
4) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), I/380.
5) Hidayah yang bermakna al-taufiq, adalah semata urusan Allah Swt. Kita hanya bisa memberikan hidayah dalam pengertian al-irsyad wa al-bayan, hidayah yang berupa petunjuk-petunjuk dhahir. Soal petunjuk batin, itu murni kehendak dan wewenang Allah Swt, yang tidak seorangpun mampu melakukannya, termasuk Nabi Muhammad Saw. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya kamu tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Qs. al-Qashash: 56). Tentang hidayah al-taufiq dan al-irsyad wa al-bayan ini, lihat: Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 30-31. 
6) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, I/381.
7) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, I/382 .
8) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/348.
9) Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, II/23.
10) Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya, I/382
11) Abu al-Fida Isma’il bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, I/305.
12) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1417 H/1997 M), II/346.
13) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/347.
14) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/347.
15) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, I/668-669.
16) Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, II/23.
17) Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, I/342.
18) Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, I/343.
19) Muhammad Husein al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, II/347.
20) Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, I/343.
21) M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, I/669.
22) Zakky Mubarak, Menjadi Cendekiawan Muslim: Kuliah Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniyah, 1428 H/2007 M), 58.

DAFTAR PUSTAKA
1.    al-Qur’an dan Terjemahnya
2.    Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M.
3.    Bin Katsir, Abu al-Fida Isma’il. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001.
4.    Mubarak, Zakky. Menjadi Cendekiawan Muslim: Kuliah Islam di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniyah, 1428 H/2007 M.
5.    Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, T.Th.
6.    Shaleh, K.H.Q. dan H.A.A. Dahlan. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2000.
7.    Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
8.    Tim Penafsir Kemenag Republik Indonesia. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010\.
9.    al-Thabathaba’i, Muhammad Husein. al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1417 H/1997 M.
10.    Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
11.    al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj.Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/2003 M.

http://www.qothrotulfalah.com/indeks-artikel-santri/618-la-ikraha-fi-al-din.html