Wednesday, July 13, 2011

Relasi Islam-Vatikan


Oleh: Ahmad Munjin

Masih segar dalam ingatan kita ketika di sejumlah negara muslim, termasuk Indonesia, terjadi protes yang cukup masif sebagai reaksi terhadap kartun Nabi Muhammad SAW yang diidentikkan dengan teroris dalam sebuah majalah di Denmark. Protes masif itu kini terjadi lagi, menyusul pernyataan Paus Benediktus XVI mengenai Islam yang disamakan dengan kekerasan dalam pidatonya di Universitas Regensburg, Jerman.

Sementara itu, sejumlah aksi demo terus terjadi di sejumlah tempat. Di Basrah, Irak, massa membakar boneka Paus dan mendesak adanya permintaan maaf dari Paus. Di Kashmir, India, warga melakukan mogok kerja sehari sebagai protes terhadap pernyataan Paus.

Aksi demo itu dilengkapi dengan kritik yang dilontarkan media massa Timur Tengah. Harian Al-Yom di Arab Saudi dan harian Ash-Sharq di Qatar mensinyalir bahwa pernyataan Paus itu menguatkan genderang perang yang ditabuh kubu ultrakanan Amerika Serikat. Lebih jauh, pidato itu juga dianggap menambah rangkaian tuduhan fasis, teroris, dan ekstremis yang dialamatkan kepada umat muslim serta publikasi serangkaian kartun yang menghujat Nabi Muhammad SAW.

Terlepas dari apakah Paus lupa atau sengaja, pernyataan itu telah membangkitkan ketegangan antarumat manusia dan agama yang tak terhindarkan lagi.

Sebenarnya, kalau yang membuat pernyataan itu orang biasa, yang tidak memiliki posisi penting dalam struktur agama, ruang, dan simbol tertentu, mungkin pernyataan itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Yang menjadi masalah adalah pernyataan itu dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI sebagai simbol pemimpin tertinggi dalam struktur agama Kristen Katolik.

Kekerasan tanpa belas

Memang perlu diakui dengan penuh kejujuran bahwa dalam Islam, dan juga agama lain, secara normatif dan positif (sosiologis) ada potensi kekerasan. Tapi, jangan lupa, Islam juga memiliki embrio-embrio perdamaian sejati. Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Psikologi Agama (2003), agama memotivasi kekerasan tanpa belas atau pengabdian tanpa batas; mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan takhayul dan supertisi; menciptakan gerakan massa paling kolosal atau menyingkap misteri rohani paling personal; memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Kendati agama memiliki dua dimensi yang bertentangan, tidak lantas dapat diinterpretasikan secara tekstual dengan melepaskan konteksnya. Saya kira kearifan ini harus dimiliki oleh pemuka-pemuka agama, termasuk Paus Benediktus XVI, kecuali kalau pemuka-pemuka agama itu memang secara terbuka menginginkan peperangan. Agama adalah satu-satunya faktor yang sangat sensitif untuk dijadikan bahan bakar konflik.

Faktor ini terbukti ketika permintaan maaf Paus Benediktus XVI, 17 September lalu, ternyata belum meredakan kemarahan sejumlah kelompok muslim. Di Yordania, Nasser Jawdeh, juru bicara pemerintah, mengharapkan lebih dari itu (minta maaf). Sementara itu, di Somalia, suster asal Italia, Leonella, 66 tahun, tewas ditembak di Mogadishu, 17 September. Di Palestina, tujuh gereja diserang. Di Malaysia, Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar meminta Paus lebih dari sekadar minta maaf. Begitu juga di Mesir, yang diwakili Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi Mesir.

Di Iran, Ali Khomeini, pemimpin spiritual Syiah Iran, menuduh Paus sebagai "mata rantai" konspirasi Amerika Serikat dan Israel, yang bertujuan menciptakan konflik antaragama. Yang lebih berbahaya lagi, di Irak, jaringan Al-Qaidah bakal mengobarkan jihad sampai Barat dikalahkan. Tentara Mujahidin dan Liga Jihad Irak mengancam akan membalas pernyataan Paus.

Undangan dialog

Namun, di atas semua itu, sebelum kerugian yang lebih besar terjadi, sebagai implikasi dari pernyataan Paus itu, kaum muslimin di Indonesia pertama-tama harus mengedepankan sikap yang lebih rasional ketimbang emosional. Semua protes harus dilakukan secara prosedural. Hal ini paralel dengan apa yang diharapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya di Havana, Kuba. Meski menyesalkan pernyataan Paus itu, Yudhoyono mengajak rakyat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, menahan diri, sabar, serta menjaga persatuan dan kerukunan beragama agar betul-betul bisa dibangun situasi yang lebih harmonis.

Kedua, para tokoh agama Islam bersama-sama dengan agama lain mesti segera melakukan dialog secara terbuka, penuh kejujuran, dan saling menghargai agar bisa meredam perasaan emosi umat Islam yang sedang tersinggung.

Jadi permintaan maaf Paus sekaligus penyesalannya atas pernyataan itu sudah tepat dan harus disikapi dengan penuh empati oleh kaum muslimin. Soalnya, Paus sendiri telah menjelaskan dengan sebenarnya bahwa pidatonya itu merupakan sebuah kutipan dari sebuah teks abad pertengahan yang tidak mencerminkan pendapat pribadinya. Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa keseluruhan pidatonya merupakan sebuah undangan untuk dialog yang terus terang dan tulus, dengan saling menghormati.

Ketiga, apabila yang dilakukan kaum muslimin adalah sifat emosional dan reaksioner, justru inilah yang akan lebih menegaskan dan mengafirmasi bahwa Islam memang agama kekerasan. Dengan pernyataan Paus ini, Barat justru akan mengetahui peta radikalisme Islam dengan niscaya. Peta ini tentunya satu paket dengan perang Amerika Serikat terhadap terorisme. Pada hemat penulis, inilah keadaan paling buruk jika umat Islam tidak bersikap dewasa dalam merespons setiap polemik yang terjadi antara Islam dan Vatikan.

Ke depan, pemuka-pemuka agama harus bisa mengedepankan sisi-sisi perdamaian dari agama ketimbang memperuncing aspek kekerasan dalam agama. Agama-agama harus sepenuhnya menghargai berbagai bentuk perbedaan normatif ataupun sosiologis sebagai ekspresi keyakinan beragama dengan semangat saling menghargai, terbuka, dan menjunjung tinggi kebebasan semua pemeluk agama. Namun, semua itu harus dilakukan dengan tetap bertumpu pada agama masing-masing sebagai agama yang paling benar dalam kewajarannya sebagai umat beragama.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2006/09/22/Opini/krn,20060922,70.id.html

Ahmad Munjin
Peneliti Muda Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber: Koran Tempo
Tanggal: 21 Sep 06
Catatan: -

URL Artikel : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=6799&coid=1&caid=34
Copyright © 2006 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

No comments:

Post a Comment