Sunday, April 24, 2011

Rekonstruksi Fiqih Inklusif-Pluralis


Posted by nahdliyinbelanda on October 2, 2007

Oleh: Muhammad Latif Fauzi

Judul Buku: Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis
Penulis : Nurcholish Madjid, dkk.
Editor : Mun’im A. Sirry.
Penerbit : Paramadina, Jakarta
Tahun : 2004
Tebal : 274 + x hlm disertai dengan indeks dan biodata penulis

Sejak awal, hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk saling mengerti dan memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan eksperimentasi demokrasi, umumnya kelompok-kelompok nonmuslim seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan yang sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai “warga kelas dua”, meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran mereka sepenuh hati. Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang seolah-olah taken for granted, yaitu bahwa orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.

Keyakinan semacam ini merembes pada penafsiran hukum atas ayat-ayat al-Quran yang membicarakan status orang-orang nonmuslim. Para fuqaha’ hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa point hukum fiqih yang tidak dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti kasus nikah antaragama dan harta warisan bagi keluarga yang tak seagama. Dalam hal ini, nonmuslim tidak diperbolehkan berhubungan dengan umat muslim karena perbedaan agama tadi. Sementara itu, ada pula masa>’il fiqhiyyah di mana baik umat muslim maupun non-muslim diperlakukan sejajar dan mendapat perlakuan hukum yang sama, seperti persoalan zakat dan kewajiban menaati penguasa (uli> al-amr).

Para fuqaha’ tidak menyamakan status hukum semua orang nonmuslim. Mereka menetapkan kategori-kategori tertentu yang memilah antara kaum nonmuslim yang ahl al-kita>b maupun nonmuslim yang sepenuhnya musyrik. Sayangnya, kategorisasi itu-untuk konteks sekarang-belum cukup memadai untuk mewadahi pluralitas dan menjamin hubungan yang efektif dan egaliter antara kaum muslim dan nonmuslim sendiri. Ada dua alasan mendasar yang melatari. Pertama, kategori apakah seorang nonmuslim musyrik atau bukan yang dibuat para fuqaha’ masih didominasi oleh asumsi teologi skolastik yang melihat keimanan atau akidah orang-orang nonmuslim, tak terkecuali kelompok ahl al-kita>b, sebagai bentuk penyimpangan (deviasi) dari kebenaran Islam, dan karena itu perlu “diluruskan”. Kedua, kategorisasi semacam ini telah mengabaikan munculnya komunitas-komunitas keberagamaan yang lebih kompleks dan beragam daripada sekadar pembedaan antara ahl al-kita>b (Yahudi-Nasrani) dan musyrik yang dibuat para fuqaha’ abad pertengahan.

Selain itu, menurut al-Jabiri, fiqih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutupi masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi, melainkan juga tidak mengakomodasi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan madzhab tertentu.

Faktor terpenting yang menyebabkan kebekuan pemahaman tersebut adalah kecenderungan untuk mengagungkan suatu masa tertentu sebagai masa yang paling Islami. Padahal, fiqih dan ushul fiqih semestinya terus berkembang dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan modern. Fleksibilitas struktur fundamental hukum Islam ini tidak diimbangi dengan produktifitas pemahaman substantif melalui metode ijtihad. Akibatnya, tradisi ilmu-ilmu keislaman, khususnya hukum Islam, pasca abad 10 M cenderung legal-formalistic dan stagnant. Situasi ini menjadi semakin parah ketika teks-teks interpretatif hukum Islam dijadikan teks otoritatif.

Karena itu, sudah menjadi keniscayaan jika fiqih mesti melakukan tafsiran ulang atas sumber-sumber normatif yang melahirkan ambivalensi di kalangan umat muslim dalam menyikapi orang-orang nonmuslim, sekaligus mengangkat pesan universal Islam yang pada dasarnya senada dengan kebenaran yang diyakini oleh agama-agama lain di luar Islam. Upaya ini sangat bergantung pada kepedulian fuqaha’ untuk mencari solusi alternatif agar fiqih juga bisa berbicara banyak dan berperan dalam menciptakan hubungan antaragama yang harmonis dan toleran.

Berdasarkan latar belakang itu, maka beberapa pertanyaan yang muncul adalah, pertama, bagaimana fiqih hubungan antar agama direkonstruksi? Kedua, bagaimana fiqih menyikapi hak minoritas? Ketiga, bagaimana fiqih menyikapi kekerasan yang mengatasnamakan agama? Keempat, bagaimana fiqih menyikapi konsep kewarganegaraan?

Jawaban dan pembahasan atas fiqih yang dituntut mampu menghadapi problem kemanusiaan kontemporer, khususnya masalah hubungan antar agama, dapat ditemukan dalam buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis yang diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation. Buku ini merupakan hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang dimaksudkan untuk memikirkan ulang keberadaan fiqih di tengah perkembangan zaman yang senantiasa meminta etika dan paradigma baru.

Secara sistematis, buku tersebut terdiri dari empat bagian kajian. Bagian pertama diawali dengan pembahasan tentang kerangka pijak teologis yang dibutuhkan untuk membangun fiqih lintas agama. Di situ dijelaskan bahwa fiqih memerlukan pijakan keimanan yang menggambarkan keutuhan dimensi-dimensi keberagamaan. Fiqih yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keimanan yang pluralis pula. Untuk mengembangkan pijakan teologi pluralis dibutuhkan suatu pemahaman dan kesadaran akan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan.

Karena itu muncul sebuah tesis yang, menurut penulis buku tersebut, perlu dipegang teguh dalam konteks hubungan antaragama.
“Fiqih hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqih pluralis. Fiqih eksklusivis tidak sesuai dengan teologi pluralis. Fiqih eksklusivis sesuai hanya dengan teologi eksklusivis. Itulah sebabnya mengapa fiqih lama yang ekslusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota-anggotanya semakin meningkat. Fiqih yang sesuai dengan situasi ini adalah fiqih pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu.

Bagian kedua berbicara tentang bentuk formulasi hukum Islam yang peka terhadap keragaman ritual, misalnya mengucapkan salam kepada non-muslim, doa bersama. Selanjutnya, pada bagian ketiga dibahas tentang fiqih yang dapat menerima agama lain untuk membangun hubungan sinergis, waris beda agama misalnya. Seadangkan pada bagian terakhir dijelaskan tentang variabel pendukung gagasan tersebut, yaitu upaya intensif berupa dialog antaragama yang meliputi dialog kehidupan, kerja sosial, teologis, maupun spiritual.

Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa problem kemanusiaan kontemporer meniscayakan sebuah pembaruan fiqih. Untuk melakukan pembaruan itu dapat dilakukan pada beberapa level, yaitu: Pertama, pembaruan pada level metodologis. Pembaruan model ini memiliki kesamaan dengan pembaruan yang dilakukan oleh ulama’ fiqih lain melalui interpretasi terhadap teks-teks fiqih secara kontekstual, bermadzhab secara metodologis, dan verifikasi antara ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu’). Pembaruan pada level ini tidak mesti membabat habis akar-akar fiqih klasik, melainkan melakukan kontekstualisasi dan verifikasi.

Untuk melakukan pola ini diperlukan dua langkah elemental; pertama, melakukan dekonstruksi (al-qati’ah al-ma’rafiyyah) dengan melakukan pembacaan kritis untuk mengungkap “kepentingan dan ideologi” di balik konsepsi fiqih yang ada dalam teks. Kedua, melakukan rekonstruksi (al-tawa>s}ul al-ma’rafy) sebagai upaya kontekstualisasi konsep fiqih tersebut dengan problem kemanusiaan kontemporer. Dalam konsep hubungan antaragama misalnya, fiqih harus mempertimbangkan faktor keragaman masyarakat dan harus memberikan perhatian yang lebih terhadap non-Muslim.

Kedua, pembaruan pada level etis. Khazanah fiqih yang berkembang dalam masyarakat seakan-akan menyediakan sesuatu yang baku, akibatnya produk fiqih adalah produk yang formalistik dan legalistik. Di sini, perlu pembaruan fiqih yang lebih bernuansa sosial etis. Fiqih tidak sekadar membahas hukum halal-haram, melainkan membahas tujuan hukum (maqa>s}id al-syari>’ah). Ketiga, pembaruan pada level filosofis. Pada level ini, fiqih terbuka terhadap filsafat dan teori-teori sosial kontemporer. Ini penting agar fiqih dapat memotret realitas sosial secara komprehensif. Contoh yang tepat dalam hal ini adalah fiqih terhadap konsep kewarganegaraan dan demokrasi.

Gagasan untuk membangun masyarakat yang damai, harmonis, pluralis-inklusif melalui teologi teoretis (ilmu kalam) dan teologi praktis (fiqih), yang ditawarkan oleh para penulis dalam buku tersebut, memang bagus. Tetapi sebagai sebuah ilmu yang memiliki ciri berkembang secara dinamis tentu saja tidak semuanya benar. Sejauh amatan reviewer terhadap pembahasan dalam buku tersebut, terdapat beberapa “keberatan” yang dapat reviewer ajukan.

Pertama, kerangka pijak dari fiqih lintas agama adalah teologi pluralis sesungguhnya tidak terlalu tepat. Teologi pluralis yang menghendaki pemahaman bahwa semua agama sama adalah lebih karena ajaran semua agama adalah kepasrahan pada Tuhan. Misalnya, jika Islam dalam konteks pluralitas, maka pemahamannya menjadi agama kemanusiaan dan agama fitrah. Kepatuhan terhadap Tuhan yang bersifat vertikal itu harus diturunkan menjadi kesalihan sosial melalui perilaku dalam kehidupan. Dari situ, jelas dan ada alasan untuk merumuskan teologi pluralis karena memang terdapat titik temu di antara beberapa agama, yaitu ajaran untuk patuh kepada Tuhan Maha Kuasa.

Hal ini, menurut reviewer, berbeda hal dengan konsep Fiqih Lintas Agama. Pada titik mana, ajaran (hukum) semua agama dapat bertemu. Oleh karena itu, pada posisi ini, terdapat problem terminologi atas istilah Fiqih Lintas Agama yang digunakan.
Kedua, tidak ada penjelasan tentang metodologi secara detail sebagai kerangka operasional yang dapat digunakan dalam melakukan proses penemuan dan pembentukan hukum Islam yang responsif terhadap problem kemanusiaan kontemporer khususnya terhadap pluralitas agama. Dari berbagai contoh kasus yang ditunjukkan, ternyata masing-masing memiliki kelemahan dan metode penyelesaian yang berbeda.

Dalam penjelasan tentang kawin beda agama, terdapat tiga alasan yang diajukan. Pertama, dijelaskan tentang konsep kafir, musyrik, dan ahl al-kitab dalam al-Qur’an dengan mengkaji QS. Al-Baqarah (2): 105 dan QS. Al-Bayyinah (98): 1. Dari pembahasan tersebut disimpulkan bahwa setiap perbuatan syirik tidak menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik karena pada kenyataannya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik, namun Allah memanggil mereka dengan ahl al-kitab. Kedua, ketika ayat tentang larangan menikahi musyrik turun, terjadi ketegangan antara orang Muslim dengan orang Musyrik Arab. Ketiga, terdapat tiga kelompok lain dalam masyarakat Arab, yaitu musyrik, Kristen, dan Yahudi. Yang disebut musyrik adalah mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dan posisi penting dalam masyarakat dan ini yang membedakan dengan Kristen dan Yahudi.

Sedangkan dalam pembahasan tentang kebolehan waris beda agama, argumen yang digunakan adalah: Pertama, ayat (QS. Al-Nisa’ (4): 141) yang digunakan ulama’ fiqih merupakan ayat yang tidak langsung menunjuk pada pengharaman waris beda agama, melainkan hadis yang bersifat umum. Kedua, sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu> al-arh}a>m), keturunan (nasab), dan menantu, apapun agamanya. Ketiga, hadits yang melarang waris beda agama harus dibaca dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat dengan agama lain.

Berdasar dua contoh kasus di atas, reviewer mengajukan keberatan. Pada contoh pertama, ketika menjelaskan ayat sangat detail dan data yang ditunjukkan sangat representatif, tetapi pada contoh kedua, yang muncul seakan hanya “klaim” tanpa adanya alasan yang memadai. Selain itu, alasan bahwa ketika ayat turun terdapat hubungan tegang antara umat Muslim dan non Muslim, tidak terlalu tepat. Kapan hubungan tegang antaragama dapat berakhir? Perbedaan bahkan benturan konsepsi terjadi pada hampir semua aspek dalam agama. Karena itu, konflik antaragama selalu saja terjadi dari dulu sampai sekarang walaupun kehidupan damai dan harmonis lebih banyak dijalani oleh umat beragama.

Dari situ, kelihatan bahwa gagasan yang diajukan belum seluruhnya matang. Walaupun argumen-argumen yang diajukan sangat logis dan rasional, jika tidak ada formulasi metodologi yang jelas dan dapat diuji, maka cenderung bersifat subyektif. Bisa saja ketika melakukan ijithad terhadap suatu persoalan, alasan-alasan yang ditunjukkan hanya yang sesuai dengan kepentingan mujtahid.

Kendati demikian, fiqih lintas agama memperlihatkan betapa fiqih dapat dijadikan instrumen untuk membuka kerangka kerjasama antaragama yang genuine. Selain itu, fiqih lintas agama juga memiliki ancangan kuat agar fiqih yang ada saat ini tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat individual-privat atau ‘iba>dah mah}d}ah saja, melainkan juga menyentuh ranah publik, termasuk di dalamnya menyangkut hubungan antara satu agama dengan agama lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, wacana ini akan membantu mengatasi merebaknya fobia sebagian kalangan Islam terhadap segala hal yang berbau Barat (yang diidentikkan dengan Kristen) belakangan ini.

Sudah barang pasti, upaya serius tersebut membutuhkan dialog antaragama yang dilakukan secara komprehensif pada level praktis yang terkait dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan demikian, untuk menyentak kesadaran umat muslim akan realitas pluralisme, tidak perlu dengan cara yang muluk-muluk. Persoalan-persoalan yang kelihatannya “sepele” perlu diangkat jika mempunyai implikasi besar bagi hubungan antaragama, misalnya hukum mengucapkan selamat kepada nonmuslim pada saat Natal. Dengan kata lain, narasi besar pluralisme agama dan agenda perdamaian antar umat beragama mesti diterjemahkan secara konkret ke dalam kehidupan yang membumi. Fiqih lintas agama akan menyumbang peranan penting jika ia bisa menunjukkan kepada khalayak bahwa hukum Islam dapat menjadi perekat sosial dan bukan pemicu disintegrasi.

Referensi

Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Jakarta: GIP, 2004.
Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, New Delhi: Adam Publisher &Distributor, 1994.
Akh Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam al-Ja>mi’a>h Volume 63 tahun 1999.
Budi Setiawan, ”Warga Negara dalam Intervensi Agama” dalam M. AS. Hikam, Fiqih Kewarganegaraan (Intervensi Agama-Agama terhadap Masyarakat Sipil), Jakarta: PB PMII, 2000.
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Takwin al-‘Aql al-‘Araby, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994.
M. Abou el-Fadl, Khaled, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Dialog Agama-Agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”, dalam Passing Over, Ed. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Jakarta: Paramadina, 1998.
Madjid, Nurcholish, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.
Nyazee, Imran Ahsan Khan, Theories of Islamic Law, Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945.
Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Tim Editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, Yogyakarta, Wihdah Press, 2004.

____________________

1. Ketegangan hubungan antaragama tentu saja bertalian dengan berbagai faktor yang saling berhubungan secara ruwet. Ada atau tidak adanya keserasian hidup antara pemeluk berbagai agama yang berbeda banyak ditentukan oleh faktor-faktor keagamaan, kesejarahan, kenegaraan, politik, kemasyarakatan, ekonomi, dan lain-lain. Nurcholish Madjid, “Dialog Agama-Agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam”, dalam Passing Over, Ed. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 6.
2. Di zaman-zaman kebesaran Islam, persoalan hubungan antaragama yang paling gawat terdapat di kalangan bangsa-bangsa yang mayoritas bukan Muslim. Umat Islam di mana saja menjadi lebih sensitif lagi terhadap kenyataan ini, karena jika terdapat komunitas Muslim di negeri-negeri yang mayoritas bukan Muslim dengan kesenjangan dan ketidakserasian hubungan antaragama itu maka yang paling menderita kezaliman agama ialah kaum Muslim. Sebaliknya, minoritas-minoritas bukan Muslim di dunia mendapati bahwa kehidupan beragama yang paling aman dan damai ada di kalangan mayoritas Muslim. Kini, keadaan yang baik itu sangat umum. Nurcholish Madjid, “Dialog Agama-Agama.., hlm. 6.
3. Penyimpangan dari kebenaran Islam dengan cara menutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui Rasul-Nya dalam terminologi ilmu akidah disebut dengan kufr. Kufr memiliki banyak tingkatan, yaitu (1) kufr ingkar, (2) kufr juhud, (3) kafir munafiq (kufr nifa>q), (4) kufr syirik, (5) kufr nikmat, (6) kafir murtad, dan (7) kafir ahli kitab. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 31.
4. Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Araby, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1994), hlm. 98.
5. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 3.
6. Ushul fiqih menempati posisi sentral dalam studi keislaman, sehingga sering kali disebut sebagai the queen of Islamic sciences. Baca Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hlm. 1; Akh Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh” dalam al-Jami’ah Volume 63 tahun 1999, hlm. 15. Sebelum adanya pembakuan oleh al-Syafi’i dalam al-Risalah, qiyas belum dalam formulasi yang baku, ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu hukum (reasoning). Pada masa al-Syafi’i dan ulama’ ushul setelahnya, qiyas menjadi teori penalaran yang ketat, baku, dan kaku, sehingga sudah tidak menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual karena terpengaruh filsafat Yunani, khusunya sillogisme logika Aristoteles. Akibatnya, qiyas menjadi penalaran hukum yang tunduk di bawah bayang-bayang teks agama, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’. Lihat Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publisher &Distributor, 1994), hlm. 137.
7. Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 4.
8. Beberapa sarjana cenderung menyejajarkan interpretasi teks yang bersifat spekulatif atau tidak masuk akal dengan otoritarianisme epistemologis. Joseph Vining, seperti dikutip Abou el-Fadl menyatakan bahwa meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah sistem sebelum melakukan upaya interpretasi, yang otoriter adalah “sebentuk dengan taklid buta”, sementara yang otoritatif adalah melakukan “pilihan terbaik berdasarkan rasion”. Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 204.
9. Buku ini bukanlah kumpulan tulisan dari beberapa penulis, melainkan ditulis secara tim sebagai rangkuman pemikiran utuh yang melibatkan banyak ahli dari berbagai latar belakang.
10. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama…, hlm. 17-18.
11. Ibid., hlm. 65.
12. Ibid., hlm. 13.
13. Ibid..
14. Dalam hal ini, Wael B. Hallaq misalnya mengatakan: “Each legal and ethical inquiry will have two diametrically opposite views of either affirmation or negation. Those who approve and declare these prastices premissible would do so on the basis of either social necessity (d}aru>rah) or public benefit (mas}lah}ah). Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul Fiqh, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 219.
15. Ibid., hlm. 14.
16. Budi Setiawan, ”Warga Negara dalam Intervensi Agama” dalam M. AS. Hikam, Fiqih Kewarganegaraan (Intervensi Agama-Agama terhadap Masyarakat Sipil), (Jakarta: PB PMII, 2000), hlm. 53.
17. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa jika ada fiqih lintas agama, maka adakah fiqih di luar Islam. Baca Tim Editor Mujahidin, Kekafiran Berfikir Sekte Paramadina, (Yogyakarta, Wihdah Press, 2004), hlm. 48.
18. Sebagai ilustrasi, reviewer perlu menjelaskan tentang alasan al-Jabiri memilih terminologi “al-‘aql al-‘araby” sebagai objek pembahasannya. Dulu, para ahli logika kuno pernah mengatakan bahwa sesuatu itu dapat diketahui dengan melihat antonimnya. Istilah antonim ini tidak mesti berpengertian “ sesuatu yang konradiktif”, melainkan sekadar perbedaan. Cara inilah yang dipakai untuk menjelaskan apakah yang disebut dengan Akal Arab, yaitu dengan membandingkannya dengan dua akal yang lain: Akal Yunani dan Akal Eropa. Dengan demikian, Akal Arab terafirmasi.
19. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama…, hlm. 153-161.
20. Lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: GIP, 2004), hlm. 7.
21. Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama…, hlm. 195.

Peresensi juga santri Leiden (agak lama dikit)

http://nahdliyinbelanda.wordpress.com/2007/10/02/rekonstruksi-fiqih-inklusif-pluralis/. Accessed May 4, 2011.

Saturday, April 23, 2011

Pengantar “Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama”

Kata Pengantar Ustadz Hartono Ahmad Jaiz

Al-hamdulillahi Rabill ‘alamien.

Shalawat dan salam semoga tetap Allah limpahkan atas Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.

Amma ba’du. Buku ini berjudul Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama, merupakan bantahan secara mendasar terhadap buku terbitan Paramadina yang bekerjasama dengan The Asia Foundation.

Buku Fiqih Lintas Agama itu sendiri telah menghebohkan karena isi dan misinya cukup berseberangan dengan Islam. Dan itu akan dibuktikan di dalam buku Koreksi ini.

Misi yang dikandung buku Fiqih Lintas Agama kemungkinan bukan semata-mata sekadar menerbitkan buku. Untuk memberi gambaran bahwa buku itu memiliki misi tersendiri, perkenankanlah saya memberikan gambaran satu kenyataan masa lalu yang mengharu biru (usil) terhadap Islam, namun dilakukan oleh orang yang berpredikat Kiai alias orang yang ahli Islam.

Masyarakat Islam di Solo Jawa Tengah dan sekitarnya di tahun 1955-an mesti tahu bahwa di zaman jaya-jayanya PKI (Partai Komunis Indonesia) ada tokoh yang bahkan Kiai namun dikenal sebagai Kiai PKI. Namanya Kiai Dasuki Sirodj. Dia dikenal “fatwanya” yang dicomot dari Al-Qur’an :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS Al-Ma’un/ 107: 4). Dengan adanya “fatwa” Kiai PKI itu maka orang abangan yang mengaku Islam namun ogah-ogahan shalat merasa disahkan ketidak shalatannya. Di samping itu mereka merasa lebih sreg (merasa lebih pas) bergabung dengan PKI dibanding mendekat pada muslim taat. Lantas kaum abangan dan PKI yang diimami Kiai PKI itupun nglunjak (naik ke kepala). Umat Islam diberi cap buruk sebagai Kaoem Saroengan.

Kiai PKI itu dengan modal memotong ayat semaunya disertai maksud-maksud tertentu ternyata menghasilkan tambahnya pengikut, lantas dilanjutkan dengan mulusnya pemojokan terhadap umat Islam. “Fatwa” itu sengaja dengan cara memotong ayat, bukan lantaran tidak tahu, namun karena ada maksud-makusd jahat di dalamnya. Seharusnya Kiai Dasuki kalau mau jujur, dia cukup mengemukakan apa adanya, yaitu meneruskan ayat itu sampai tuntas:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ(6)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ(7)

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS Al-Ma’un/ 107: 4-7).

“Fatwa” model yang drastis seperti itu bisa dilakukan secara sendiri, berkelompok, atau bahkan beramai-ramai alias kroyokan. Untuk memasarkan “fatwa” yang menjegal Islam itupun bisa dilakukan sendiri, berkelompok, ataupun berkroyokan. “Fatwa” yang tidak drastic, hanya sekadar cap-cap buruk terhadap umat Islam, juga bisa dipompakan secara sendiri, berkelompok, atau bahkan kroyokan, atau malahan secara internasional, menggelobal. Kini cap terorisme secara mendunia telah dialamatkan kepada umat Islam. Penyebar cap buruk itu diketahui adalah negara adikuasa yang ditakuti kezhalimannya. Maka dampak dari itu bukan seperti dampak dari “fatwa” Kiai Dasuki yang sifatnya local belaka, yang hanya membangunkan orang abangan setempat untuk krengkang-krengkang (mulai bertandang) memojokkan Islam, bergabung dengan Komunis. Namun komando dari Amerika, Australia, Inggeris, Singapura, dan negara-negara yang pada dasarnya di bawah pengaruh teroris murni Israel sangat nyaring dihayati oleh orang “abangan baru” yang berlabel liberal. Serentak sontak para “abangan baru” itu kluruk (berkokok) sejadi-jadinya, untuk menunjukkan kepada boss mereka bahwa mereka bekerja sekeras-kerasnya.

Di antara bukti kerja keras mereka siang malam adalah apa yang mereka wujudkan berupa buku berjudul Fiqih Lintas Agama, ditulis oleh tim penulis Paramadina di Jakarta, diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina –yang didirikan Dr Nurcholish Madjid dan konco-konconya– bekerjasama dengan lembaga yang berpusat di Amerika, The Asia Foundation. Buku itu ditulis oleh 9 orang, dan sebelum naik cetak telah diseminarkan di gedung-gedung. Itu menunjukkan bahwa buku itu bukan sekadar buku biasa, namun luar biasa, dari segi penunjukan kerja keras mereka. Entah kalau dari segi dana, tentu saja sangat besar, namun itu urusan mereka.

Buku itu adalah hasil kerja kroyokan 9 orang dalam Tim Penulis Paramadina:

Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun’im A. Sirry.

Judul persisnya: FIQIH LINTAS AGAMA

Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Cet. I September 2003).

Terhadap buku itu, Irfan Suryahardi Awwas ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin berkomentar lantang ketika acara debat antara MMI dengan Paramadina di UIN (Universitas Islam negeri) Jakarta, 15 januari 2004:

“Fiqih Pluralis yang dikembangkan oleh Tim Penulis Paramadina dan dikemas dalam sebuah buku berjudul, “Fiqih Lintas Agama” yang diterbitkan bersama oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, merupakan salah satu bentuk kekafiran berfikir.”

Kenapa demikian? Jawabnya ada pada ungkapan dari orang paramadina sendiri dalam acara debat tersebut, di antaranya apa yang dikemukakan langsung oleh Dr Kautsar Azhari Noer:

“Tentang akidah, mungkin kita juga berbeda, meskipun sama-sama memeluk agama Islam. Ada istilah akidahnya, teologinya itu eksklusifisme misalnya, itu memang berbeda dengan yang akidahnya teologinya itu pluralisme. Kalau teologinya pluralis maka fiqihnya juga pluralis. Jadi teologi pluralis membutuhkan fiqih pluralis. Sedangkan teologi eksklusifis ya temannya fiqih eksklusifis juga. Jadi nggak pernah ketemu. Jadi nanti kalau nggak ketemu karena akidahnya beda.” (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Mengkritisi Debat Fiqih Lintas Agama, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, Maret 2004).

Ungkapan orang Paramadina ini sangat mengagetkan. Sama-sama memeluk Islam, tetapi akidahnya berbeda. Mereka terus terang berakidah pluralis (menyamakan / menyejajarkan semua agama, semuanya masuk surga, menuju keselamatan, hanya beda teknis, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan agama yang kita peluk). Dengan akidah pluralis itu maka mereka membuat panduan praktisnya dalam kehidupan, ujudnya adalah buku Fiqih Lintas Agama itu.

Secara mudahnya, Paramadina membuat “agama baru”, namanya bisa dikonklusikan sebagai “Agama Lintas Agama”, akidahnya pluralis, “kitab sucinya” Fiqih Lintas Agama, tokoh utamanya Nurcholish Madjid bersama 8 orang lainnya.

Untuk keperluan membantah “kitab suci agama baru” Paramadina inilah Ustadz Agus Hasan Bashori membuat buku ini dengan judul Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama.

“Agama baru” yang akidahnya pluralis itu apakah sesuai dengan pemahaman Islam. Coba kita rujuk kepada ungkapan ulama, di antaranya sebagai berikut.

Syaikh Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmu’ Al-Fatawa 35/ 364-365:

“Agama para nabi itu satu yaitu Islam, semua mereka Muslim Mukmin sebagaimana telah Allah jelaskan di lain tempat dalam Al-Qur’an, tetapi sebagian syari’at itu berjenis-jenis, kadang Dia syari’atkan satu perkara pada suatu waktu untuk suatu hikmah, kemudian Dia syari’atkan perkara yang lain di waktu lain untuk suatu hikmah (pula). Sebagaimana Dia syari’atkan pada awal Islam shalat (menghadap) ke Baitul Maqdis kemudian Dia hapus hal itu dan Dia perintahkan shalat (menghadap) ke Ka’bah. Maka syari’at itu bermacam-macam sedangkan agama itu satu. Dulu (shalat) menghadap ke Syam pada waktu itu adalah termasuk agama Islam dan demikian pula Hari Sabat bagi Nabi Musa adalah termasuk agama Islam. Kemudian ketika dihapus, agama Islam jadilah ia penghapusnya, yaitu shalat ke Ka’bah. Maka barangsiapa berpegang pada yang dihapus (mansukh), bukan pada yang menghapus (nasikh) maka dia bukan berada di atas agama Islam dan dia tidaklah sebagai pengikut salah satu nabipun. Dan barangsiapa mengganti syari’at para nabi dan menciptakan satu syari’at maka syari’atnya itu batil, tidak boleh diikuti. Sebagaimana Allah berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (QS As-Syuro/ 42: 21).

Karena itu kafirlah Yahudi dan Nasrani karena mereka berpegang pada syari’at yang telah diganti dan dinasakh/ dihapus –kadaluarsa—.

Allah telah mewajibkan atas seluruh makhluk untuk beriman kepada seluruh kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan beriman kepada Nabi Muhammad sebagai penutup para rasul. Maka wajib atas seluruh makhluk mengikuti Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- dan mengikuti syari’at agamanya yaitu apa-apa yang dia bawa berupa al-Kitab (al-Quran) dan As-Sunnah. Maka apa-apa yang dibawa oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah syari’at yang wajib diikuti oleh seluruh makhluk, dan tidak ada seorang pun keluar (terkecualikan) dari kewajiban mengikuti syari’at itu. Yaitu syari’at yang para mujahid berperang untuk mengangkatnya, dan itulah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pedang-pedang Muslimin membela syari’at ini yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana kata Jabir bin Abdullah, Rasulullah telah memerintahkan kami untuk memukul dengan ini yakni pedang pada orang yang keluar dari ini yakni mushaf Al-Qur’an.[1]

Persoalan mendasar yang ditempuh oleh Tim Penulis Paramadina dalam buku Fiqih Lintas Agama adalah:

1. Menyamakan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- dengan agama Yahudi dan Nasrani padahal di sana ada dua persoalan pokok. Pertama, Agama Yahudi dan Nasrani itu sudah dinasakh/ dikadaluarsakan oleh Islam yang dibawa Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam-, sehingga siapa saja yang masih ikut agama yang dinasakh itu maka tidak termasuk umat nabi siapa pun. Kedua, Agama Yahudi dan Nasrani itu sudah diubah oleh tangan-tangan manusia. Sedangkan ketika belum dinasakh pun kalau sudah diubah maka berarti bukan lagi murni dari sisi Allah, apalagi setelah dinasakh.

2. Menyamakan agama dari sisi Allah dengan agama-agama apapun. Ini sesuatu yang mengherankan benar. Karena dalam hal agama tidak ada penyamaan penyamaan agama. Agama yang benar dari sisi Allah pun tidak bisa disamakan antara agama yang kadaluarsa dengan yang masih berlaku. Sebagaimana tidak bisa disamakan pula antara agama yang masih murni dengan yang sudah diubah oleh tangan manusia. Apalagi menyamakan agama yang murni dari Allah dan masih murni diberlakukan, disamakan dengan agama yang bukan dari Allah SWT. Sedang yang murni dari Allah pun kalau sudah kadaluarsa, tak bisa disamakan dengan yang masih berlaku.

3. Menyamakan pengikut agama dari Allah yang sudah kadaluarsa dengan pengikut agamaNya yang masih berlaku, sebagai sama-sama dijanjikan masuk surga. Ini benar-benar talbisul haq bil baathil, mencampur adukkan yang haq dengan yang batil. Lantas apa gunanya diutus Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- kalau sama-sama masuk surga? Dan apa gunanya Nabi Muhammad -Shalallahu alaihi wasalam- kirim surat kepada Kaisar Romawi, Heraclius, yang nasrani itu agar masuk Islam, kalau sama-sama akan masuk surga?

4. Mengangkat orang selain Yahudi dan Nasrani sebagai Ahli Kitab dengan dicari-carikan dalih sekenanya, sampai memlintir-mlintir hadits Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- dan perkataan ulama di antaranya Imam Ibnu Taimiyyah, Imam At-Thabari dan lainnya.[2]

5. Menghalalkan pernikahan antara Muslim/ Muslimah dengan pemeluk agama apapun dan atau aliran kepercayaan apapun. Ini adalah puncak pembangkangan terhadap Islam sekaligus mengajak agar umat Islam membangkang terhadap agamanya. Kemauan mereka tidak mau diatur oleh Allah dan Rasul-Nya, maka mereka membuat aturan tersendiri. Ini pada dasarnya adalah membuat agama baru. Maka mereka secara beramai-ramai membuat “kitab suci agama barunya” dengan judul Fiqih Lintas Agama. Mereka berani menjanjikan surga dengan di antaranya memlintir ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 62. Di samping itu mereka menjanjikan harta kepada orang kafir yaitu dengan cara:

6. Menghalalkan waris memawaris antara Muslim dengan kafir. Ini janji dari “agama baru” yang hanya dengan cara membetot hadits Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- yang shahih yang isinya meniadakan waris mewaris antara Muslim dan kafir namun langsung mereka kadaluarsakan begitu saja.

7. Merendahkan ulama di antaranya Imam As-Syafi’I dengan tuduhan-tuduhan yang sangat tidak bermoral, dan sama sekali tidak ilmiyah.

8. Mengangkat perkataan orang kafir dan anti agama seperti Karl Marx dan orang semacamnya sebagai dalil yang seakan melebihi nash Al-Qur’an sehingga dijadikan alat untuk “menggebugi” Imam As-Syafi’i. Ini justru menunjukkan aib mereka sendiri. Kegalakan mereka terhadap ulama yang statusnya pewaris para nabi itu adalah kegagalan total dalam memelihara otak mereka sendiri selama ini, apalagi dalam memelihara agamanya. Orang yang garang terhadap ulama, bila statusnya adalah penguasa maka julukannya zhalim. Bila ia statusnya sarjana Islam, maka perlu mengaca diri lagi.

Orang model ini perlu diingatkan, betapa mulianya status ulama itu.

Keutaman ulama itu dijelaskan oleh Nabi-Shalallahu alaihi wasalam-:

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ. ( أبو داود والترمذي وابن ماجة).

Keutamaan seorang alim (berilmu agama) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR Abu daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Sampai-sampai Allah pun menjanjikan untuk mengangkat derajat orang iman yang berilmu dengan firman-Nya:

يرفع الله الذين ءامنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات. (المجادلة: 11).

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” ( Al-Mujadilah: 11).

Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Ada kisah dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dimuat dalam Kitab Riyadhus Sholihin, bab taubat, ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang rahib/ pendeta ahli ibadah sebagai korban yang ke-100 karena jawaban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia. Akhirnya setelah membunuh si ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang alim, dan di sana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, yaitu agar pergi ke tempat yang di sana penghuninya menyembah Allah, maka ia agar ikut menyembahNya sebagaimana yang mereka lakukan, dan jangan sampai kembali ke desa semula karena di sana tempat orang jahat. Di tengah jalan, ia mati, maka Malaikat Rahmat bertengkar dengan Malaikat Adzab. Lalu datang malaikat berujud manusia, menjadi hakam (juru damai), menyuruh agar diukur mana yang lebih dekat, kampung baik atau kampung jelek. Ternyata mayat ini lebih dekat sejengkal ke kampung baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dia dibawalah oleh malaikat Rahmat. Demikianlah. Dengan adanya orang alim yang memberi petunjuk tentang kebenaran, maka diapun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya, hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat.

Betapa jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.[3]

Kenapa mereka membabat ulama, padahal ulama itulah yang memberi penerang kepada umat Islam? Pertanyaan ini cukup dijawab dengan ilustrasi. Syetan memang suka yang gelap-gelap. Bahkan pemuda-pemudi yang bermaksiat pun memerlukan tempat-tempat yang gelap. Sampai maling-maling yang beroperasi di malam hari, mereka punya selera tersendiri bila dalam keadaan gelap. Demikian pula para penyesat, maka berupaya agar terbentuk kondisi dan situasi gelap. Selama peran ulama dengan ilmunya itu masih menerangi umat, maka kegelapan pun sirna. Oleh karena itu ilmu ulama itu perlu dicampakkan dengan cara memburukkan citra ulama, hingga umat tidak lagi terterangi oleh ilmu ulama. Di saat itulah gerilya untuk menyesatkan umat bisa dilangsungkan dengan leluasa.

Namun rupanya segala gerilya untuk menggelapkan suasana yang telah mereka upayakan dengan susah payah itu justru akan menimpa mereka sendiri. Kata pepatah, siapa menggali lubang maka akan terperosok ke dalamnya. Dan ternyata Ustadz Agus Hasan Bashori ini membawa kain kafan yang sudah dirancang dengan tali-talinya untuk mengikat dan menggelundungkan mereka ke lubang yang mereka gali sendiri. Kain kafan yang dilibatkan ke diri-diri mereka itu diberi merk Koreksi Total Buku Fiqih Lintas Agama. Padahal perjalanan mereka setelah menerbitkan buku Fiqih Lintas Agama atas kerjasama dengan The Asia Foundation, lembaga yang berpusat di Amerika dan duitnya dari Amerika, itu mereka telah babak belur akibat disaduk (dihantam ulu hatinya) secara bertubi-tubi, di antaranya:

a. Tantangan debat dari MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang dilaksanakan di UIN (Universitas Islam Negeri –dahulu IAIN) Jakarta, 15 Januari 2004. Dr Zainun Kamal dan Zuhairi Misrawi mewakili tim penulis FLA dari Paramadina gelagapan tak keruan menghadapi hujatan dan pertanyaan M Thalib dan Alawi Makmun dari MMI dan 3 peserta yang hadir dalam debat.

b. Terbitnya buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama, Maret 2004, berupa transkrip debat tersebut serta komentar yang membantah argumen-argumen rancu dan kacau pelaku debat dari Paramadina.

c. Terbitnya buku Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL & FLA, Juni 2004, berisi bantahan terhadap kenyelenehan JIL dan kesesatan buku Fiqih Lintas Agama.

d. Terbitnya buku Tim Editor Mujahidin berjudul Kekafiran Berpikir Sekte Paramadina, April 2004.

e. Acara-acara bedah buku di berbagai kota yang mengemukakan kesesatan dan bahaya buku Fiqih Lintas Agama.

f. Liputan media massa Islam yang memberi gambaran kepada umat Islam tentang betapa tidak ilmiyahnya buku Fiqih Lintas Agama produk Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation itu serta betapa bahayanya bagi kemurnian Islam.

Dari berbagai tonjokan terhadap buku Fiqih Lintas Agama itu kini ditambah lagi dengan sayatan-sayatan yang dilangsungkan Ustadz Agus. Pisau bedahnya ditujukan kepada produk tim penulis Paramadina. Tinggal satu lagi untuk menuntaskannya, dan itu tenaga-tenaganya sudah ada, tinggal tunggu kesempatan. Yaitu tenaga-tenaga yang siap untuk membedah langsung guru-guru mereka yang liberal itu yakni para orientalis. Karena pada dasarnya liberal yang berlabel Muslim di sini hanyalah kepanjangan tangan dari para orientalis di Barat. Sehingga ketika nanti dibongkar kelicikan, kecurangan dan kepalsuan serta kebohongan para orientalis itu akan lebih cepat membungkam para pembebeknya yang berada di dalam negeri ini.

Di samping itu buku-buku yang langsung membantah orientalis dan ditulis oleh para pakar di luar negeri bisa pula diterjemahkan dan diterbitkan. Adnin Armas seorang pelajar Indonesia di Malaysia yang gigih menelusuri sumber-sumber, mengemukakan: Ada beberapa tanggapan serius (terhadap para orientalis yang menyimpulkan bahwa al-Qur’an itu problematic) yang sudah dilakukan oleh para ulama.

Diantaranya Karya Ahmad Ali Imam, Variant Readings of the Quran; A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins (Virginia: International Institute of Islamic thought and Civilization, 1998).

Karya ini berasal dari disertasi doktoralnya di Universitas Edinburg, 1984. Saat ini AAI adalah Rektor universitas al-Quran di Sudan.

Begitu juga Muhammad Mustafa al-Azami, The History of The Quranic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Isalmic Academy, 2003). Buku ini sudah diterjemahkan oleh teman-teman di Kuala Lumpur dan sekarang sedang dicetak oleh GIP.

Masalah yang dikemukakan oleh para orientalis dan juga masalah yang

lain berkaitan dengan al-Qur’an banyak dibahas dalam dua buku tersebut.


[1] Ibnu Taimiyyah Majmu’ Al-Fatawa 35/ 364-365,

مجموع الفتاوى ج: 35 ص: 364

فدين الأنبياء واحد وهو دين الإسلام كلهم مسلمون مؤمنون كما قد بين الله فى غير موضع من القرآن لكن بعض الشرائع تتنوع فقد يشرع فى وقت أمرا لحكمه ثم يشرع فى وقت آخر أمرا آخر لحكمه كما شرع فى أول الإسلام

مجموع الفتاوى ج: 35 ص: 365

الصلاة إلى بيت المقدس ثم نسخ ذلك وأمر بالصلاة إلى الكعبة فتنوعت الشريعة والدين واحد وكان إستقبال الشام ذلك الوقت من دين الإسلام وكذلك السبت لموسى من دين الإسلام ثم لما نسخ صار دين الإسلام هو الناسخ وهو الصلاة إلى الكعبة فمن تمسك بالمنسوخ دون الناسخ فليس هو على دين الإسلام ولا هو متبع لأحد من الأنبياء ومن بدل شرع الأنبياء وإبتدع شرعا فشرعه باطل لايجوز إتباعه كما قال أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله ولهذا كفر اليهود والنصارى لأنهم تمسكوا بشرع مبدل منسوخ

والله أوجب على جميع الخلق أن يؤمنوا بجميع كتبه ورسله ومحمد خاتم الرسل فعلى جميع الخلق إتباعه وإتباع ما شرعه من الدين وهو ما أتى به من الكتاب والسنة فما جاء به الكتاب والسنة وهو الشرع الذى يجب على جميع الخلق إتباعه وليس لأحد الخروج عنه وهو الشرع الذى يقاتل عليه المجاهدون وهو الكتاب والسنة وسيوف المسلمين تنصر هذا الشرع وهو الكتاب والسنة كما قال جابر إبن عبد الله أمرنا رسول الله أن نضرب بهذا يعنى السيف من خرج عن هذا يعنى المصحف

[2] Lebih jelasnya, silahkan membaca buku Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL & FLA, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Juni 2004.

[3] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan kedelapan, Juni 2004, halaman 8-10.

http://timdesain.blogdetik.com/2009/06/02/koreksi-total-buku-fiqih-lintas-agama/

Friday, April 22, 2011

Pengantar Penulis “Koreksi Total Buku Fikih Lintas Agama”

Bashori, Agus Hasan al-, and M. Abdillah Noor Ridlo. 2004. Koreksi total buku Fikih Lintas Agama: membongkar kepalsuan paham inklusif-pluralis. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

http://www.gensyiah.com/pengantar-penulis-koreksi-total-buku-fikih-lintas-agama.html

PENGANTAR PENULIS

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Segala puji bagi Allah penguasa semesta alam dengan pujian yang banyak dan diberkahi, saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah, Nabi-Nya, yang diutus ke seluruh umat manusia hingga hari kiamat tiba. Semoga Allah mengalirkan shalawat dan salamnya kepada beliau; Nabi yang jujur dan terpercaya, beserta keluarga, shahabat, dan pengikut setianya hingga akhir masa.

Ini adalah buku bantahan terhadap bid’ah paham pluralisme agama-agama yang tertuang dalam buku “Fikih Lintas Agama”. Meskipun bantahan ini tidak tuntas dan tidak menyeluruh –karena terbatas waktu-, kehadirannya adalah suatu keniscayaan, demi menutup celah yang dikoyak oleh orang-orang yang ingin merusak kesucian islam.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa membantah orang-orang yang menyalahi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah termasuk jihad yang paling agung, bahkan terkadang bisa mengungguli nilai jihad melawan para musuh dari luar. Maksudnya, perang melawan musuh dari dalam lebih besar daripada melawan musuh dari luar. Karena musuh luar adalah sangat jelas permusuhannya, sementara musuh dari dalam terkadang tersamarkan dan tersembunyi. Diantara permusuhan yang paling berat adalah jikalau muncul di tubuh umat Islam orang-orang yang mengajak kepada selain manhaj Salafus Shalaih, seperti kelompok yang memperjuangkan bid’ah, kesyirikan, dan pemikiran sesat serta pemikiran-pemikiran yang merusak. Tentu tidak diragukan lagi bahwa jihad melawan mereka adalah bentuk ketaatan yang sangat agung dihadapan Allah Suhanallah Wa Ta’ala. Allah berfirman:

فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.(Al-Furqan:52)

Jihad melawan mereka dengan Al-Qur’an dan ilmu jihad yang agung.

Para pemeluk agama-agama yang telah diubah dan para pemilik prinsip-prinsip batil dan zalim selalu mengklaim bahwa mereka memiliki hidayah dari kesesatan yang dapat menyelamatkan manusia dari kebingungan, kemunduran, kebodohan, dan kesengsaraan.

Begitu pula para failasuf, dari dulu hingga kini juga mengklaim demikian… orang-orang Yahudi dan Nasrani juga mengklaim demikian… para pemikir dan cendikiawan, pakar pendidikan dan ilmu jiwa, di Timur maupun di Barat juga mengklaim demikian… kini sekelompok orang indonesia yang mengaku atau yang dijuluki dengan para pemikir progresif, kaum liberalis juga mengklaim demikian… kita mengatakan untuk menghadapi semua itu;

قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى

“Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk.(Al-An’am:71)

Tidak ada hidayah bagi manusia dari kebodohan, kesesatan dan kesengsaraan kecuali Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.(Ali’Imran:100-101)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memaparkan dengan tegas bahwa mencari hidayah di luar islam adalah sesat dan binasa. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abdullah bin Jabir. Dia berkata, pernah Umar Radhiyallahu ‘anhu datang kepada Nabi -Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam- lalu berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru saja bertemu dengan satu sahabat dari Yahudi Bani Quraizhah, lalu dia menuliskan untukku beberapa kalimat yang jami’ (ringkas redaksi tapi padat isi) apa boleh saya sodorkan pada anda? Abdullah berkata: Maka berubahlah wajah Rasulullah. Abdullah bin Tsabit berkata: Saya berkata kepadanya: Tidaklah engkau lihat wajah Rasulullah? Maka Umar berkata: Saya rela Allah sebagai tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai nabiku.

Dia berkata; Maka hilanglah kemarahan dari wajah Rasulullah, lalu bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ فِيْكُمْ مُوْسَى ثُمَّ اتَّبِعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَصَلَلْتُمْ إِنَّكُمْ حَظَّى مِنَ الْأُمَمِ وَأَنَا حَظُّكُمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ

Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya Musa ada di tengah-tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkan aku niscaya kalian sesat. Sesungguhnya kalian adalah umat yang menjadi bagianku dan aku adalah Nabi yang menjadi bagianmu.”

Oleh karena itulah paham “Teologis Pluralis dan Fikih Lintas Agama adalah bid’ah qabihah (buruk), sesat, dan merusak. Al-Qur’an telah membuka aib orang-orang yang menjadi pengikut thagut yang ingin menghalangi manusia dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Allah berfirman:

öNs9r& ts? n<Î) šúïÏ%©!$# tbqßJãã÷tƒ öNßg¯Rr& (#qãYtB#uä !$yJÎ/ tAÌRé& y7øs9Î) وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا. وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا. فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.(An-Nisaa’:60-63)

Semoga buku ini bermanfaat dan kita selamat dari virus-virus pemikiran yang merusak iman. Dan semoga dalam waktu dekat lanjutan bantahan terhadap syubhat-syubhat mereka dapat direalisasikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Akhirnya ucapan terima kasih teruntuk adik Abu Hasan M. Ali Khudhairi dan Abu Rafi’ M. Syahri yang telah membantu naskah buku ini. Semoga Allah membalas kebaikan kita semua.

Malang, 14/4/2004

Abu Hamzah As-Sanuwi


Monday, April 11, 2011

Muslim-Buddhis Merajut Indonesia

Oleh Geger Riyanto Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia

Judul: Berpeluh Berselaras: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni Penulis: Zaenal Abidin Ekoputro dkk. Penerbit: Kepik Ungu Jumlah halaman: 256 hal Waktu terbit: Januari 2011 Harga: Rp 55.000

Apakah yang terbayang ketika kita menyinggung wacana hubungan antar agama di Indonesia? Konflik? Kecamuk? Kekerasan? Carilah berita-berita dengan topik tersebut di media massa, maka kita akan menemukan wajah para penganut agama yang jauh dari sejuk—jauh dari ajaran-ajaran agama itu sendiri.

Nah, lewat buku Berpeluh Berselaras: Buddhis-Muslim Meniti Harmoni, tim riset Zaenal Abidin dkk. berusaha mengetengahkan sisi lain hubungan antar agama yang akan mencengangkan mereka yang membayangkan Indonesia dari tayangan-tayangan media massa. Pengantar Zaenal Abidin dan Audriane F. Sani yang membuka buku ini langsung menggambarkan suasana Dusun Barakan di Malang, di mana warga-warga dengan agama yang berbeda tinggal berdempetan, tak mempersoalkan perbedaan.

Tentu saja, sejumlah wilayah pedesaan di Jawa yang menjadi subyek penelitian ini tidak begitu saja, plek, terbentuk sebagai wilayah yang damai. Niat untuk mengupas hubungan di antara Muslim dengan Buddhis—yang tidak lazim diteliti banyak orang—menggiring para penulis untuk pertama-tama merunut sejarah Buddhisme di Jawa yang pada kenyataannya dilatari oleh pertikaian kental antar aliran.

Ulasan para penulis akan membawa kita ke periode pertengahan 60an, yang mana kita mengenalnya sebagai episode vivere pericoloso bagi Indonesia; the years living dangerously! Persaingan tajam di antara golongan-golongan politik merangsek hingga ke serat-serat kehidupan terkecil, menjadikan suasana di negeri ini amat mencekam dan tegang.

Sejarah Buddhisme di Indonesia secara umum dimulai setelah tragedi 1965. Pada saat yang sama dengan dimulainya upaya sistematik menyingkirkan komunisme, jutaan warga Indonesia mulai memeluk identitas agama yang formal agar tidak dicurigai sebagai simpatisan gerakan kiri yang dianggap memusuhi beragama. Di daerah-daerah yang diteliti dalam buku ini, para penganut Buddhisme mengakui bahwa mereka awalnya para anggota PNI yang tidak diterima oleh kelompok Islam; mereka ingat betul penolakan getir yang mereka alami, banteng masuk masjid hanya akan meninggalakan kotoran.

Di sejumlah daerah, PNI lantas mengirimkan utusannya untuk mempelajari agama Buddha—salah satu dari lima agama yang sah menurut pemerintah. Inilah awal terbentuknya komunitas-komunitas Buddhis di Jawa. Politis, memang. Tetapi, dalam perjalanannya, komunitas Buddhis menjalin hubungan yang baik dengan kelompok Muslim.

Petinggi agama Buddha, di satu daerah, memiliki banyak anak yang beragama Muslim dan sama sekali tidak mempermasalahkannya. Dalam perayaan di desa-desa Jawa, daging sapi kerap menjadi hidangan lezat untuk menyempurnakan kemeriahan. Ketika seorang Buddhis mengadakan perayaan, sementara mereka dilarang menyembelih binatang, maka umat Muslim akan datang membantu.

Sayang, setelah menemukan jejak-jejak sejarah kemunculan Buddhisme, buku ini langsung mengulas harmonisme di antara Muslim-Buddhis. Periode pasca 60an, atau Orde Baru, atau sejarah bagaimana hubungan selaras itu dibangun ditinggalkan kosong. Tetapi sebagai sebuah riset/buku rintisan tentang hubungan antar umat Muslim dengan Buddhis, kita tentu perlu mengapresiasi keberaniannya meneroka ruang yang masih melompong dalam khazanah pengetahuan kita.

Kompas, Kamis, 17 Maret 2011 | 22:04 WIB

http://oase.kompas.com/read/2011/03/17/22044462/Muslim-Buddhis.Merajut.Indonesia

Friday, April 1, 2011

Explaining the Cause of Muslim-Christian Conflicts in Indonesia: Tracing the Origins of Kristenisasi and Islamisasi

Arifianto, Alexander. 2009. "Explaining the Cause of Muslim-Christian Conflicts in Indonesia: Tracing the Origins of Kristenisasi and Islamisasi". Islam and Christian-Muslim Relations. 20 (1): 73-89.

Author:
Alexander R. Arifiantoa
DOI: 10.1080/09596410802542144

Abstract

Within the last decade, Indonesia has experienced numerous incidents of communal violence between conservative Muslims, who are the religious majority in the country, and the Christian minority. This has been caused by mutual prejudices and suspicions that have gradually developed between the two groups. This article will explain the origins of such sentiments by looking at the history of Muslim-Christian relations in Indonesia. It argues that the origins of tensions between the two religions date from the Dutch colonial period in Indonesia and persisted throughout Indonesia's post-independence history. First, the article will survey the roots of Kristenisasi suspicions among Indonesian Muslims, from the Dutch colonial period until the New Order regime under Suharto. Next, it will examine government policies designed to appease conservative Muslims and restrict the religious freedom of Indonesian Christians. Finally, it will discuss how these policies helped to create the fear of Islamisasi among Indonesian Christians.

Affiliation: a Department of Political Science, Arizona State University, Tempe, USA